“Satu jam lagi jangan lupa bawakan sarapan dan susu hangat ke kamar tamu. Rose mungkin masih tidur, tapi nanti kau bisa membangunkannya.” Theo bersuara tanpa menatap lawan bicara, fokus membenarkan ujung lengan kemeja panjang yang dikenakan. Sementara Beatrace, wanita paruh baya itu hanya bisa menunduk patuh, tidak berani mengangkat wajah menatap tuannya secara langsung. Sejak kekacauan yang dilakukan Afilia, apa pun yang Beatrace kerjakan berakhir di bawah tekanan. Dia sungguh merasa sungkan atas kesalahpahaman yang terjadi. Bersyukurlah, Theo memilih tidak membesar – besarkan masalah.“Anda yakin ingin menyetir sendiri, Tuan?” tanya Lion, merasa ragu terhadap kondisi kaki yang terlihat sedikit berbeda ketika pria di sampingnya melangkah.“I’m fine. Kau kerjakan saja tugas yang aku berikan.”Tidak sepenuhnya benar, barangkali kata baik – baik saja hanya bentuk peralihan, karena memang rasa sakit terkadang menyengat di beberapa titik. Seharusnya pada tahap pemulihan, Theo tidak menga
Rentetan poin penting tercantum di rangkuman penawaran proposal tidak sepenuhnya menarik perhatian Theo. Sesekali aksanya memicing, membidik wajah seorang pria yang terlihat ragu – ragu menyesap secangkir cappucino late. Kemudian bibir itu menipis membersihkan sisa cream yang tertinggal.“Ayahku sudah kembali ke Italia?” tanya Theo seraya menutup lembaran kertas berjilid rapi.“Ya, Tuan muda.”Sebelah alis Theo terangkat tinggi. Ketegangan di antara mata yang berkedut tidak fokus membuatnya menautkan jemari dengan siku bertumpu di atas meja restoran.“Jadi, Keneddy, saat ayahku di Kanada, apa yang ditugaskan padamu hingga harus menunda dua kali pertemuan?” Theo berhenti sejenak. Membaca reaksi wajah pria yang dipanggil dengan sebutan ‘Keneddy’. Kemudian dia berdecih sinis.“Jangan menganggap kerja sama ini sebagai hubungan kekerabatan. Aku mau semua berjalan sesuai prosedur. Bentuk tim untuk mengerjakan analisis swot. Sonya akan menghubungimu mengenai informasi lebih rinci. Pekan depan
“Afi, kau dan Lion mau ke mana?”Langkah dua orang itu terhenti bertepatan pintu kamar tamu terbuka lebar. Rose dengan penampilan jauh lebih segar menautkan alis bingung. Perhatiannya terforsir penuh pada tas jinjing besar di tangan Lion, serta Afilia yang terlihat berpakaian sopan memapah tas kecil di pundak.Afilia berpaling menatap wajah tampan di sampingnya. “Kak, aku boleh bicara empat mata bersama Kak Olesya?” Pertanyaan yang sebenarnya ragu diucapkan. Afilia takut Lion akan menolak. Namun, pria itu justru mengiyakan. Memilih untuk menjauh beberapa meter dari posisinya usai berpamitan pada Rose.“Mulai hari ini aku akan tinggal di asrama, Kak. Jaga dirimu baik – baik, ya,” ucap Afilia pelan, nada getir terdengar begitu jelas. Tatap sendu yang diperlihatkan pun sama kacaunya dengan rasa sesak yang harus ditahan. Ntah bagaimana dengan lingkungan barunya nanti, Afilia harap dia bisa betah tinggal di asrama selama enam semester ke depan.“Kita baru kemarin kenal. Kenapa tidak tingga
Sudut mata kelam itu tak henti memperhatikan setiap aktivitas Rose di meja bar. Gerakan santai dan wajah yang terlihat teduh sedikit membuatnya tidak mengerti. Sudah lebih dari 10 jam, seharusnya obat yang dia berikan bekerja secara efektif, atau setidaknya Rose merasakan kontraksi hebat dan pendarahan. Namun, semua yang dia harapkan tidak pernah terjadi. Rose terlihat baik – baik saja, lalu apa yang salah? Dengan geraman tertahan, Magdalena menipiskan bibir. Dia meletakkan segelas wine di tangan ke atas pantri, kemudian mendekati Rose yang menatapnya tak kalah sinis.“Sepertinya kau mulai berani padaku, jalang. Kenapa kau melihatku begitu?” tanya Magdalena sembari berdecih tak suka.Melirik sesaat, Rose melanjutkan kegiatan menabur toping tambahan di atas waffle buatannya tak acuh. “Aku tidak pernah takut padamu, tapi aku tidak punya waktu meladeni manusia yang suka mencari masalah.”Rose melenggang pergi meninggalkan Magdalena seorang diri di dapur. Tujuannya lurus mendatangi Lion y
