Sulur – sulur embusan angin seperti seriosa yang menggema di pendengaran Rose. Dia memperhatikan lamat – lamat dua gedung terpisah, salah satunya merupakan paviliun yang dibangun di atas permukaan air laut. Sementara gedung utama, hampir keseluruhan bangunan terbuat dari kaca tembus pandang, menjulang tinggi beberapa meter dari bibir pantai.Langkah Rose beriringan bersama pria yang menuntunnya melewati jembatan gantung. Ntah apa tujuan Theo membawanya menuju paviliun. Mereka seharusnya mempersiapkan segala sesuatu sebelum benar – benar tinggal di vila untuk beberapa hari ke depan.“Apa kau tidak ingin membereskan barang – barangmu? Aku lihat mereka membawa tiga koper,” tanya Rose, sesekali berpaling menatap tiga orang pria yang berjalan tegas, memasuki gedung di seberang daratan.“Mereka akan menyiapkan semuanya. Aku sudah bilang, kau hanya perlu menikmati fasilitas yang sudah tersedia.”“Tapi aku rasa ini terlalu berlebihan, Theo. Kita punya kaki dan tangan, bisa mengerjakan sendiri
Rose memutar bola mata malas saat mendengar suara bersin untuk ketiga kalinya dari orang yang sama usai menghirup aroma pedas, yang menguar dari spagetti setengah jadi miliknya. Rose hanya perlu memisahkan beberapa bagian untuk ‘level tidak sepedas’ seperti yang Theo inginkan, atau bagiannya sendiri. Lalu menambahkan bumbu cabe dan mengaduk spagetti tersebut hingga merata.“Lama sekali, Sugar!” protes dari meja bar lantas menarik Rose untuk berbalik badan.“Membantuku saja kau tidak bisa. Jadi jangan banyak bicara, duduk manis di sana. Tunggu aku selesai dengan porsi besarmu!” ucap Rose jengkel. Masih ingat setiap detail jawaban Theo ketika dia meminta pria itu mengambil andil untuk menyiapkan makanan.‘Tidak bisa menyalakan kompor.’Manusia ajaib itu hanya bisa menyalahkan hasrat dan amarah! Sama sekali tidak ada manfaatnya di meja dapur, kecuali menunggu hidangan disajikan. Wajah tidak sabaran, yang bahkan bisa Rose lihat dengan jelas, tak ubahnya membuat wanita itu kembali fokus pad
“Di mana pakaian normalku?”Emosi Rose meluap – luap, mendatangi pria yang sibuk berhadapan dengan layar monitor di ruang tengah. Sikapnya tak acuh—masih duduk santai, menyanggah punggung di sandaran sofa dan laptop di atas pangkuan. Hanya menatap Rose sesaat, kemudian kembali fokus pada layar yang sedang menyala – nyala.“Kau mendadak jadi robot kalau sudah tenggelam di depan laptop!” timpal Rose. Melempar beberapa lingerie dari genggaman tangan hingga mendarat tepat sasaran. Dia sukses membuat tubuh Theo tersentak oleh keberadaan kain tipis yang bersarang di wajah adonis itu.Alih – alih marah. Hal yang Theo lakukan justru menimbulkan efek kemerahan di kedua pipi Rose. Merah persis seperti warna menyala dari salah satu lingerie yang terhampar lebar di depan matanya. Theo sialan, pria itu sengaja memperjelas bentuk daripada ukuran lingerie dengan mengangkat benda tersebut tinggi – tinggi. “Ini pas di tubuhmu. Terus apa yang salah?”“Apa yang salah? Kau pasti sengaja menyiapkan semua
Napas Rose berkali – kali berembus kasar. Dia melangkah hati – hati menyusuri pinggiran kolam renang, memikirkan beberapa kalimat Bridgette, yang membuat perasaannya berpacu tidak pasti. Rose tidak berusaha percaya. Namun, fakta mengenai Xelle ‘yang begitu bajingan’ tidak akan pernah Rose lupakan. Dia masih mengingat perkataan Bridgette pada sambungan telepon tadi pagi, ‘sifat Xelle berubah pesat dalam beberapa jangka waktu tertentu. Tidak bisa dikendalikan seperti Xelle yang sudah – sudah, bahkan di luar dari masalah kesehatan mentalnya’. Mungkin itu bukan urusan Rose, tapi bagaimana jika Xelle menyakiti Bridgette dengan artian yang bahkan tidak bisa dianalogikan?“Sugar.”Tubuh Rose terlonjak mendapat panggilan dari atas balkon, lantai dua. Dia menegadah tinggi, tapi tidak lebih cepat dari tubuh yang telah hilang. “Apa yang kau lakukan di sana, Sugar?”Lagi. Rose terkesiap, berbalik menatap Theo tidak percaya. Secepat itu Theo menyusulnya?“Kau ini jalan apa terbang? Cepat sekali!”
