“Rose.”Satu panggilan suara mengirim sugesti menjeda tindakan Rose yang nyaris berpijak pada anak tangga pertama. Rose berbalik badan. Terperangah oleh keberadaan Xelle yang menjulang tidak jauh dari posisinya.“Aku ingin mengatakan sesuatu.”Masih di tempat yang sama, pria itu memberi gestur yang Rose pahami dengan baik. Dia sudah ingin menghampiri. Justru cekalan Theo ketat—menatapnya dingin.“Sebentar saja,” ucap Rose. Berusaha menarik lepas pergelangan tangannya sendiri.“Dia akan menculikmu dariku.” Nada tajam mendesis, berayun – ayun merambat masuk indra pendengaran Rose. “Itu tidak mungkin. Lepas, Theo. Aku mau bertemu Axe sebentar.” Berkali lipat cengkeraman itu memberi Rose rasa sakit. Kebas mulai menjalari urat – urat tangannya.“Theo!” lirih Rose setengah jengkel.“Aku tidak percaya. Apa jaminannya kau tidak akan mencurangiku?”Harus dengan cara apa Rose membuat isi kepala itu melepuh. Theo sungguh tak bisa dikendalikan. “Kau bukan anak kecil lagi. Seharusnya bisa berpikir
Setengah jam dipaksa lebih cepat memacu di tengah hiruk pikuk kendaraan rupanya tak membuat Xelle sampai tepat waktu. Dia berulang kali mengumpat di depan pintu apartemen. Bridgette satu langkah melampauinya dan mungkin sudah bertemu dengan seseorang di dalam sana.“Kau mencariku?” Suara lembut mengalun tepat di belakang Xelle. Tubuh menjulang itu berbalik menemukan Bridgette melipat kedua lengan di depan dada.“Kenapa kau ke sini?” Ada kelegaan bertaut di mata heterochromia yang Bridgette temukan. Seharusnya sejak pertama kali sampai dia menerobos ke dalam. Namun, Bridgette memperhitungkan langkah Xelle yang ternyata benar menyusul.Lengan Bridgette lepas menjuntai di samping tubuh. “Aku cuma ingin lihat kejutan macam apa yang akan suamiku berikan.” Bridgette mengedikkan bahu tak acuh. Wajahnya datar melewati Xelle dan meraih ganggang pintu apartemen.“Kau tidak bisa sembarang masuk ke apartemenku, Bridgette.” Xelle mendesis tajam. Gagal tujuan Bridgette melewati ambang pintu saat l
Berlarut – larut pikiran Rose memandang secarik kertas—hasil sonografi kehamilan tempo waktu lalu. Hatinya rapuh dipaksa bertarung ... menghidupkan kembali sesuatu yang telah redup. Sapuan jemari Rose pelan mengusap – usap bahan thermal di hadapannya. Ntah senyum getir atau mengikhlaskan yang bertahan di wajah Rose. Dia merasa begitu kosong. Tidak ada kelengkapan yang bisa membawa Rose keluar dari jurang terjal. Tidak tahu kapan perasaan sakitnya akan berangsur. Sedikit – sedikit Rose mulai belajar melepaskan kalau memang mempertahankan sesuatu yang bukan miliknya tindakan tidak benar.“Sugar.”Rose terkesiap menatap pintu kamar hotel. Kepala Theo separuh timbul dan wajah memar – memarnya tampak setengah. Refleks Rose cepat menyembunyikan gambar hitam-putih itu ke belakang tubuh. Mengambil posisi tegap di sandaran ranjang.“Aku membawakan es buah untukmu.”Pelan – pelan Rose menggeser sekadar memberi Theo ruang duduk di dekatnya. Atensi Rose tertuju pada semangkok plastik besar terbu
