“Buka pintunya, Lion. Kau tidak bisa mengunciku di sini. Aku mau keluar!”Berulang kali Rose menekan ganggang pintu. Berharap bisa terbebas dari ruang tak bercela, yang pada satu sisinya terdapat jendela kaca tebal. Tidak terlihat satu pun bagian yang bisa Rose akses sekadar menggeser kusen yang menyatu rapat. Dia benar-benar terjebak. Pintu yang dia usahakan terbuka turut menjadi momok mengertikan. Lion mungkin sudah melangkah jauh, membiarkannya sendiri meronta seperti wanita tidak waras.Sejak awal Rose tidak pernah berharap akan terjebak dalam situasi seperti ini. Untuk apa Theo menahannya jika seseorang yang pria itu harapkan sudah kembali—datang dengan keangkuhan dan penghinaan yang harus dia terima. Rose melihat sendiri bagaimana Theo jatuh begitu buruk bersama mimpi yang dialami. Apa lagi yang diharapkan? Bukankah pemicu masalah tidurnya kian mampir menjadi obat dengan bernaung di bawah atap bersama? Tubuh Rose bergerak mundur beberapa langkah. Mengambil posisi duduk di atas
Sorot mata Rose memicing tajam. Mengambil sikap waspada ketika mendengar suara kunci diputar dari luar. Dia bangkit, penampakan bahu Theo membuatnya melangkah cepat.“Buka pintunya. Aku mau keluar!”Rose mendorong tubuh besar itu menyingkir. Berulang kali menekan knop pintu seperti yang dilakukannya beberapa saat lalu.Sial! Theo lebih dulu bertindak di luar pengawasannya.“The keys are here.”Bunyi gemerincing dua atau tiga anak kunci menarik perhatian Rose. Dia mendekati Theo dengan kemarahan yang tampak menggunung di mata. Lengan Rose terulur, hendak meraih sesuatu yang mustahil. Theo tidak akan pernah membiarkannya bebas begitu saja.“Berikan padaku!” ucap Rose dingin. “Kau tidak bisa menahanku di sini. Lupakan taruhan bodoh itu. Aku tidak mau lagi berurusan denganmu!”Rose menipiskan bibir. Mencari sekecil apa pun cara mengelabuhi Theo di sampingnya. Mungkin kelemahan lawan sedikit bisa membantu Rose membebaskan diri dari kurungan paksa yang pria itu lakukan.“Not that easy, Suga
Bagian terburuk dari sisa kekacuan belum berakhir. Baru selangkah tidak jauh dari kamar tamu, Rose harus dihadapkan dengan wanita yang berdiri angkuh. Netra keduanya bersirobok—Rose seperti bercermin saat surai pirang persis di hadapannya sengaja disibak, menyebar kesombongan begitu segaris bibir itu menyeringai sinis.“Kau belum pergi juga, pelacur? Apa kau tidak punya urat malu? Aku sudah membereskan barang-barang rongsokanmu. Silakan angkat kaki jika kau sudah tidak punya kepentingan di sini.” Magdalena melipat kedua tangan di depan dada. Sebelah alisnya terangkat tinggi, penasaran akan sikap Rose yang teramat santai.“Pelacur tidak tahu diri. Apa sekarang aku harus menyebutmu jalang?” tanyanya setengah menyindir.Alih – alih marah. Rose membungkuk, meletakkan tongkat bantu jalan ke atas marmer. “Seharusnya kau tidak perlu repot-repot. Apa semua pakaianku mengotori tanganmu? Aku harap tidak, karena semua itu pemberian Theo. Satu lagi, aku akan pergi tanpa membawa apa pun, kecuali d
