“Lipstik yang kau berikan terlalu merah, Beatrace!” protes Travis tak suka. Beberapa kali menyeka bibir di depan cermin kecil hanya untuk menghilangkan jejak warna yang bersemayam di sana.“Tuan bilang kau harus cantik.”Suara Lion menyahut lantang. Dia bersandar di dinding pintu, puas terhadap penampilan Travis yang disulap persis seorang suster cantik.“Diam saja kau. Tidak usah banyak bicara!” Travis menarik lepas sebelah heels, berniat untuk melempar benda tersebut. Alih – alih hal itu terjadi, Beatrace mengambil andil sebagai penegah.“Tuan sudah menunggumu, pergilah.”“Nah, kau dengar itu, Trixia? Tidak usah marah – marah, cepat ketuk pintu dan masuk ke dalam.”“Aku bukan Trixia!” Travis mengembalikan cermin kecil Beatrace. Memalingkan wajah sinis, lalu mendorong kusen pintu kamar utama dari mansion besar itu.Agak tersentak Travis menyorot di mana posisi Theo. Langkahnya pelan kesusahan menggunakan heels dan seragam yang menjuntai separuh paha. Travis merapikan penampilan sesaa
Sama – sama diam. Sama – sama bersandar di kepala ranjang. Keduanya tidak saling bicara. Tidak ada yang memulai. Tidak ada yang ingin mengusaikan keheningan. Theo sibuk bersama laptop maupun ponsel. Sementara Rose diam menunggu kabar dari Aiden. Dari sore hingga menjelang tengah malam, pria itu belum juga menghubunginya.Rose mendesah. Sesekali melirik monitor yang menyala di hadapan Theo. Tampilan web menunjukkan gambar anatomi tubuh manusia—wanita dan rentetan kalimat panjang bergulir bersama kursor yang terus berpindah. Ntah apa tujuan Theo mempelajari hal itu. Rose tak berusaha menanyakan secara langsung, atau mungkin sudah tak berniat tahu apa pun terhadap sesuatu yang Theo lakukan dan sembunyikan. Sudah jelas ... hubungan mereka memang tidak sehat. Hanya akan menjadi racun, yang membunuh secara perlahan.Wajah Rose berpaling di mana ponselnya terletak. Berharap agar setidaknya Aiden mengirim pesan dan memberi kabar. Tapi layar benda pipih itu gelap. Beda halnya kepunyaan Theo b
“Itu Om T, Mommy.”Berdua duduk di sofa ruang tamu. Oracle bergegas cepat merangkak di atas pangkuan Rose, dan mendekap wanita itu erat. Wajahnya disembunyikan dalam – dalam ... lambat laun mengencangkan lingkar lengan di tubuh ramping Rose, demi menghindari derap Theo yang semakin tak terelak.“Apa Om T sudah dekat?”Rose diam tak menjawab. Theo sudah menjulang tinggi, tanpa peringatan sedikit membungkuk—menepis jarak mereka bertiga. Dia sibuk mencari wajah terbenam Oracle hingga tidak menyadari Rose sedang menelusuri memar samar – samar yang tersemat di tulang pipi dan sudut matanya.“Kenapa menghindari Om T, huh?” Pertanyaan Theo membuat Oracle terkesiap. Rengkuhannya terlepas begitu Theo menarik kedua lengan Oracle dan memindahkan bocah itu duduk tepat di samping Rose. “Mommy Rose sedang sakit. Tidak boleh memangku Oracle seperti tadi.”Oracle tidak membantah. Theo memang tegas tidak dengan nada marah, tapi Rose menganggap Theo berlebihan. Sampai detik ini, sedikit – sedikit Rose
Dor!Satu lesatan melucur dari jarak dekat. Peluru itu mengoyak daging hingga darah berembes deras. Theo diam membiarkan timah panas masih bersarang di lengannya. Memperhitungkan gerakan Xelle yang melempar senjata api ke atas sofa, dan menarik Rose mendekat.“Berikan tanganmu.”Pria itu berucap dingin. Meraih jemari yang tersemat cincin dengan tiga permata tanzanit. Gelagak darah Theo serupa air terjun, jatuh mengalir, dimanfaatkan Xelle untuk menyatukan telapak tangan Rose di sana. Seluruh permukaan tak bernoda, kini termakan sewarna merah dan anyir yang melekat. Campuran biru dan ungu dari batu permata itu mengalami perubahan seiring bersentuhan cairan kental milik lelaki yang tengah terluka. Perlahan – lahan cincin itu melonggar. Rose menatap wajah Theo sesaat, tak mengerti mengapa hal demikian bisa terjadi. Selama ini cara yang Rose pertanyakan, akhirnya terjawab.“Jangan bawa Rose pergi.”Satu ungkapan Theo terdengar sayup – sayup.“Jangan jauhkan kami.”Ungkapan berikutnya mas
