“Kau bilang lapar.”Sejak tadi Theo memilih diam. Kini kalimat pembuka darinya terucap tatkala waiters pergi usai menyajikan pesanan di atas meja, yang membuat Rose mengendikkan bahu tak acuh. “Ya, memangnya kenapa?” tanya Rose, Sesekali menatap ke sekeliling gedung restoran.“Es krim bisa bikin kenyang?”“Tidak.”Kembali fokus. Suapan pertama Rose diakhiri gelengan samar.“Lalu?”“Anakmu maunya es krim.”Theo memicing. Gestur dan ekspresi yang Rose tunjukkan jelas mengatakan sesuatu yang berbeda. “Ada yang kau sembunyikan, Rose?” Sesaat wajah Rose menunduk. Demikian pula pertanyaan Theo menciptakan dentuman yang bertalu hebat di dadanya. Mengapa untuk saat saat seperti ini, Theo sangat mudah mengenali situasi?Rose mendesah kasar. Jemarinya saling mengepal erat. Kemudian dia mendongak, tersenyum tipis—rupanya Theo masih menatapnya intens. “Apa yang kau pikirkan? Aku tidak menyembunyikan apa pun. Sudah kubilang anakmu maunya es krim, kenapa curiga? Kau mengira ini bukan anakmu?” tanya
Bayangan akan senyum indah itulah, yang begitu tak terduga dan anehnya menular. Rose masih terus mengingat sesuatu yang baru, meski hanya sesaat. Dalam benaknya, tak ada yang lebih menyenangkan daripada merasa damai oleh sikap, yang memperlakukannya seperti rengkuhan hangat yang tersalur begitu lekat. Jemari itu masih mengusap permukaan tubuh Rose penuh perasaan, diikuti kecupan bibir yang membekas pada pundak terbuka. Namun, membelakangi pria dengan sejutan pesona.Pejaman mata Rose turut bertahan lama—menikmati sisa – sisa rayuan yang dibuat semeledak gencatan panas sejak mereka memasuki kamar hotel, demi sama – sama melupakan kekacauan, demi sama – sama meluapkan keinginan.Satu kali menyerahkan diri, katanya waktu itu, tak lagi berlaku ke mana pun Theo menawarkan nikmat atas nama ‘bercinta’. Rose tidak bisa membantah, jika dia terjerat dalam kegiatan yang pernah begitu dia tolak, apalagi bersama seorang pria yang kian masuk lebih dalam—mengambil alih kenyataan, mengatur semua yang
Lima jam bukan waktu yang singkat, jika harus berdiam diri di dalam kamar—menunggu kedatangan sesiapa yang Theo informasikan. Meski tidak tahu pasti ke mana arah tujuannya ... Rose nekat memesan taksi online—menyeberangi hiruk pikuk kepadatan Kota Milan dengan berbekal cukup lembaran euro, dan kartu debit pemberian Theo, sebelum pria itu benar – benar meninggalkan Rose seorang diri. Dan bila Rose mengalami keperluan mendesak. Masih dengan perjalanan tanpa tujuan, perhatian Rose tertuju pada kertas berbahan thermal—hasil sonografi janinnya. Dia tersenyum, mengusap permukaan gambar berupa piksel tak terbaca. Hanya satu—Rose tidak mengandung dua seperti yang pernah terbesit dalam pikiran. Rasanya agak menyesal pernah menolak sesuatu yang belum menjadi kenyataan. Jika reaksi Theo berbanding jauh dari ekspektasi, mengandung tiga pun Rose tidak masalah.“Kendalikan dirimu, Rose!”Berulang kali Rose menepuk wajah pelan, nyaris tak bisa menahan diri. Kemudian menatap fokus ke luar jendela—men