Magdalena mematut diri di depan cermin retak. Teriakannya menggelegar menatap separuh pantulan wajah yang terlihat kacau. Riasan tebal di bagian mata luntur, meninggalkan bercak-bercak hitam meluruh ke bawah. “Sial!”Dia kembali melempar botol kaca hingga serpihannya menyebar ke beberapa tempat. “Wanita itu harus membayar mahal atas apa yang aku rasakan!” jerit Magdalena di luar kendali. Sesekali dia mengusap bekas membasah di wajah dengan kasar. Tawanya menyeruak, disusul sayup-sayup lirihan kecil.“Aku tahu T masih mencintaiku,” gumamnya nyaris berbisik. “Dia hanya marah dan kecewa. Selebihnya dia masih mencintaiku. Dia benar-benar masih mencintaiku!” Magdalena menyugar surai panjangnya ke belakang dengan gerakan pelan.“Aku tidak boleh kalah.”Netra kelamnya menajam sarat akan ambisi. Setidaknya dia satu langkah lebih maju tanpa sepengetahuan siapa pun. Theo tidak akan bisa melawannya di pengadilan, sekali pun pria itu ingin mengajukan banding saat ketukan palu mulai mengambil andi
Lion menunduk. Tidak berani menatap sorot abu-abu Theo tatkala pintu yang membatasi posisi mereka terbuka. Langkah tertatih itu pelan menghampiri Lion yang terlihat ragu menyerahkan tongkat bantu jalan pada tuannya.“Anda harus menghentikan Nyona Magdalena, Tuan,” ucap Lion nyaris tak terdengar.Sebelah alis Theo terangkat tinggi. Terpaksa menerima kruk tersaji di hadapannya “Apa yang Magdalena lakukan?” Dia bertanya seraya menutup pintu kamar.“Nyonya memukuli Afilia, Tuan.”Wajah Theo berpaling cepat, tidak mengerti maksud ucapan Lion. Ada masalah apa Magdalena bersama Afilia, hingga tidak menghargai posisi Beatrace sebagai wanita tua sekaligus ibu yang memiliki tanggung jawab besar?“Belum sehari di sini kewarasannya sudah berkurang. Kenapa dia memukuli gadis remaja itu?”“Maaf jika saya lancang, Tuan. Tapi Anda menjadi pokok permasalahan yang sedang terjadi. sebaiknya kita segera ke sana. mereka ada di dapur”Kembali menunduk setelah mengangkat wajah gusar. Lion melebarkan lengann
Hanya sebentar ....Sesuatu yang Rose rasa mustahil bisa dipercaya. Ntah kali ke berapa dia menarik napas, menelan rasa kecewa harus bermandikan bulir yang bermunculan di tubuhnya. Di bawah sana, getaran vibrator masih menyala-nyala. Rose tidak memberi reaksi apa pun, cukup menatap dinding di depannya setengah kosong. Terlalu lama menerima rangsangan—sejak Theo masih di tempat yang sama, menyebabkan titik sensitivitas Rose melemah. Apa susahnya saat sebelum pergi, Theo menuruti permintaan kecil Rose? Dia merasa dihinakan oleh keputusan yang Theo buat secara sepihak. Tidakkah pria itu memikirkan risiko besar yang mungkin akan terjadi? Bahkan Rose mulai merasakan perbedaan antara sebelum dan sesudah menerima benda asing itu masuk ke dalam tubuhnya.“Berengsek.”Sekuat tenaga Rose berontak, berusaha membebaskan diri dari belenggu yang mengikat. Gemerincing rantai saling bersahut—isyarat atas tindakan yang Rose lakukan berakhir sia – sia. Hanya menyebabkan rasa sakit dengan harapan yang
“Kau sudah melakukannya sekali. Artinya kau bisa. Just do it. Don’t worry. I’ll smile, once you whip me.” Benar-benar keputusan yang berat. Rose ingin merasakan kebebasan. Namun, tidak dengan cara menyakiti orang lain. Dia terjebak dalam dilema besar. Maju dan mundur seperti tidak ada bedanya. Terlalu buruk jika harus mempertahankan satu di antara yang satu. Haruskah dia menyakiti ayah dari janin yang dikandungnya?“Sangat tidak sulit bagimu mengambil keputusan, Rose.”Netra cokelat Rose terpejam erat. Pergi dan bertahan tidak akan menjadi pilihan sulit, kalau saja Theo mempersilakannya melangkahkan kaki secara percuma, tanpa melibatkan adegan kekerasan yang merugikan kedua belah pihak.“Aku akan hitung sampai tiga. Lakukan sebelum aku berubah pikiran, Rose. Atau kau ingin menjadi budakku selama sisa hidupmu?”“Satu.”“Rose.”Peringatan Theo teramat dingin. Rose tak punya pilihan selain mengangkat lengan ke atas, kemudian menyambit ujung cemeti hingga meninggalkan bekas garis kemeraha
