Theo menarik lepas earphone sekaligus mematikan sambungan suara dari Verasco. Napasnya menggebu – gebu melirik kamera pengintai itu dengan emosi saling menarik ulur akal sehat. Ini yang disebut perang. Melawan diri sendiri hingga mencapai akhir dari keputusan.Jemari Theo mengepal erat. Dengan sekali pukulan lensa kamera itu retak. Dia menarik lepas keseluruhannya. Mencabik – cabik sisa – sisa kabel yang ada, lalu tanpa mengatakan apa pun mengeluarkan senjata api dan menyerahkan benda tersebut pada Rose.“Pegang ini, Rose. Waktumu 25 menit untuk lari dari sini sejauh mungkin. Kau bisa masuk ke dalam hutan, bersembunyi sampai semua terasa tenang.” Theo menghentikan kalimatnya sesaat. Dia berbalik, mengambil sesuatu di jok belakang. Buket mawar merah sudah disiapkan, tapi Theo lupa memberikan itu pada Rose—berpikir ini waktu yang tepat.“Sebenarnya apa yang terjadi, Theo? Kau selalu berbicara dengan bahasamu. Siapa tadi yang menelpon?” tanya Rose saat menerima dua benda yang saling berto
Berawal dari memperebutkan orang yang sama. Aku tidak pernah tahu kau akan menjadi satu - satunya pria yang menghanyutkanku dalam asmaraloka. Afeksi kau tawarkan seperti selincam nada - nada sumbang. Terasa sakit apabila aku harus mengurai simfoni menghitam.Sejauh aku mengenalmu. Kau pribadi paling rumit, yang tidak akan pernah aku mengerti. Hadir dan keberadaanmu bagai duri tumbuh di sisiku. Menjadi pelindung, termasuk yang menabur rasa sakit. Kenapa harus ada sesal saat kau akhirnya memilih pergi? Menyisakan bagian dari dirimu yang harus aku rengkuh seorang diri.Kau menghilangkan satu harapan. Begitu tidak adil siksa dan nikmat harus kuterima bersama, sekalipun pernikahan yang kita genggam bukan atas nama cinta. Aku memang tidak memahami hal itu. Tidak pernah memahami bagaimana rasaku. Semua terlihat bagai ilusi. Aku hanya ironi yang coba berdiri di atas partitur - partitur luka. Hati dan logikaku mungkin sedang bertempur. Sementara kebenaran telah dipupuk oleh butanya atma. Tida
Derap kaki Rose tidak pernah henti memasuki hutan lebih dalam. Dia pergi meninggalkan orang – orang itu, karena tahu berikutnya akan turut menjadi sasaran pencarian. Buket mawar yang dipegang tanpa sadar diremas kuat. Kekalutan tidak mengingatkannya untuk menebar kelopak yang berguguran sendiri—terbang oleh tepisan angin malam.Ke mana lagi Rose harus menyusuri hutan dengan kondisi sedang mengandung? Dia bahkan tidak sadar wajah kacaunya sudah membasah. Apa yang sebenarnya Rose tangisi, kepergian Theo? Atau, karena dia tersesat seorang diri di tempat yang begitu luas sekaligus bersemak?Jawaban atas kebingungan Rose terletak pada pertanyaan pertama. Sudah seberapa sering Theo mengorbankan jiwa raga demi dirinya? Dan dia masih menjadi satu – satunya orang yang secara tidak langsung mencelakakan Theo.Bisakah waktu diulang? Rose tidak akan mau datang di acara makan malam keluarga Witson, kalau saja dia tahu kekacauan ini justru merenggut nyawa seseorang yang baru terasa berarti. Theo be
