“Sudah malam, Sugar. Cepat tidur.”“Nanti dulu,” ucap Rose acuh tak acuh. Di tengah lampu tidur redup dan sinar ponsel yang menyala memapar wajah. Dia menuliskan alamat email maupun password yang sama secara berulang. Hasilnya nihil. Rose tidak bisa masuk kembali ke akun instag*am miliknya setelah ter-logout otomatis, yang merupakan kali pertama mengalami masalah login. Rose mendesah. Dalam sekejap mengalami penurunan mood sekadar mengubah posisi tubuh. Yang dilakukannya hanya duduk termenung, menyayangkan akun itu hangus—lenyap tak bersisa. Dia sudah berusaha keras, tapi kenyataan di depan mata membuatnya merasa muak. Kalau Theo tidak berada di sampingnya, mungkin Rose akan sedikit menangisi hal itu.“Apa yang kau pikirkan, Sugar? Tidur!”Tidak ada jawaban. Rose tak berniat memberi balasan atau mengucapkan satu kata pun. Akunnya bisa kembali normal, itu yang dia inginkan. Namun, untuk hal – hal seperti itu, Rose masih dalam tahap awam. Dia hanya user, bukan seorang yang ahli terhada
Milan, Italia.Malam yang membuat Rose meragukan diri harus bersisihan di samping pria yang tampak rupawan dengan tuxedo hitam. Aroma maskulin semakin menguar acapkali jemari besar itu menyentuh permukaan kulit wajahnya. Masih dikuasai ketegangan, Rose hanya bisa memantapkan diri menatap lurus ke depan. Balutan backless dress dengan tali – tali kecil menyilang di punggung memberi kesan seductive, terutama warna beige yang tampak menyatu bersama kulit putihnya. Sandaran jok mulai menghangat. Ntah kenapa Rose merasa mobil yang Theo kendarai berjalan begitu pelan. Barangkali dia terlalu dihantui rasa takut, sehingga menunggu waktu berputar seperti sesuatu yang seharusnya tidak dia lakukan.“Lihat aku, Sugar.”Ucapan Theo sedikit menyentak lamunan Rose. “Sepertinya pikiranmu sedang tidak tenang.”Pria itu masih berusaha membawa Rose kembali pada kenyataan. Theo tidak tahu kenyataan itu terlalu berat Rose hadapi. Dia begitu takut dengan masa lalu, yang berbanding jauh dari kehidupan Theo
Masih ingat clue dari aku? Here we go .......Napas Rose tercekat. Namun, tidak semudah itu Mr. Alejandro menguasai keadaan. Theo tidak membiarkan itu berlangsung sempurna, bahkan satu detik yang berlalu merupakan waktu paling lama bagi desert eagle di genggaman Mr. Alejandro mengancam keselamatan Rose. Karena di saat bersamaan Theo turut bangkit, menyentak senjata di tangan tua itu dengan kecepatan tak terhitung. Belum – belum Mr. Alenjandro menekan trigger. Buah dari keterampilan Theo berhasil mengeluarkan extended magazine dari ganggang desert eagle, tempat di mana tambahan – tambahan peluru di dalamnya terpendam.“You let me get to close.”Theo menggeram sinis. Extended magazine milik Mr. Alejandro kini berada dalam cengkeraman tangannya. Aura yang dia dimiliki berubah pesat. Wajahnya dingin. Terlebih sorot abunya terlampau mematikan. “Kau bisa membawa putrimu pergi dari sini, atau benda ini akan melukainya. Oh, jangan bermimpi aku akan menjadi bagian dari dirimu. Itu tidak aka
“Menikahi pelacur? You don’t fucking kidding me, don’t you?”Sambutan pertanyaan menghakimi Theo ketika dia melangkahkan kaki memasuki ruang pribadi Verasco. Merasa aneh, Theo menatap ke setiap penjuru ruangan—menyadari bahwa Verasco tiba lebih awal darinya dengan selisih waktu yang begitu tipis. Sebelah alis Theo terangkat tinggi. Artinya Verasco masih sempat melakukan kegiatan lain, sebelum terburu – buru masuk dan duduk di kursi kebesaran miliknya—seolah dia sudah menunggu dari sekian abad lalu.“Kau dari mana saja?”Alih – alih menjawab kalimat Verasco. Theo mendekatkan diri—turut menghujami ayahnya dengan pertanyaan.“Kita tidak sedang membahas aku. Tapi kau.” Verasco berdiri, mengambil posisi menatap ke luar jendela. “Menceraikan Magdalena, lalu menikahi pelacur Kanada. Kau sinting, atau bagaimana?”Sebuah perbandingan tajam ... Theo tidak perlu bertanya – tanya lagi akan sesuatu yang sudah dia pahami. Kekuasaan Verasco merupakan koherensi, yang seharusnya tidak Theo remehkan. Di
