“Menikahi pelacur? You don’t fucking kidding me, don’t you?”Sambutan pertanyaan menghakimi Theo ketika dia melangkahkan kaki memasuki ruang pribadi Verasco. Merasa aneh, Theo menatap ke setiap penjuru ruangan—menyadari bahwa Verasco tiba lebih awal darinya dengan selisih waktu yang begitu tipis. Sebelah alis Theo terangkat tinggi. Artinya Verasco masih sempat melakukan kegiatan lain, sebelum terburu – buru masuk dan duduk di kursi kebesaran miliknya—seolah dia sudah menunggu dari sekian abad lalu.“Kau dari mana saja?”Alih – alih menjawab kalimat Verasco. Theo mendekatkan diri—turut menghujami ayahnya dengan pertanyaan.“Kita tidak sedang membahas aku. Tapi kau.” Verasco berdiri, mengambil posisi menatap ke luar jendela. “Menceraikan Magdalena, lalu menikahi pelacur Kanada. Kau sinting, atau bagaimana?”Sebuah perbandingan tajam ... Theo tidak perlu bertanya – tanya lagi akan sesuatu yang sudah dia pahami. Kekuasaan Verasco merupakan koherensi, yang seharusnya tidak Theo remehkan. Di
Theo menarik lepas earphone sekaligus mematikan sambungan suara dari Verasco. Napasnya menggebu – gebu melirik kamera pengintai itu dengan emosi saling menarik ulur akal sehat. Ini yang disebut perang. Melawan diri sendiri hingga mencapai akhir dari keputusan.Jemari Theo mengepal erat. Dengan sekali pukulan lensa kamera itu retak. Dia menarik lepas keseluruhannya. Mencabik – cabik sisa – sisa kabel yang ada, lalu tanpa mengatakan apa pun mengeluarkan senjata api dan menyerahkan benda tersebut pada Rose.“Pegang ini, Rose. Waktumu 25 menit untuk lari dari sini sejauh mungkin. Kau bisa masuk ke dalam hutan, bersembunyi sampai semua terasa tenang.” Theo menghentikan kalimatnya sesaat. Dia berbalik, mengambil sesuatu di jok belakang. Buket mawar merah sudah disiapkan, tapi Theo lupa memberikan itu pada Rose—berpikir ini waktu yang tepat.“Sebenarnya apa yang terjadi, Theo? Kau selalu berbicara dengan bahasamu. Siapa tadi yang menelpon?” tanya Rose saat menerima dua benda yang saling berto
Berawal dari memperebutkan orang yang sama. Aku tidak pernah tahu kau akan menjadi satu - satunya pria yang menghanyutkanku dalam asmaraloka. Afeksi kau tawarkan seperti selincam nada - nada sumbang. Terasa sakit apabila aku harus mengurai simfoni menghitam.Sejauh aku mengenalmu. Kau pribadi paling rumit, yang tidak akan pernah aku mengerti. Hadir dan keberadaanmu bagai duri tumbuh di sisiku. Menjadi pelindung, termasuk yang menabur rasa sakit. Kenapa harus ada sesal saat kau akhirnya memilih pergi? Menyisakan bagian dari dirimu yang harus aku rengkuh seorang diri.Kau menghilangkan satu harapan. Begitu tidak adil siksa dan nikmat harus kuterima bersama, sekalipun pernikahan yang kita genggam bukan atas nama cinta. Aku memang tidak memahami hal itu. Tidak pernah memahami bagaimana rasaku. Semua terlihat bagai ilusi. Aku hanya ironi yang coba berdiri di atas partitur - partitur luka. Hati dan logikaku mungkin sedang bertempur. Sementara kebenaran telah dipupuk oleh butanya atma. Tida
Derap kaki Rose tidak pernah henti memasuki hutan lebih dalam. Dia pergi meninggalkan orang – orang itu, karena tahu berikutnya akan turut menjadi sasaran pencarian. Buket mawar yang dipegang tanpa sadar diremas kuat. Kekalutan tidak mengingatkannya untuk menebar kelopak yang berguguran sendiri—terbang oleh tepisan angin malam.Ke mana lagi Rose harus menyusuri hutan dengan kondisi sedang mengandung? Dia bahkan tidak sadar wajah kacaunya sudah membasah. Apa yang sebenarnya Rose tangisi, kepergian Theo? Atau, karena dia tersesat seorang diri di tempat yang begitu luas sekaligus bersemak?Jawaban atas kebingungan Rose terletak pada pertanyaan pertama. Sudah seberapa sering Theo mengorbankan jiwa raga demi dirinya? Dan dia masih menjadi satu – satunya orang yang secara tidak langsung mencelakakan Theo.Bisakah waktu diulang? Rose tidak akan mau datang di acara makan malam keluarga Witson, kalau saja dia tahu kekacauan ini justru merenggut nyawa seseorang yang baru terasa berarti. Theo be
