“Mau ke mana, cantik?”Rose mengernyit saat salah satu dari mereka tidak sengaja menyorot lampu ke arah wajahnya. Atau mungkin dilakukan sengaja demi memastikan bagaimana rupa dan rasa takut yang tergambar di antara tubuh bermandikan keringat malam.Rose tidak akan membiarkan mereka melakukan sesuatu. Diam – diam menggerakkan lengan yang bersembunyi di balik punggung. Ponselnya dijepit di lengan kiri. Sementara senjata di tangan kanan sudah diposisikan dengan baik. Dia perlu memawas diri apabila mereka mulai bertindak.“Berhenti di situ!” ucap Rose penuh peringatan. Jemarinya mengokang senjata bertepatan selangkah pria yang hendak mendekat.“Apa yang ingin kau lakukan ... menembak kami?”Tawa mereka kompak menggelegar. Terlalu meremehkan wanita sendirian, yang dengannya memiliki keberanian terpendam. Alih – alih beringsut mundur. Rose tidak sekali pun melepas pandangan pada predator di depan mata. Dia tidak boleh lengah.“Tubuh wanita ini enak dilihat. Sebaiknya kita giring bergantian
Samar – samar bunyi patahan ranting menyentak kesadaran Rose. Netranya mengerjap beberapa kali usai menemukan langit setengah cerah membentang tertutup oleh sekumpulan dedauanan. Berapa lama kesadarannya hilang? batin Rose bertanya – tanya dan memaksakan diri bangkit sembari menekan sebelah pelipis. Kontraksi hebat di perut mungkin tak lagi terasa. Namun, pusing di kepala belum sepenuhnya reda.Rose mencari – cari keberadaan barang – barang miliknya, tersentak saat tak menemukan benda pipih yang digunakan semalaman. Tidak tahu mengapa waktu itu dia lebih memilih membawa ponsel pemberian Theo. Itu sedikit menjadi sebuah keberuntungan. Rose ingat, dia sempat kehilangan arah tatkala dunia seakan berputar. Alasan paling tepat untuk menjabarkan hilangnya ponsel tersebut. Wajah Rose meringis, meraih pistol yang tergeletak asal di samping tubuh. Dia harus pergi. Setidaknya sekarang dapat melihat di bawah penerangan minim. Langit subuh sebentar lagi akan menjadi pagi. Rose yakin mereka masih
Saat Rose pergi masuk ke dalam hutan. Theo pikir tidak ada yang perlu dilakukan, kecuali menuliskan beberapa pesan penting dan mengirimkannya pada Lion melalui email. 15 menit waktu yang tersisa. Dia tidak mencoba memaksakan diri terbebas dari kenyataan yang harus diterima. Bukankah hidup dan mati dua hal yang tak bisa digariskan oleh manusia. Kenapa dia harus melibatkan diri dalam kesusahan, sementara duduk tenang di kursi kemudi sama sekali bukan sesuatu berpengaruh besar pada pemikiran – pemikiran skeptis. Satu dua detik Theo menunggu panggilan masuk. Dugaannya tidak pernah salah jika Verasco akan kembali menghubungi ponselnya. Theo menggeser tombol hijau dan langsung memosisikan benda pipih tersebut di samping wajah. Tidak perlu earphone saat dia sedang tidak melakukan perjalanan.“Times countdown, right?” Theo bersuara tanpa menunggu sapaan dari lawan bicara. Alih – alih kalimat manis yang didapat, umpatan keras dari seberang sana justru lantang menggelegar.[Bodoh!].[Sia – sia
Dingin terasa menyentuh rangsangan kulit ketika Rose membiarkan aliran air menyerbu kedua kakinya. Dia masih mengenakan dress, sementara jas tuxedo diletakkan asal di atas hamparan bebatuan. Gigi Rose saling bergemelatuk. Keadaan benar – benar dingin tak tertahan, disertai udara segar tanpa polusi melesak memenuhi rongga paru – paru.Rose setengah membungkuk menatap pantulan diri sendiri di atas permukaan yang terombang – ambing arus deras. Theo ditinggalkan sendiri saat dia mengiyakan ajakan mandi bersama dari pria tersebut. Pria yang terlalu pandai melontarkan godaan.Seharusnya Rose memulai kegiatan dengan membasuh wajah, tapi pelukan hangat yang menyatu di belakang punggung menghentikan segala niat. Dia menyentuh lengan yang melingkar sempurna, lalu mengubah gestur sedikit lebih tegap bersandar di depan dada bidang Theo—lupa bahwa Theo masih dalam keadaan terluka.“Buka gaun-mu kalau mau mandi.” Bisikan itu terasa menggelitik telinga Rose. Satu hal mengharuskannya memberi Theo per
“Tidak usah diperban, Sugar. Biarkan saja begini.”Theo berusaha mencegah gerakan saling menarik kain tipis di tubuh Rose. Backless dress yang dikenakan tak lagi sesempurna seperti pertama kali Rose pakai. Theo terlambat. Bunyi suara sobekan menandakan dress tersebut sebagiannya telah menjadi serpihan memanjang, serupa hal yang pernah Rose lakukan demi mengikat senjata api ke kakinya. Luka di tubuh Theo harus ditutup, setidaknya sampai kaos yang tengah dijemur itu kering di bawah terik matahari. Rose tidak merasa keberatan dan tidak akan mengindahkan pernyataan Theo sampai dia menarik bahu besar itu untuk membelakanginya.“Jangan bergerak,” titah Rose seraya mendekatkan diri. Dia merengkuh Theo dari belakang. Memosisikan luka goresan itu tertutup oleh kain yang sudah disambung dari ujung ke ujung, agar dapat membalut tubuh bagian atas suaminya secara menyilang.“Sudah kubilang tidak usah. Sekarang bajumu kekurangan bahan.”“Dari awal juga sudah kekurangan bahan,” sahut Rose tak acuh.
