“Pengen aja,” jawab Rose setengah berbohong. Kalau saja Theo tidak memotong ucapannya tempo waktu lalu, mungkin Rose tidak perlu menahan diri untuk mengatakan hal sederhana yang bisa membuat perasaannya sedikit lega. “Pokoknya kau harus menemaniku nonton,” lanjut Rose, mulai memosisikan ponselnya menjadi landscape.“Lain hari saja, apa tidak bisa, Sugar? Mataku sangat berat.”“Tidak. Kau tetap harus terjaga. Semalam juga kau tidak membiarkanku tidur. Sekarang giliranku.”“Tapi—““Cuma menemaniku nonton, Theo. Tidak perlu keluar tenaga. Cukup duduk manis. Lalu kenapa banyak protes?” Rose menatap tajam pria yang terdiam ... tak lagi membantah. Wajah pasrah itu menjadi hiburan tersendiri. Rose tersenyum, “Sini. Aku butuh bantal peluk,” lanjutnya tak sabaran. Dia suka bagaimana cara Theo menarik selimut tebal dan menutup tubuh keduanya. “Kita mau nonton film horror?” Theo memicing penasaran. Pertanyaan skeptis sengaja dilontarkan untuk merepresentasi tindakan Rose, yang secara tiba –
“No! Esme. Sabar sebentar. Kau bisa membuat istriku jantungan, jika kita terburu – buru masuk.”“Lepaskan aku. Geli, Esme!”“Kakiku jangan ditikam, dasar tidak sabaran.”Rose menatap langit – langit kamar tamu tak mengerti. Lengannya meraba kekosongan di samping ranjang. Tidak ada siapa pun, selain dirinya yang dibangunkan suara riuh dari luar. Semalam, setelah sepanjang waktu memikirkan jawaban untuk pertanyaannya mengenai reaksi Theo, dia harus ditidurkan oleh rasa takut hanya karena Theo berpindah posisi di saat bersamaan. Bagaimana jika apa yang Travis katakan justru sesuatu yang buruk? Rose tidak bisa membayangkan penghinaan lain yang mungkin akan dia terima.“Esme!”Nada tajam disusul gelak panjang dari orang yang sama, memancing rasa penasaran Rose makin meledak. Dia kenal betul siapa pemilik suara bariton itu. Tapi, merasa sangat asing dengan tawa bebas yang tak henti menguasai tempat.“Jika kau terus menjilatku. Istriku tidak akan kebagian jatah. Kau sangat agresif.”Istri?Ke
Basah.Tubuh Rose terendam di dalam bath up dengan busa sabun yang menutup sebatas dada. Jemarinya bergerak, mengusap permukaan bahu dan ceruk leher sekadar membersihkan bagian yang tak terjamah oleh liquid beraroma daisy. Setiap sentuhan Rose diliputi perasaan waspada. Theo di sana, bertopang dagu di pinggiran bak mandi sedang memperhatikan aktivitasnya tanpa jeda, sesekali pria itu meniupkan udara hingga beberapa busa menyingkir, menyisakan air setengah jernih, yang membuat Rose harus berulang kali menghentikan tindakan konyol tersebut.“Kau ini aneh,” ucap Rose memulai pembicaraan. Kalimatnya berhasil membuat Theo bergernyit penasaran.“Aneh?”“Iya.”“Aku pikir Esmeralda teman ranjangmu. Waktu itu kau juga tidak membela diri. Jadi sampai detik ini pun aku percaya, kalau kau seorang bajingan yang suka bermain wanita.”Ntah apa yang salah dari pernyataannya, hingga Theo meledakkan tawa. Haruskah Rose memperhitungkan kali ke berapa dalam pagi ini Theo terlihat begitu lepas?“Kenapa? A
“Biar aku saja yang melakukannya.”Dokter pria itu terdiam, memperhatikan seraut wajah dingin yang menyorotnya tajam dan penuh intimidasi. Terkadang, tatapan pria berseragam putih berpindah, memberi Rose isyarat tak mengerti. Theo terlihat seperti singa yang siap menikamnya, sekali saja dia bergerak mendekati Rose yang berbaring di atas blankar.“Aku bilang, aku saja, berikan gel itu padaku.”“Tapi, Tuan. Prosedur seperti ini seharusnya dilakukan tim medis.”“Aku tidak peduli. Berikan padaku—““Theo! Kau ini kenapa? Daripada kau berbuat onar di sini, lebih baik kau tunggu di luar,” potong Rose setengah dongkol. Proses pemeriksaan tidak akan berjalan lancar, jika Theo terus menghentikan aktivitas dokter yang siap mengoleskan gel di permukaan perutnya.“Aku tidak mau dia menyentuhmu. Apa susahnya berikan gel itu padaku, lalu aku yang akan menggantikannya.”“Yang benar saja, Theo. Dokter menyentuh pasien, karena itu sudah tugas mereka. Lagipula setiap pekerjaan sudah ada kode etiknya. Ke
