“Bajingan!”Rose menarik diri dari kungkungan Theo. Satu tamparan penuh amarah menyantap permukaan wajah pria di hadapannya. Bekas memerah itu tak padam. Reaksi lain yang nyaris tak pernah Rose lihat melebur – lebur dengan ekspresi yang berubah – ubah. Rose sadar Theo bukanlah hal yang baik untuknya. Perlahan beringsut mundur demi kewarasan. Dia tak ingin kegilaan ini membaur menguasai keadaan hati yang terluka oleh penghinaan itu.“Aku tidak murah. Aku melakukan seperti yang seharusnya aku lakukan. Tapi meniduri wanita lain secara sadar dan menginginkan anak darinya saat kau memiliki istri yang baru saja keguguran ... itu akan kau sebut apa? Sesuatu yang wajar?” Rose menyeka air yang menganak di pelupuk mata. Raut wajah Theo menunjukkan sisi yang berbeda. Rose sungguh tak bisa memahaminya, tapi inilah waktu yang tepat untuk menghakimi pelaku pengkhianat seperti Theo.“Kau tahu dari mana hal itu?” Pelan sorot abu Theo memejam. Bunyi gemelatuk rahang menambah pacuan debaran jantung Rose
“Jika kau tidak menyentuh wanita lain, dari awal kau bisa berkata jujur. Ceritakan padaku apa yang akan kau lakukan atau ke mana kau akan pergi. Tapi kau menyembunyikan semuanya. Kau menyembunyikan semua hal. Apa yang bisa aku percaya dari seseorang seperti ini? Kau dan sikap tertutupmu dua kenyataan yang tak bisa aku kalahkan. Aku lelah, Theo. Lebih baik kita pisah. Aku akan minta bantuan Lion sebagai pengacaraku untuk mengurus surat cerai.”Rose menghentikan kalimat panjangnya dengan tarikan napas panjang. Ditatap lama kerongkongkan Theo yang tampak naik turun. Sepertinya pria itu sedang mempersiapkan diri untuk mengatakan sesuatu. Tubuh Theo perlahan mundur. Hal demikian tak luput dari perhatian Rose, bahkan sampai Theo duduk di pinggir ranjang dan membelakanginya.“Rencanaku, yang aku simpan selama ini bisa bocor di tangan seorang mafia. Itu ketika aku menyimpannya sendiri. Sekarang bisa kau jelaskan padaku, apa akan ada kemungkinan rencanaku tidak bocor saat aku memberitahumu ata
“Aku tidak mengerti apa maksudmu di sini. Kau bisa jelaskan padaku langsung. Tidak usah bertele – tele.”Theo menyeka lembar demi lembar laporan dari Travis tanpa minat. Sejak Rose menyerahkan surat gugatan cerai padanya, tak ada yang menarik perhatian Theo. Hampir setengah hari dia mendekam di ruang kerja, tidak melakukan apa pun, hanya bersandar di sofa panjang ... memejamkan mata dengan kepala mendongak di sandarannya sebelum Travis datang membawa sesuatu yang tak coba dicerna baik.“Surat itu terkait kondisi Nona Rose, Tuan. Anda akan senang mendengarnya.”“Aku bilang tidak usah bertele – tele.” Netra abu Theo kembali memejam tak acuh. Kini meletakkan kedua kaki di atas meja kaca dan jemari yang saling bertaut di permukaan perut berotot.“Maaf mengenai hal ini, Tuan. Setelah melakukan pemeriksaan lebih lanjut, kami menemukan kesalahan, bahwa ternyata Nona Rose bisa mengandung.” Travis tahu betul bahwa Theo mungkin tak akan mengampuninya. Tiga kali memberikan informasi berbeda, seak
Di atas rooftop seharusnya Rose menikmati ketenangan seorang diri. Mengenyahkan pikiran buruk akan beberapa hal yang bersarang di benak jauh – jauh. Sikap Theo sedikit menghindarinya sejak mereka masing – masing bubar dari ruang berlatih, yang juga merupakan alasan mengapa Rose lebih memilih untuk melewati waktu yang tersisa di tempatnya berpijak.Rose mendongak membiarkan sulur – sulur angin menyapa wajah. Bibir wanita itu lengkung menerima sayup – sayup embusan berbisik di telinga. Memang tidak banyak yang Rose lakukan. Masif antara damai yang bertahan membuatnya betah berlama – lama. Tidak ada yang mengganggu ... sampai semburan air memecah bunyi percik mengudara di langit malam. Atensi Rose teralihkan. Dia sedikit beranjak, memperhatikan tubuh sempurna milik seseorang—diyakini suaminya, menyatu bersama benda cair. Dugaan Rose benar. Samar – samar mendapati Theo setengah mengapung dari sudut ke sudut lainnya dan terus dilakukan secara berulang. Ntah apa yang Theo pikirkan saat mem