Usapan lembut dari puncak kepala merambat turun, menyentuh permukaan kulit wajah yang terlihat polos tanpa polesan make-up. Theo menipiskan bibir. Tindakan itu berbanding jauh dari ekspresi yang terlampau dingin tak terbaca. Nyaris sepanjang hari dia tersulut emosi, hingga mencari pelampiasan untuk mengontrol amarah tak terbendung karena satu alasan.Beberapa waktu lalu sebelum kembali ke hotel, tepatnya usai mengirim pesan singkat untuk Rose—dia tidak sengaja menekan pop-up notifikasi yang berturut – turut masuk ketika mendapat beberapa pesan baru. Sialnya, hal itu berakhir pada dua kiriman foto dari nomor tidak dikenal, yang sebenarnya sudah Theo abaikan sejak dia melakukan rapat teknis selama berjam – jam di ruang meeting.Tidak ada yang salah seharusnya. Kalau saja, foto itu tidak menunjukkan kemesraan Rose bersama seorang pria di ruang terbuka. Dia marah—bahkan menghancurkan ponsel tidak bersalah menjadi keping – keping tak bersisa, tanpa berpikir untuk meretasnya. Dua foto denga
Masalah apa yang bisa dipecahkan air mata? Rose berusaha tidak melibatkan rasa sakit dari pernyataan Theo, sejak dia membanting dan melangkah keluar dari mobil yang membawanya tiba di mansion lebih awal.Tak ingin bermuluk – muluk, Rose hanya menyesali satu peristiwa di mana Theo tidak mengutarakan permintaan maaf, sekali pun pria itu sudah mengetahui fakta mengenai Sirea. Ntah ke mana perginya, yang jelas mesin mobil dipaksa kembali memacu cepat meninggalkan Rose, yang memilih masuk ke kamar tamu—menenangkan diri dari beberapa hal, yang membuat perasaan hancur lebur. Puncaknya, Rose tidak mengerti bagaimana cara menjabarkan posisi sebagai seseorang yang dinikahi tanpa resepsi. Bagaimana dia tidak tahu telah dijebak sebegitu rinci. Haruskah Rose mengajukan sebuah gugatan terhadap hubungan yang tidak didasari pondasi seperti hubungannya bersama Theo? Status pernikahan mereka, resmi-kah di mata agama?Rose menggeleng samar. Dia terlalu naif, jika berpikir semua dilakukan sebaik mungkin.
Mobil dengan kemampuan menembus kecepatan hingga 400km/jam itu mendadak terhenti. Tubuh Theo tertahan. Setir dicengkeram begitu kuat. Dia menatap nyalang pantulan wajah di depan kaca spion. Kemarahan masih berkumpul di netra abunya—betapa bodoh, telah mempercayai foto kiriman, yang berhasil memporak – porandakan ketenangan yang dimiliki.Sejak Rose menyebut nama Sirea, bukan tentang foto mesra itu lagi yang Theo pedulikan. Sirea tidak pernah bekerja di perusahaannya. Tetapi wanita itu mempunyai keterikatan bersama seseorang yang Theo yakini merupakan dalang dari kesalahpahaman yang dituduhkan pada Rose.Tidak tahu rencana seperti apa yang Magdalena gencarkan sebelumnya. Theo cukup salut, bagaimana dua bersepupu itu, Magdalena dan Sirea, bekerja sama, membuat hubungannya bersama Rose menjadi renggang. Atau jika Theo harus berperspektif, Sirea ditugaskan untuk menyamar menjadi seseorang yang bisa mendekati Rose.Nyaris berhasil. Theo tidak mungkin membiarkan Sirea, dan lelaki yang menjad
“Apa untungnya kau menjebakku dalam pernikahan?”Pria itu akhirnya berdecih. “Apa untungku? Aku mendapatkanmu, that’s all what I deserve.” Betapa bangga wajah Theo tersenyum keji saat dia berbalik menatap Rose. “Tapi tidak apa – apa, aku tidak akan menghentikanmu, jika kau ingin mengakhiri semuanya. Maksudku, tidak apa – apa, kalau kau ingin bercerai. Asal harus sabar. Setelah aku dan wanita sialan itu selesai, dan aku memperkenalkanmu pada ayahku. Kau bisa langsung mengajukan gugatanmu ke pengadilan, Lion akan mendampingimu.“Apa memang begitu kebiasaan manusia berlimpah harta? Bagi mereka, cerai bukan perkara rumit. Saat ada sesuatu yang tidak sesuai kesepakatan, atau ada hal lainnya yang tidak masuk dalam jalur yang saling bersinggungan dengan mahligai keharmonisan.Mereka mudah melontarkan kata ‘berpisah’, seolah satu dan disatukan, merupakan sesuatu yang tak memiliki nilai kehormatan. Rose menuding Theo dengan tatapan menusuk. “Cerai dan menjadi jandamu, begitu?” tanyanya, amarah
