"Bagaimana ini bisa terjadi?” Berpindah dari satu tempat ke tempat lain menjadi kebiasaan Verasco selama sisa hidupnya. Setelah membiarkan Charlotte kembali ke mansion utama, dia pergi bersinggah ke markas tersembunyi di suatu hutan berantara.Seorang mayat tergeletak dengan kaki masih terikat tali tambang, luka tusuk hingga sayatan di leher, wajah membiru, disertai mata dan mulut terbuka. Kematian yang dipaksakan, apakah begitu tepatnya penjelasan untuk jasad seorang lelaki di bawah sana? Atau seharusnya pria itu menjalankan tugas dari Verasco, seperti yang pernah dia ceritakan sebelum sampai di tempat berpijak saat ini. “Di mana rekannya saat dia tewas mengenaskan di sana?” tanya Verasco mulai curiga.“Kami masih berusaha mencari, Tuan. Anda memilih mereka yang tangguh untuk menjalankan tugas. Tapi kita tidak pernah tahu, bisa saja salah satu dari mereka atau keduanya merupakan pengkhianat.”“Pengkhianat apa maksudmu?”Keneddy menelan ludah kasar. Dia harus bercerita mulai dari ma
Bunyi suara letusan senjata api melambung nyaris memekakkan telinga. Rose mengedarkan pandangan mencari di mana sumber tembakan itu berlangsung. Rasa penasarannya makin bertambah ketika desis – desis angin terus bergejolak. Saat itu Rose tahu dari mana dia harus memulai. Melangkah lebih jauh meninggalkan posisi awal. Samar – samar netra Rose menangkap siluet tubuh tinggi milik pria yang sejak tadi keberadaannya dipertanyakan oleh isi kepala. Sebuah revolver terangkat sejajar garis bahu tampak dikokang ke depan. Rose tidak perlu bertanya senjata milik siapa yang Theo pergunakan. Suaminya memiliki segala hal, yang berkaitan dengan barang – barang demikian.“Kau membiarkanku sendiri terlalu lama,” ucap Rose. Tidak bermaksud membuat tubuh itu terlonjak.Theo berbalik seraya menurunkan lengan ke bawah. “Aku selalu kehilangan waspada saat kau di dekatku. Bukan kali ini saja,” protesnya. Tidak suka bagaimana Rose tiba – tiba berdiri di sana tanpa menarik kepekaan dari intuisi maupun sensing
“Mau ke mana, cantik?”Rose mengernyit saat salah satu dari mereka tidak sengaja menyorot lampu ke arah wajahnya. Atau mungkin dilakukan sengaja demi memastikan bagaimana rupa dan rasa takut yang tergambar di antara tubuh bermandikan keringat malam.Rose tidak akan membiarkan mereka melakukan sesuatu. Diam – diam menggerakkan lengan yang bersembunyi di balik punggung. Ponselnya dijepit di lengan kiri. Sementara senjata di tangan kanan sudah diposisikan dengan baik. Dia perlu memawas diri apabila mereka mulai bertindak.“Berhenti di situ!” ucap Rose penuh peringatan. Jemarinya mengokang senjata bertepatan selangkah pria yang hendak mendekat.“Apa yang ingin kau lakukan ... menembak kami?”Tawa mereka kompak menggelegar. Terlalu meremehkan wanita sendirian, yang dengannya memiliki keberanian terpendam. Alih – alih beringsut mundur. Rose tidak sekali pun melepas pandangan pada predator di depan mata. Dia tidak boleh lengah.“Tubuh wanita ini enak dilihat. Sebaiknya kita giring bergantian
Samar – samar bunyi patahan ranting menyentak kesadaran Rose. Netranya mengerjap beberapa kali usai menemukan langit setengah cerah membentang tertutup oleh sekumpulan dedauanan. Berapa lama kesadarannya hilang? batin Rose bertanya – tanya dan memaksakan diri bangkit sembari menekan sebelah pelipis. Kontraksi hebat di perut mungkin tak lagi terasa. Namun, pusing di kepala belum sepenuhnya reda.Rose mencari – cari keberadaan barang – barang miliknya, tersentak saat tak menemukan benda pipih yang digunakan semalaman. Tidak tahu mengapa waktu itu dia lebih memilih membawa ponsel pemberian Theo. Itu sedikit menjadi sebuah keberuntungan. Rose ingat, dia sempat kehilangan arah tatkala dunia seakan berputar. Alasan paling tepat untuk menjabarkan hilangnya ponsel tersebut. Wajah Rose meringis, meraih pistol yang tergeletak asal di samping tubuh. Dia harus pergi. Setidaknya sekarang dapat melihat di bawah penerangan minim. Langit subuh sebentar lagi akan menjadi pagi. Rose yakin mereka masih
