Buku ini akan aku usahakan bisa tamat di sini sampai akhir, ya (akan aku usahakan). Karena ada plot besar, sangat disayangkan kalau cuma setengah jalan.
“Theo?”Rose terbangun dengan kondisi bertanya – tanya. Dalam tidurnya, dia memimpikan keributan yang begitu nyata. Bunyi sayup – sayup, bahkan masih terasa menggaung, membentuk sebuah trigger di kepala. Rose bergerak memosisikan diri duduk bersandar pelan. Sejak keributan kemarin, hingga situasi menjadi lebih baik—Rose harus dihadapkan sikap Theo yang tidak pernah melepaskannya. Namun, kali ini berbeda, Theo tidak ditemukan di sisi ranjang. Seingat Rose, sebelum dia terlelap. Pria itu masih fokus memainkan laptop di atas pangkuan.“Ampun, Tuan. Saya tidak akan mengulanginya lagi.”Samar – samar lirih ketakutan menarik atensi Rose. Seharusnya di tengah malam seperti ini, tidak ada bunyi yang masih merambat sebagai pancaran gelombang, dan ditangkap langsung oleh pendengarannya. Tapi suara bariton khas milik Theo, semakin menambah rasa penasaran yang Rose miliki.Dia segera beranjak, pelan – pelan menuju pintu keluar. Di tengah keremangan dengan jarak tidak cukup jauh. Rose dapat meliha
Siapa yang dapat membantu Rose menyembunyikan wajah di hadapan tamu undangan? Situasi di atas altar tegang tak terelak. Baru beberapa detik dia merasa pasrah melantunkan kesiapannya atas janji pernikahan, menyebut nama Theo sebagai pasangan seumur hidup. Sekarang decak kagum beberapa orang membuatnya tidak bisa menahan diri. Ragu – ragu netra Rose berpendar, memperhatikan wajah – wajah di sana. Harus ada sebuah pembenaran, bahwa acara pemberkatan hanya bagian dari sebuah formalitas. Mereka yang duduk tegun merupakan orang – orang yang Theo miliki. Tidak sesiapa pun yang bisa Rose perkirakan asing. Bahkan Bridgette, tidak menjadi bagian dari acaranya hari ini. Rose berpaling menatap Theo tajam. Pria yang tidak dapat diharapkan—hancur semua impian Rose karena kegilaannya. Rose merasa sedikit menyesal telah mengambil keputusan yang membuatnya turut kehilangan muka.“Berikan tanganmu, Sugar. Kau membuat semua orang menunggu.”Wajah tidak berdosa itu tersenyum manis, meraih jemari Rose dan
“Kau jauh – jauh mengajakku dari Milan ke Toronto cuma ambil benda di tanganmu itu, Sugar?”Theo memperhatikan gerak tubuh Rose sejak awal menginjakkan kaki keluar dari kamar apartemen. Langkah tidak biasa itu, beberapa kali nyaris tak dapat menahan keseimbangan. Tatapan sayu dan wajah pucat Rose tidak pernah luput dari perhatian Theo. Dia turut mengambil langkah lebar, meraih tubuh Rose masuk ke dalam dekapannya dengan mudah.“Ini akibatnya tidak mau dengar perintahku. Kau sedang mengandung, tidak seharusnya kelelahan seperti ini.” Nada bicara Theo tegas, membawa tubuh Rose menuju pintu keluar.“Apa kita tidak bisa istirahat satu malam di sini?”“Di sini banyak debu. Tidak baik untuk kesehatanmu. Lagipula aku sudah memintamu tidur selama di perjalanan, tapi kau tidak mau dengar.”“Itu karena aku tidak mau kau mengambil kesempatan dalam kesempitan,” gumam Rose diakhiri dengan wajah yang tenggelam di ceruk leher Theo. Aroma tubuh menyenangkan itu sesekali membuat netranya memejam. Memb
Sulur – sulur embusan angin seperti seriosa yang menggema di pendengaran Rose. Dia memperhatikan lamat – lamat dua gedung terpisah, salah satunya merupakan paviliun yang dibangun di atas permukaan air laut. Sementara gedung utama, hampir keseluruhan bangunan terbuat dari kaca tembus pandang, menjulang tinggi beberapa meter dari bibir pantai.Langkah Rose beriringan bersama pria yang menuntunnya melewati jembatan gantung. Ntah apa tujuan Theo membawanya menuju paviliun. Mereka seharusnya mempersiapkan segala sesuatu sebelum benar – benar tinggal di vila untuk beberapa hari ke depan.“Apa kau tidak ingin membereskan barang – barangmu? Aku lihat mereka membawa tiga koper,” tanya Rose, sesekali berpaling menatap tiga orang pria yang berjalan tegas, memasuki gedung di seberang daratan.“Mereka akan menyiapkan semuanya. Aku sudah bilang, kau hanya perlu menikmati fasilitas yang sudah tersedia.”“Tapi aku rasa ini terlalu berlebihan, Theo. Kita punya kaki dan tangan, bisa mengerjakan sendiri