Asing dan tak saling bicara. Sejak Rose meminta Theo untuk tidak menunjukkan wajah di hadapannya. Pria itu benar – benar tidak pernah terlihat. Tidak pernah ada di mana pun keberadaan posisi Rose. Sampai saat ini, lima hari hubungan mereka tidak baik – baik saja. Di atas meja makan terasa sepi, hanya ada Beatrace yang sibuk dengan urusan di dapur. Rose sudah menawarkan diri membantu wanita paruh baya itu, tapi penolakan demi penolakan selalu Rose terima. Tentu dengan alasan yang sama.Napas Rose berembus kasar, tidak tahu bagaimana cara menikmati sarapan pagi di hadapannya dengan benar. Semua masih terasa aneh, dia tidak ingin terjelembab lebih jauh. Meski benaknya terus bertanya – tanya, di mana Magdalena usai kejadian malam itu. Semua orang yang ditemui diam saat dia mengutarakan langsung rasa ingin tahunya, tapi hal itu tak menutup kemungkinan Rose, tidak mengetahui sikap tak acuh Theo mengenai perbuatan Magdalena. Lion sedikit keceplosan saat Rose mengadili pria tersebut atas keb
Kepergian Zever secara tiba – tiba cukup membekas di benak Rose. Saat itu dia dan Travis diam memperhatikan punggung milik dua orang yang menjauh. Rose tak berani mengatakan apa pun kala dia sendiri menyadari Travis seketika meninggalkannya—Travis menunduk dan Rose harap pria itu baik – baik saja, lantas ikut menyusul dengan langkah hati – hati membawa bayi kembarnya masuk ke dalam gedung mansion.Dua jam usai kejadian di taman belakang, dan setelah menidurkan anak – anak Rose segera menyusul keberadaan Zever. Lewat pesan – pesan yang diberikan kepada Lion, Rose tentu memantau apa pun yang terjadi di luar. Termasuk menanyakan bagaimana kondisi Travis. Pria itu sudah bersikap seperti semula, tetapi satu yang bermasalah. Zever di ruang tamu dengan riak wajah begitu dingin dan manik mata kelabu yang menatap setengah kosong menyusun sambungan miniatur di atas meja.Berulang kali Rose menarik napas sekadar memantapkan diri duduk di samping suaminya.“Zever,” panggil Rose ingin memastikan p
“Aku sudah selesai, Theo. Sekarang giliranmu—“ Pikir Rose, setelah keluar dari kamar mandi sekaligus mengganti pakaian di sana. Dia akan menemukan Theo menjaga ketiga bayi mereka dengan posisi semestinya, tetapi tubuh besar itu—dalam tidur menyampingnya seolah lebih lelap dari ketiga bayi yang memejam tenang. Kelelahan. Begitu yang Rose tafsirkan, karena hari – hari belakangan ini Theo sering sekali menyibukkan diri di tengah malam—menjaga bayi – bayi mereka, sementara Rose dipaksa untuk tetap beristirahat. Senyum Rose tipis sambil mengusap puncak kepala Theo. Hanya sesaat dia beralih pada tiga bayi kembarnya untuk dipindahkan ke dalam troli. Rose akan membawa mereka untuk berjalan – jalan di taman belakang. Selesai memindahkan dia kembali mendekati Theo sekadar menutup tubuh suaminya dengan selimut tebal. “Kami pergi dulu.” Singkat Rose mengecup sudut wajah Theo. Dia mendorong troli dengan hati – hati menuju lift. Rose sudah tahu di mana letaknya, cukup tersembunyi—dan Theo memang
