Wajah Rose berpaling menepis sentuhan yang berakhir beku di udara. Seharusnya dia memberi Theo satu kesempatan untuk memperbaiki kesalahpahaman antara mereka. Tapi kenyataan baru yang dia temukan di taman belakang membuat Rose mantap memilih keputusan di hari itu. Sampai kapan pun Rose yakin tidak akan bisa mengubah Theo dalam bentuk yang dia inginkan. Theo tetaplah Theo, tidak akan pernah seperti Sean.Rose menarik napas dalam. “Surat cerai itu, tolong segera ditandatangani,” ucap Rose, tidak peduli bagaimana wajah Theo akhirnya menggelap. Dia hanya ingin terbebas. Sunguh tidak mau berikutnya rahasia lain justru terbuka saat dia memilih bertahan. “Aku tidak bisa menunggu lebih lama, Theo. Cepat bumbukan tanda tanganmu,” lanjutnya diikuti tarikan selimut tebal yang menutup separuh tubuh.“Kenapa, Rose ... kenapa hanya cerai, cerai, dan cerai yang ada di isi kepalamu?”Saat Theo menjulang di samping ranjang, Rose tahu itu bukan sesuatu yang baik. Nada bicara suaminya pun turut berubah.
“No!”Otot kaki Rose terasa melemah. Beberapa kali dia bergerak mundur. Apa saja ... Rose ingin sesuatu bisa membantunya berpijak di atas dua kenyataan yang menyentil secara bersamaan. Rose tahu Sean hanya bagian dari masa lalu, tetapi mau sejauh mana Rose menepis. Kenyataannya dia tidak bisa berhenti peduli. Diam tak memikirkan apa pun bukan reaksi dari tubuh Rose. Dia mencoba memahami, walau sampai kapan pun tak akan pernah mengerti. Semua yang saling terhubung akan selalu menjadi rumit tak terpecahkan.“Kau sangat lancang masuk ke ruanganku tanpa izin.”Napas Rose tercekat akan suara menyentak. Suaminya marah, tapi keseimbangan Rose berada di ujung jurang. Nyaris tak bisa berdiri tegap, justru satu sentuhan Theo membantunya menjadi kokoh. “Sean terluka,” gumam Rose, tak peduli nada mendesis yang menggaung sebelumnya. Dia tahu hanya Theo yang bisa diharapkan untuk menarik Sean keluar dari mara bahaya. Begitu pula hanya pria itu yang tahu di mana Sean berada.“Selamatkan Sean, The
“Yes, I could ... jika memang alasan seperti itu yang kau mau.”Rose ingin mengatakan hal demikian. Tapi satu – satunya tindakan yang dapat dia diambil hanya memberi Theo lumatan dalam sebagai pengganti kata, yang tak mampu dibahasakan. Sampai Theo pergi pun, hanya sentuhan bibir menjadi isyarat dan terbakar kebisuan. Rose tidak mungkin mengutarakan semua yang dirasa, khususnya dia masih tenggelam bersama dilema besar. Napas Rose berembus, kemudian memasang alat pendengar di kupingnya. Kembali duduk di atas ranjang adalah tujuan utama Rose. Dua layar monitor berada dalam pantauan. Satu mengindikasi keberadaan beberapa penjaga di masing – masing ruang yang terekam—sedang berlalu lalang, di antara mereka tak pernah lepas dari senjata api. Sementara monitor kedua dengan tampilan hitamnya, yang berarti Theo sedang melakukan perjalanan menuju gudang usang. Rose harus bersabar terhadap lensa kamera yang belum terbuka untuknya.[Test. Rose, do you hear me?]Rose terkesiap. Pertanyaan Theo s