Dari upacara di rumah duka, hingga pemakaman berakhir dengan orang – orang mulai membubarkan diri. Lion tidak pernah henti memantau titik semi pasif yang terekam di layar ponselnya. Tidak tahu mengapa koordinat yang secara samar ditemukan, tidak sepenuhnya menampilkan lokasi terlacak. Lion yakin, Theo sudah memprogram aplikasi dengan penyempurnaan paling tinggi. Seharusnya dia tidak mengalami kesulitan dalam upaya pencarian Rose melalui cincin nikah yang wanita itu kenakan. Tapi tampilan gambar itu seperti sebuah gelombang manipulasi. Beberapa kesalahan terkadang membuat titiknya berkedip, bahkan menghilang.“Sudah kau temukan di mana Nona Rose?”Travis di sampingnya turut melibatkan diri. Sementara Lion menggeleng samar sebagai jawaban awal. “Aku rasa Nona Rose berada di tempat yang tidak bisa diakses siapa pun, termasuk ini.” Dia mengangkat ponsel dan memperlihatkan pada Travis sebuah kebocoran sistem. “Kita harus cari cara lain.”Lion membenarkan seraya menatap Travis penuh isyara
"Bagaimana ini bisa terjadi?” Berpindah dari satu tempat ke tempat lain menjadi kebiasaan Verasco selama sisa hidupnya. Setelah membiarkan Charlotte kembali ke mansion utama, dia pergi bersinggah ke markas tersembunyi di suatu hutan berantara.Seorang mayat tergeletak dengan kaki masih terikat tali tambang, luka tusuk hingga sayatan di leher, wajah membiru, disertai mata dan mulut terbuka. Kematian yang dipaksakan, apakah begitu tepatnya penjelasan untuk jasad seorang lelaki di bawah sana? Atau seharusnya pria itu menjalankan tugas dari Verasco, seperti yang pernah dia ceritakan sebelum sampai di tempat berpijak saat ini. “Di mana rekannya saat dia tewas mengenaskan di sana?” tanya Verasco mulai curiga.“Kami masih berusaha mencari, Tuan. Anda memilih mereka yang tangguh untuk menjalankan tugas. Tapi kita tidak pernah tahu, bisa saja salah satu dari mereka atau keduanya merupakan pengkhianat.”“Pengkhianat apa maksudmu?”Keneddy menelan ludah kasar. Dia harus bercerita mulai dari ma
Bunyi suara letusan senjata api melambung nyaris memekakkan telinga. Rose mengedarkan pandangan mencari di mana sumber tembakan itu berlangsung. Rasa penasarannya makin bertambah ketika desis – desis angin terus bergejolak. Saat itu Rose tahu dari mana dia harus memulai. Melangkah lebih jauh meninggalkan posisi awal. Samar – samar netra Rose menangkap siluet tubuh tinggi milik pria yang sejak tadi keberadaannya dipertanyakan oleh isi kepala. Sebuah revolver terangkat sejajar garis bahu tampak dikokang ke depan. Rose tidak perlu bertanya senjata milik siapa yang Theo pergunakan. Suaminya memiliki segala hal, yang berkaitan dengan barang – barang demikian.“Kau membiarkanku sendiri terlalu lama,” ucap Rose. Tidak bermaksud membuat tubuh itu terlonjak.Theo berbalik seraya menurunkan lengan ke bawah. “Aku selalu kehilangan waspada saat kau di dekatku. Bukan kali ini saja,” protesnya. Tidak suka bagaimana Rose tiba – tiba berdiri di sana tanpa menarik kepekaan dari intuisi maupun sensing
“Mau ke mana, cantik?”Rose mengernyit saat salah satu dari mereka tidak sengaja menyorot lampu ke arah wajahnya. Atau mungkin dilakukan sengaja demi memastikan bagaimana rupa dan rasa takut yang tergambar di antara tubuh bermandikan keringat malam.Rose tidak akan membiarkan mereka melakukan sesuatu. Diam – diam menggerakkan lengan yang bersembunyi di balik punggung. Ponselnya dijepit di lengan kiri. Sementara senjata di tangan kanan sudah diposisikan dengan baik. Dia perlu memawas diri apabila mereka mulai bertindak.“Berhenti di situ!” ucap Rose penuh peringatan. Jemarinya mengokang senjata bertepatan selangkah pria yang hendak mendekat.“Apa yang ingin kau lakukan ... menembak kami?”Tawa mereka kompak menggelegar. Terlalu meremehkan wanita sendirian, yang dengannya memiliki keberanian terpendam. Alih – alih beringsut mundur. Rose tidak sekali pun melepas pandangan pada predator di depan mata. Dia tidak boleh lengah.“Tubuh wanita ini enak dilihat. Sebaiknya kita giring bergantian