“Kalian bisa pergi sekarang.”Nada tegas Verasco meninggalkan bekas kernyitan di dahi Theo, yang hanya bisa menatap dari layar monitor. Meski berada di luar jangkauan sekadar bertatap muka, Theo tidak melewatkan kesempatan ikut serta pertemuan kerja sama dengan menjadi anggota virtual. Anehnya, di akhir penutupan dia merasa Verasco sudah mengincarnya. Atau seharusnya Verasco orang pertama yang meninggalkan ruang rapat, tapi pria itu masih bertahan di sana. Menyorot wajah Theo dengan pandangan tak teralihkan.“Long time no see, Son. Kau terlihat bahagia.”Netra abu Theo setengah menyipit, memperhatikan lamat – lamat setiap gestur pria paruh baya di depannya dari tampilan layar. Dia tidak pernah mendapat sapaan sehangat itu. Terlebih bukan kebiasaan Verasco sekadar mengomentari apa yang sedang dia rasakan dan tidak. “Do I owe you something?” Theo memberi jawaban dengan pertanyaan. “Aku tidak suka basa – basi. Kau mau apa?” lanjutnya. Namun, mendapat tawa menggelegar, hingga gelak Verasc
Malam semakin larut, yang Rose sangkakan akan membawa pria itu kembali. Seharusnya tidak butuh waktu lama saat Theo pergi bersama amarah. ‘Dia’ seharusnya sudah berada di hadapan Rose, seperti kebiasaan yang tak pernah lepas dari tingkah gilanya. Namun, sampai deburan ombak meraung – meraung keras. Meraung – raung dengan rambatan menggelitik pendengaran. Tidak pernah ada di mana satu titik pun Theo memperlihatkan diri.Napas Rose berembus kasar, menatap pemandangan tembus pandang dari dinding kaca. Air laut adalah gambaran dari perasaan Rose. Terombang ambing oleh elemen sekitar. Theo tahu Rose takut sendiri di tempat asing saat tengah malam. Melangkah pada sepetak jarak sekadar menutup gorden pun, dia harus mencengkeram erat pinggiran ranjang. Bayangan gelap seakan menghantui isi kepala. Rose tidak bisa mengatakan apa pun, bahwa dia begitu ingin pergi mencari keberadaan Theo. Nahas, tubuhnya beku. Tak berkutik. Tak bergerak. Hanya berharap pintu kamar terbuka menampilkan wajah yang te
Dua koper sudah tersusun rapi. Tersisa bagian terakhir, berisi pakaian Theo, setelah koper pertama dipenuhi lingeri dan yang kedua, berukuran sedang, tertata rapi kepentingan ‘pribadi’ pria tersebut—beberapa berupa senjata api, sisanya alat – alat kecil, tampak mahal. Namun, Rose tidak mengerti apa dan bagaimana kegunaannya. Dia tidak berusaha mencari tahu. Tidak ingin memenuhi isi kepalanya dengan hal – hal yang mustahil dia ketahui. Theo sudah biasa memegang senjata seperti itu, apa lagi yang perlu Rose tanyakan, selain kenyataan yang tidak bisa ditolak. Theo berbahaya. Dan itu benar.Napas Rose berembus. Sesekali berpaling ke belakang. Theo masih tenggelam dalam lelap yang tidak bisa Rose ceritakan. Malam penuh lautan ketidaksadaran, menghantarkan kembali mimpi – mimpi buruk. Nama yang sama. Kesakitan tak jauh berbeda. Terus terpanggil di antara racauan dan tubuh yang memberontak hebat. Bersyukur, Rose bisa mengendalikan situasi, membawa Theo kembali pada ketenangan dengan dekapan
