“Kau boleh pergi, Travis. Aku yang akan menjaga Rose di sini.” Sejak mendengar pernyataan Travis. Theo hanya menunduk, tidak menaruh niat pada apa pun sekadar mendongak, bahkan menatap Rose pun enggan dilakukan usai mengambil posisi duduk di samping blankar.Tubuh Theo bersandar. Sesekali memainkan gelang pemberian Beatrace. Dia tidak sepenuhnya menatap, tapi jemari itu masih menyentuh rajutan tali di tengah hati yang dipaksa menjadi kacau. Susunan kata ‘Daddy’ di sana adalah hal paling menyakitkan, saat Theo sendiri sudah tidak memiliki kesempatan untuk itu—sedikit pun. Theo mengembuskan napas kasar. Tahu betul Travis masih berdiri kaku tidak jauh dari posisinya. Bayangan kaki pria itu utuh membias di bawah sinar lampu ruang rawat VIP.“Aku memintamu pergi.”“Tidak. Kecuali Anda diperiksa lebih dulu,” bantah Travis. Semakin mengetatkan lipatan lengan di depan dada.“Aku sedang tidak ingin berdebat.”“Itu karena Anda tidak punya tenaga untuk melakukannya.”Travis mengubah gestur tubu
“Sial!”Tubuh Verasco terdorong bersama revolver yang jatuh terlempar ke bawah. Timah panas, yang seharusnya melubangi isi kepala Rose meleset jauh. Verasco berpaling, menyentak keberadaan seseorang di sampingnya. Theo dengan perban di kepala baru saja menggagalkan rencana yang dia buat.Verasco tidak punya waktu mempertahankan kemarahan memuncak. Dia merangkak cepat meraih revolver sekadar mengulangi perbuatan kejinya. ‘Yang terbaring, yang harus mati’. Sampai satu detik berlalu, dia masih mematenkan kalimat demikian. Tidak ada ampun baginya. Rose merupakan sasaran paling empuk. Sasaran paling bisa memuaskan hasrat dan segala yang terpedam.“Jangan coba – coba kau lakukan ini padanya.” Theo menggeram tajam. Mencegat tindakan Verasco seperti yang dia lakukan pertama kali setelah masuk ke ruang rawat Rose.Beberapa saat sebelum jarum suntik Travis tenggelam di tubuhnya. Theo secara naluri menyerang Travis dengan sebelah tangan yang terbebas. Merenggut benda kecil dan runcing tersebut,
“Lepas! Aku bisa jalan sendiri.”Verasco mengibas kedua tangan dan merapikan lipatan – lipatan kain kusut yang terbalut di tubuhnya. Theo selalu menentang Verasco, alasan paling tepat mengapa dia tak mau menganggap keberadaan Theo, apalagi sampai memanggil nama pria itu secara sadar. Jauh lebih baik Verasco menyamakan Theo seperti Zever, hingga di hari dia dan Zever bisa kembali bertemu.Verasco berpaling. Masam wajahnya meninggalkan perkarangan rumah sakit. Dia masuk ke dalam mobil dengan pikiran berapi – api. Gagal rencana yang dibuat ... dia tak akan menyerah semudah itu. Jika terburu – buru merupakan keputusan yang membuatnya tidak berhasil. Verasco akan mendetailkan setiap langkah – langkah yang akan dia ambil. Tidak saat ini.“Saya mendapat kabar bahwa Elijah beserta bawahannya sudah siuman, Tuan.”Sebuah informasi mengalihkan perhatian Verasco. Tentu saja dia memiliki masalah lain. Alat yang ditemukan Selena di kerah pakaiannya waktu itu memiliki hubungan erat dengan beberapa ke
“Lipstik yang kau berikan terlalu merah, Beatrace!” protes Travis tak suka. Beberapa kali menyeka bibir di depan cermin kecil hanya untuk menghilangkan jejak warna yang bersemayam di sana.“Tuan bilang kau harus cantik.”Suara Lion menyahut lantang. Dia bersandar di dinding pintu, puas terhadap penampilan Travis yang disulap persis seorang suster cantik.“Diam saja kau. Tidak usah banyak bicara!” Travis menarik lepas sebelah heels, berniat untuk melempar benda tersebut. Alih – alih hal itu terjadi, Beatrace mengambil andil sebagai penegah.“Tuan sudah menunggumu, pergilah.”“Nah, kau dengar itu, Trixia? Tidak usah marah – marah, cepat ketuk pintu dan masuk ke dalam.”“Aku bukan Trixia!” Travis mengembalikan cermin kecil Beatrace. Memalingkan wajah sinis, lalu mendorong kusen pintu kamar utama dari mansion besar itu.Agak tersentak Travis menyorot di mana posisi Theo. Langkahnya pelan kesusahan menggunakan heels dan seragam yang menjuntai separuh paha. Travis merapikan penampilan sesaa