“Tolong bertahan, Tuan.”Lion berkali – kali memalingkan wajah di tengah gempuran fokus menyetir, atau sekadar menatap dari sepion mobil demi memastikan kesadaran Theo masih mampu diraih sang empu. Wajah Theo pucat, terkadang tenggorokannya bergerak naik turun, maupun bibir yang lebih sering terkatup lalu terbuka tanpa suara.Sekilas ... yang tidak melihat secara detail akan mengira pria itu baik – baik saja. Kenyataannya jauh berbeda. Ntah berapa banyak luka yang Theo alami, semua tertutup nyaris sempurna oleh kain hitam membalut di tubuh—bagian bawah koyak penuh lubang. Adapula titik membasah, dan yang mengeras setelah bercak darah mengering.“Bertahan, Tuan ....”Nada bicara Lion untuk pertama kalinya tak sanggup pria itu kondisikan. Respons Theo terlalu sedikit, hampir tidak ada pergerakan apa pun. Memaksa Lion untuk menghentikan mobil dan berpaling secara utuh ke belakang.“Tuan?” Kulit tangan Theo dingin. Mata yang memejam semakin menambah kekalutan di benak Lion. Denyut nadi t
Rose terus bergumam kecil, sesekali mengusap wajah tidak tenang. Langkah kaki Rose bolak - balik berpindah sejajar garis lurus. Berharap Travis segera kembali dari urusannya.“Sudah, Nona.”Kebetulan pria itu muncul begitu Rose memperhatikan daun pintu.“Darah siapa yang kau pegang, Travis?” Kernyitan di dahi Rose saling bertaut. Dua kantong darah membuatnya merasa aneh. Untuk apa Travis menyetok cairan kental merah di dalam mansion.“Punya Tuan T. Kemarin baru saya ambil.” Travis fokus memasang selang yang tersambung antara jarum menusuk di pembuluh darah Sean dan ujung kantong yang tujuan isinya menjadi tanda tanya besar di kepala Rose.“Kenapa kau menyimpan darah Theo?” Rose berpikir ini waktu yang tepat mencari tahu. Travis mungkin bisa menjawab beberapa hal terlewat.“Karena memang harus saya lakukan, Nona.” Singkat senyum Travis tersemat di bibir. “Rh-null. Jenis golongan yang tuan miliki. Sangat langka, dan oleh karena itu tuan tidak boleh kehilangan banyak darah.” “Kami meman
“Ada kabar baik, Tuan. Dunia gelap sedang berduka. Polensius Vladimir ... tadi malam dikabarkan tewas. Dan jasadnya akan segera dikebumikan.”Sudut bibir tua itu tertarik ke atas. Berminggu – minggu lalu dia sudah mengharapkan berita tersebut. Tepat hari ini, kemenangan instan kian berpihak kepadanya. Dia benar – benar puas atas kematian Vladimir. Sejak mengetahui Theo membuka kembali sindikat yang putranya miliki. Kesempatan Verasco untuk membalaskan kepergian Dara terbuka lebar. Verasco tidak pernah senang terhadap keputusan Theo beberapa tahun lalu. Dengan memasukkan Vladimir ke dalam jeruji besi, lalu memilih hidup damai seperti orang – orang normal pada umumnya. Sangat tidaklah impas atas kehilangannya kala itu. Bunyi ketukan palu suatu kesakitan bagi Verasco. Tapi dia tak punya pilihan, selain tak ingin mengotori tangan sendiri dan merasa saat itu Theo memiliki tanggung jawab penuh atas nyawa putri tercintanya.Kesabaran Verasco berbuah manis. Dia tak salah membaca keputusan d
“Layani aku. Berapa harga yang kau inginkan?”Sedikit pun Verasco tidak membiarkan Rose jauh darinya. Dia mencengkeram rahang wanita itu ketat. Darah di sudut bibir Rose hal memuaskan. Mungkin satu tamparan di tempat yang sama akan lebih melukai Rose.Plak!“Aku suka ini.” Verasco menggerakkan jari – jemari yang terasa kebas. Hantamannya mendesak tubuh Rose jatuh mendekap lantai.“Kemari kau!” “Kenapa tidak meninggalkan putraku?”“Aku akan memberimu uang yang banyak. Layani aku dan tinggalkan putraku.”Selalu surai pirang itu menjadi sasaran hasrat gila Verasco. Sakitnya merontokkan helai demi helai rambut yang menjuntai di balik punggung. Verasco tersenyum sinis menemukan darah Rose semakin mengalir ke bawah.“Sepertinya akan sangat nikmat dilayani pelacur dengan kondisi seperti ini.”Ibu jari Verasco menekan bibir bawah Rose dalam. Memaksa Rose bersimpuh di bawah kakinya dengan hentakan kasar. Tidak sabaran tangan tua Verasco membuka belt yang mengikat di pinggul.“Cepat!”Dentum ja