“Kau bilang lapar.”Sejak tadi Theo memilih diam. Kini kalimat pembuka darinya terucap tatkala waiters pergi usai menyajikan pesanan di atas meja, yang membuat Rose mengendikkan bahu tak acuh. “Ya, memangnya kenapa?” tanya Rose, Sesekali menatap ke sekeliling gedung restoran.“Es krim bisa bikin kenyang?”“Tidak.”Kembali fokus. Suapan pertama Rose diakhiri gelengan samar.“Lalu?”“Anakmu maunya es krim.”Theo memicing. Gestur dan ekspresi yang Rose tunjukkan jelas mengatakan sesuatu yang berbeda. “Ada yang kau sembunyikan, Rose?” Sesaat wajah Rose menunduk. Demikian pula pertanyaan Theo menciptakan dentuman yang bertalu hebat di dadanya. Mengapa untuk saat saat seperti ini, Theo sangat mudah mengenali situasi?Rose mendesah kasar. Jemarinya saling mengepal erat. Kemudian dia mendongak, tersenyum tipis—rupanya Theo masih menatapnya intens. “Apa yang kau pikirkan? Aku tidak menyembunyikan apa pun. Sudah kubilang anakmu maunya es krim, kenapa curiga? Kau mengira ini bukan anakmu?” tanya
Bayangan akan senyum indah itulah, yang begitu tak terduga dan anehnya menular. Rose masih terus mengingat sesuatu yang baru, meski hanya sesaat. Dalam benaknya, tak ada yang lebih menyenangkan daripada merasa damai oleh sikap, yang memperlakukannya seperti rengkuhan hangat yang tersalur begitu lekat. Jemari itu masih mengusap permukaan tubuh Rose penuh perasaan, diikuti kecupan bibir yang membekas pada pundak terbuka. Namun, membelakangi pria dengan sejutan pesona.Pejaman mata Rose turut bertahan lama—menikmati sisa – sisa rayuan yang dibuat semeledak gencatan panas sejak mereka memasuki kamar hotel, demi sama – sama melupakan kekacauan, demi sama – sama meluapkan keinginan.Satu kali menyerahkan diri, katanya waktu itu, tak lagi berlaku ke mana pun Theo menawarkan nikmat atas nama ‘bercinta’. Rose tidak bisa membantah, jika dia terjerat dalam kegiatan yang pernah begitu dia tolak, apalagi bersama seorang pria yang kian masuk lebih dalam—mengambil alih kenyataan, mengatur semua yang
Lima jam bukan waktu yang singkat, jika harus berdiam diri di dalam kamar—menunggu kedatangan sesiapa yang Theo informasikan. Meski tidak tahu pasti ke mana arah tujuannya ... Rose nekat memesan taksi online—menyeberangi hiruk pikuk kepadatan Kota Milan dengan berbekal cukup lembaran euro, dan kartu debit pemberian Theo, sebelum pria itu benar – benar meninggalkan Rose seorang diri. Dan bila Rose mengalami keperluan mendesak. Masih dengan perjalanan tanpa tujuan, perhatian Rose tertuju pada kertas berbahan thermal—hasil sonografi janinnya. Dia tersenyum, mengusap permukaan gambar berupa piksel tak terbaca. Hanya satu—Rose tidak mengandung dua seperti yang pernah terbesit dalam pikiran. Rasanya agak menyesal pernah menolak sesuatu yang belum menjadi kenyataan. Jika reaksi Theo berbanding jauh dari ekspektasi, mengandung tiga pun Rose tidak masalah.“Kendalikan dirimu, Rose!”Berulang kali Rose menepuk wajah pelan, nyaris tak bisa menahan diri. Kemudian menatap fokus ke luar jendela—men
Usapan lembut dari puncak kepala merambat turun, menyentuh permukaan kulit wajah yang terlihat polos tanpa polesan make-up. Theo menipiskan bibir. Tindakan itu berbanding jauh dari ekspresi yang terlampau dingin tak terbaca. Nyaris sepanjang hari dia tersulut emosi, hingga mencari pelampiasan untuk mengontrol amarah tak terbendung karena satu alasan.Beberapa waktu lalu sebelum kembali ke hotel, tepatnya usai mengirim pesan singkat untuk Rose—dia tidak sengaja menekan pop-up notifikasi yang berturut – turut masuk ketika mendapat beberapa pesan baru. Sialnya, hal itu berakhir pada dua kiriman foto dari nomor tidak dikenal, yang sebenarnya sudah Theo abaikan sejak dia melakukan rapat teknis selama berjam – jam di ruang meeting.Tidak ada yang salah seharusnya. Kalau saja, foto itu tidak menunjukkan kemesraan Rose bersama seorang pria di ruang terbuka. Dia marah—bahkan menghancurkan ponsel tidak bersalah menjadi keping – keping tak bersisa, tanpa berpikir untuk meretasnya. Dua foto denga