Semua yang Xelle katakan, secara keseluruhan adalah bom besar. Dimulai dari pria itu mabuk dan berakhir menidurinya. Bridgette benar – benar tak menyangka bahwa Xelle tidak dalam keadaan sadar. Dia tidak tahu solusi seperti apa yang bisa mengimbangi kerumitan di antara mereka. Tentang keberadaan Lucette dan Acampeliaz. Bagaimanapun anak perempuan itu tidak bersalah, bahkan tidak minta hadir di dunia karena sebuah kesalahan. Tapi Lucette ... Bridgette sungguh tidak bisa membagi suami. Dia memaksakan diri saling menatap dengan mata heterochromia itu.“Aku anggap itu kebodohanmu di masa lalu. Sekarang katakan kenapa kau masih menyimpan Lucette di apartemen, jika kalian memang tidak memiliki hubungan lain?”Belum ada jawaban. Hanya sesekali suara mobil keluar dari wilayah parkir. Ekspresi wajah Xelle ragu mengungkapkan sebuah kenyataan pada Bridgette.“Aku tidak punya waktu menunggumu terlalu lama. Oracle sebentar lagi akan pulang.”“Kau bisa bicara atau keluar dari mobilku, Axe,” ucap Br
Dua minggu terasa cukup panjang. Himpunan masing – masing hari setiap saatnya mengandung badai elektrik yang membawa Rose pada ketegangan. Beragam macam perasaan dia lalui. Beberapa dipengaruhi oleh kepergian Theo, sisanya karena prosedur kecil yang harus Rose jalani bersama Travis dan Penelope, teman sejawat Travis. Namun, beda spesialis atau yang tidak Rose ketahui ... Penelope seorang ginekolog. Dokter yang ahli dalam ilmu yang berkenaan dengan fungsi alat tubuh dan penyakit khusus pada wanita.Berbagai pertanyaan sudah Rose lontarkan pada Travis. Dia selalu mendapat jawaban yang sama, ‘demi kesembuhan maupun pemulihan secara total’.Perhatian Rose menyapu bersih penjuru ruangan. Beberapa menit lalu Rose baru menerima suntik injeksi. Sementara Travis di hadapannya sibuk menulis sebuah catatan buku. Wajah tampan itu terlalu fokus.“Travis, apa aku boleh pergi? Sudah tidak ada lagi, kan, yang harus dilakukan?” tanya Rose ketika Travis tanpa sengaja menatapnya. Pria itu melirik arloj
Goresan lipstik dari ujung ke ujung bibir setengah pucat Rose menjadi polesan terakhir make-up yang membalur di wajahnya. Rose merapikan surai pirang bergelombang tebal di bagian bawah. Dress hitam mini dengan lengan setali dan tas selempang kecil siap membawanya berlayar ke dunia luar. Lamat dia memandangi gelang pemberian Xelle. Untuk sementara Rose tidak bisa memakainya. Dia bisa telacak dan tak mau Xelle terlibat. Dengan senyum samar di wajah, Rose membuka kait gelang tersebut, menyimpannya aman di bawah bantal. Akan Rose tunjukkan bahwa bukan Theo saja yang bisa melakukan sesuatu yang sifatnya melampaui batas. Theo harus menuai apa yang pria itu tabur. Rose akan membayar tunai dengan keputusannya saat ini. Dia beranjak keluar kamar. Mendekati Lion di depan gerbang pintu keluar. “Pinjam aku kunci mobilmu, Lion.” Rose berdiri tepat di samping pria yang menatapnya heran.“Anda mau ke mana, Nona?” Raut wajah Lion waspada. Netranya tak pernah lepas dari penampilan seksi Rose. Dia
“Engh!” Rose mengerang ....Gigitan keras menarik ujung bibirnya. Kemudian lidah basah melesak mencecap rasa pahit dari sisa – sisa cairan alkohol. Rose setengah sadar merasa terangkat, sekaligus menyadari dua lengan besar kian melingkar dan mengetat. Rengkuhan kasar menekan permukaan dada Rose, hingga dapat merasakan tubuh berotot menguncinya.Satu hentakan brutal melempar Rose jatuh ke atas ranjang. Pria itu merangkak disertai niat melepas selempang tali yang bersinggungan di bahu Rose. “Tunggu dulu.” Dia menahan pria itu. Hades ... dari separuh ingatan yang Rose punya.Gerakan Rose lambat mengeluarkan ponsel dari tas yang masih dikenakan. “Kita foto dulu,” ucap Rose menarik wajah Hades menyatu dengan kulit pipinya. Itu pose pertama. Kedua, Rose menjatuhkan bibir dan mengecup rahang bersih tanpa akar rambut seperti yang dirasakan saat melakukan hal tersebut pada Theo.Dua gambar terekam hampir sempurna. Rose mengulik ponsel dengan pandangan buram, tidak bisa menatap lama sinar yan