Saat Rose pergi masuk ke dalam hutan. Theo pikir tidak ada yang perlu dilakukan, kecuali menuliskan beberapa pesan penting dan mengirimkannya pada Lion melalui email. 15 menit waktu yang tersisa. Dia tidak mencoba memaksakan diri terbebas dari kenyataan yang harus diterima. Bukankah hidup dan mati dua hal yang tak bisa digariskan oleh manusia. Kenapa dia harus melibatkan diri dalam kesusahan, sementara duduk tenang di kursi kemudi sama sekali bukan sesuatu berpengaruh besar pada pemikiran – pemikiran skeptis. Satu dua detik Theo menunggu panggilan masuk. Dugaannya tidak pernah salah jika Verasco akan kembali menghubungi ponselnya. Theo menggeser tombol hijau dan langsung memosisikan benda pipih tersebut di samping wajah. Tidak perlu earphone saat dia sedang tidak melakukan perjalanan.“Times countdown, right?” Theo bersuara tanpa menunggu sapaan dari lawan bicara. Alih – alih kalimat manis yang didapat, umpatan keras dari seberang sana justru lantang menggelegar.[Bodoh!].[Sia – sia
Dingin terasa menyentuh rangsangan kulit ketika Rose membiarkan aliran air menyerbu kedua kakinya. Dia masih mengenakan dress, sementara jas tuxedo diletakkan asal di atas hamparan bebatuan. Gigi Rose saling bergemelatuk. Keadaan benar – benar dingin tak tertahan, disertai udara segar tanpa polusi melesak memenuhi rongga paru – paru.Rose setengah membungkuk menatap pantulan diri sendiri di atas permukaan yang terombang – ambing arus deras. Theo ditinggalkan sendiri saat dia mengiyakan ajakan mandi bersama dari pria tersebut. Pria yang terlalu pandai melontarkan godaan.Seharusnya Rose memulai kegiatan dengan membasuh wajah, tapi pelukan hangat yang menyatu di belakang punggung menghentikan segala niat. Dia menyentuh lengan yang melingkar sempurna, lalu mengubah gestur sedikit lebih tegap bersandar di depan dada bidang Theo—lupa bahwa Theo masih dalam keadaan terluka.“Buka gaun-mu kalau mau mandi.” Bisikan itu terasa menggelitik telinga Rose. Satu hal mengharuskannya memberi Theo per
“Tidak usah diperban, Sugar. Biarkan saja begini.”Theo berusaha mencegah gerakan saling menarik kain tipis di tubuh Rose. Backless dress yang dikenakan tak lagi sesempurna seperti pertama kali Rose pakai. Theo terlambat. Bunyi suara sobekan menandakan dress tersebut sebagiannya telah menjadi serpihan memanjang, serupa hal yang pernah Rose lakukan demi mengikat senjata api ke kakinya. Luka di tubuh Theo harus ditutup, setidaknya sampai kaos yang tengah dijemur itu kering di bawah terik matahari. Rose tidak merasa keberatan dan tidak akan mengindahkan pernyataan Theo sampai dia menarik bahu besar itu untuk membelakanginya.“Jangan bergerak,” titah Rose seraya mendekatkan diri. Dia merengkuh Theo dari belakang. Memosisikan luka goresan itu tertutup oleh kain yang sudah disambung dari ujung ke ujung, agar dapat membalut tubuh bagian atas suaminya secara menyilang.“Sudah kubilang tidak usah. Sekarang bajumu kekurangan bahan.”“Dari awal juga sudah kekurangan bahan,” sahut Rose tak acuh.