“Terima kasih sudah bawa pakaian dan alat make up-ku, Travis.” Rose keluar dengan penampilan lebih baru. Riasan wajah sengaja dipoles agak tebal, demi menutup bekas lebam yang masih membekas. Derap Rose pelan menepis jarak beberapa meter dari blankar. “Tolong masalah tadi jangan sampai di tangan Theo. Aku tidak mau ada keributan lagi.” Dia mengulur lengan dan mengusap puncak kepala Theo. Kondisi suaminya masih sama. Enggan merekam keberadaan dan penantian Rose. Satu tindakan yang dapat Rose lakukan hanya memberi satu kecupan ringan.“Aku temui Sean dulu.” Rose tidak tahu itu suatu taktik atau benar sebuah permintaan. Tapi nada bicara Sean terdengar begitu tulus. Dia tidak bisa sepenuhnya menolak.“Kalau Theo sudah sadar kabari aku, Travis. Aku akan langsung kembali ke sini.” Tipis senyum Rose, kemudian mengusap rahang Theo sesaat.“Aku pergi dulu.” Dia bicara tepat menatap wajah Travis.“Tunggu, Nona ....” Pria itu ragu meneliti sayu wajah bermuram di hadapannya. “Lebam Anda tidak m
Kepergian Zever secara tiba – tiba cukup membekas di benak Rose. Saat itu dia dan Travis diam memperhatikan punggung milik dua orang yang menjauh. Rose tak berani mengatakan apa pun kala dia sendiri menyadari Travis seketika meninggalkannya—Travis menunduk dan Rose harap pria itu baik – baik saja, lantas ikut menyusul dengan langkah hati – hati membawa bayi kembarnya masuk ke dalam gedung mansion.Dua jam usai kejadian di taman belakang, dan setelah menidurkan anak – anak Rose segera menyusul keberadaan Zever. Lewat pesan – pesan yang diberikan kepada Lion, Rose tentu memantau apa pun yang terjadi di luar. Termasuk menanyakan bagaimana kondisi Travis. Pria itu sudah bersikap seperti semula, tetapi satu yang bermasalah. Zever di ruang tamu dengan riak wajah begitu dingin dan manik mata kelabu yang menatap setengah kosong menyusun sambungan miniatur di atas meja.Berulang kali Rose menarik napas sekadar memantapkan diri duduk di samping suaminya.“Zever,” panggil Rose ingin memastikan p
“Aku sudah selesai, Theo. Sekarang giliranmu—“ Pikir Rose, setelah keluar dari kamar mandi sekaligus mengganti pakaian di sana. Dia akan menemukan Theo menjaga ketiga bayi mereka dengan posisi semestinya, tetapi tubuh besar itu—dalam tidur menyampingnya seolah lebih lelap dari ketiga bayi yang memejam tenang. Kelelahan. Begitu yang Rose tafsirkan, karena hari – hari belakangan ini Theo sering sekali menyibukkan diri di tengah malam—menjaga bayi – bayi mereka, sementara Rose dipaksa untuk tetap beristirahat. Senyum Rose tipis sambil mengusap puncak kepala Theo. Hanya sesaat dia beralih pada tiga bayi kembarnya untuk dipindahkan ke dalam troli. Rose akan membawa mereka untuk berjalan – jalan di taman belakang. Selesai memindahkan dia kembali mendekati Theo sekadar menutup tubuh suaminya dengan selimut tebal. “Kami pergi dulu.” Singkat Rose mengecup sudut wajah Theo. Dia mendorong troli dengan hati – hati menuju lift. Rose sudah tahu di mana letaknya, cukup tersembunyi—dan Theo memang