“Bajingan!”Rose menarik diri dari kungkungan Theo. Satu tamparan penuh amarah menyantap permukaan wajah pria di hadapannya. Bekas memerah itu tak padam. Reaksi lain yang nyaris tak pernah Rose lihat melebur – lebur dengan ekspresi yang berubah – ubah. Rose sadar Theo bukanlah hal yang baik untuknya. Perlahan beringsut mundur demi kewarasan. Dia tak ingin kegilaan ini membaur menguasai keadaan hati yang terluka oleh penghinaan itu.“Aku tidak murah. Aku melakukan seperti yang seharusnya aku lakukan. Tapi meniduri wanita lain secara sadar dan menginginkan anak darinya saat kau memiliki istri yang baru saja keguguran ... itu akan kau sebut apa? Sesuatu yang wajar?” Rose menyeka air yang menganak di pelupuk mata. Raut wajah Theo menunjukkan sisi yang berbeda. Rose sungguh tak bisa memahaminya, tapi inilah waktu yang tepat untuk menghakimi pelaku pengkhianat seperti Theo.“Kau tahu dari mana hal itu?” Pelan sorot abu Theo memejam. Bunyi gemelatuk rahang menambah pacuan debaran jantung Rose
Kepergian Zever secara tiba – tiba cukup membekas di benak Rose. Saat itu dia dan Travis diam memperhatikan punggung milik dua orang yang menjauh. Rose tak berani mengatakan apa pun kala dia sendiri menyadari Travis seketika meninggalkannya—Travis menunduk dan Rose harap pria itu baik – baik saja, lantas ikut menyusul dengan langkah hati – hati membawa bayi kembarnya masuk ke dalam gedung mansion.Dua jam usai kejadian di taman belakang, dan setelah menidurkan anak – anak Rose segera menyusul keberadaan Zever. Lewat pesan – pesan yang diberikan kepada Lion, Rose tentu memantau apa pun yang terjadi di luar. Termasuk menanyakan bagaimana kondisi Travis. Pria itu sudah bersikap seperti semula, tetapi satu yang bermasalah. Zever di ruang tamu dengan riak wajah begitu dingin dan manik mata kelabu yang menatap setengah kosong menyusun sambungan miniatur di atas meja.Berulang kali Rose menarik napas sekadar memantapkan diri duduk di samping suaminya.“Zever,” panggil Rose ingin memastikan p
“Aku sudah selesai, Theo. Sekarang giliranmu—“ Pikir Rose, setelah keluar dari kamar mandi sekaligus mengganti pakaian di sana. Dia akan menemukan Theo menjaga ketiga bayi mereka dengan posisi semestinya, tetapi tubuh besar itu—dalam tidur menyampingnya seolah lebih lelap dari ketiga bayi yang memejam tenang. Kelelahan. Begitu yang Rose tafsirkan, karena hari – hari belakangan ini Theo sering sekali menyibukkan diri di tengah malam—menjaga bayi – bayi mereka, sementara Rose dipaksa untuk tetap beristirahat. Senyum Rose tipis sambil mengusap puncak kepala Theo. Hanya sesaat dia beralih pada tiga bayi kembarnya untuk dipindahkan ke dalam troli. Rose akan membawa mereka untuk berjalan – jalan di taman belakang. Selesai memindahkan dia kembali mendekati Theo sekadar menutup tubuh suaminya dengan selimut tebal. “Kami pergi dulu.” Singkat Rose mengecup sudut wajah Theo. Dia mendorong troli dengan hati – hati menuju lift. Rose sudah tahu di mana letaknya, cukup tersembunyi—dan Theo memang