“Bisa – bisanya kau melakukan ini, Afi! Ibu tidak pernah mengajarimu berbohong. Apa yang kau pikirkan sebelum menuduh tuan-mu yang tidak tidak, huh!”Sambitan tali pinggang menghujami tubuh Afilia secara beruntun. Sekuat tenaga Beatrace melampiaskan amarah, kecewa dan rasa malu yang mencabik – cabik harga diri. Bodohnya dia mempercayai sebagaimana tuduhan yang dilayangkan Afilia. Namun, ketika kebenaran terbukti, Beatrace seperti disambar gelagak petir. Harusnya dari awal dia mempertahankan keyakinan ... Theo tidak akan pernah melakukan tindakan tercela pada putri tunggalnya. Pria itu sudah bersedia membiayai pendidikan Afilia sampai ke jenjang perguruan tinggi, apalagi yang bisa Beatrace katakan? “Buang jauh – jauh perasaanmu, kau sangat tidak pantas bersanding di samping tuan. Ingat derajatmu tidak lebih dari anak seorang pembantu.”“Aku mengerti, Ibu. Berhenti, aku mohon. Aku tidak akan mengulanginya lagi.”Pertama kali menginjakkan kaki di ruang eksekusi. Afilia sadar semua perala
Kepergian Zever secara tiba – tiba cukup membekas di benak Rose. Saat itu dia dan Travis diam memperhatikan punggung milik dua orang yang menjauh. Rose tak berani mengatakan apa pun kala dia sendiri menyadari Travis seketika meninggalkannya—Travis menunduk dan Rose harap pria itu baik – baik saja, lantas ikut menyusul dengan langkah hati – hati membawa bayi kembarnya masuk ke dalam gedung mansion.Dua jam usai kejadian di taman belakang, dan setelah menidurkan anak – anak Rose segera menyusul keberadaan Zever. Lewat pesan – pesan yang diberikan kepada Lion, Rose tentu memantau apa pun yang terjadi di luar. Termasuk menanyakan bagaimana kondisi Travis. Pria itu sudah bersikap seperti semula, tetapi satu yang bermasalah. Zever di ruang tamu dengan riak wajah begitu dingin dan manik mata kelabu yang menatap setengah kosong menyusun sambungan miniatur di atas meja.Berulang kali Rose menarik napas sekadar memantapkan diri duduk di samping suaminya.“Zever,” panggil Rose ingin memastikan p
“Aku sudah selesai, Theo. Sekarang giliranmu—“ Pikir Rose, setelah keluar dari kamar mandi sekaligus mengganti pakaian di sana. Dia akan menemukan Theo menjaga ketiga bayi mereka dengan posisi semestinya, tetapi tubuh besar itu—dalam tidur menyampingnya seolah lebih lelap dari ketiga bayi yang memejam tenang. Kelelahan. Begitu yang Rose tafsirkan, karena hari – hari belakangan ini Theo sering sekali menyibukkan diri di tengah malam—menjaga bayi – bayi mereka, sementara Rose dipaksa untuk tetap beristirahat. Senyum Rose tipis sambil mengusap puncak kepala Theo. Hanya sesaat dia beralih pada tiga bayi kembarnya untuk dipindahkan ke dalam troli. Rose akan membawa mereka untuk berjalan – jalan di taman belakang. Selesai memindahkan dia kembali mendekati Theo sekadar menutup tubuh suaminya dengan selimut tebal. “Kami pergi dulu.” Singkat Rose mengecup sudut wajah Theo. Dia mendorong troli dengan hati – hati menuju lift. Rose sudah tahu di mana letaknya, cukup tersembunyi—dan Theo memang