“Aku mendapat cucu yang banyak.”Tawa O’Douglas pecah persis seperti kapten bajak laut yang baru saja menemukan harta karun bersejarah. Masing – masing lengan pria paruh baya itu mengapit dua bayi mungil, sementara bayi mungil yang lain berada di dekapan Verasco—yang terus menimang, sesekali mendekatkan bayi – bayi tersebut dengan guyonan ringan.Ntah apa yang bisa Rose katakan ketika menyaksikan anak – anaknya langsung diserbu begitu Verasco dan O’Douglas masuk ke ruang rawat. Dia baru selesai menyusui, sehingga bayi – bayi yang kekenyangan hanya akan tidur sepanjang hari, dan tidak merepotkan kedua kakek mereka.“Kau dari tadi tak pernah berhenti menatapku,” ucap Rose pelan. Sering kali Theo menyorot wajahnya, tetapi saat ini manik kelabu itu membinarkan sesuatu yang berbeda. Begitu penuh cinta dan sebagian tak bisa Rose tafsirkan dengan benar. Bagaimana mungkin Rose tahan dibidik sedemikian lamat. Theo harus, sekali saja, berpaling darinya.“Terima kasih, Sugar.”Sentuhan lembut di
Rose tak menyangka Theo akan membawanya sampai ke pulau Ortogia, pusat sejarah Kota Sirakusa, Sisilia, untuk menikmati keindahan laut Mediterania. Aroma – aroma di tepi laut itu memberi keindahan yang menyejukkan. Rose bahkan tak melupakan bahwa Theo tidak sekali pun melepaskan tubuhnya di pundak lebar pria tersebut setelah menyusuri sepanjang gedung – gedung tua di pulau – pulau Ortogia.“Ini rumah siapa?” tanya Rose memandangi sebuah bangunan kokoh yang seperti dikhususkan untuk ditinggali dua orang.“Rumah kita.”Tidak banyak yang dapat Rose katakan, kecuali menyematkan wajahnya dalam – dalam di ceruk leher Theo. Aroma maskulin itu masih sangat menguak, bahkan usai sepanjang hari mereka memberikan jamuan kepada para tamu, seakan – akan cairan parfum pun sangat betah menjamah kulit liat Theo.“Mau langsung tidur atau mandi dulu, Sugar?”Di depan sebuah pintu Theo menghentikan langkah sekaligus membiarkan Rose berpijak di atas lantai. Antara ragu dan butuh sesuatu yang segar akhirnya
“Sudah siap?”Rose mengangguk saat Theo bicara di atas puncak kepalanya. Dia memang berdiri membelakangi Theo, memegang ganggang pisau pemotong kue yang panjang, sementara jemari besar Theo menggenggam hangat tiap – tiap buku tangannya.Kue bertingkat – tingkat itu, atau tak jauh berbeda dengan menara rapuh sedang terbelah. Irisan mata pisau perlahan menurun ke bawah menjadi simbol ketajaman. Rose tersenyum nyaris meleburkan tawa ketika Theo membisikkan sesuatu yang lucu untuknya, yang lucu tapi tak akan Rose beritahu pada siapa pun. Biar dia menyimpan sendiri dan menjadikan itu momen menyenangkan yang penting.Setelah potongan kue pertama seharusnya Rose dan Theo saling memberi suapan. Alih – alih demikian Theo sebaliknya mencongkel krim dan segera mengoleskan ke bibir bawah Rose. Wajah Rose tampak berepotan, namun itulah yang Theo inginkan. Dia merampas bibir Rose seperti merampas kue yang sangat lezat.Manis dari campuran gula dan mentega seakan membuat Theo tak pernah puas. Dia mem
“Sudah. Aku sudah kenyang.”Lagi – lagi Rose harus menahan diri saat jemari besar Theo berusaha menyingkirkan semangkok bubur putih di tangannya.“Sedikit lagi, Theo. Kau harus menghabiskan buburmu.”“Ayo.”Sesendok bubur kembali Rose dekatkan, tetapi wajah itu menolak.“Jangan memaksaku makan bubur yang tidak enak, Sugar. Rasanya hambar.”“Makanya kalau makan sambil lihat aku, biar ada rasanya.”“Satu suapan lagi. Aku janji setelah ini selesai.”“Aku tidak percaya. Kau mengatakan itu sejak tadi, apa kau tidak ingat?”Rose menyengir lebar benar – benar mengelabuhi Theo. Pria itu persis anak kecil yang kehilangan nafsu makan. Sulit sekali dibujuk untuk membuka mulut.“Kali ini aku serius yang terakhir. Ahk ... buka yang lebar.”Rose pikir Theo akan segera menerima suapan darinya. Pria itu justru menggerakkan siku tangan Rose, memindahkan haluan sendok ke bibir Rose sendiri.“Kau juga harus makan.”“Tadi aku sudah makan,” bantah Rose, tetap saja dia tak bisa menyangkal satu suapan mendar