“Kau dan Travis ngomongin apa?”Rose merasa seperti dibicarakan dan ingin tahu pembahasan yang membuat Theo tampak berbeda. Ekspresi itu benar - benar dalam dan tak pernah Rose lihat sebelumnya.“Bukan apa – apa. Aku cuma bertanya pada Travis tentang beberapa hal yang tidak bisa kau campuri.”“Hal yang tidak bisa aku campuri?” Rose mengulang pernyataan Theo dengan kernyitan heran. Dia yakin keterlibatannya dengan topik berbahasa Italia itu sangat erat. Tapi Rose tidak bisa memaksa Theo. Pria itu sangat tertutup.“Tidurlah, Sugar. Kau harus istirahat.”“Aku baru bangun tadi.”“Benarkah?” Pelan kekehan Theo pura – pura bertanya padanya. Rose menikmati setiap sentuhan yang pria itu berikan. “Jangan mau diajak pergi, ya.”Ada kejut yang tidak bisa Rose netralisir. Sebentar – sebentar Theo bersikap jauh dari dugaannya. Sebentar – sebentar kemudian pria itu menunjukkan sesuatu yang tidak bisa Rose teliti dengan baik. Semua yang Theo sembunyikan dikemas terlalu rapi, lubang – lubang yang ada
“Rose.”Satu panggilan suara mengirim sugesti menjeda tindakan Rose yang nyaris berpijak pada anak tangga pertama. Rose berbalik badan. Terperangah oleh keberadaan Xelle yang menjulang tidak jauh dari posisinya.“Aku ingin mengatakan sesuatu.”Masih di tempat yang sama, pria itu memberi gestur yang Rose pahami dengan baik. Dia sudah ingin menghampiri. Justru cekalan Theo ketat—menatapnya dingin.“Sebentar saja,” ucap Rose. Berusaha menarik lepas pergelangan tangannya sendiri.“Dia akan menculikmu dariku.” Nada tajam mendesis, berayun – ayun merambat masuk indra pendengaran Rose. “Itu tidak mungkin. Lepas, Theo. Aku mau bertemu Axe sebentar.” Berkali lipat cengkeraman itu memberi Rose rasa sakit. Kebas mulai menjalari urat – urat tangannya.“Theo!” lirih Rose setengah jengkel.“Aku tidak percaya. Apa jaminannya kau tidak akan mencurangiku?”Harus dengan cara apa Rose membuat isi kepala itu melepuh. Theo sungguh tak bisa dikendalikan. “Kau bukan anak kecil lagi. Seharusnya bisa berpikir
Setengah jam dipaksa lebih cepat memacu di tengah hiruk pikuk kendaraan rupanya tak membuat Xelle sampai tepat waktu. Dia berulang kali mengumpat di depan pintu apartemen. Bridgette satu langkah melampauinya dan mungkin sudah bertemu dengan seseorang di dalam sana.“Kau mencariku?” Suara lembut mengalun tepat di belakang Xelle. Tubuh menjulang itu berbalik menemukan Bridgette melipat kedua lengan di depan dada.“Kenapa kau ke sini?” Ada kelegaan bertaut di mata heterochromia yang Bridgette temukan. Seharusnya sejak pertama kali sampai dia menerobos ke dalam. Namun, Bridgette memperhitungkan langkah Xelle yang ternyata benar menyusul.Lengan Bridgette lepas menjuntai di samping tubuh. “Aku cuma ingin lihat kejutan macam apa yang akan suamiku berikan.” Bridgette mengedikkan bahu tak acuh. Wajahnya datar melewati Xelle dan meraih ganggang pintu apartemen.“Kau tidak bisa sembarang masuk ke apartemenku, Bridgette.” Xelle mendesis tajam. Gagal tujuan Bridgette melewati ambang pintu saat l
Berlarut – larut pikiran Rose memandang secarik kertas—hasil sonografi kehamilan tempo waktu lalu. Hatinya rapuh dipaksa bertarung ... menghidupkan kembali sesuatu yang telah redup. Sapuan jemari Rose pelan mengusap – usap bahan thermal di hadapannya. Ntah senyum getir atau mengikhlaskan yang bertahan di wajah Rose. Dia merasa begitu kosong. Tidak ada kelengkapan yang bisa membawa Rose keluar dari jurang terjal. Tidak tahu kapan perasaan sakitnya akan berangsur. Sedikit – sedikit Rose mulai belajar melepaskan kalau memang mempertahankan sesuatu yang bukan miliknya tindakan tidak benar.“Sugar.”Rose terkesiap menatap pintu kamar hotel. Kepala Theo separuh timbul dan wajah memar – memarnya tampak setengah. Refleks Rose cepat menyembunyikan gambar hitam-putih itu ke belakang tubuh. Mengambil posisi tegap di sandaran ranjang.“Aku membawakan es buah untukmu.”Pelan – pelan Rose menggeser sekadar memberi Theo ruang duduk di dekatnya. Atensi Rose tertuju pada semangkok plastik besar terbu