Dua jam menunggu di tepian aliran deras. Rose duduk menekuk kaki dengan sebelah lengan menyanggah kepala yang menyamping. Sisanya terulur menyentuh rembesan air dari hulu ke hilir. Dia sudah memaksa ingin menemani Theo pergi mencari kayu api, tetapi pria itu menolak keras—tak lain melontarkan alasan klasik, mementingkan energi dan keselamatan. Rose pikir membiarkannya menunggu sendiri, sungguh, tidak sama membawanya dalam garis aman. Theo jelas salah jika mengartikan hal tersebut. Mereka bisa datang kapan saja menyergap Rose, walau dia berharap itu tidak pernah terjadi.Rasa waspada Rose masih begitu kencang. Terkadang berpaling ke belakang hanya untuk memastikan bahwa tidak ada seorang pun di sana, selain Theo yang mendekat dari arah melintang. Rose berdiri tegap menunggu Theo berdiri di hadapannya. Perhatian Rose tertuju pada seekor makhluk ber-insang cukup besar terbungkus dalam kantong plastik putih. Setetes air terus berjatuhan ke bawah, menguras sisa – sisa air yang tertampung
Senjata api sudah berada dalam genggaman Rose. Berlari pergi dari posisi sebelumnya merupakan kegiatan yang tak pernah henti sejak dia memutuskan untuk meninggalkan Theo di sana. Jarak Rose semakin jauh dari sudut pohon yang menjulang tinggi. Langkahnya terus terbawa melewati beberapa jalur bercabang. Sangat berharap Theo masih terlelap hingga tidak memiliki kesempatan mencium jejak kepergiannya.Sedikit peluang ... Rose tersenyum menyadari posisinya telah dekat dari wilayah perbatasan lalu lalang kendaraan. Terus mengais kaki sebelum pukulan kuat dan kasar di punggung leher menghentikan kemampuan Rose berpindah tempat. Rasa sakit seketika menyeluruh nyaris membekukan Rose. Dia memaksakan diri berbalik, menemukan segerombolan pria asing telah berdiri angkuh ... beriak senyum kejam dan sisi misterius mendalam.“Mau ke mana lagi, cantik?”Pandangan Rose tidak fokus. Ingin menghindar tetapi pukulan yang diterima, luar biasa keras membuatnya tak mampu melakukan apa pun. Ketegangan Rose pe
“Katakan pada rekanmu untuk hentikan peretasan titik koordinat di hutan itu, Travis. Tuan T masih hidup!”Lion bicara dengan nada semangat. Tatapannya tersorot penuh pada rentetan pesan kalimat dari Verasco. Dia sudah memastikan hal itu secara berulang, semakin yakin ketika Verasco sepenuhnya mengembalikan pasukan Anthony yang terbagi untuk berjaga di dua tempat.“Sedang menipuku apa bagaimana?” tanya Travis. Tak pernah melepas fokus di depan layar monitor yang digerakkan oleh seorang pria, tidak lain merupakan kenalannya.Bertepatan dengan kegiatan tersebut. Mereka kehilangan arah, di mana seharusnya titik koordinat itu masih menyala.“Pak tua itu sudah menutup akses apa pun ke sana. Ntah kelompoknya, ataupun kita sama – sama tidak bisa melacak apa pun. Dia sendiri yang akan mendatangi tuan setelah memerintahkan Elijah untuk memimpin pencarian.” Kalau saja Verasco ada di hadapannya. Lion tidak mungkin seberani itu memberi julukan yang akan merenggut nyawa. Tapi dia tidak pernah salah