Dua jam menunggu di tepian aliran deras. Rose duduk menekuk kaki dengan sebelah lengan menyanggah kepala yang menyamping. Sisanya terulur menyentuh rembesan air dari hulu ke hilir. Dia sudah memaksa ingin menemani Theo pergi mencari kayu api, tetapi pria itu menolak keras—tak lain melontarkan alasan klasik, mementingkan energi dan keselamatan. Rose pikir membiarkannya menunggu sendiri, sungguh, tidak sama membawanya dalam garis aman. Theo jelas salah jika mengartikan hal tersebut. Mereka bisa datang kapan saja menyergap Rose, walau dia berharap itu tidak pernah terjadi.Rasa waspada Rose masih begitu kencang. Terkadang berpaling ke belakang hanya untuk memastikan bahwa tidak ada seorang pun di sana, selain Theo yang mendekat dari arah melintang. Rose berdiri tegap menunggu Theo berdiri di hadapannya. Perhatian Rose tertuju pada seekor makhluk ber-insang cukup besar terbungkus dalam kantong plastik putih. Setetes air terus berjatuhan ke bawah, menguras sisa – sisa air yang tertampung
Senjata api sudah berada dalam genggaman Rose. Berlari pergi dari posisi sebelumnya merupakan kegiatan yang tak pernah henti sejak dia memutuskan untuk meninggalkan Theo di sana. Jarak Rose semakin jauh dari sudut pohon yang menjulang tinggi. Langkahnya terus terbawa melewati beberapa jalur bercabang. Sangat berharap Theo masih terlelap hingga tidak memiliki kesempatan mencium jejak kepergiannya.Sedikit peluang ... Rose tersenyum menyadari posisinya telah dekat dari wilayah perbatasan lalu lalang kendaraan. Terus mengais kaki sebelum pukulan kuat dan kasar di punggung leher menghentikan kemampuan Rose berpindah tempat. Rasa sakit seketika menyeluruh nyaris membekukan Rose. Dia memaksakan diri berbalik, menemukan segerombolan pria asing telah berdiri angkuh ... beriak senyum kejam dan sisi misterius mendalam.“Mau ke mana lagi, cantik?”Pandangan Rose tidak fokus. Ingin menghindar tetapi pukulan yang diterima, luar biasa keras membuatnya tak mampu melakukan apa pun. Ketegangan Rose pe
“Katakan pada rekanmu untuk hentikan peretasan titik koordinat di hutan itu, Travis. Tuan T masih hidup!”Lion bicara dengan nada semangat. Tatapannya tersorot penuh pada rentetan pesan kalimat dari Verasco. Dia sudah memastikan hal itu secara berulang, semakin yakin ketika Verasco sepenuhnya mengembalikan pasukan Anthony yang terbagi untuk berjaga di dua tempat.“Sedang menipuku apa bagaimana?” tanya Travis. Tak pernah melepas fokus di depan layar monitor yang digerakkan oleh seorang pria, tidak lain merupakan kenalannya.Bertepatan dengan kegiatan tersebut. Mereka kehilangan arah, di mana seharusnya titik koordinat itu masih menyala.“Pak tua itu sudah menutup akses apa pun ke sana. Ntah kelompoknya, ataupun kita sama – sama tidak bisa melacak apa pun. Dia sendiri yang akan mendatangi tuan setelah memerintahkan Elijah untuk memimpin pencarian.” Kalau saja Verasco ada di hadapannya. Lion tidak mungkin seberani itu memberi julukan yang akan merenggut nyawa. Tapi dia tidak pernah salah