Rose memutar bola mata malas saat mendengar suara bersin untuk ketiga kalinya dari orang yang sama usai menghirup aroma pedas, yang menguar dari spagetti setengah jadi miliknya. Rose hanya perlu memisahkan beberapa bagian untuk ‘level tidak sepedas’ seperti yang Theo inginkan, atau bagiannya sendiri. Lalu menambahkan bumbu cabe dan mengaduk spagetti tersebut hingga merata.“Lama sekali, Sugar!” protes dari meja bar lantas menarik Rose untuk berbalik badan.“Membantuku saja kau tidak bisa. Jadi jangan banyak bicara, duduk manis di sana. Tunggu aku selesai dengan porsi besarmu!” ucap Rose jengkel. Masih ingat setiap detail jawaban Theo ketika dia meminta pria itu mengambil andil untuk menyiapkan makanan.‘Tidak bisa menyalakan kompor.’Manusia ajaib itu hanya bisa menyalahkan hasrat dan amarah! Sama sekali tidak ada manfaatnya di meja dapur, kecuali menunggu hidangan disajikan. Wajah tidak sabaran, yang bahkan bisa Rose lihat dengan jelas, tak ubahnya membuat wanita itu kembali fokus pad
“Di mana pakaian normalku?”Emosi Rose meluap – luap, mendatangi pria yang sibuk berhadapan dengan layar monitor di ruang tengah. Sikapnya tak acuh—masih duduk santai, menyanggah punggung di sandaran sofa dan laptop di atas pangkuan. Hanya menatap Rose sesaat, kemudian kembali fokus pada layar yang sedang menyala – nyala.“Kau mendadak jadi robot kalau sudah tenggelam di depan laptop!” timpal Rose. Melempar beberapa lingerie dari genggaman tangan hingga mendarat tepat sasaran. Dia sukses membuat tubuh Theo tersentak oleh keberadaan kain tipis yang bersarang di wajah adonis itu.Alih – alih marah. Hal yang Theo lakukan justru menimbulkan efek kemerahan di kedua pipi Rose. Merah persis seperti warna menyala dari salah satu lingerie yang terhampar lebar di depan matanya. Theo sialan, pria itu sengaja memperjelas bentuk daripada ukuran lingerie dengan mengangkat benda tersebut tinggi – tinggi. “Ini pas di tubuhmu. Terus apa yang salah?”“Apa yang salah? Kau pasti sengaja menyiapkan semua
Napas Rose berkali – kali berembus kasar. Dia melangkah hati – hati menyusuri pinggiran kolam renang, memikirkan beberapa kalimat Bridgette, yang membuat perasaannya berpacu tidak pasti. Rose tidak berusaha percaya. Namun, fakta mengenai Xelle ‘yang begitu bajingan’ tidak akan pernah Rose lupakan. Dia masih mengingat perkataan Bridgette pada sambungan telepon tadi pagi, ‘sifat Xelle berubah pesat dalam beberapa jangka waktu tertentu. Tidak bisa dikendalikan seperti Xelle yang sudah – sudah, bahkan di luar dari masalah kesehatan mentalnya’. Mungkin itu bukan urusan Rose, tapi bagaimana jika Xelle menyakiti Bridgette dengan artian yang bahkan tidak bisa dianalogikan?“Sugar.”Tubuh Rose terlonjak mendapat panggilan dari atas balkon, lantai dua. Dia menegadah tinggi, tapi tidak lebih cepat dari tubuh yang telah hilang. “Apa yang kau lakukan di sana, Sugar?”Lagi. Rose terkesiap, berbalik menatap Theo tidak percaya. Secepat itu Theo menyusulnya?“Kau ini jalan apa terbang? Cepat sekali!”
“Kalian bisa pergi sekarang.”Nada tegas Verasco meninggalkan bekas kernyitan di dahi Theo, yang hanya bisa menatap dari layar monitor. Meski berada di luar jangkauan sekadar bertatap muka, Theo tidak melewatkan kesempatan ikut serta pertemuan kerja sama dengan menjadi anggota virtual. Anehnya, di akhir penutupan dia merasa Verasco sudah mengincarnya. Atau seharusnya Verasco orang pertama yang meninggalkan ruang rapat, tapi pria itu masih bertahan di sana. Menyorot wajah Theo dengan pandangan tak teralihkan.“Long time no see, Son. Kau terlihat bahagia.”Netra abu Theo setengah menyipit, memperhatikan lamat – lamat setiap gestur pria paruh baya di depannya dari tampilan layar. Dia tidak pernah mendapat sapaan sehangat itu. Terlebih bukan kebiasaan Verasco sekadar mengomentari apa yang sedang dia rasakan dan tidak. “Do I owe you something?” Theo memberi jawaban dengan pertanyaan. “Aku tidak suka basa – basi. Kau mau apa?” lanjutnya. Namun, mendapat tawa menggelegar, hingga gelak Verasc