Tubuh tak bernyawa Graham dilempar jatuh tergeletak. Hancur lebur perasaan Theo menemukan jaringan menyerupai gumpalan darah, berwarna merah tua dan mengkilat di bawah kaki Rose, yang ikut terbawa keluar saat dia menarik lepas lengan Graham. Bentuk jaringan itu seperti hati dan terdapat kantong dengan embrio di dalamnya berukuran serupa kacang. Theo memperhatikan lebih lamat dan mendetail ... sangat terpukul melihat bagian mata, lengan, hingga kaki sudah terbentuk.Hati seorang ayah mana yang tidak runtuh. Dia baru saja kehilangan anak. Manusia semacam apa yang tega melakukan hal itu pada janin tidak bersalah? Benar pernyataan yang terucap sebelumnya. Puncak dari penyesalan Theo ... dia merasa salah telah membawa Rose terlibat dalam pertemuan yang menghancurkan kehidupan mereka. Tidak ada lagi makhluk kecil di rahim Rose. Harapan mereka pupus, terenggut oleh keegoisan satu orang. Tujuh bulan seharusnya Theo dan Rose masih harus menunggu, tapi kenyataan justru mengatakan kebalikannya. M
Tertatih langkah Theo memasuki mansion besar. Hampir semua orang menunduk hormat tak diacuhkan. Termasuk Lion terdiam mendapati sesuatu tak beres. Dia tidak berani mendekati Theo lebih jauh, meskipun rasa ingin melampiaskan kekacauan di hati beberapa hari terakhir sudah tak terbendung. Lion tidak tahu kejadian seperti apa yang menyentak Theo hingga raga itu terlihat nyaris tak bernyawa. Bahkan Lion tidak menemukan di mana pun Rose berada. Dia akan menghubungi Travis untuk memastikan. “Tolong ambilkan aku cangkul.”Keputusan Lion mengulik ponsel urung. Dia membidik lamat – lamat langkah terhenti Theo. Kemudian bergegas pergi ke gudang dekat dapur tanpa menyela.“Ini, Tuan.” Lion menyerahkan pacul dengan berbagai pertanyaan berkecamuk di kepala. Seluruh permukaan lengan Theo dipenuhi darah yang telah mengering. Lion tak dapat mendefinisikan bagaimana bentuk wajah itu. Tampilan Theo sangat mengerikan.“Apa yang akan Anda lakukan dengan cangkul, Tuan?” tanyanya, cukup penasaran terhadap
“Kau boleh pergi, Travis. Aku yang akan menjaga Rose di sini.” Sejak mendengar pernyataan Travis. Theo hanya menunduk, tidak menaruh niat pada apa pun sekadar mendongak, bahkan menatap Rose pun enggan dilakukan usai mengambil posisi duduk di samping blankar.Tubuh Theo bersandar. Sesekali memainkan gelang pemberian Beatrace. Dia tidak sepenuhnya menatap, tapi jemari itu masih menyentuh rajutan tali di tengah hati yang dipaksa menjadi kacau. Susunan kata ‘Daddy’ di sana adalah hal paling menyakitkan, saat Theo sendiri sudah tidak memiliki kesempatan untuk itu—sedikit pun. Theo mengembuskan napas kasar. Tahu betul Travis masih berdiri kaku tidak jauh dari posisinya. Bayangan kaki pria itu utuh membias di bawah sinar lampu ruang rawat VIP.“Aku memintamu pergi.”“Tidak. Kecuali Anda diperiksa lebih dulu,” bantah Travis. Semakin mengetatkan lipatan lengan di depan dada.“Aku sedang tidak ingin berdebat.”“Itu karena Anda tidak punya tenaga untuk melakukannya.”Travis mengubah gestur tubu
“Sial!”Tubuh Verasco terdorong bersama revolver yang jatuh terlempar ke bawah. Timah panas, yang seharusnya melubangi isi kepala Rose meleset jauh. Verasco berpaling, menyentak keberadaan seseorang di sampingnya. Theo dengan perban di kepala baru saja menggagalkan rencana yang dia buat.Verasco tidak punya waktu mempertahankan kemarahan memuncak. Dia merangkak cepat meraih revolver sekadar mengulangi perbuatan kejinya. ‘Yang terbaring, yang harus mati’. Sampai satu detik berlalu, dia masih mematenkan kalimat demikian. Tidak ada ampun baginya. Rose merupakan sasaran paling empuk. Sasaran paling bisa memuaskan hasrat dan segala yang terpedam.“Jangan coba – coba kau lakukan ini padanya.” Theo menggeram tajam. Mencegat tindakan Verasco seperti yang dia lakukan pertama kali setelah masuk ke ruang rawat Rose.Beberapa saat sebelum jarum suntik Travis tenggelam di tubuhnya. Theo secara naluri menyerang Travis dengan sebelah tangan yang terbebas. Merenggut benda kecil dan runcing tersebut,
