“Kenapa Anda membiarkan Nona Rose pergi, Tuan? Anda tidak takut sesuatu terjadi padanya?”Di tengah aktivitas membalut luka. Travis memperhatikan riak wajah yang berubah – ubah, sesekali terlihat dingin, di waktu tertentu mendadak sangat teduh. Sorot abu – abu Theo terkadang bergerak tidak fokus, yang kemudian mengerjap ... menatap Travis tanpa kata.“Luka cambuk ini, Nona Rose yang melakukannya?” Anggukan pelan membuat sudut bibir Travis melengkung samar. “Jadi kenapa Anda membiarkan Nona Rose pergi, Tuan?” tanyanya nyaris berupa bisikan.Travis menunduk saat kilatan tajam membumbung tepat di hadapannya. Theo menghela napas, kemudian menarik kedua lengan mundur tatkala balutan perban selesai dikerjakan. “Dia memohon padaku seperti wanita putus asa. Bagaimana mungkin aku tetap menahannya di sini.”Kali pertama Theo membuka suara sejak masuk ke ruangan Travis. Wajah adonis itu menoleh ke belakang, menyorot ranjang kosong yang beberapa saat lalu menampilkan bayangan tubuh Rose. “Perse
Lima kapsul tidur tertuang di atas permukaan tapak tangan. Theo menggeser secara acak kapsul – kapsul tersebut dengan ibu jarinya, merasa ragu untuk menelan habis jumlah yang ada di sana. Dia tidak tahu apa yang membuat kecemasannya meledak – ledak. Debaran dada pun bertalu – talu hebat lebih dari biasanya. Tak bisa dimungkiri, dosis yang Travis berikan sepenuhnya tidak cukup membuat Theo terlelap seperti yang dia inginkan. Dia butuh sesuatu yang lebih, menambah jumlah kapsul sedikit lebih banyak mungkin tidak akan menjadi masalah besar.Lengan Theo terulur meraih segelas air di atas nakas. Bersiap untuk mengonsumsi kapsul tidur, sebelum seseorang menekan bibirnya.“Aku rasa kau memang ingin selamanya tidur dengan ‘tenang’,” sindir Rose penuh penekanan. Sebelah tangan yang terbebas, memisahkan tiga kapsul dengan hanya menyisakan dua di antaranya. “Itu dosis yang Travis anjurkan padamu, kecuali kalau kau tidak bisa berhitung.”Sontak sorot abu – abu itu mengerjap. Kernyitan dalam muncul
Satu kata terucap dari bibir panas itu mengakhiri aksi negosiasi yang cukup melegakan perasaan. Tubuh Rose melengkung ke atas saat hampir setiap sentuhan ringan dilakukan serupa dengan pemujaan—begitu lembut, seolah – olah dia tembikar berharga yang Theo miliki.Dengan kedua tangan terikat. Rose menyentuh surai hitam yang bertahan di area dada. Theo menyesap kedua puting yang menantang secara bergantian. Begitu pria itu mendongak, bibirnya tampak kilap di bawah kilatan cahaya.Sebelum merayakan bagian puncak. Theo membebaskan belenggu ikatan di lengan Rose, hingga jemari itu menyentuh dada kasar yang mulai ditumbuhi bulu – bulu melebar. Rasanya Rose ingin memusnahkan mereka dengan cara yang sama seperti tempo waktu lalu.“Theo.”Rose menelan ludah kasar merasakan penestrasi yang perlahan menerobos masuk—memberi rasa sesak tatkala miliknya terisi penuh. Gerakan merambat, naik, turun, lepas mengirim gelenyar nikmat yang tak bisa dimungkiri.“Kau sangat sempit,” ucap Theo, menyingkirkan s
“Dore, bangun, hey, kau sudah kesiangan. Jangan sampai aku menyirammu dengan air dingin.”Sayup – sayup suara lembut berbisik, memancing netra abu – abu yang terpejam ... terbuka secara perlahan. Cantik.Satu kata yang bisa mengubah debaran damai di dada menjadi ketukan keras tak bernama. Theo bangkit mengambil posisi waspada. Sorot abu sama seperti miliknya terasa asing bagai persakitan. Kali kedua setelah sekian tahun, wanita itu muncul menampilkan senyum paling damai dari yang terakhir dilihat. Kanapa?“Dara?”“Ya, ini aku.”Sentuhan ringan di kulit pipi Theo membekukannya dalam keterpakuan. Lama dia mendalami wajah cantik Dara. Tidak bisa mengatakan apa pun, selain mata yang memerah.“Kau merindukanku, Kakak?”Berulang kali Theo mengangguk, membenarkan apa yang Dara katakan. Spontanitas lengannya memeluk Dara seerat mungkin. Theo menenggelamkan wajah di sana, antara bahu dan ceruk leher yang terbuka.“Why?”Pertanyaan demikian terdengar begitu lirih. Dara bisa merasakan betapa tu