“I got you.”Rose menarik diri mundur usai mendapat sesuatu, yang jarang berakhir sebagai kesempatan baginya. Menjadikan Theo objek tangkapan gambar. Itu jelas merupakan hal mustahil saat Theo dalam keadaan waspada. Kaos ‘kitty pa’, yang pas di tubuh, tampak serasi dengan ekspresi mencolok, yang sialnya masih begitu tampan.Senyum Rose melebar puas. Wajah Theo seperti dipenuhi dendam saat sedang menatapnya.“Hapus fotonya, Sugar!”“Tidak. Tidak. Tidak. Dalam mimpimu,” jawab Rose setengah mengejek. Dia mengulik ponselnya cepat. Gambar langka Theo, ntah harus dikemanakan. Rose tidak yakin akan bertahan lama, jika membiarkannya terkubur dalam galeri. Menyebar luaskan ke salah satu akun social media, mungkin bukan ide yang buruk.“Hapus tidak fotonya!”Nada penuh peringatan tidak akan bisa mengecam Rose. Lebih tepatnya dia menyingkir ketika lengan Theo terulur, berusaha meraih ponsel dalam genggaman tangan. Tinggal menekan tombol ‘posting’, maka semuanya selesai.“Sudah aku upload.”Kekeh
Kepergian Zever secara tiba – tiba cukup membekas di benak Rose. Saat itu dia dan Travis diam memperhatikan punggung milik dua orang yang menjauh. Rose tak berani mengatakan apa pun kala dia sendiri menyadari Travis seketika meninggalkannya—Travis menunduk dan Rose harap pria itu baik – baik saja, lantas ikut menyusul dengan langkah hati – hati membawa bayi kembarnya masuk ke dalam gedung mansion.Dua jam usai kejadian di taman belakang, dan setelah menidurkan anak – anak Rose segera menyusul keberadaan Zever. Lewat pesan – pesan yang diberikan kepada Lion, Rose tentu memantau apa pun yang terjadi di luar. Termasuk menanyakan bagaimana kondisi Travis. Pria itu sudah bersikap seperti semula, tetapi satu yang bermasalah. Zever di ruang tamu dengan riak wajah begitu dingin dan manik mata kelabu yang menatap setengah kosong menyusun sambungan miniatur di atas meja.Berulang kali Rose menarik napas sekadar memantapkan diri duduk di samping suaminya.“Zever,” panggil Rose ingin memastikan p
“Aku sudah selesai, Theo. Sekarang giliranmu—“ Pikir Rose, setelah keluar dari kamar mandi sekaligus mengganti pakaian di sana. Dia akan menemukan Theo menjaga ketiga bayi mereka dengan posisi semestinya, tetapi tubuh besar itu—dalam tidur menyampingnya seolah lebih lelap dari ketiga bayi yang memejam tenang. Kelelahan. Begitu yang Rose tafsirkan, karena hari – hari belakangan ini Theo sering sekali menyibukkan diri di tengah malam—menjaga bayi – bayi mereka, sementara Rose dipaksa untuk tetap beristirahat. Senyum Rose tipis sambil mengusap puncak kepala Theo. Hanya sesaat dia beralih pada tiga bayi kembarnya untuk dipindahkan ke dalam troli. Rose akan membawa mereka untuk berjalan – jalan di taman belakang. Selesai memindahkan dia kembali mendekati Theo sekadar menutup tubuh suaminya dengan selimut tebal. “Kami pergi dulu.” Singkat Rose mengecup sudut wajah Theo. Dia mendorong troli dengan hati – hati menuju lift. Rose sudah tahu di mana letaknya, cukup tersembunyi—dan Theo memang
“Aku mendapat cucu yang banyak.”Tawa O’Douglas pecah persis seperti kapten bajak laut yang baru saja menemukan harta karun bersejarah. Masing – masing lengan pria paruh baya itu mengapit dua bayi mungil, sementara bayi mungil yang lain berada di dekapan Verasco—yang terus menimang, sesekali mendekatkan bayi – bayi tersebut dengan guyonan ringan.Ntah apa yang bisa Rose katakan ketika menyaksikan anak – anaknya langsung diserbu begitu Verasco dan O’Douglas masuk ke ruang rawat. Dia baru selesai menyusui, sehingga bayi – bayi yang kekenyangan hanya akan tidur sepanjang hari, dan tidak merepotkan kedua kakek mereka.