“Kau dan Travis ngomongin apa?”Rose merasa seperti dibicarakan dan ingin tahu pembahasan yang membuat Theo tampak berbeda. Ekspresi itu benar - benar dalam dan tak pernah Rose lihat sebelumnya.“Bukan apa – apa. Aku cuma bertanya pada Travis tentang beberapa hal yang tidak bisa kau campuri.”“Hal yang tidak bisa aku campuri?” Rose mengulang pernyataan Theo dengan kernyitan heran. Dia yakin keterlibatannya dengan topik berbahasa Italia itu sangat erat. Tapi Rose tidak bisa memaksa Theo. Pria itu sangat tertutup.“Tidurlah, Sugar. Kau harus istirahat.”“Aku baru bangun tadi.”“Benarkah?” Pelan kekehan Theo pura – pura bertanya padanya. Rose menikmati setiap sentuhan yang pria itu berikan. “Jangan mau diajak pergi, ya.”Ada kejut yang tidak bisa Rose netralisir. Sebentar – sebentar Theo bersikap jauh dari dugaannya. Sebentar – sebentar kemudian pria itu menunjukkan sesuatu yang tidak bisa Rose teliti dengan baik. Semua yang Theo sembunyikan dikemas terlalu rapi, lubang – lubang yang ada
“Rose.”Satu panggilan suara mengirim sugesti menjeda tindakan Rose yang nyaris berpijak pada anak tangga pertama. Rose berbalik badan. Terperangah oleh keberadaan Xelle yang menjulang tidak jauh dari posisinya.“Aku ingin mengatakan sesuatu.”Masih di tempat yang sama, pria itu memberi gestur yang Rose pahami dengan baik. Dia sudah ingin menghampiri. Justru cekalan Theo ketat—menatapnya dingin.“Sebentar saja,” ucap Rose. Berusaha menarik lepas pergelangan tangannya sendiri.“Dia akan menculikmu dariku.” Nada tajam mendesis, berayun – ayun merambat masuk indra pendengaran Rose. “Itu tidak mungkin. Lepas, Theo. Aku mau bertemu Axe sebentar.” Berkali lipat cengkeraman itu memberi Rose rasa sakit. Kebas mulai menjalari urat – urat tangannya.“Theo!” lirih Rose setengah jengkel.“Aku tidak percaya. Apa jaminannya kau tidak akan mencurangiku?”Harus dengan cara apa Rose membuat isi kepala itu melepuh. Theo sungguh tak bisa dikendalikan. “Kau bukan anak kecil lagi. Seharusnya bisa berpikir
Setengah jam dipaksa lebih cepat memacu di tengah hiruk pikuk kendaraan rupanya tak membuat Xelle sampai tepat waktu. Dia berulang kali mengumpat di depan pintu apartemen. Bridgette satu langkah melampauinya dan mungkin sudah bertemu dengan seseorang di dalam sana.“Kau mencariku?” Suara lembut mengalun tepat di belakang Xelle. Tubuh menjulang itu berbalik menemukan Bridgette melipat kedua lengan di depan dada.“Kenapa kau ke sini?” Ada kelegaan bertaut di mata heterochromia yang Bridgette temukan. Seharusnya sejak pertama kali sampai dia menerobos ke dalam. Namun, Bridgette memperhitungkan langkah Xelle yang ternyata benar menyusul.Lengan Bridgette lepas menjuntai di samping tubuh. “Aku cuma ingin lihat kejutan macam apa yang akan suamiku berikan.” Bridgette mengedikkan bahu tak acuh. Wajahnya datar melewati Xelle dan meraih ganggang pintu apartemen.“Kau tidak bisa sembarang masuk ke apartemenku, Bridgette.” Xelle mendesis tajam. Gagal tujuan Bridgette melewati ambang pintu saat l
Berlarut – larut pikiran Rose memandang secarik kertas—hasil sonografi kehamilan tempo waktu lalu. Hatinya rapuh dipaksa bertarung ... menghidupkan kembali sesuatu yang telah redup. Sapuan jemari Rose pelan mengusap – usap bahan thermal di hadapannya. Ntah senyum getir atau mengikhlaskan yang bertahan di wajah Rose. Dia merasa begitu kosong. Tidak ada kelengkapan yang bisa membawa Rose keluar dari jurang terjal. Tidak tahu kapan perasaan sakitnya akan berangsur. Sedikit – sedikit Rose mulai belajar melepaskan kalau memang mempertahankan sesuatu yang bukan miliknya tindakan tidak benar.“Sugar.”Rose terkesiap menatap pintu kamar hotel. Kepala Theo separuh timbul dan wajah memar – memarnya tampak setengah. Refleks Rose cepat menyembunyikan gambar hitam-putih itu ke belakang tubuh. Mengambil posisi tegap di sandaran ranjang.“Aku membawakan es buah untukmu.”Pelan – pelan Rose menggeser sekadar memberi Theo ruang duduk di dekatnya. Atensi Rose tertuju pada semangkok plastik besar terbu