Dua jam menunggu di tepian aliran deras. Rose duduk menekuk kaki dengan sebelah lengan menyanggah kepala yang menyamping. Sisanya terulur menyentuh rembesan air dari hulu ke hilir. Dia sudah memaksa ingin menemani Theo pergi mencari kayu api, tetapi pria itu menolak keras—tak lain melontarkan alasan klasik, mementingkan energi dan keselamatan. Rose pikir membiarkannya menunggu sendiri, sungguh, tidak sama membawanya dalam garis aman. Theo jelas salah jika mengartikan hal tersebut. Mereka bisa datang kapan saja menyergap Rose, walau dia berharap itu tidak pernah terjadi.Rasa waspada Rose masih begitu kencang. Terkadang berpaling ke belakang hanya untuk memastikan bahwa tidak ada seorang pun di sana, selain Theo yang mendekat dari arah melintang. Rose berdiri tegap menunggu Theo berdiri di hadapannya. Perhatian Rose tertuju pada seekor makhluk ber-insang cukup besar terbungkus dalam kantong plastik putih. Setetes air terus berjatuhan ke bawah, menguras sisa – sisa air yang tertampung
Kepergian Zever secara tiba – tiba cukup membekas di benak Rose. Saat itu dia dan Travis diam memperhatikan punggung milik dua orang yang menjauh. Rose tak berani mengatakan apa pun kala dia sendiri menyadari Travis seketika meninggalkannya—Travis menunduk dan Rose harap pria itu baik – baik saja, lantas ikut menyusul dengan langkah hati – hati membawa bayi kembarnya masuk ke dalam gedung mansion.Dua jam usai kejadian di taman belakang, dan setelah menidurkan anak – anak Rose segera menyusul keberadaan Zever. Lewat pesan – pesan yang diberikan kepada Lion, Rose tentu memantau apa pun yang terjadi di luar. Termasuk menanyakan bagaimana kondisi Travis. Pria itu sudah bersikap seperti semula, tetapi satu yang bermasalah. Zever di ruang tamu dengan riak wajah begitu dingin dan manik mata kelabu yang menatap setengah kosong menyusun sambungan miniatur di atas meja.Berulang kali Rose menarik napas sekadar memantapkan diri duduk di samping suaminya.“Zever,” panggil Rose ingin memastikan p
“Aku sudah selesai, Theo. Sekarang giliranmu—“ Pikir Rose, setelah keluar dari kamar mandi sekaligus mengganti pakaian di sana. Dia akan menemukan Theo menjaga ketiga bayi mereka dengan posisi semestinya, tetapi tubuh besar itu—dalam tidur menyampingnya seolah lebih lelap dari ketiga bayi yang memejam tenang. Kelelahan. Begitu yang Rose tafsirkan, karena hari – hari belakangan ini Theo sering sekali menyibukkan diri di tengah malam—menjaga bayi – bayi mereka, sementara Rose dipaksa untuk tetap beristirahat. Senyum Rose tipis sambil mengusap puncak kepala Theo. Hanya sesaat dia beralih pada tiga bayi kembarnya untuk dipindahkan ke dalam troli. Rose akan membawa mereka untuk berjalan – jalan di taman belakang. Selesai memindahkan dia kembali mendekati Theo sekadar menutup tubuh suaminya dengan selimut tebal. “Kami pergi dulu.” Singkat Rose mengecup sudut wajah Theo. Dia mendorong troli dengan hati – hati menuju lift. Rose sudah tahu di mana letaknya, cukup tersembunyi—dan Theo memang
