Asing dan tak saling bicara. Sejak Rose meminta Theo untuk tidak menunjukkan wajah di hadapannya. Pria itu benar – benar tidak pernah terlihat. Tidak pernah ada di mana pun keberadaan posisi Rose. Sampai saat ini, lima hari hubungan mereka tidak baik – baik saja. Di atas meja makan terasa sepi, hanya ada Beatrace yang sibuk dengan urusan di dapur. Rose sudah menawarkan diri membantu wanita paruh baya itu, tapi penolakan demi penolakan selalu Rose terima. Tentu dengan alasan yang sama.Napas Rose berembus kasar, tidak tahu bagaimana cara menikmati sarapan pagi di hadapannya dengan benar. Semua masih terasa aneh, dia tidak ingin terjelembab lebih jauh. Meski benaknya terus bertanya – tanya, di mana Magdalena usai kejadian malam itu. Semua orang yang ditemui diam saat dia mengutarakan langsung rasa ingin tahunya, tapi hal itu tak menutup kemungkinan Rose, tidak mengetahui sikap tak acuh Theo mengenai perbuatan Magdalena. Lion sedikit keceplosan saat Rose mengadili pria tersebut atas keb
[Forgive me].Charlotte mendesah. Itu adalah pernyataan terakhir Sean sejak pria itu tak lagi mengirimnya pesan. Hilang. Charlotte tidak mendapat kabar apa pun, sama seperti rindu yang dimiliki turut dipaksa tenggelam. Dia tidak ingin bermuluk - muluk, hanya berharap Sean berjuang lebih keras untuk mendapatkan hatinya kembali. Sayangnya Charlotte merasa Sean menyerah sebelum dia berhasil memantapkan diri dari dilema besar. Pria yang tidak menginginkan anaknya, apa pantas Charlotte maafkan dengan cara mudah? Tidak. Lupakan Sean untuk sementara. Charlotte menjatuhkan diri di atas ranjang dingin yang membekukan. Dia menatap langit – langit kamar dengan perasaan gelisah. Siapa sangka pria seperti Verasco, memiliki kesibukan dari kelihatannya. Verasco nyaris tak pernah ada di mansion besar, tempat Charlotte bernaung saat ini. Dia bisa menyamakan bagian dalam bangunan besar itu seperti gedung tak berpenghuni. Sepi. Kecuali, pengawasan ketat yang ada di luar. Cukup membuat Charlotte berpik
Rose terdiam. Otak dan tubuhnya, seakan tidak saling terhubung. Dia masih tidak bergerak, mematung di hadapan pria, yang terlihat berbeda dari terakhir kali mereka bertemu. Rasanya seperti terperangkap dalam distorsi sensorik. Udara di sekeliling Rose dipenuhi ketegangan menyakitkan. Dia hanya ingin membakar 15 tangkai mawar, yang diterima dari tangan ke tangan selama lima hari berturut – turut. Namun, kesiapannya harus terhalang ketika Theo masuk dengan langkah berjuntai – juntai. Bahkan tidak menatap Rose, saat dia memiliki kesempatan memalingkan wajah.“Ini pemantik apinya, Nona—“ Sama seperti Rose. Beatrace terhenti tatkala menyadari Theo berada di sana—berdiri dengan riak wajah tak terbaca. Hampir tidak pernah bertemu, sedikit perubahan itu tampak terlihat jelas.“Selamat siang, Tuan.” Beatrace memberanikan diri menyapa. Anggukan yang dia terima, diakhiri kepergian Theo dengan langkah yang begitu tegas. Beatrace turut menatap ke mana arah kepergian tuannya. Lalu berpaling pada Ros
Adiknya. Itu sudah jelas. Rose tidak perlu menunjukkan reaksi berlebih, tetapi masih ada satu hal yang membuatnya diliputi rasa penasaran—apa dan bagaimana. Dia semakin mendekat, selangkah lagi ... maka jarak di antara mereka lenyap.Tubuh setengah telanjang Theo tidak menjadi masalah. Rose menyentuh permukaan dada itu pelan—sedikit demi sedikit berkenalan dengan pahatan kulit hingga deretan otot perutnya. Napas Theo memberat. Rose bisa merasakan ketika dia menegadah, memperhatikan betapa sorot abu itu berkabut luka, sekaligus gairah.“I so fucking miss you, Rose.”Pernyataan Theo seperti sebuah lullaby, Rose dipaksa tidur sekadar lepas dari pikiran buruk. Dia menepis jemari besar Theo saat merasakan cekalan pelan di lengannya. “Aku masih punya satu pertanyaan lain, dan jangan berpikir aku sudah memaafkanmu saat kau sendiri tidak melakukannya.”“Apa yang membuat Dara pergi? Aku yakin kau tahu maksudku.”Sentuhan Rose beralih pada rahang tegas di hadapannya. Sekali lagi dia membenarkan