Semua yang Xelle katakan, secara keseluruhan adalah bom besar. Dimulai dari pria itu mabuk dan berakhir menidurinya. Bridgette benar – benar tak menyangka bahwa Xelle tidak dalam keadaan sadar. Dia tidak tahu solusi seperti apa yang bisa mengimbangi kerumitan di antara mereka. Tentang keberadaan Lucette dan Acampeliaz. Bagaimanapun anak perempuan itu tidak bersalah, bahkan tidak minta hadir di dunia karena sebuah kesalahan. Tapi Lucette ... Bridgette sungguh tidak bisa membagi suami. Dia memaksakan diri saling menatap dengan mata heterochromia itu.“Aku anggap itu kebodohanmu di masa lalu. Sekarang katakan kenapa kau masih menyimpan Lucette di apartemen, jika kalian memang tidak memiliki hubungan lain?”Belum ada jawaban. Hanya sesekali suara mobil keluar dari wilayah parkir. Ekspresi wajah Xelle ragu mengungkapkan sebuah kenyataan pada Bridgette.“Aku tidak punya waktu menunggumu terlalu lama. Oracle sebentar lagi akan pulang.”“Kau bisa bicara atau keluar dari mobilku, Axe,” ucap Br
Dua minggu terasa cukup panjang. Himpunan masing – masing hari setiap saatnya mengandung badai elektrik yang membawa Rose pada ketegangan. Beragam macam perasaan dia lalui. Beberapa dipengaruhi oleh kepergian Theo, sisanya karena prosedur kecil yang harus Rose jalani bersama Travis dan Penelope, teman sejawat Travis. Namun, beda spesialis atau yang tidak Rose ketahui ... Penelope seorang ginekolog. Dokter yang ahli dalam ilmu yang berkenaan dengan fungsi alat tubuh dan penyakit khusus pada wanita.Berbagai pertanyaan sudah Rose lontarkan pada Travis. Dia selalu mendapat jawaban yang sama, ‘demi kesembuhan maupun pemulihan secara total’.Perhatian Rose menyapu bersih penjuru ruangan. Beberapa menit lalu Rose baru menerima suntik injeksi. Sementara Travis di hadapannya sibuk menulis sebuah catatan buku. Wajah tampan itu terlalu fokus.“Travis, apa aku boleh pergi? Sudah tidak ada lagi, kan, yang harus dilakukan?” tanya Rose ketika Travis tanpa sengaja menatapnya. Pria itu melirik arloj
Goresan lipstik dari ujung ke ujung bibir setengah pucat Rose menjadi polesan terakhir make-up yang membalur di wajahnya. Rose merapikan surai pirang bergelombang tebal di bagian bawah. Dress hitam mini dengan lengan setali dan tas selempang kecil siap membawanya berlayar ke dunia luar. Lamat dia memandangi gelang pemberian Xelle. Untuk sementara Rose tidak bisa memakainya. Dia bisa telacak dan tak mau Xelle terlibat. Dengan senyum samar di wajah, Rose membuka kait gelang tersebut, menyimpannya aman di bawah bantal. Akan Rose tunjukkan bahwa bukan Theo saja yang bisa melakukan sesuatu yang sifatnya melampaui batas. Theo harus menuai apa yang pria itu tabur. Rose akan membayar tunai dengan keputusannya saat ini. Dia beranjak keluar kamar. Mendekati Lion di depan gerbang pintu keluar. “Pinjam aku kunci mobilmu, Lion.” Rose berdiri tepat di samping pria yang menatapnya heran.“Anda mau ke mana, Nona?” Raut wajah Lion waspada. Netranya tak pernah lepas dari penampilan seksi Rose. Dia
“Engh!” Rose mengerang ....Gigitan keras menarik ujung bibirnya. Kemudian lidah basah melesak mencecap rasa pahit dari sisa – sisa cairan alkohol. Rose setengah sadar merasa terangkat, sekaligus menyadari dua lengan besar kian melingkar dan mengetat. Rengkuhan kasar menekan permukaan dada Rose, hingga dapat merasakan tubuh berotot menguncinya.Satu hentakan brutal melempar Rose jatuh ke atas ranjang. Pria itu merangkak disertai niat melepas selempang tali yang bersinggungan di bahu Rose. “Tunggu dulu.” Dia menahan pria itu. Hades ... dari separuh ingatan yang Rose punya.Gerakan Rose lambat mengeluarkan ponsel dari tas yang masih dikenakan. “Kita foto dulu,” ucap Rose menarik wajah Hades menyatu dengan kulit pipinya. Itu pose pertama. Kedua, Rose menjatuhkan bibir dan mengecup rahang bersih tanpa akar rambut seperti yang dirasakan saat melakukan hal tersebut pada Theo.Dua gambar terekam hampir sempurna. Rose mengulik ponsel dengan pandangan buram, tidak bisa menatap lama sinar yan