“Lepas! Aku bisa jalan sendiri.”Verasco mengibas kedua tangan dan merapikan lipatan – lipatan kain kusut yang terbalut di tubuhnya. Theo selalu menentang Verasco, alasan paling tepat mengapa dia tak mau menganggap keberadaan Theo, apalagi sampai memanggil nama pria itu secara sadar. Jauh lebih baik Verasco menyamakan Theo seperti Zever, hingga di hari dia dan Zever bisa kembali bertemu.Verasco berpaling. Masam wajahnya meninggalkan perkarangan rumah sakit. Dia masuk ke dalam mobil dengan pikiran berapi – api. Gagal rencana yang dibuat ... dia tak akan menyerah semudah itu. Jika terburu – buru merupakan keputusan yang membuatnya tidak berhasil. Verasco akan mendetailkan setiap langkah – langkah yang akan dia ambil. Tidak saat ini.“Saya mendapat kabar bahwa Elijah beserta bawahannya sudah siuman, Tuan.”Sebuah informasi mengalihkan perhatian Verasco. Tentu saja dia memiliki masalah lain. Alat yang ditemukan Selena di kerah pakaiannya waktu itu memiliki hubungan erat dengan beberapa ke
Kepergian Zever secara tiba – tiba cukup membekas di benak Rose. Saat itu dia dan Travis diam memperhatikan punggung milik dua orang yang menjauh. Rose tak berani mengatakan apa pun kala dia sendiri menyadari Travis seketika meninggalkannya—Travis menunduk dan Rose harap pria itu baik – baik saja, lantas ikut menyusul dengan langkah hati – hati membawa bayi kembarnya masuk ke dalam gedung mansion.Dua jam usai kejadian di taman belakang, dan setelah menidurkan anak – anak Rose segera menyusul keberadaan Zever. Lewat pesan – pesan yang diberikan kepada Lion, Rose tentu memantau apa pun yang terjadi di luar. Termasuk menanyakan bagaimana kondisi Travis. Pria itu sudah bersikap seperti semula, tetapi satu yang bermasalah. Zever di ruang tamu dengan riak wajah begitu dingin dan manik mata kelabu yang menatap setengah kosong menyusun sambungan miniatur di atas meja.Berulang kali Rose menarik napas sekadar memantapkan diri duduk di samping suaminya.“Zever,” panggil Rose ingin memastikan p
“Aku sudah selesai, Theo. Sekarang giliranmu—“ Pikir Rose, setelah keluar dari kamar mandi sekaligus mengganti pakaian di sana. Dia akan menemukan Theo menjaga ketiga bayi mereka dengan posisi semestinya, tetapi tubuh besar itu—dalam tidur menyampingnya seolah lebih lelap dari ketiga bayi yang memejam tenang. Kelelahan. Begitu yang Rose tafsirkan, karena hari – hari belakangan ini Theo sering sekali menyibukkan diri di tengah malam—menjaga bayi – bayi mereka, sementara Rose dipaksa untuk tetap beristirahat. Senyum Rose tipis sambil mengusap puncak kepala Theo. Hanya sesaat dia beralih pada tiga bayi kembarnya untuk dipindahkan ke dalam troli. Rose akan membawa mereka untuk berjalan – jalan di taman belakang. Selesai memindahkan dia kembali mendekati Theo sekadar menutup tubuh suaminya dengan selimut tebal. “Kami pergi dulu.” Singkat Rose mengecup sudut wajah Theo. Dia mendorong troli dengan hati – hati menuju lift. Rose sudah tahu di mana letaknya, cukup tersembunyi—dan Theo memang