“Aku mendapat cucu yang banyak.”Tawa O’Douglas pecah persis seperti kapten bajak laut yang baru saja menemukan harta karun bersejarah. Masing – masing lengan pria paruh baya itu mengapit dua bayi mungil, sementara bayi mungil yang lain berada di dekapan Verasco—yang terus menimang, sesekali mendekatkan bayi – bayi tersebut dengan guyonan ringan.Ntah apa yang bisa Rose katakan ketika menyaksikan anak – anaknya langsung diserbu begitu Verasco dan O’Douglas masuk ke ruang rawat. Dia baru selesai menyusui, sehingga bayi – bayi yang kekenyangan hanya akan tidur sepanjang hari, dan tidak merepotkan kedua kakek mereka.“Kau dari tadi tak pernah berhenti menatapku,” ucap Rose pelan. Sering kali Theo menyorot wajahnya, tetapi saat ini manik kelabu itu membinarkan sesuatu yang berbeda. Begitu penuh cinta dan sebagian tak bisa Rose tafsirkan dengan benar. Bagaimana mungkin Rose tahan dibidik sedemikian lamat. Theo harus, sekali saja, berpaling darinya.“Terima kasih, Sugar.”Sentuhan lembut di
Rose tak menyangka Theo akan membawanya sampai ke pulau Ortogia, pusat sejarah Kota Sirakusa, Sisilia, untuk menikmati keindahan laut Mediterania. Aroma – aroma di tepi laut itu memberi keindahan yang menyejukkan. Rose bahkan tak melupakan bahwa Theo tidak sekali pun melepaskan tubuhnya di pundak lebar pria tersebut setelah menyusuri sepanjang gedung – gedung tua di pulau – pulau Ortogia.“Ini rumah siapa?” tanya Rose memandangi sebuah bangunan kokoh yang seperti dikhususkan untuk ditinggali dua orang.“Rumah kita.”Tidak banyak yang dapat Rose katakan, kecuali menyematkan wajahnya dalam – dalam di ceruk leher Theo. Aroma maskulin itu masih sangat menguak, bahkan usai sepanjang hari mereka memberikan jamuan kepada para tamu, seakan – akan cairan parfum pun sangat betah menjamah kulit liat Theo.“Mau langsung tidur atau mandi dulu, Sugar?”Di depan sebuah pintu Theo menghentikan langkah sekaligus membiarkan Rose berpijak di atas lantai. Antara ragu dan butuh sesuatu yang segar akhirnya
“Sudah siap?”Rose mengangguk saat Theo bicara di atas puncak kepalanya. Dia memang berdiri membelakangi Theo, memegang ganggang pisau pemotong kue yang panjang, sementara jemari besar Theo menggenggam hangat tiap – tiap buku tangannya.Kue bertingkat – tingkat itu, atau tak jauh berbeda dengan menara rapuh sedang terbelah. Irisan mata pisau perlahan menurun ke bawah menjadi simbol ketajaman. Rose tersenyum nyaris meleburkan tawa ketika Theo membisikkan sesuatu yang lucu untuknya, yang lucu tapi tak akan Rose beritahu pada siapa pun. Biar dia menyimpan sendiri dan menjadikan itu momen menyenangkan yang penting.Setelah potongan kue pertama seharusnya Rose dan Theo saling memberi suapan. Alih – alih demikian Theo sebaliknya mencongkel krim dan segera mengoleskan ke bibir bawah Rose. Wajah Rose tampak berepotan, namun itulah yang Theo inginkan. Dia merampas bibir Rose seperti merampas kue yang sangat lezat.Manis dari campuran gula dan mentega seakan membuat Theo tak pernah puas. Dia mem
“Sudah. Aku sudah kenyang.”Lagi – lagi Rose harus menahan diri saat jemari besar Theo berusaha menyingkirkan semangkok bubur putih di tangannya.“Sedikit lagi, Theo. Kau harus menghabiskan buburmu.”“Ayo.”Sesendok bubur kembali Rose dekatkan, tetapi wajah itu menolak.“Jangan memaksaku makan bubur yang tidak enak, Sugar. Rasanya hambar.”“Makanya kalau makan sambil lihat aku, biar ada rasanya.”“Satu suapan lagi. Aku janji setelah ini selesai.”“Aku tidak percaya. Kau mengatakan itu sejak tadi, apa kau tidak ingat?”Rose menyengir lebar benar – benar mengelabuhi Theo. Pria itu persis anak kecil yang kehilangan nafsu makan. Sulit sekali dibujuk untuk membuka mulut.“Kali ini aku serius yang terakhir. Ahk ... buka yang lebar.”Rose pikir Theo akan segera menerima suapan darinya. Pria itu justru menggerakkan siku tangan Rose, memindahkan haluan sendok ke bibir Rose sendiri.“Kau juga harus makan.”“Tadi aku sudah makan,” bantah Rose, tetap saja dia tak bisa menyangkal satu suapan mendar
