Dua minggu terasa cukup panjang. Himpunan masing – masing hari setiap saatnya mengandung badai elektrik yang membawa Rose pada ketegangan. Beragam macam perasaan dia lalui. Beberapa dipengaruhi oleh kepergian Theo, sisanya karena prosedur kecil yang harus Rose jalani bersama Travis dan Penelope, teman sejawat Travis. Namun, beda spesialis atau yang tidak Rose ketahui ... Penelope seorang ginekolog. Dokter yang ahli dalam ilmu yang berkenaan dengan fungsi alat tubuh dan penyakit khusus pada wanita.Berbagai pertanyaan sudah Rose lontarkan pada Travis. Dia selalu mendapat jawaban yang sama, ‘demi kesembuhan maupun pemulihan secara total’.Perhatian Rose menyapu bersih penjuru ruangan. Beberapa menit lalu Rose baru menerima suntik injeksi. Sementara Travis di hadapannya sibuk menulis sebuah catatan buku. Wajah tampan itu terlalu fokus.“Travis, apa aku boleh pergi? Sudah tidak ada lagi, kan, yang harus dilakukan?” tanya Rose ketika Travis tanpa sengaja menatapnya. Pria itu melirik arloj
Goresan lipstik dari ujung ke ujung bibir setengah pucat Rose menjadi polesan terakhir make-up yang membalur di wajahnya. Rose merapikan surai pirang bergelombang tebal di bagian bawah. Dress hitam mini dengan lengan setali dan tas selempang kecil siap membawanya berlayar ke dunia luar. Lamat dia memandangi gelang pemberian Xelle. Untuk sementara Rose tidak bisa memakainya. Dia bisa telacak dan tak mau Xelle terlibat. Dengan senyum samar di wajah, Rose membuka kait gelang tersebut, menyimpannya aman di bawah bantal. Akan Rose tunjukkan bahwa bukan Theo saja yang bisa melakukan sesuatu yang sifatnya melampaui batas. Theo harus menuai apa yang pria itu tabur. Rose akan membayar tunai dengan keputusannya saat ini. Dia beranjak keluar kamar. Mendekati Lion di depan gerbang pintu keluar. “Pinjam aku kunci mobilmu, Lion.” Rose berdiri tepat di samping pria yang menatapnya heran.“Anda mau ke mana, Nona?” Raut wajah Lion waspada. Netranya tak pernah lepas dari penampilan seksi Rose. Dia
“Engh!” Rose mengerang ....Gigitan keras menarik ujung bibirnya. Kemudian lidah basah melesak mencecap rasa pahit dari sisa – sisa cairan alkohol. Rose setengah sadar merasa terangkat, sekaligus menyadari dua lengan besar kian melingkar dan mengetat. Rengkuhan kasar menekan permukaan dada Rose, hingga dapat merasakan tubuh berotot menguncinya.Satu hentakan brutal melempar Rose jatuh ke atas ranjang. Pria itu merangkak disertai niat melepas selempang tali yang bersinggungan di bahu Rose. “Tunggu dulu.” Dia menahan pria itu. Hades ... dari separuh ingatan yang Rose punya.Gerakan Rose lambat mengeluarkan ponsel dari tas yang masih dikenakan. “Kita foto dulu,” ucap Rose menarik wajah Hades menyatu dengan kulit pipinya. Itu pose pertama. Kedua, Rose menjatuhkan bibir dan mengecup rahang bersih tanpa akar rambut seperti yang dirasakan saat melakukan hal tersebut pada Theo.Dua gambar terekam hampir sempurna. Rose mengulik ponsel dengan pandangan buram, tidak bisa menatap lama sinar yan
“Bajingan!”Rose menarik diri dari kungkungan Theo. Satu tamparan penuh amarah menyantap permukaan wajah pria di hadapannya. Bekas memerah itu tak padam. Reaksi lain yang nyaris tak pernah Rose lihat melebur – lebur dengan ekspresi yang berubah – ubah. Rose sadar Theo bukanlah hal yang baik untuknya. Perlahan beringsut mundur demi kewarasan. Dia tak ingin kegilaan ini membaur menguasai keadaan hati yang terluka oleh penghinaan itu.“Aku tidak murah. Aku melakukan seperti yang seharusnya aku lakukan. Tapi meniduri wanita lain secara sadar dan menginginkan anak darinya saat kau memiliki istri yang baru saja keguguran ... itu akan kau sebut apa? Sesuatu yang wajar?” Rose menyeka air yang menganak di pelupuk mata. Raut wajah Theo menunjukkan sisi yang berbeda. Rose sungguh tak bisa memahaminya, tapi inilah waktu yang tepat untuk menghakimi pelaku pengkhianat seperti Theo.“Kau tahu dari mana hal itu?” Pelan sorot abu Theo memejam. Bunyi gemelatuk rahang menambah pacuan debaran jantung Rose