“Aku mendapat cucu yang banyak.”Tawa O’Douglas pecah persis seperti kapten bajak laut yang baru saja menemukan harta karun bersejarah. Masing – masing lengan pria paruh baya itu mengapit dua bayi mungil, sementara bayi mungil yang lain berada di dekapan Verasco—yang terus menimang, sesekali mendekatkan bayi – bayi tersebut dengan guyonan ringan.Ntah apa yang bisa Rose katakan ketika menyaksikan anak – anaknya langsung diserbu begitu Verasco dan O’Douglas masuk ke ruang rawat. Dia baru selesai menyusui, sehingga bayi – bayi yang kekenyangan hanya akan tidur sepanjang hari, dan tidak merepotkan kedua kakek mereka.“Kau dari tadi tak pernah berhenti menatapku,” ucap Rose pelan. Sering kali Theo menyorot wajahnya, tetapi saat ini manik kelabu itu membinarkan sesuatu yang berbeda. Begitu penuh cinta dan sebagian tak bisa Rose tafsirkan dengan benar. Bagaimana mungkin Rose tahan dibidik sedemikian lamat. Theo harus, sekali saja, berpaling darinya.“Terima kasih, Sugar.”Sentuhan lembut di
Rose tak menyangka Theo akan membawanya sampai ke pulau Ortogia, pusat sejarah Kota Sirakusa, Sisilia, untuk menikmati keindahan laut Mediterania. Aroma – aroma di tepi laut itu memberi keindahan yang menyejukkan. Rose bahkan tak melupakan bahwa Theo tidak sekali pun melepaskan tubuhnya di pundak lebar pria tersebut setelah menyusuri sepanjang gedung – gedung tua di pulau – pulau Ortogia.“Ini rumah siapa?” tanya Rose memandangi sebuah bangunan kokoh yang seperti dikhususkan untuk ditinggali dua orang.“Rumah kita.”Tidak banyak yang dapat Rose katakan, kecuali menyematkan wajahnya dalam – dalam di ceruk leher Theo. Aroma maskulin itu masih sangat menguak, bahkan usai sepanjang hari mereka memberikan jamuan kepada para tamu, seakan – akan cairan parfum pun sangat betah menjamah kulit liat Theo.“Mau langsung tidur atau mandi dulu, Sugar?”Di depan sebuah pintu Theo menghentikan langkah sekaligus membiarkan Rose berpijak di atas lantai. Antara ragu dan butuh sesuatu yang segar akhirnya
“Sudah siap?”Rose mengangguk saat Theo bicara di atas puncak kepalanya. Dia memang berdiri membelakangi Theo, memegang ganggang pisau pemotong kue yang panjang, sementara jemari besar Theo menggenggam hangat tiap – tiap buku tangannya.Kue bertingkat – tingkat itu, atau tak jauh berbeda dengan menara rapuh sedang terbelah. Irisan mata pisau perlahan menurun ke bawah menjadi simbol ketajaman. Rose tersenyum nyaris meleburkan tawa ketika Theo membisikkan sesuatu yang lucu untuknya, yang lucu tapi tak akan Rose beritahu pada siapa pun. Biar dia menyimpan sendiri dan menjadikan itu momen menyenangkan yang penting.Setelah potongan kue pertama seharusnya Rose dan Theo saling memberi suapan. Alih – alih demikian Theo sebaliknya mencongkel krim dan segera mengoleskan ke bibir bawah Rose. Wajah Rose tampak berepotan, namun itulah yang Theo inginkan. Dia merampas bibir Rose seperti merampas kue yang sangat lezat.Manis dari campuran gula dan mentega seakan membuat Theo tak pernah puas. Dia mem
“Sudah. Aku sudah kenyang.”Lagi – lagi Rose harus menahan diri saat jemari besar Theo berusaha menyingkirkan semangkok bubur putih di tangannya.“Sedikit lagi, Theo. Kau harus menghabiskan buburmu.”“Ayo.”Sesendok bubur kembali Rose dekatkan, tetapi wajah itu menolak.“Jangan memaksaku makan bubur yang tidak enak, Sugar. Rasanya hambar.”“Makanya kalau makan sambil lihat aku, biar ada rasanya.”“Satu suapan lagi. Aku janji setelah ini selesai.”“Aku tidak percaya. Kau mengatakan itu sejak tadi, apa kau tidak ingat?”Rose menyengir lebar benar – benar mengelabuhi Theo. Pria itu persis anak kecil yang kehilangan nafsu makan. Sulit sekali dibujuk untuk membuka mulut.“Kali ini aku serius yang terakhir. Ahk ... buka yang lebar.”Rose pikir Theo akan segera menerima suapan darinya. Pria itu justru menggerakkan siku tangan Rose, memindahkan haluan sendok ke bibir Rose sendiri.“Kau juga harus makan.”“Tadi aku sudah makan,” bantah Rose, tetap saja dia tak bisa menyangkal satu suapan mendar