“Lion, I need your help!”Tidak ada yang perlu dijelaskan. Rose butuh Lion untuk kembali mendobrak pintu kamar Dara. Dia sudah menunggu, berpikir Theo akan keluar setelah semuanya selesai. Sampai keributan sedikit mereda, Rose tidak mendapat apa – apa. Sekali pun Theo tidak merespons usaha yang dia lakukan. Cukup aneh, Rose tidak mengerti mengapa kalimat singkat darinya begitu berpengaruh. Ombak seakan menerjang hubungan mereka yang sedang disandung batu kerikil. Mereka tidak pernah baik – baik saja, seperti dua orang yang tidak pantas bersama.Kalau Rose tidak cukup lancang mengusik masa lalu Theo. Mungkin tidak akan terjadi kerumitan seperti ini. Dia tidak menyangka, Theo memiliki emosi lebih dari yang pernah dia lihat.“Ayo, Lion, cepat!”Terus menarik membawa Lion menuju tempat seharusnya. Rose menahan napas, semakin merasa kacau saat mendengar bunyi pecahan yang sama, bahkan lebih parah.“Theo ada di dalam. Cepat dobrak pintunya,” ucap Rose setengah mendesak. Mereka harus cepat, a
Di balik wajah yang terbenam di ceruk leher hangat itu. Ada semburat warna kemerahan yang tidak bisa ditahan kemunculannya. Tidak jauh berbeda dengan reaksi yang dia tunjukkan, Rose menyadari tubuh Theo membeku ... hingga merasakan sebuah usapan menyeluruh di punggungnya secara pelan.“Kau yakin, Sugar?” Theo menyentuh Rose begitu hati – hati. Memuja setiap pahatan lekuk tubuh wanitanya. Atau sebenarnya dia sedang menetralkan keterkejutan yang Rose ciptakan. Theo sama sekali tidak mempercayai apa pun, cukup sulit, tapi tidak bisa menolak bentuk pernikahan yang Rose inginkan. “Kapan kau ingin melakukan pemberkatan?” Pertanyaan Theo menjadi pemicu dari debaran yang terasa nyata. Rose gelagapan, tidak pernah berpikir Theo akan sesingkat itu menyetujui permintaannya. “Kapan?” Dia mengulang kembali satu kata di awal, yang merupakan bayangan paling jauh dari ingatan Rose.“Ya, kapan kau ingin melakukan pemberkatan?”Rose memperhatikan wajah Theo lamat – lamat, mencari tahu sesuatu di sana
“Theo?”Rose terbangun dengan kondisi bertanya – tanya. Dalam tidurnya, dia memimpikan keributan yang begitu nyata. Bunyi sayup – sayup, bahkan masih terasa menggaung, membentuk sebuah trigger di kepala. Rose bergerak memosisikan diri duduk bersandar pelan. Sejak keributan kemarin, hingga situasi menjadi lebih baik—Rose harus dihadapkan sikap Theo yang tidak pernah melepaskannya. Namun, kali ini berbeda, Theo tidak ditemukan di sisi ranjang. Seingat Rose, sebelum dia terlelap. Pria itu masih fokus memainkan laptop di atas pangkuan.“Ampun, Tuan. Saya tidak akan mengulanginya lagi.”Samar – samar lirih ketakutan menarik atensi Rose. Seharusnya di tengah malam seperti ini, tidak ada bunyi yang masih merambat sebagai pancaran gelombang, dan ditangkap langsung oleh pendengarannya. Tapi suara bariton khas milik Theo, semakin menambah rasa penasaran yang Rose miliki.Dia segera beranjak, pelan – pelan menuju pintu keluar. Di tengah keremangan dengan jarak tidak cukup jauh. Rose dapat meliha
Siapa yang dapat membantu Rose menyembunyikan wajah di hadapan tamu undangan? Situasi di atas altar tegang tak terelak. Baru beberapa detik dia merasa pasrah melantunkan kesiapannya atas janji pernikahan, menyebut nama Theo sebagai pasangan seumur hidup. Sekarang decak kagum beberapa orang membuatnya tidak bisa menahan diri. Ragu – ragu netra Rose berpendar, memperhatikan wajah – wajah di sana. Harus ada sebuah pembenaran, bahwa acara pemberkatan hanya bagian dari sebuah formalitas. Mereka yang duduk tegun merupakan orang – orang yang Theo miliki. Tidak sesiapa pun yang bisa Rose perkirakan asing. Bahkan Bridgette, tidak menjadi bagian dari acaranya hari ini. Rose berpaling menatap Theo tajam. Pria yang tidak dapat diharapkan—hancur semua impian Rose karena kegilaannya. Rose merasa sedikit menyesal telah mengambil keputusan yang membuatnya turut kehilangan muka.“Berikan tanganmu, Sugar. Kau membuat semua orang menunggu.”Wajah tidak berdosa itu tersenyum manis, meraih jemari Rose dan