“Kau dari tadi tak pernah berhenti menatapku,” ucap Rose pelan. Sering kali Theo menyorot wajahnya, tetapi saat ini manik kelabu itu membinarkan sesuatu yang berbeda. Begitu penuh cinta dan sebagian tak bisa Rose tafsirkan dengan benar. Bagaimana mungkin Rose tahan dibidik sedemikian lamat. Theo harus, sekali saja, berpaling darinya.“Terima kasih, Sugar.”Sentuhan lembut di
Rose tak menyangka Theo akan membawanya sampai ke pulau Ortogia, pusat sejarah Kota Sirakusa, Sisilia, untuk menikmati keindahan laut Mediterania. Aroma – aroma di tepi laut itu memberi keindahan yang menyejukkan. Rose bahkan tak melupakan bahwa Theo tidak sekali pun melepaskan tubuhnya di pundak lebar pria tersebut setelah menyusuri sepanjang gedung – gedung tua di pulau – pulau Ortogia.“Ini rumah siapa?” tanya Rose memandangi sebuah bangunan kokoh yang seperti dikhususkan untuk ditinggali dua orang.“Rumah kita.”Tidak banyak yang dapat Rose katakan, kecuali menyematkan wajahnya dalam – dalam di ceruk leher Theo. Aroma maskulin itu masih sangat menguak, bahkan usai sepanjang hari mereka memberikan jamuan kepada para tamu, seakan – akan cairan parfum pun sangat betah menjamah kulit liat Theo.“Mau langsung tidur atau mandi dulu, Sugar?”Di depan sebuah pintu Theo menghentikan langkah sekaligus membiarkan Rose berpijak di atas lantai. Antara ragu dan butuh sesuatu yang segar akhirnya
“Sudah siap?”Rose mengangguk saat Theo bicara di atas puncak kepalanya. Dia memang berdiri membelakangi Theo, memegang ganggang pisau pemotong kue yang panjang, sementara jemari besar Theo menggenggam hangat tiap – tiap buku tangannya.Kue bertingkat – tingkat itu, atau tak jauh berbeda dengan menara rapuh sedang terbelah. Irisan mata pisau perlahan menurun ke bawah menjadi simbol ketajaman. Rose tersenyum nyaris meleburkan tawa ketika Theo membisikkan sesuatu yang lucu untuknya, yang lucu tapi tak akan Rose beritahu pada siapa pun. Biar dia menyimpan sendiri dan menjadikan itu momen menyenangkan yang penting.Setelah potongan kue pertama seharusnya Rose dan Theo saling memberi suapan. Alih – alih demikian Theo sebaliknya mencongkel krim dan segera mengoleskan ke bibir bawah Rose. Wajah Rose tampak berepotan, namun itulah yang Theo inginkan. Dia merampas bibir Rose seperti merampas kue yang sangat lezat.Manis dari campuran gula dan mentega seakan membuat Theo tak pernah puas. Dia mem
“Sudah. Aku sudah kenyang.”Lagi – lagi Rose harus menahan diri saat jemari besar Theo berusaha menyingkirkan semangkok bubur putih di tangannya.“Sedikit lagi, Theo. Kau harus menghabiskan buburmu.”“Ayo.”Sesendok bubur kembali Rose dekatkan, tetapi wajah itu menolak.“Jangan memaksaku makan bubur yang tidak enak, Sugar. Rasanya hambar.”“Makanya kalau makan sambil lihat aku, biar ada rasanya.”“Satu suapan lagi. Aku janji setelah ini selesai.”“Aku tidak percaya. Kau mengatakan itu sejak tadi, apa kau tidak ingat?”Rose menyengir lebar benar – benar mengelabuhi Theo. Pria itu persis anak kecil yang kehilangan nafsu makan. Sulit sekali dibujuk untuk membuka mulut.“Kali ini aku serius yang terakhir. Ahk ... buka yang lebar.”Rose pikir Theo akan segera menerima suapan darinya. Pria itu justru menggerakkan siku tangan Rose, memindahkan haluan sendok ke bibir Rose sendiri.“Kau juga harus makan.”“Tadi aku sudah makan,” bantah Rose, tetap saja dia tak bisa menyangkal satu suapan mendar