“Aku mendapat cucu yang banyak.”Tawa O’Douglas pecah persis seperti kapten bajak laut yang baru saja menemukan harta karun bersejarah. Masing – masing lengan pria paruh baya itu mengapit dua bayi mungil, sementara bayi mungil yang lain berada di dekapan Verasco—yang terus menimang, sesekali mendekatkan bayi – bayi tersebut dengan guyonan ringan.Ntah apa yang bisa Rose katakan ketika menyaksikan anak – anaknya langsung diserbu begitu Verasco dan O’Douglas masuk ke ruang rawat. Dia baru selesai menyusui, sehingga bayi – bayi yang kekenyangan hanya akan tidur sepanjang hari, dan tidak merepotkan kedua kakek mereka.“Kau dari tadi tak pernah berhenti menatapku,” ucap Rose pelan. Sering kali Theo menyorot wajahnya, tetapi saat ini manik kelabu itu membinarkan sesuatu yang berbeda. Begitu penuh cinta dan sebagian tak bisa Rose tafsirkan dengan benar. Bagaimana mungkin Rose tahan dibidik sedemikian lamat. Theo harus, sekali saja, berpaling darinya.“Terima kasih, Sugar.”Sentuhan lembut di
Rose tak menyangka Theo akan membawanya sampai ke pulau Ortogia, pusat sejarah Kota Sirakusa, Sisilia, untuk menikmati keindahan laut Mediterania. Aroma – aroma di tepi laut itu memberi keindahan yang menyejukkan. Rose bahkan tak melupakan bahwa Theo tidak sekali pun melepaskan tubuhnya di pundak lebar pria tersebut setelah menyusuri sepanjang gedung – gedung tua di pulau – pulau Ortogia.“Ini rumah siapa?” tanya Rose memandangi sebuah bangunan kokoh yang seperti dikhususkan untuk ditinggali dua orang.“Rumah kita.”Tidak banyak yang dapat Rose katakan, kecuali menyematkan wajahnya dalam – dalam di ceruk leher Theo. Aroma maskulin itu masih sangat menguak, bahkan usai sepanjang hari mereka memberikan jamuan kepada para tamu, seakan – akan cairan parfum pun sangat betah menjamah kulit liat Theo.“Mau langsung tidur atau mandi dulu, Sugar?”Di depan sebuah pintu Theo menghentikan langkah sekaligus membiarkan Rose berpijak di atas lantai. Antara ragu dan butuh sesuatu yang segar akhirnya
“Sudah siap?”Rose mengangguk saat Theo bicara di atas puncak kepalanya. Dia memang berdiri membelakangi Theo, memegang ganggang pisau pemotong kue yang panjang, sementara jemari besar Theo menggenggam hangat tiap – tiap buku tangannya.Kue bertingkat – tingkat itu, atau tak jauh berbeda dengan menara rapuh sedang terbelah. Irisan mata pisau perlahan menurun ke bawah menjadi simbol ketajaman. Rose tersenyum nyaris meleburkan tawa ketika Theo membisikkan sesuatu yang lucu untuknya, yang lucu tapi tak akan Rose beritahu pada siapa pun. Biar dia menyimpan sendiri dan menjadikan itu momen menyenangkan yang penting.Setelah potongan kue pertama seharusnya Rose dan Theo saling memberi suapan. Alih – alih demikian Theo sebaliknya mencongkel krim dan segera mengoleskan ke bibir bawah Rose. Wajah Rose tampak berepotan, namun itulah yang Theo inginkan. Dia merampas bibir Rose seperti merampas kue yang sangat lezat.Manis dari campuran gula dan mentega seakan membuat Theo tak pernah puas. Dia mem
“Sudah. Aku sudah kenyang.”Lagi – lagi Rose harus menahan diri saat jemari besar Theo berusaha menyingkirkan semangkok bubur putih di tangannya.“Sedikit lagi, Theo. Kau harus menghabiskan buburmu.”“Ayo.”Sesendok bubur kembali Rose dekatkan, tetapi wajah itu menolak.“Jangan memaksaku makan bubur yang tidak enak, Sugar. Rasanya hambar.”“Makanya kalau makan sambil lihat aku, biar ada rasanya.”“Satu suapan lagi. Aku janji setelah ini selesai.”“Aku tidak percaya. Kau mengatakan itu sejak tadi, apa kau tidak ingat?”Rose menyengir lebar benar – benar mengelabuhi Theo. Pria itu persis anak kecil yang kehilangan nafsu makan. Sulit sekali dibujuk untuk membuka mulut.“Kali ini aku serius yang terakhir. Ahk ... buka yang lebar.”Rose pikir Theo akan segera menerima suapan darinya. Pria itu justru menggerakkan siku tangan Rose, memindahkan haluan sendok ke bibir Rose sendiri.“Kau juga harus makan.”“Tadi aku sudah makan,” bantah Rose, tetap saja dia tak bisa menyangkal satu suapan mendar