Satu hari setelah Theo sadar akhirnya Rose memutuskan kembali sejenak ke rumah, tempat di mana dia pernah tinggal seorang diri yang bersebelahan dengan restoran kecil miliknya. Saat ini tidak banyak yang Rose lakukan selain mempersiapkan diri menemui Theo di rumah sakit. Rose segera mengendarai mobil—milik ayahnya yang dipinjam. Di kursi penumpang belakang dia meletakkan sebuah kotak berukuran sedang dengan beberapa lubang di dalamnya yang dibungkus sangat cantik. Sementara di sampingnya duduk seekor anjing kecil lucu berbulu keriting dan warna putih seperti kapas. Kemarin Rose baru saja membeli ras anjing pudel tersebut di toko hewan. Tertarik. Hanya itu yang menggambar keinginan Rose membawa pulang pudel yang diberi nama Cocomelo.“Kita sudah sampai.”Rose menyiapkan tas ransel khusus untuk membawa Cocomelo di pundak, agar saat pertama kali masuk ke ruang rawat Theo tak langsung bertemu dengan Cocomelo-nya selain Rose yang akan memperlihatkan. Dan di tangannya, dia membawa kotak be
Sekembali dari kamar mandi Rose pikir akan dihadapkan pada situasi yang sama. Dia sudah mewanti dengan menunggu lebih lama di ruang lembab sampai beberapa suara dari luar meredup. Tetapi semua yang Rose perkirakan tidak benar adanya. Rembesan darah di lantai ketika dia membuka pintu sudah hilang tak berjejak. Bawahan Verasco ... bahkan Verasco itu sendiri pun sudah tak terlihat ada di sana, di ruang rawat suaminya. Hanya tersisa Lion yang menunggu sangat tenang, bersedekap dada sambil memperhatikan Theo tanpa suara.“Kau masih di sini, Lion? Di mana yang lain?” tanya Rose begitu langkahnya menyisir di sisi blankar.“Tuan Verasco meminta saya menunggu di sini, Nona.”Perhatian Lion akhirnya teralihkan. Rose menduga pria itu baru pulang dari kantor kepolisian lalu membantu Verasco dan Elijah untuk mengeksekusi George. Terkait pengkhianatan yang dilakukan George, mungkin itu menjadi kecamuk rasa waspada bagi Verasco agar lebih intoleran terhadap niat – niat terselubung dan apa pun yang ba
“Dalam perjalanan menuju rumah. Kisah mereka berakhir bahagia. Selesai.”Rose menutup buku setebal kurang lebih 400 halaman dan meletakkan buku tersebut di atas nakas. Membacakan kisah – kisah manis menjadi rutinitasnya beberapa hari terakhir. Senyum Rose tipis menatap wajah suaminya yang terbaring begitu tenang. Pagi tadi alat bantu napas baru saja dilepas menandakan kondisi Theo semakin membaik pasca kejadian tombak berdarah. Beruntung mereka segera membawa Theo untuk mendapat penanganan tepat. Tiga kali Theo harus menjalani tindakan operasi. Pria itu kehilangan banyak darah, sehingga membutuhkan transfusi secepatnya. Rose ingat beberapa perdebatan terjadi di antara mereka terkait Theo yang memiliki darah sangat langkah, bahkan Verasco pun tak berdaya tentang itu. Hanya Dara ....Demikian yang Verasco katakan saat itu dengan nada suara gemetar penuh. Seperti begitu sesal. Benar – benar menyesal, sampai akhirnya Travis menyarankan beberapa orang yang masih tertinggal di Italia untuk