Theo menarik lepas earphone sekaligus mematikan sambungan suara dari Verasco. Napasnya menggebu – gebu melirik kamera pengintai itu dengan emosi saling menarik ulur akal sehat. Ini yang disebut perang. Melawan diri sendiri hingga mencapai akhir dari keputusan.Jemari Theo mengepal erat. Dengan sekali pukulan lensa kamera itu retak. Dia menarik lepas keseluruhannya. Mencabik – cabik sisa – sisa kabel yang ada, lalu tanpa mengatakan apa pun mengeluarkan senjata api dan menyerahkan benda tersebut pada Rose.“Pegang ini, Rose. Waktumu 25 menit untuk lari dari sini sejauh mungkin. Kau bisa masuk ke dalam hutan, bersembunyi sampai semua terasa tenang.” Theo menghentikan kalimatnya sesaat. Dia berbalik, mengambil sesuatu di jok belakang. Buket mawar merah sudah disiapkan, tapi Theo lupa memberikan itu pada Rose—berpikir ini waktu yang tepat.“Sebenarnya apa yang terjadi, Theo? Kau selalu berbicara dengan bahasamu. Siapa tadi yang menelpon?” tanya Rose saat menerima dua benda yang saling berto
Berawal dari memperebutkan orang yang sama. Aku tidak pernah tahu kau akan menjadi satu - satunya pria yang menghanyutkanku dalam asmaraloka. Afeksi kau tawarkan seperti selincam nada - nada sumbang. Terasa sakit apabila aku harus mengurai simfoni menghitam.Sejauh aku mengenalmu. Kau pribadi paling rumit, yang tidak akan pernah aku mengerti. Hadir dan keberadaanmu bagai duri tumbuh di sisiku. Menjadi pelindung, termasuk yang menabur rasa sakit. Kenapa harus ada sesal saat kau akhirnya memilih pergi? Menyisakan bagian dari dirimu yang harus aku rengkuh seorang diri.Kau menghilangkan satu harapan. Begitu tidak adil siksa dan nikmat harus kuterima bersama, sekalipun pernikahan yang kita genggam bukan atas nama cinta. Aku memang tidak memahami hal itu. Tidak pernah memahami bagaimana rasaku. Semua terlihat bagai ilusi. Aku hanya ironi yang coba berdiri di atas partitur - partitur luka. Hati dan logikaku mungkin sedang bertempur. Sementara kebenaran telah dipupuk oleh butanya atma. Tida
Derap kaki Rose tidak pernah henti memasuki hutan lebih dalam. Dia pergi meninggalkan orang – orang itu, karena tahu berikutnya akan turut menjadi sasaran pencarian. Buket mawar yang dipegang tanpa sadar diremas kuat. Kekalutan tidak mengingatkannya untuk menebar kelopak yang berguguran sendiri—terbang oleh tepisan angin malam.Ke mana lagi Rose harus menyusuri hutan dengan kondisi sedang mengandung? Dia bahkan tidak sadar wajah kacaunya sudah membasah. Apa yang sebenarnya Rose tangisi, kepergian Theo? Atau, karena dia tersesat seorang diri di tempat yang begitu luas sekaligus bersemak?Jawaban atas kebingungan Rose terletak pada pertanyaan pertama. Sudah seberapa sering Theo mengorbankan jiwa raga demi dirinya? Dan dia masih menjadi satu – satunya orang yang secara tidak langsung mencelakakan Theo.Bisakah waktu diulang? Rose tidak akan mau datang di acara makan malam keluarga Witson, kalau saja dia tahu kekacauan ini justru merenggut nyawa seseorang yang baru terasa berarti. Theo be
Dari upacara di rumah duka, hingga pemakaman berakhir dengan orang – orang mulai membubarkan diri. Lion tidak pernah henti memantau titik semi pasif yang terekam di layar ponselnya. Tidak tahu mengapa koordinat yang secara samar ditemukan, tidak sepenuhnya menampilkan lokasi terlacak. Lion yakin, Theo sudah memprogram aplikasi dengan penyempurnaan paling tinggi. Seharusnya dia tidak mengalami kesulitan dalam upaya pencarian Rose melalui cincin nikah yang wanita itu kenakan. Tapi tampilan gambar itu seperti sebuah gelombang manipulasi. Beberapa kesalahan terkadang membuat titiknya berkedip, bahkan menghilang.“Sudah kau temukan di mana Nona Rose?”Travis di sampingnya turut melibatkan diri. Sementara Lion menggeleng samar sebagai jawaban awal. “Aku rasa Nona Rose berada di tempat yang tidak bisa diakses siapa pun, termasuk ini.” Dia mengangkat ponsel dan memperlihatkan pada Travis sebuah kebocoran sistem. “Kita harus cari cara lain.”Lion membenarkan seraya menatap Travis penuh isyara