Satu hari setelah Theo sadar akhirnya Rose memutuskan kembali sejenak ke rumah, tempat di mana dia pernah tinggal seorang diri yang bersebelahan dengan restoran kecil miliknya. Saat ini tidak banyak yang Rose lakukan selain mempersiapkan diri menemui Theo di rumah sakit. Rose segera mengendarai mobil—milik ayahnya yang dipinjam. Di kursi penumpang belakang dia meletakkan sebuah kotak berukuran sedang dengan beberapa lubang di dalamnya yang dibungkus sangat cantik. Sementara di sampingnya duduk seekor anjing kecil lucu berbulu keriting dan warna putih seperti kapas. Kemarin Rose baru saja membeli ras anjing pudel tersebut di toko hewan. Tertarik. Hanya itu yang menggambar keinginan Rose membawa pulang pudel yang diberi nama Cocomelo.“Kita sudah sampai.”Rose menyiapkan tas ransel khusus untuk membawa Cocomelo di pundak, agar saat pertama kali masuk ke ruang rawat Theo tak langsung bertemu dengan Cocomelo-nya selain Rose yang akan memperlihatkan. Dan di tangannya, dia membawa kotak be
Sekembali dari kamar mandi Rose pikir akan dihadapkan pada situasi yang sama. Dia sudah mewanti dengan menunggu lebih lama di ruang lembab sampai beberapa suara dari luar meredup. Tetapi semua yang Rose perkirakan tidak benar adanya. Rembesan darah di lantai ketika dia membuka pintu sudah hilang tak berjejak. Bawahan Verasco ... bahkan Verasco itu sendiri pun sudah tak terlihat ada di sana, di ruang rawat suaminya. Hanya tersisa Lion yang menunggu sangat tenang, bersedekap dada sambil memperhatikan Theo tanpa suara.“Kau masih di sini, Lion? Di mana yang lain?” tanya Rose begitu langkahnya menyisir di sisi blankar.“Tuan Verasco meminta saya menunggu di sini, Nona.”Perhatian Lion akhirnya teralihkan. Rose menduga pria itu baru pulang dari kantor kepolisian lalu membantu Verasco dan Elijah untuk mengeksekusi George. Terkait pengkhianatan yang dilakukan George, mungkin itu menjadi kecamuk rasa waspada bagi Verasco agar lebih intoleran terhadap niat – niat terselubung dan apa pun yang ba
“Dalam perjalanan menuju rumah. Kisah mereka berakhir bahagia. Selesai.”Rose menutup buku setebal kurang lebih 400 halaman dan meletakkan buku tersebut di atas nakas. Membacakan kisah – kisah manis menjadi rutinitasnya beberapa hari terakhir. Senyum Rose tipis menatap wajah suaminya yang terbaring begitu tenang. Pagi tadi alat bantu napas baru saja dilepas menandakan kondisi Theo semakin membaik pasca kejadian tombak berdarah. Beruntung mereka segera membawa Theo untuk mendapat penanganan tepat. Tiga kali Theo harus menjalani tindakan operasi. Pria itu kehilangan banyak darah, sehingga membutuhkan transfusi secepatnya. Rose ingat beberapa perdebatan terjadi di antara mereka terkait Theo yang memiliki darah sangat langkah, bahkan Verasco pun tak berdaya tentang itu. Hanya Dara ....Demikian yang Verasco katakan saat itu dengan nada suara gemetar penuh. Seperti begitu sesal. Benar – benar menyesal, sampai akhirnya Travis menyarankan beberapa orang yang masih tertinggal di Italia untuk