“Aku mendapat cucu yang banyak.”Tawa O’Douglas pecah persis seperti kapten bajak laut yang baru saja menemukan harta karun bersejarah. Masing – masing lengan pria paruh baya itu mengapit dua bayi mungil, sementara bayi mungil yang lain berada di dekapan Verasco—yang terus menimang, sesekali mendekatkan bayi – bayi tersebut dengan guyonan ringan.Ntah apa yang bisa Rose katakan ketika menyaksikan anak – anaknya langsung diserbu begitu Verasco dan O’Douglas masuk ke ruang rawat. Dia baru selesai menyusui, sehingga bayi – bayi yang kekenyangan hanya akan tidur sepanjang hari, dan tidak merepotkan kedua kakek mereka.“Kau dari tadi tak pernah berhenti menatapku,” ucap Rose pelan. Sering kali Theo menyorot wajahnya, tetapi saat ini manik kelabu itu membinarkan sesuatu yang berbeda. Begitu penuh cinta dan sebagian tak bisa Rose tafsirkan dengan benar. Bagaimana mungkin Rose tahan dibidik sedemikian lamat. Theo harus, sekali saja, berpaling darinya.“Terima kasih, Sugar.”Sentuhan lembut di
Rose tak menyangka Theo akan membawanya sampai ke pulau Ortogia, pusat sejarah Kota Sirakusa, Sisilia, untuk menikmati keindahan laut Mediterania. Aroma – aroma di tepi laut itu memberi keindahan yang menyejukkan. Rose bahkan tak melupakan bahwa Theo tidak sekali pun melepaskan tubuhnya di pundak lebar pria tersebut setelah menyusuri sepanjang gedung – gedung tua di pulau – pulau Ortogia.“Ini rumah siapa?” tanya Rose memandangi sebuah bangunan kokoh yang seperti dikhususkan untuk ditinggali dua orang.“Rumah kita.”Tidak banyak yang dapat Rose katakan, kecuali menyematkan wajahnya dalam – dalam di ceruk leher Theo. Aroma maskulin itu masih sangat menguak, bahkan usai sepanjang hari mereka memberikan jamuan kepada para tamu, seakan – akan cairan parfum pun sangat betah menjamah kulit liat Theo.“Mau langsung tidur atau mandi dulu, Sugar?”Di depan sebuah pintu Theo menghentikan langkah sekaligus membiarkan Rose berpijak di atas lantai. Antara ragu dan butuh sesuatu yang segar akhirnya
“Sudah siap?”Rose mengangguk saat Theo bicara di atas puncak kepalanya. Dia memang berdiri membelakangi Theo, memegang ganggang pisau pemotong kue yang panjang, sementara jemari besar Theo menggenggam hangat tiap – tiap buku tangannya.Kue bertingkat – tingkat itu, atau tak jauh berbeda dengan menara rapuh sedang terbelah. Irisan mata pisau perlahan menurun ke bawah menjadi simbol ketajaman. Rose tersenyum nyaris meleburkan tawa ketika Theo membisikkan sesuatu yang lucu untuknya, yang lucu tapi tak akan Rose beritahu pada siapa pun. Biar dia menyimpan sendiri dan menjadikan itu momen menyenangkan yang penting.Setelah potongan kue pertama seharusnya Rose dan Theo saling memberi suapan. Alih – alih demikian Theo sebaliknya mencongkel krim dan segera mengoleskan ke bibir bawah Rose. Wajah Rose tampak berepotan, namun itulah yang Theo inginkan. Dia merampas bibir Rose seperti merampas kue yang sangat lezat.Manis dari campuran gula dan mentega seakan membuat Theo tak pernah puas. Dia mem
“Sudah. Aku sudah kenyang.”Lagi – lagi Rose harus menahan diri saat jemari besar Theo berusaha menyingkirkan semangkok bubur putih di tangannya.“Sedikit lagi, Theo. Kau harus menghabiskan buburmu.”“Ayo.”Sesendok bubur kembali Rose dekatkan, tetapi wajah itu menolak.“Jangan memaksaku makan bubur yang tidak enak, Sugar. Rasanya hambar.”“Makanya kalau makan sambil lihat aku, biar ada rasanya.”“Satu suapan lagi. Aku janji setelah ini selesai.”“Aku tidak percaya. Kau mengatakan itu sejak tadi, apa kau tidak ingat?”Rose menyengir lebar benar – benar mengelabuhi Theo. Pria itu persis anak kecil yang kehilangan nafsu makan. Sulit sekali dibujuk untuk membuka mulut.“Kali ini aku serius yang terakhir. Ahk ... buka yang lebar.”Rose pikir Theo akan segera menerima suapan darinya. Pria itu justru menggerakkan siku tangan Rose, memindahkan haluan sendok ke bibir Rose sendiri.“Kau juga harus makan.”“Tadi aku sudah makan,” bantah Rose, tetap saja dia tak bisa menyangkal satu suapan mendar