Satu hari setelah Theo sadar akhirnya Rose memutuskan kembali sejenak ke rumah, tempat di mana dia pernah tinggal seorang diri yang bersebelahan dengan restoran kecil miliknya. Saat ini tidak banyak yang Rose lakukan selain mempersiapkan diri menemui Theo di rumah sakit. Rose segera mengendarai mobil—milik ayahnya yang dipinjam. Di kursi penumpang belakang dia meletakkan sebuah kotak berukuran sedang dengan beberapa lubang di dalamnya yang dibungkus sangat cantik. Sementara di sampingnya duduk seekor anjing kecil lucu berbulu keriting dan warna putih seperti kapas. Kemarin Rose baru saja membeli ras anjing pudel tersebut di toko hewan. Tertarik. Hanya itu yang menggambar keinginan Rose membawa pulang pudel yang diberi nama Cocomelo.“Kita sudah sampai.”Rose menyiapkan tas ransel khusus untuk membawa Cocomelo di pundak, agar saat pertama kali masuk ke ruang rawat Theo tak langsung bertemu dengan Cocomelo-nya selain Rose yang akan memperlihatkan. Dan di tangannya, dia membawa kotak be
Sekembali dari kamar mandi Rose pikir akan dihadapkan pada situasi yang sama. Dia sudah mewanti dengan menunggu lebih lama di ruang lembab sampai beberapa suara dari luar meredup. Tetapi semua yang Rose perkirakan tidak benar adanya. Rembesan darah di lantai ketika dia membuka pintu sudah hilang tak berjejak. Bawahan Verasco ... bahkan Verasco itu sendiri pun sudah tak terlihat ada di sana, di ruang rawat suaminya. Hanya tersisa Lion yang menunggu sangat tenang, bersedekap dada sambil memperhatikan Theo tanpa suara.“Kau masih di sini, Lion? Di mana yang lain?” tanya Rose begitu langkahnya menyisir di sisi blankar.“Tuan Verasco meminta saya menunggu di sini, Nona.”Perhatian Lion akhirnya teralihkan. Rose menduga pria itu baru pulang dari kantor kepolisian lalu membantu Verasco dan Elijah untuk mengeksekusi George. Terkait pengkhianatan yang dilakukan George, mungkin itu menjadi kecamuk rasa waspada bagi Verasco agar lebih intoleran terhadap niat – niat terselubung dan apa pun yang ba
“Dalam perjalanan menuju rumah. Kisah mereka berakhir bahagia. Selesai.”Rose menutup buku setebal kurang lebih 400 halaman dan meletakkan buku tersebut di atas nakas. Membacakan kisah – kisah manis menjadi rutinitasnya beberapa hari terakhir. Senyum Rose tipis menatap wajah suaminya yang terbaring begitu tenang. Pagi tadi alat bantu napas baru saja dilepas menandakan kondisi Theo semakin membaik pasca kejadian tombak berdarah. Beruntung mereka segera membawa Theo untuk mendapat penanganan tepat. Tiga kali Theo harus menjalani tindakan operasi. Pria itu kehilangan banyak darah, sehingga membutuhkan transfusi secepatnya. Rose ingat beberapa perdebatan terjadi di antara mereka terkait Theo yang memiliki darah sangat langkah, bahkan Verasco pun tak berdaya tentang itu. Hanya Dara ....Demikian yang Verasco katakan saat itu dengan nada suara gemetar penuh. Seperti begitu sesal. Benar – benar menyesal, sampai akhirnya Travis menyarankan beberapa orang yang masih tertinggal di Italia untuk