“Yes, I could ... jika memang alasan seperti itu yang kau mau.”Rose ingin mengatakan hal demikian. Tapi satu – satunya tindakan yang dapat dia diambil hanya memberi Theo lumatan dalam sebagai pengganti kata, yang tak mampu dibahasakan. Sampai Theo pergi pun, hanya sentuhan bibir menjadi isyarat dan terbakar kebisuan. Rose tidak mungkin mengutarakan semua yang dirasa, khususnya dia masih tenggelam bersama dilema besar. Napas Rose berembus, kemudian memasang alat pendengar di kupingnya. Kembali duduk di atas ranjang adalah tujuan utama Rose. Dua layar monitor berada dalam pantauan. Satu mengindikasi keberadaan beberapa penjaga di masing – masing ruang yang terekam—sedang berlalu lalang, di antara mereka tak pernah lepas dari senjata api. Sementara monitor kedua dengan tampilan hitamnya, yang berarti Theo sedang melakukan perjalanan menuju gudang usang. Rose harus bersabar terhadap lensa kamera yang belum terbuka untuknya.[Test. Rose, do you hear me?]Rose terkesiap. Pertanyaan Theo s
“Tolong bertahan, Tuan.”Lion berkali – kali memalingkan wajah di tengah gempuran fokus menyetir, atau sekadar menatap dari sepion mobil demi memastikan kesadaran Theo masih mampu diraih sang empu. Wajah Theo pucat, terkadang tenggorokannya bergerak naik turun, maupun bibir yang lebih sering terkatup lalu terbuka tanpa suara.Sekilas ... yang tidak melihat secara detail akan mengira pria itu baik – baik saja. Kenyataannya jauh berbeda. Ntah berapa banyak luka yang Theo alami, semua tertutup nyaris sempurna oleh kain hitam membalut di tubuh—bagian bawah koyak penuh lubang. Adapula titik membasah, dan yang mengeras setelah bercak darah mengering.“Bertahan, Tuan ....”Nada bicara Lion untuk pertama kalinya tak sanggup pria itu kondisikan. Respons Theo terlalu sedikit, hampir tidak ada pergerakan apa pun. Memaksa Lion untuk menghentikan mobil dan berpaling secara utuh ke belakang.“Tuan?” Kulit tangan Theo dingin. Mata yang memejam semakin menambah kekalutan di benak Lion. Denyut nadi t
Rose terus bergumam kecil, sesekali mengusap wajah tidak tenang. Langkah kaki Rose bolak - balik berpindah sejajar garis lurus. Berharap Travis segera kembali dari urusannya.“Sudah, Nona.”Kebetulan pria itu muncul begitu Rose memperhatikan daun pintu.“Darah siapa yang kau pegang, Travis?” Kernyitan di dahi Rose saling bertaut. Dua kantong darah membuatnya merasa aneh. Untuk apa Travis menyetok cairan kental merah di dalam mansion.“Punya Tuan T. Kemarin baru saya ambil.” Travis fokus memasang selang yang tersambung antara jarum menusuk di pembuluh darah Sean dan ujung kantong yang tujuan isinya menjadi tanda tanya besar di kepala Rose.“Kenapa kau menyimpan darah Theo?” Rose berpikir ini waktu yang tepat mencari tahu. Travis mungkin bisa menjawab beberapa hal terlewat.“Karena memang harus saya lakukan, Nona.” Singkat senyum Travis tersemat di bibir. “Rh-null. Jenis golongan yang tuan miliki. Sangat langka, dan oleh karena itu tuan tidak boleh kehilangan banyak darah.” “Kami meman
“Ada kabar baik, Tuan. Dunia gelap sedang berduka. Polensius Vladimir ... tadi malam dikabarkan tewas. Dan jasadnya akan segera dikebumikan.”Sudut bibir tua itu tertarik ke atas. Berminggu – minggu lalu dia sudah mengharapkan berita tersebut. Tepat hari ini, kemenangan instan kian berpihak kepadanya. Dia benar – benar puas atas kematian Vladimir. Sejak mengetahui Theo membuka kembali sindikat yang putranya miliki. Kesempatan Verasco untuk membalaskan kepergian Dara terbuka lebar. Verasco tidak pernah senang terhadap keputusan Theo beberapa tahun lalu. Dengan memasukkan Vladimir ke dalam jeruji besi, lalu memilih hidup damai seperti orang – orang normal pada umumnya. Sangat tidaklah impas atas kehilangannya kala itu. Bunyi ketukan palu suatu kesakitan bagi Verasco. Tapi dia tak punya pilihan, selain tak ingin mengotori tangan sendiri dan merasa saat itu Theo memiliki tanggung jawab penuh atas nyawa putri tercintanya.Kesabaran Verasco berbuah manis. Dia tak salah membaca keputusan d