Satu hari setelah Theo sadar akhirnya Rose memutuskan kembali sejenak ke rumah, tempat di mana dia pernah tinggal seorang diri yang bersebelahan dengan restoran kecil miliknya. Saat ini tidak banyak yang Rose lakukan selain mempersiapkan diri menemui Theo di rumah sakit. Rose segera mengendarai mobil—milik ayahnya yang dipinjam. Di kursi penumpang belakang dia meletakkan sebuah kotak berukuran sedang dengan beberapa lubang di dalamnya yang dibungkus sangat cantik. Sementara di sampingnya duduk seekor anjing kecil lucu berbulu keriting dan warna putih seperti kapas. Kemarin Rose baru saja membeli ras anjing pudel tersebut di toko hewan. Tertarik. Hanya itu yang menggambar keinginan Rose membawa pulang pudel yang diberi nama Cocomelo.“Kita sudah sampai.”Rose menyiapkan tas ransel khusus untuk membawa Cocomelo di pundak, agar saat pertama kali masuk ke ruang rawat Theo tak langsung bertemu dengan Cocomelo-nya selain Rose yang akan memperlihatkan. Dan di tangannya, dia membawa kotak be
Sekembali dari kamar mandi Rose pikir akan dihadapkan pada situasi yang sama. Dia sudah mewanti dengan menunggu lebih lama di ruang lembab sampai beberapa suara dari luar meredup. Tetapi semua yang Rose perkirakan tidak benar adanya. Rembesan darah di lantai ketika dia membuka pintu sudah hilang tak berjejak. Bawahan Verasco ... bahkan Verasco itu sendiri pun sudah tak terlihat ada di sana, di ruang rawat suaminya. Hanya tersisa Lion yang menunggu sangat tenang, bersedekap dada sambil memperhatikan Theo tanpa suara.“Kau masih di sini, Lion? Di mana yang lain?” tanya Rose begitu langkahnya menyisir di sisi blankar.“Tuan Verasco meminta saya menunggu di sini, Nona.”Perhatian Lion akhirnya teralihkan. Rose menduga pria itu baru pulang dari kantor kepolisian lalu membantu Verasco dan Elijah untuk mengeksekusi George. Terkait pengkhianatan yang dilakukan George, mungkin itu menjadi kecamuk rasa waspada bagi Verasco agar lebih intoleran terhadap niat – niat terselubung dan apa pun yang ba
“Dalam perjalanan menuju rumah. Kisah mereka berakhir bahagia. Selesai.”Rose menutup buku setebal kurang lebih 400 halaman dan meletakkan buku tersebut di atas nakas. Membacakan kisah – kisah manis menjadi rutinitasnya beberapa hari terakhir. Senyum Rose tipis menatap wajah suaminya yang terbaring begitu tenang. Pagi tadi alat bantu napas baru saja dilepas menandakan kondisi Theo semakin membaik pasca kejadian tombak berdarah. Beruntung mereka segera membawa Theo untuk mendapat penanganan tepat. Tiga kali Theo harus menjalani tindakan operasi. Pria itu kehilangan banyak darah, sehingga membutuhkan transfusi secepatnya. Rose ingat beberapa perdebatan terjadi di antara mereka terkait Theo yang memiliki darah sangat langkah, bahkan Verasco pun tak berdaya tentang itu. Hanya Dara ....Demikian yang Verasco katakan saat itu dengan nada suara gemetar penuh. Seperti begitu sesal. Benar – benar menyesal, sampai akhirnya Travis menyarankan beberapa orang yang masih tertinggal di Italia untuk