Sama – sama diam. Sama – sama bersandar di kepala ranjang. Keduanya tidak saling bicara. Tidak ada yang memulai. Tidak ada yang ingin mengusaikan keheningan. Theo sibuk bersama laptop maupun ponsel. Sementara Rose diam menunggu kabar dari Aiden. Dari sore hingga menjelang tengah malam, pria itu belum juga menghubunginya.Rose mendesah. Sesekali melirik monitor yang menyala di hadapan Theo. Tampilan web menunjukkan gambar anatomi tubuh manusia—wanita dan rentetan kalimat panjang bergulir bersama kursor yang terus berpindah. Ntah apa tujuan Theo mempelajari hal itu. Rose tak berusaha menanyakan secara langsung, atau mungkin sudah tak berniat tahu apa pun terhadap sesuatu yang Theo lakukan dan sembunyikan. Sudah jelas ... hubungan mereka memang tidak sehat. Hanya akan menjadi racun, yang membunuh secara perlahan.Wajah Rose berpaling di mana ponselnya terletak. Berharap agar setidaknya Aiden mengirim pesan dan memberi kabar. Tapi layar benda pipih itu gelap. Beda halnya kepunyaan Theo b
“Itu Om T, Mommy.”Berdua duduk di sofa ruang tamu. Oracle bergegas cepat merangkak di atas pangkuan Rose, dan mendekap wanita itu erat. Wajahnya disembunyikan dalam – dalam ... lambat laun mengencangkan lingkar lengan di tubuh ramping Rose, demi menghindari derap Theo yang semakin tak terelak.“Apa Om T sudah dekat?”Rose diam tak menjawab. Theo sudah menjulang tinggi, tanpa peringatan sedikit membungkuk—menepis jarak mereka bertiga. Dia sibuk mencari wajah terbenam Oracle hingga tidak menyadari Rose sedang menelusuri memar samar – samar yang tersemat di tulang pipi dan sudut matanya.“Kenapa menghindari Om T, huh?” Pertanyaan Theo membuat Oracle terkesiap. Rengkuhannya terlepas begitu Theo menarik kedua lengan Oracle dan memindahkan bocah itu duduk tepat di samping Rose. “Mommy Rose sedang sakit. Tidak boleh memangku Oracle seperti tadi.”Oracle tidak membantah. Theo memang tegas tidak dengan nada marah, tapi Rose menganggap Theo berlebihan. Sampai detik ini, sedikit – sedikit Rose
Dor!Satu lesatan melucur dari jarak dekat. Peluru itu mengoyak daging hingga darah berembes deras. Theo diam membiarkan timah panas masih bersarang di lengannya. Memperhitungkan gerakan Xelle yang melempar senjata api ke atas sofa, dan menarik Rose mendekat.“Berikan tanganmu.”Pria itu berucap dingin. Meraih jemari yang tersemat cincin dengan tiga permata tanzanit. Gelagak darah Theo serupa air terjun, jatuh mengalir, dimanfaatkan Xelle untuk menyatukan telapak tangan Rose di sana. Seluruh permukaan tak bernoda, kini termakan sewarna merah dan anyir yang melekat. Campuran biru dan ungu dari batu permata itu mengalami perubahan seiring bersentuhan cairan kental milik lelaki yang tengah terluka. Perlahan – lahan cincin itu melonggar. Rose menatap wajah Theo sesaat, tak mengerti mengapa hal demikian bisa terjadi. Selama ini cara yang Rose pertanyakan, akhirnya terjawab.“Jangan bawa Rose pergi.”Satu ungkapan Theo terdengar sayup – sayup.“Jangan jauhkan kami.”Ungkapan berikutnya mas
“Kau dan Travis ngomongin apa?”Rose merasa seperti dibicarakan dan ingin tahu pembahasan yang membuat Theo tampak berbeda. Ekspresi itu benar - benar dalam dan tak pernah Rose lihat sebelumnya.“Bukan apa – apa. Aku cuma bertanya pada Travis tentang beberapa hal yang tidak bisa kau campuri.”“Hal yang tidak bisa aku campuri?” Rose mengulang pernyataan Theo dengan kernyitan heran. Dia yakin keterlibatannya dengan topik berbahasa Italia itu sangat erat. Tapi Rose tidak bisa memaksa Theo. Pria itu sangat tertutup.“Tidurlah, Sugar. Kau harus istirahat.”“Aku baru bangun tadi.”“Benarkah?” Pelan kekehan Theo pura – pura bertanya padanya. Rose menikmati setiap sentuhan yang pria itu berikan. “Jangan mau diajak pergi, ya.”Ada kejut yang tidak bisa Rose netralisir. Sebentar – sebentar Theo bersikap jauh dari dugaannya. Sebentar – sebentar kemudian pria itu menunjukkan sesuatu yang tidak bisa Rose teliti dengan baik. Semua yang Theo sembunyikan dikemas terlalu rapi, lubang – lubang yang ada