“Aku mendapat cucu yang banyak.”Tawa O’Douglas pecah persis seperti kapten bajak laut yang baru saja menemukan harta karun bersejarah. Masing – masing lengan pria paruh baya itu mengapit dua bayi mungil, sementara bayi mungil yang lain berada di dekapan Verasco—yang terus menimang, sesekali mendekatkan bayi – bayi tersebut dengan guyonan ringan.Ntah apa yang bisa Rose katakan ketika menyaksikan anak – anaknya langsung diserbu begitu Verasco dan O’Douglas masuk ke ruang rawat. Dia baru selesai menyusui, sehingga bayi – bayi yang kekenyangan hanya akan tidur sepanjang hari, dan tidak merepotkan kedua kakek mereka.“Kau dari tadi tak pernah berhenti menatapku,” ucap Rose pelan. Sering kali Theo menyorot wajahnya, tetapi saat ini manik kelabu itu membinarkan sesuatu yang berbeda. Begitu penuh cinta dan sebagian tak bisa Rose tafsirkan dengan benar. Bagaimana mungkin Rose tahan dibidik sedemikian lamat. Theo harus, sekali saja, berpaling darinya.“Terima kasih, Sugar.”Sentuhan lembut di
Rose tak menyangka Theo akan membawanya sampai ke pulau Ortogia, pusat sejarah Kota Sirakusa, Sisilia, untuk menikmati keindahan laut Mediterania. Aroma – aroma di tepi laut itu memberi keindahan yang menyejukkan. Rose bahkan tak melupakan bahwa Theo tidak sekali pun melepaskan tubuhnya di pundak lebar pria tersebut setelah menyusuri sepanjang gedung – gedung tua di pulau – pulau Ortogia.“Ini rumah siapa?” tanya Rose memandangi sebuah bangunan kokoh yang seperti dikhususkan untuk ditinggali dua orang.“Rumah kita.”Tidak banyak yang dapat Rose katakan, kecuali menyematkan wajahnya dalam – dalam di ceruk leher Theo. Aroma maskulin itu masih sangat menguak, bahkan usai sepanjang hari mereka memberikan jamuan kepada para tamu, seakan – akan cairan parfum pun sangat betah menjamah kulit liat Theo.“Mau langsung tidur atau mandi dulu, Sugar?”Di depan sebuah pintu Theo menghentikan langkah sekaligus membiarkan Rose berpijak di atas lantai. Antara ragu dan butuh sesuatu yang segar akhirnya
“Sudah siap?”Rose mengangguk saat Theo bicara di atas puncak kepalanya. Dia memang berdiri membelakangi Theo, memegang ganggang pisau pemotong kue yang panjang, sementara jemari besar Theo menggenggam hangat tiap – tiap buku tangannya.Kue bertingkat – tingkat itu, atau tak jauh berbeda dengan menara rapuh sedang terbelah. Irisan mata pisau perlahan menurun ke bawah menjadi simbol ketajaman. Rose tersenyum nyaris meleburkan tawa ketika Theo membisikkan sesuatu yang lucu untuknya, yang lucu tapi tak akan Rose beritahu pada siapa pun. Biar dia menyimpan sendiri dan menjadikan itu momen menyenangkan yang penting.Setelah potongan kue pertama seharusnya Rose dan Theo saling memberi suapan. Alih – alih demikian Theo sebaliknya mencongkel krim dan segera mengoleskan ke bibir bawah Rose. Wajah Rose tampak berepotan, namun itulah yang Theo inginkan. Dia merampas bibir Rose seperti merampas kue yang sangat lezat.Manis dari campuran gula dan mentega seakan membuat Theo tak pernah puas. Dia mem
“Sudah. Aku sudah kenyang.”Lagi – lagi Rose harus menahan diri saat jemari besar Theo berusaha menyingkirkan semangkok bubur putih di tangannya.“Sedikit lagi, Theo. Kau harus menghabiskan buburmu.”“Ayo.”Sesendok bubur kembali Rose dekatkan, tetapi wajah itu menolak.“Jangan memaksaku makan bubur yang tidak enak, Sugar. Rasanya hambar.”“Makanya kalau makan sambil lihat aku, biar ada rasanya.”“Satu suapan lagi. Aku janji setelah ini selesai.”“Aku tidak percaya. Kau mengatakan itu sejak tadi, apa kau tidak ingat?”Rose menyengir lebar benar – benar mengelabuhi Theo. Pria itu persis anak kecil yang kehilangan nafsu makan. Sulit sekali dibujuk untuk membuka mulut.“Kali ini aku serius yang terakhir. Ahk ... buka yang lebar.”Rose pikir Theo akan segera menerima suapan darinya. Pria itu justru menggerakkan siku tangan Rose, memindahkan haluan sendok ke bibir Rose sendiri.“Kau juga harus makan.”“Tadi aku sudah makan,” bantah Rose, tetap saja dia tak bisa menyangkal satu suapan mendar