Satu hari setelah Theo sadar akhirnya Rose memutuskan kembali sejenak ke rumah, tempat di mana dia pernah tinggal seorang diri yang bersebelahan dengan restoran kecil miliknya. Saat ini tidak banyak yang Rose lakukan selain mempersiapkan diri menemui Theo di rumah sakit. Rose segera mengendarai mobil—milik ayahnya yang dipinjam. Di kursi penumpang belakang dia meletakkan sebuah kotak berukuran sedang dengan beberapa lubang di dalamnya yang dibungkus sangat cantik. Sementara di sampingnya duduk seekor anjing kecil lucu berbulu keriting dan warna putih seperti kapas. Kemarin Rose baru saja membeli ras anjing pudel tersebut di toko hewan. Tertarik. Hanya itu yang menggambar keinginan Rose membawa pulang pudel yang diberi nama Cocomelo.“Kita sudah sampai.”Rose menyiapkan tas ransel khusus untuk membawa Cocomelo di pundak, agar saat pertama kali masuk ke ruang rawat Theo tak langsung bertemu dengan Cocomelo-nya selain Rose yang akan memperlihatkan. Dan di tangannya, dia membawa kotak be
Sekembali dari kamar mandi Rose pikir akan dihadapkan pada situasi yang sama. Dia sudah mewanti dengan menunggu lebih lama di ruang lembab sampai beberapa suara dari luar meredup. Tetapi semua yang Rose perkirakan tidak benar adanya. Rembesan darah di lantai ketika dia membuka pintu sudah hilang tak berjejak. Bawahan Verasco ... bahkan Verasco itu sendiri pun sudah tak terlihat ada di sana, di ruang rawat suaminya. Hanya tersisa Lion yang menunggu sangat tenang, bersedekap dada sambil memperhatikan Theo tanpa suara.“Kau masih di sini, Lion? Di mana yang lain?” tanya Rose begitu langkahnya menyisir di sisi blankar.“Tuan Verasco meminta saya menunggu di sini, Nona.”Perhatian Lion akhirnya teralihkan. Rose menduga pria itu baru pulang dari kantor kepolisian lalu membantu Verasco dan Elijah untuk mengeksekusi George. Terkait pengkhianatan yang dilakukan George, mungkin itu menjadi kecamuk rasa waspada bagi Verasco agar lebih intoleran terhadap niat – niat terselubung dan apa pun yang ba
“Dalam perjalanan menuju rumah. Kisah mereka berakhir bahagia. Selesai.”Rose menutup buku setebal kurang lebih 400 halaman dan meletakkan buku tersebut di atas nakas. Membacakan kisah – kisah manis menjadi rutinitasnya beberapa hari terakhir. Senyum Rose tipis menatap wajah suaminya yang terbaring begitu tenang. Pagi tadi alat bantu napas baru saja dilepas menandakan kondisi Theo semakin membaik pasca kejadian tombak berdarah. Beruntung mereka segera membawa Theo untuk mendapat penanganan tepat. Tiga kali Theo harus menjalani tindakan operasi. Pria itu kehilangan banyak darah, sehingga membutuhkan transfusi secepatnya. Rose ingat beberapa perdebatan terjadi di antara mereka terkait Theo yang memiliki darah sangat langkah, bahkan Verasco pun tak berdaya tentang itu. Hanya Dara ....Demikian yang Verasco katakan saat itu dengan nada suara gemetar penuh. Seperti begitu sesal. Benar – benar menyesal, sampai akhirnya Travis menyarankan beberapa orang yang masih tertinggal di Italia untuk