Tatapan Rose kosong ke depan. Rasanya pernah meminta Theo untuk tidak mengonsumsi obat tidur. Tetapi yang Rose temukan justru botol berisi kapsul – kapsul tersebut di laci nakas.Rose berasumsi apa yang dilihat sebelumnya dan yang saat ini tersaji merupakan dua hal saling bersinggungan. Dia tidak berpikir keputusannya akan memengaruhi pikiran Theo. Harus Rose ingat, dia sedang mengeringkan rambut pria yang sedang tertidur menggunakan handuk kecil di tangan. Usapan pelan berlangsung tanpa niatan membangunkan Theo—posisi suaminya masih di tempat yang sama. Rose memaksakan diri fokus, menatap wajah terlelap nan damai itu. Senyumnya tipis nyaris tak tampak lengkung bibir. Ntah pilihan seperti apa yang harus Rose ambil. Bertahan atau cerai, keduanya bagian yang tidak bisa Rose pikirkan secara matang. Mungkin Rose bisa memberi Theo kesempatan, setidaknya pria itu dapat berlatih menjadi pribadi terbuka. Tidak usah bermuluk – muluk, cukup di hadapan Rose. Sisanya dia tak akan maksa dan itu a
Jantung Rose bertalu seiring derap pelan yang dituntut mengikuti langkah terburu suaminya. Bahu lebar itu tenggelam di antara dinding membentang separuh diameter ruangan. Rose sadar area taman belakang menjadi fokus utama Theo. Tidak tahu mengapa tetap memaksakan diri menyusuri jejak kepergian yang semakin jauh.Rasanya semua masih dalam kendali Rose saat menyembunyikan diri di pembatas pintu. Hal demikian dilakukan secara spontan ketika tubuh di hamparan yang sebagiannya hijau itu terhenti. Theo sesaat memandang ke belakang, yang Rose pikir suaminya menaruh rasa curiga. Sekarang Rose mengerti jangkauan pikirannya hanya dibuat penasaran. Dia tak butuh apa pun, selain mengetahui titik tujuan Theo melabuhkan pilihan.Di bagian ujung. Pada area terpojok dan tersembunyi. Rose menyaksikan secara langsung seperti bukan Theo yang bersimpuh. Suaminya tak pernah seringkih yang saat ini tersorot jelas. Bahu yang paling kokoh ... bagaimana mungkin merosot kehilangan arah, pun tampak diam menahan
Wajah Rose berpaling menepis sentuhan yang berakhir beku di udara. Seharusnya dia memberi Theo satu kesempatan untuk memperbaiki kesalahpahaman antara mereka. Tapi kenyataan baru yang dia temukan di taman belakang membuat Rose mantap memilih keputusan di hari itu. Sampai kapan pun Rose yakin tidak akan bisa mengubah Theo dalam bentuk yang dia inginkan. Theo tetaplah Theo, tidak akan pernah seperti Sean.Rose menarik napas dalam. “Surat cerai itu, tolong segera ditandatangani,” ucap Rose, tidak peduli bagaimana wajah Theo akhirnya menggelap. Dia hanya ingin terbebas. Sunguh tidak mau berikutnya rahasia lain justru terbuka saat dia memilih bertahan. “Aku tidak bisa menunggu lebih lama, Theo. Cepat bumbukan tanda tanganmu,” lanjutnya diikuti tarikan selimut tebal yang menutup separuh tubuh.“Kenapa, Rose ... kenapa hanya cerai, cerai, dan cerai yang ada di isi kepalamu?”Saat Theo menjulang di samping ranjang, Rose tahu itu bukan sesuatu yang baik. Nada bicara suaminya pun turut berubah.
“No!”Otot kaki Rose terasa melemah. Beberapa kali dia bergerak mundur. Apa saja ... Rose ingin sesuatu bisa membantunya berpijak di atas dua kenyataan yang menyentil secara bersamaan. Rose tahu Sean hanya bagian dari masa lalu, tetapi mau sejauh mana Rose menepis. Kenyataannya dia tidak bisa berhenti peduli. Diam tak memikirkan apa pun bukan reaksi dari tubuh Rose. Dia mencoba memahami, walau sampai kapan pun tak akan pernah mengerti. Semua yang saling terhubung akan selalu menjadi rumit tak terpecahkan.“Kau sangat lancang masuk ke ruanganku tanpa izin.”Napas Rose tercekat akan suara menyentak. Suaminya marah, tapi keseimbangan Rose berada di ujung jurang. Nyaris tak bisa berdiri tegap, justru satu sentuhan Theo membantunya menjadi kokoh. “Sean terluka,” gumam Rose, tak peduli nada mendesis yang menggaung sebelumnya. Dia tahu hanya Theo yang bisa diharapkan untuk menarik Sean keluar dari mara bahaya. Begitu pula hanya pria itu yang tahu di mana Sean berada.“Selamatkan Sean, The