Ada cinta yang disebut membiarkan pergi, untuk cinta yang berakhir selamanya. Jika kepergianku membiarkanmu memiliki semua, biarkan itu membawaku tiada. Demi dirimu, demi kehilanganmu.________________________Gerakan bibir Lion terhenti. Layar ponsel yang diperlihatkan tepat di depan mata membuatnya menelan ludah kasar. Seharusnya gigitan pada potongan waffle kedua tidak memiliki masalah, hingga Theo datang dengan kondisi kuyup dan tatapan penuh intimidasi. Sorot abu itu seakan menelanjanginya sampai ke tulang – tulang. Lion tidak merasa telah mengirimkan pesan singkat, kecuali menghubungi Theo secara langsung atas permintaan Rose.Tidak.Sebisa mungkin Lion menenangkan perasaan. Meraih ponselnya sendiri, lantas memeriksa pesan yang tak pernah ada di sana. Seseorang yang mengerjainya pasti sudah menghapus jejak digital agar dia tidak menyadari hal demikian.Travis!Seketika wajah Lion berpaling penuh peringatan. “Aku hanya meninggalkanmu sebentar ke kamar mandi. Kau malah membajak po
“Pengen aja,” jawab Rose setengah berbohong. Kalau saja Theo tidak memotong ucapannya tempo waktu lalu, mungkin Rose tidak perlu menahan diri untuk mengatakan hal sederhana yang bisa membuat perasaannya sedikit lega. “Pokoknya kau harus menemaniku nonton,” lanjut Rose, mulai memosisikan ponselnya menjadi landscape.“Lain hari saja, apa tidak bisa, Sugar? Mataku sangat berat.”“Tidak. Kau tetap harus terjaga. Semalam juga kau tidak membiarkanku tidur. Sekarang giliranku.”“Tapi—““Cuma menemaniku nonton, Theo. Tidak perlu keluar tenaga. Cukup duduk manis. Lalu kenapa banyak protes?” Rose menatap tajam pria yang terdiam ... tak lagi membantah. Wajah pasrah itu menjadi hiburan tersendiri. Rose tersenyum, “Sini. Aku butuh bantal peluk,” lanjutnya tak sabaran. Dia suka bagaimana cara Theo menarik selimut tebal dan menutup tubuh keduanya. “Kita mau nonton film horror?” Theo memicing penasaran. Pertanyaan skeptis sengaja dilontarkan untuk merepresentasi tindakan Rose, yang secara tiba –
“No! Esme. Sabar sebentar. Kau bisa membuat istriku jantungan, jika kita terburu – buru masuk.”“Lepaskan aku. Geli, Esme!”“Kakiku jangan ditikam, dasar tidak sabaran.”Rose menatap langit – langit kamar tamu tak mengerti. Lengannya meraba kekosongan di samping ranjang. Tidak ada siapa pun, selain dirinya yang dibangunkan suara riuh dari luar. Semalam, setelah sepanjang waktu memikirkan jawaban untuk pertanyaannya mengenai reaksi Theo, dia harus ditidurkan oleh rasa takut hanya karena Theo berpindah posisi di saat bersamaan. Bagaimana jika apa yang Travis katakan justru sesuatu yang buruk? Rose tidak bisa membayangkan penghinaan lain yang mungkin akan dia terima.“Esme!”Nada tajam disusul gelak panjang dari orang yang sama, memancing rasa penasaran Rose makin meledak. Dia kenal betul siapa pemilik suara bariton itu. Tapi, merasa sangat asing dengan tawa bebas yang tak henti menguasai tempat.“Jika kau terus menjilatku. Istriku tidak akan kebagian jatah. Kau sangat agresif.”Istri?Ke
Basah.Tubuh Rose terendam di dalam bath up dengan busa sabun yang menutup sebatas dada. Jemarinya bergerak, mengusap permukaan bahu dan ceruk leher sekadar membersihkan bagian yang tak terjamah oleh liquid beraroma daisy. Setiap sentuhan Rose diliputi perasaan waspada. Theo di sana, bertopang dagu di pinggiran bak mandi sedang memperhatikan aktivitasnya tanpa jeda, sesekali pria itu meniupkan udara hingga beberapa busa menyingkir, menyisakan air setengah jernih, yang membuat Rose harus berulang kali menghentikan tindakan konyol tersebut.“Kau ini aneh,” ucap Rose memulai pembicaraan. Kalimatnya berhasil membuat Theo bergernyit penasaran.“Aneh?”“Iya.”“Aku pikir Esmeralda teman ranjangmu. Waktu itu kau juga tidak membela diri. Jadi sampai detik ini pun aku percaya, kalau kau seorang bajingan yang suka bermain wanita.”Ntah apa yang salah dari pernyataannya, hingga Theo meledakkan tawa. Haruskah Rose memperhitungkan kali ke berapa dalam pagi ini Theo terlihat begitu lepas?“Kenapa? A