Satu hari setelah Theo sadar akhirnya Rose memutuskan kembali sejenak ke rumah, tempat di mana dia pernah tinggal seorang diri yang bersebelahan dengan restoran kecil miliknya. Saat ini tidak banyak yang Rose lakukan selain mempersiapkan diri menemui Theo di rumah sakit. Rose segera mengendarai mobil—milik ayahnya yang dipinjam. Di kursi penumpang belakang dia meletakkan sebuah kotak berukuran sedang dengan beberapa lubang di dalamnya yang dibungkus sangat cantik. Sementara di sampingnya duduk seekor anjing kecil lucu berbulu keriting dan warna putih seperti kapas. Kemarin Rose baru saja membeli ras anjing pudel tersebut di toko hewan. Tertarik. Hanya itu yang menggambar keinginan Rose membawa pulang pudel yang diberi nama Cocomelo.“Kita sudah sampai.”Rose menyiapkan tas ransel khusus untuk membawa Cocomelo di pundak, agar saat pertama kali masuk ke ruang rawat Theo tak langsung bertemu dengan Cocomelo-nya selain Rose yang akan memperlihatkan. Dan di tangannya, dia membawa kotak be
Sekembali dari kamar mandi Rose pikir akan dihadapkan pada situasi yang sama. Dia sudah mewanti dengan menunggu lebih lama di ruang lembab sampai beberapa suara dari luar meredup. Tetapi semua yang Rose perkirakan tidak benar adanya. Rembesan darah di lantai ketika dia membuka pintu sudah hilang tak berjejak. Bawahan Verasco ... bahkan Verasco itu sendiri pun sudah tak terlihat ada di sana, di ruang rawat suaminya. Hanya tersisa Lion yang menunggu sangat tenang, bersedekap dada sambil memperhatikan Theo tanpa suara.“Kau masih di sini, Lion? Di mana yang lain?” tanya Rose begitu langkahnya menyisir di sisi blankar.“Tuan Verasco meminta saya menunggu di sini, Nona.”Perhatian Lion akhirnya teralihkan. Rose menduga pria itu baru pulang dari kantor kepolisian lalu membantu Verasco dan Elijah untuk mengeksekusi George. Terkait pengkhianatan yang dilakukan George, mungkin itu menjadi kecamuk rasa waspada bagi Verasco agar lebih intoleran terhadap niat – niat terselubung dan apa pun yang ba
“Dalam perjalanan menuju rumah. Kisah mereka berakhir bahagia. Selesai.”Rose menutup buku setebal kurang lebih 400 halaman dan meletakkan buku tersebut di atas nakas. Membacakan kisah – kisah manis menjadi rutinitasnya beberapa hari terakhir. Senyum Rose tipis menatap wajah suaminya yang terbaring begitu tenang. Pagi tadi alat bantu napas baru saja dilepas menandakan kondisi Theo semakin membaik pasca kejadian tombak berdarah. Beruntung mereka segera membawa Theo untuk mendapat penanganan tepat. Tiga kali Theo harus menjalani tindakan operasi. Pria itu kehilangan banyak darah, sehingga membutuhkan transfusi secepatnya. Rose ingat beberapa perdebatan terjadi di antara mereka terkait Theo yang memiliki darah sangat langkah, bahkan Verasco pun tak berdaya tentang itu. Hanya Dara ....Demikian yang Verasco katakan saat itu dengan nada suara gemetar penuh. Seperti begitu sesal. Benar – benar menyesal, sampai akhirnya Travis menyarankan beberapa orang yang masih tertinggal di Italia untuk