Satu hari setelah Theo sadar akhirnya Rose memutuskan kembali sejenak ke rumah, tempat di mana dia pernah tinggal seorang diri yang bersebelahan dengan restoran kecil miliknya. Saat ini tidak banyak yang Rose lakukan selain mempersiapkan diri menemui Theo di rumah sakit. Rose segera mengendarai mobil—milik ayahnya yang dipinjam. Di kursi penumpang belakang dia meletakkan sebuah kotak berukuran sedang dengan beberapa lubang di dalamnya yang dibungkus sangat cantik. Sementara di sampingnya duduk seekor anjing kecil lucu berbulu keriting dan warna putih seperti kapas. Kemarin Rose baru saja membeli ras anjing pudel tersebut di toko hewan. Tertarik. Hanya itu yang menggambar keinginan Rose membawa pulang pudel yang diberi nama Cocomelo.“Kita sudah sampai.”Rose menyiapkan tas ransel khusus untuk membawa Cocomelo di pundak, agar saat pertama kali masuk ke ruang rawat Theo tak langsung bertemu dengan Cocomelo-nya selain Rose yang akan memperlihatkan. Dan di tangannya, dia membawa kotak be
Sekembali dari kamar mandi Rose pikir akan dihadapkan pada situasi yang sama. Dia sudah mewanti dengan menunggu lebih lama di ruang lembab sampai beberapa suara dari luar meredup. Tetapi semua yang Rose perkirakan tidak benar adanya. Rembesan darah di lantai ketika dia membuka pintu sudah hilang tak berjejak. Bawahan Verasco ... bahkan Verasco itu sendiri pun sudah tak terlihat ada di sana, di ruang rawat suaminya. Hanya tersisa Lion yang menunggu sangat tenang, bersedekap dada sambil memperhatikan Theo tanpa suara.“Kau masih di sini, Lion? Di mana yang lain?” tanya Rose begitu langkahnya menyisir di sisi blankar.“Tuan Verasco meminta saya menunggu di sini, Nona.”Perhatian Lion akhirnya teralihkan. Rose menduga pria itu baru pulang dari kantor kepolisian lalu membantu Verasco dan Elijah untuk mengeksekusi George. Terkait pengkhianatan yang dilakukan George, mungkin itu menjadi kecamuk rasa waspada bagi Verasco agar lebih intoleran terhadap niat – niat terselubung dan apa pun yang ba
“Dalam perjalanan menuju rumah. Kisah mereka berakhir bahagia. Selesai.”Rose menutup buku setebal kurang lebih 400 halaman dan meletakkan buku tersebut di atas nakas. Membacakan kisah – kisah manis menjadi rutinitasnya beberapa hari terakhir. Senyum Rose tipis menatap wajah suaminya yang terbaring begitu tenang. Pagi tadi alat bantu napas baru saja dilepas menandakan kondisi Theo semakin membaik pasca kejadian tombak berdarah. Beruntung mereka segera membawa Theo untuk mendapat penanganan tepat. Tiga kali Theo harus menjalani tindakan operasi. Pria itu kehilangan banyak darah, sehingga membutuhkan transfusi secepatnya. Rose ingat beberapa perdebatan terjadi di antara mereka terkait Theo yang memiliki darah sangat langkah, bahkan Verasco pun tak berdaya tentang itu. Hanya Dara ....Demikian yang Verasco katakan saat itu dengan nada suara gemetar penuh. Seperti begitu sesal. Benar – benar menyesal, sampai akhirnya Travis menyarankan beberapa orang yang masih tertinggal di Italia untuk