“Satu jam lagi jangan lupa bawakan sarapan dan susu hangat ke kamar tamu. Rose mungkin masih tidur, tapi nanti kau bisa membangunkannya.” Theo bersuara tanpa menatap lawan bicara, fokus membenarkan ujung lengan kemeja panjang yang dikenakan. Sementara Beatrace, wanita paruh baya itu hanya bisa menunduk patuh, tidak berani mengangkat wajah menatap tuannya secara langsung. Sejak kekacauan yang dilakukan Afilia, apa pun yang Beatrace kerjakan berakhir di bawah tekanan. Dia sungguh merasa sungkan atas kesalahpahaman yang terjadi. Bersyukurlah, Theo memilih tidak membesar – besarkan masalah.“Anda yakin ingin menyetir sendiri, Tuan?” tanya Lion, merasa ragu terhadap kondisi kaki yang terlihat sedikit berbeda ketika pria di sampingnya melangkah.“I’m fine. Kau kerjakan saja tugas yang aku berikan.”Tidak sepenuhnya benar, barangkali kata baik – baik saja hanya bentuk peralihan, karena memang rasa sakit terkadang menyengat di beberapa titik. Seharusnya pada tahap pemulihan, Theo tidak menga
Rentetan poin penting tercantum di rangkuman penawaran proposal tidak sepenuhnya menarik perhatian Theo. Sesekali aksanya memicing, membidik wajah seorang pria yang terlihat ragu – ragu menyesap secangkir cappucino late. Kemudian bibir itu menipis membersihkan sisa cream yang tertinggal.“Ayahku sudah kembali ke Italia?” tanya Theo seraya menutup lembaran kertas berjilid rapi.“Ya, Tuan muda.”Sebelah alis Theo terangkat tinggi. Ketegangan di antara mata yang berkedut tidak fokus membuatnya menautkan jemari dengan siku bertumpu di atas meja restoran.“Jadi, Keneddy, saat ayahku di Kanada, apa yang ditugaskan padamu hingga harus menunda dua kali pertemuan?” Theo berhenti sejenak. Membaca reaksi wajah pria yang dipanggil dengan sebutan ‘Keneddy’. Kemudian dia berdecih sinis.“Jangan menganggap kerja sama ini sebagai hubungan kekerabatan. Aku mau semua berjalan sesuai prosedur. Bentuk tim untuk mengerjakan analisis swot. Sonya akan menghubungimu mengenai informasi lebih rinci. Pekan depan
“Afi, kau dan Lion mau ke mana?”Langkah dua orang itu terhenti bertepatan pintu kamar tamu terbuka lebar. Rose dengan penampilan jauh lebih segar menautkan alis bingung. Perhatiannya terforsir penuh pada tas jinjing besar di tangan Lion, serta Afilia yang terlihat berpakaian sopan memapah tas kecil di pundak.Afilia berpaling menatap wajah tampan di sampingnya. “Kak, aku boleh bicara empat mata bersama Kak Olesya?” Pertanyaan yang sebenarnya ragu diucapkan. Afilia takut Lion akan menolak. Namun, pria itu justru mengiyakan. Memilih untuk menjauh beberapa meter dari posisinya usai berpamitan pada Rose.“Mulai hari ini aku akan tinggal di asrama, Kak. Jaga dirimu baik – baik, ya,” ucap Afilia pelan, nada getir terdengar begitu jelas. Tatap sendu yang diperlihatkan pun sama kacaunya dengan rasa sesak yang harus ditahan. Ntah bagaimana dengan lingkungan barunya nanti, Afilia harap dia bisa betah tinggal di asrama selama enam semester ke depan.“Kita baru kemarin kenal. Kenapa tidak tingga
Sudut mata kelam itu tak henti memperhatikan setiap aktivitas Rose di meja bar. Gerakan santai dan wajah yang terlihat teduh sedikit membuatnya tidak mengerti. Sudah lebih dari 10 jam, seharusnya obat yang dia berikan bekerja secara efektif, atau setidaknya Rose merasakan kontraksi hebat dan pendarahan. Namun, semua yang dia harapkan tidak pernah terjadi. Rose terlihat baik – baik saja, lalu apa yang salah? Dengan geraman tertahan, Magdalena menipiskan bibir. Dia meletakkan segelas wine di tangan ke atas pantri, kemudian mendekati Rose yang menatapnya tak kalah sinis.“Sepertinya kau mulai berani padaku, jalang. Kenapa kau melihatku begitu?” tanya Magdalena sembari berdecih tak suka.Melirik sesaat, Rose melanjutkan kegiatan menabur toping tambahan di atas waffle buatannya tak acuh. “Aku tidak pernah takut padamu, tapi aku tidak punya waktu meladeni manusia yang suka mencari masalah.”Rose melenggang pergi meninggalkan Magdalena seorang diri di dapur. Tujuannya lurus mendatangi Lion y