“Jika kau tidak menyentuh wanita lain, dari awal kau bisa berkata jujur. Ceritakan padaku apa yang akan kau lakukan atau ke mana kau akan pergi. Tapi kau menyembunyikan semuanya. Kau menyembunyikan semua hal. Apa yang bisa aku percaya dari seseorang seperti ini? Kau dan sikap tertutupmu dua kenyataan yang tak bisa aku kalahkan. Aku lelah, Theo. Lebih baik kita pisah. Aku akan minta bantuan Lion sebagai pengacaraku untuk mengurus surat cerai.”Rose menghentikan kalimat panjangnya dengan tarikan napas panjang. Ditatap lama kerongkongkan Theo yang tampak naik turun. Sepertinya pria itu sedang mempersiapkan diri untuk mengatakan sesuatu. Tubuh Theo perlahan mundur. Hal demikian tak luput dari perhatian Rose, bahkan sampai Theo duduk di pinggir ranjang dan membelakanginya.“Rencanaku, yang aku simpan selama ini bisa bocor di tangan seorang mafia. Itu ketika aku menyimpannya sendiri. Sekarang bisa kau jelaskan padaku, apa akan ada kemungkinan rencanaku tidak bocor saat aku memberitahumu ata
“Aku tidak mengerti apa maksudmu di sini. Kau bisa jelaskan padaku langsung. Tidak usah bertele – tele.”Theo menyeka lembar demi lembar laporan dari Travis tanpa minat. Sejak Rose menyerahkan surat gugatan cerai padanya, tak ada yang menarik perhatian Theo. Hampir setengah hari dia mendekam di ruang kerja, tidak melakukan apa pun, hanya bersandar di sofa panjang ... memejamkan mata dengan kepala mendongak di sandarannya sebelum Travis datang membawa sesuatu yang tak coba dicerna baik.“Surat itu terkait kondisi Nona Rose, Tuan. Anda akan senang mendengarnya.”“Aku bilang tidak usah bertele – tele.” Netra abu Theo kembali memejam tak acuh. Kini meletakkan kedua kaki di atas meja kaca dan jemari yang saling bertaut di permukaan perut berotot.“Maaf mengenai hal ini, Tuan. Setelah melakukan pemeriksaan lebih lanjut, kami menemukan kesalahan, bahwa ternyata Nona Rose bisa mengandung.” Travis tahu betul bahwa Theo mungkin tak akan mengampuninya. Tiga kali memberikan informasi berbeda, seak
Di atas rooftop seharusnya Rose menikmati ketenangan seorang diri. Mengenyahkan pikiran buruk akan beberapa hal yang bersarang di benak jauh – jauh. Sikap Theo sedikit menghindarinya sejak mereka masing – masing bubar dari ruang berlatih, yang juga merupakan alasan mengapa Rose lebih memilih untuk melewati waktu yang tersisa di tempatnya berpijak.Rose mendongak membiarkan sulur – sulur angin menyapa wajah. Bibir wanita itu lengkung menerima sayup – sayup embusan berbisik di telinga. Memang tidak banyak yang Rose lakukan. Masif antara damai yang bertahan membuatnya betah berlama – lama. Tidak ada yang mengganggu ... sampai semburan air memecah bunyi percik mengudara di langit malam. Atensi Rose teralihkan. Dia sedikit beranjak, memperhatikan tubuh sempurna milik seseorang—diyakini suaminya, menyatu bersama benda cair. Dugaan Rose benar. Samar – samar mendapati Theo setengah mengapung dari sudut ke sudut lainnya dan terus dilakukan secara berulang. Ntah apa yang Theo pikirkan saat mem
Tatapan Rose kosong ke depan. Rasanya pernah meminta Theo untuk tidak mengonsumsi obat tidur. Tetapi yang Rose temukan justru botol berisi kapsul – kapsul tersebut di laci nakas.Rose berasumsi apa yang dilihat sebelumnya dan yang saat ini tersaji merupakan dua hal saling bersinggungan. Dia tidak berpikir keputusannya akan memengaruhi pikiran Theo. Harus Rose ingat, dia sedang mengeringkan rambut pria yang sedang tertidur menggunakan handuk kecil di tangan. Usapan pelan berlangsung tanpa niatan membangunkan Theo—posisi suaminya masih di tempat yang sama. Rose memaksakan diri fokus, menatap wajah terlelap nan damai itu. Senyumnya tipis nyaris tak tampak lengkung bibir. Ntah pilihan seperti apa yang harus Rose ambil. Bertahan atau cerai, keduanya bagian yang tidak bisa Rose pikirkan secara matang. Mungkin Rose bisa memberi Theo kesempatan, setidaknya pria itu dapat berlatih menjadi pribadi terbuka. Tidak usah bermuluk – muluk, cukup di hadapan Rose. Sisanya dia tak akan maksa dan itu a