“Layani aku. Berapa harga yang kau inginkan?”Sedikit pun Verasco tidak membiarkan Rose jauh darinya. Dia mencengkeram rahang wanita itu ketat. Darah di sudut bibir Rose hal memuaskan. Mungkin satu tamparan di tempat yang sama akan lebih melukai Rose.Plak!“Aku suka ini.” Verasco menggerakkan jari – jemari yang terasa kebas. Hantamannya mendesak tubuh Rose jatuh mendekap lantai.“Kemari kau!” “Kenapa tidak meninggalkan putraku?”“Aku akan memberimu uang yang banyak. Layani aku dan tinggalkan putraku.”Selalu surai pirang itu menjadi sasaran hasrat gila Verasco. Sakitnya merontokkan helai demi helai rambut yang menjuntai di balik punggung. Verasco tersenyum sinis menemukan darah Rose semakin mengalir ke bawah.“Sepertinya akan sangat nikmat dilayani pelacur dengan kondisi seperti ini.”Ibu jari Verasco menekan bibir bawah Rose dalam. Memaksa Rose bersimpuh di bawah kakinya dengan hentakan kasar. Tidak sabaran tangan tua Verasco membuka belt yang mengikat di pinggul.“Cepat!”Dentum ja
“Terima kasih sudah bawa pakaian dan alat make up-ku, Travis.” Rose keluar dengan penampilan lebih baru. Riasan wajah sengaja dipoles agak tebal, demi menutup bekas lebam yang masih membekas. Derap Rose pelan menepis jarak beberapa meter dari blankar. “Tolong masalah tadi jangan sampai di tangan Theo. Aku tidak mau ada keributan lagi.” Dia mengulur lengan dan mengusap puncak kepala Theo. Kondisi suaminya masih sama. Enggan merekam keberadaan dan penantian Rose. Satu tindakan yang dapat Rose lakukan hanya memberi satu kecupan ringan.“Aku temui Sean dulu.” Rose tidak tahu itu suatu taktik atau benar sebuah permintaan. Tapi nada bicara Sean terdengar begitu tulus. Dia tidak bisa sepenuhnya menolak.“Kalau Theo sudah sadar kabari aku, Travis. Aku akan langsung kembali ke sini.” Tipis senyum Rose, kemudian mengusap rahang Theo sesaat.“Aku pergi dulu.” Dia bicara tepat menatap wajah Travis.“Tunggu, Nona ....” Pria itu ragu meneliti sayu wajah bermuram di hadapannya. “Lebam Anda tidak m
Sampai di mansion, sesuatu yang tidak pernah Rose bayangkan menyapa di depan mata. Surat gugatan cerai lengkap dengan tanda tangan kedua belah pihak, terhampar di atas ranjang bersama tiga mawar tergeletak asal. Di tangkainya terselip selembar kertas putih, ada pula kantong kecil berisi darah kental, yang dapat Rose pahami dengan baik apa fungsi dan tujuan Theo menyerahkan darah tersebut.Jantung Rose berdebar meraih mawar, yang tak lagi merah. Maksudnya, untuk kali ini Theo memilih pink mendium sebagai suatu pemberian.[Those roses are my last.]Begitu yang tertulis di sana. Mawar – mawar itu menjadi mawar terakhir yang akan Rose terima. Berikutnya tidak akan ada lagi tumbuhan perdu seperti yang Theo ucapkan—365 hari yang bahkan belum berlalu separuh.Tidak mengapa. Rose tidak mempermasalahkan keputusan Theo terhadap pilihan yang satu itu. Tetapi cerai ....Dia sudah memutuskan untuk tidak melanjutkan gugatannya sampai ke pengadilan. Justru kesalahpahaman menjadi duri dan mempertaruhk
“Ada yang tahu istri Theo sudah makan malam apa belum?”Rose mendatangi Lion dan beberapa rekannya saat mereka sedang berkumpul di ruang tengah. Dia tidak melupakan keberadaan Theo yang terlalu fokus seorang diri di sofa single, memainkan laptop di atas pangkuan. Bukan pemandangan baru bagi Rose—Theo dan robot kencannya tidak akan bisa dipisahkan.“Istri tuan? Maksudnya ... Anda, Nona?” Kening Lion mengerut. Sikapnya jauh lebih hangat setelah Rose mengajak mereka semua makan malam bersama.“Kau tadi lihat sendiri aku sudah makan. Yang kutanya istri Theo. Istri cantik dan berbulu itu.” Rose menunjuk dengan dagu posisi Esmeralda yang meringkuk di bawah kaki sofa. Nyaris. Dia nyaris mendengar kekehan, yang kemudian tertahan dari keempat pria di hadapannya. “Aku serius bertanya padahal,” lanjut Rose turut tak bisa menahan diri. Tetap—sorot yang menajam ke arahnya, membuat Rose menetralkan nada bicara. “Jadi ada yang tahu?”“Sepertinya belum, Nona.”Wajah Rose manggut – manggut, memikirka