Dari upacara di rumah duka, hingga pemakaman berakhir dengan orang – orang mulai membubarkan diri. Lion tidak pernah henti memantau titik semi pasif yang terekam di layar ponselnya. Tidak tahu mengapa koordinat yang secara samar ditemukan, tidak sepenuhnya menampilkan lokasi terlacak. Lion yakin, Theo sudah memprogram aplikasi dengan penyempurnaan paling tinggi. Seharusnya dia tidak mengalami kesulitan dalam upaya pencarian Rose melalui cincin nikah yang wanita itu kenakan. Tapi tampilan gambar itu seperti sebuah gelombang manipulasi. Beberapa kesalahan terkadang membuat titiknya berkedip, bahkan menghilang.“Sudah kau temukan di mana Nona Rose?”Travis di sampingnya turut melibatkan diri. Sementara Lion menggeleng samar sebagai jawaban awal. “Aku rasa Nona Rose berada di tempat yang tidak bisa diakses siapa pun, termasuk ini.” Dia mengangkat ponsel dan memperlihatkan pada Travis sebuah kebocoran sistem. “Kita harus cari cara lain.”Lion membenarkan seraya menatap Travis penuh isyara
"Bagaimana ini bisa terjadi?” Berpindah dari satu tempat ke tempat lain menjadi kebiasaan Verasco selama sisa hidupnya. Setelah membiarkan Charlotte kembali ke mansion utama, dia pergi bersinggah ke markas tersembunyi di suatu hutan berantara.Seorang mayat tergeletak dengan kaki masih terikat tali tambang, luka tusuk hingga sayatan di leher, wajah membiru, disertai mata dan mulut terbuka. Kematian yang dipaksakan, apakah begitu tepatnya penjelasan untuk jasad seorang lelaki di bawah sana? Atau seharusnya pria itu menjalankan tugas dari Verasco, seperti yang pernah dia ceritakan sebelum sampai di tempat berpijak saat ini. “Di mana rekannya saat dia tewas mengenaskan di sana?” tanya Verasco mulai curiga.“Kami masih berusaha mencari, Tuan. Anda memilih mereka yang tangguh untuk menjalankan tugas. Tapi kita tidak pernah tahu, bisa saja salah satu dari mereka atau keduanya merupakan pengkhianat.”“Pengkhianat apa maksudmu?”Keneddy menelan ludah kasar. Dia harus bercerita mulai dari ma
Bunyi suara letusan senjata api melambung nyaris memekakkan telinga. Rose mengedarkan pandangan mencari di mana sumber tembakan itu berlangsung. Rasa penasarannya makin bertambah ketika desis – desis angin terus bergejolak. Saat itu Rose tahu dari mana dia harus memulai. Melangkah lebih jauh meninggalkan posisi awal. Samar – samar netra Rose menangkap siluet tubuh tinggi milik pria yang sejak tadi keberadaannya dipertanyakan oleh isi kepala. Sebuah revolver terangkat sejajar garis bahu tampak dikokang ke depan. Rose tidak perlu bertanya senjata milik siapa yang Theo pergunakan. Suaminya memiliki segala hal, yang berkaitan dengan barang – barang demikian.“Kau membiarkanku sendiri terlalu lama,” ucap Rose. Tidak bermaksud membuat tubuh itu terlonjak.Theo berbalik seraya menurunkan lengan ke bawah. “Aku selalu kehilangan waspada saat kau di dekatku. Bukan kali ini saja,” protesnya. Tidak suka bagaimana Rose tiba – tiba berdiri di sana tanpa menarik kepekaan dari intuisi maupun sensing
“Mau ke mana, cantik?”Rose mengernyit saat salah satu dari mereka tidak sengaja menyorot lampu ke arah wajahnya. Atau mungkin dilakukan sengaja demi memastikan bagaimana rupa dan rasa takut yang tergambar di antara tubuh bermandikan keringat malam.Rose tidak akan membiarkan mereka melakukan sesuatu. Diam – diam menggerakkan lengan yang bersembunyi di balik punggung. Ponselnya dijepit di lengan kiri. Sementara senjata di tangan kanan sudah diposisikan dengan baik. Dia perlu memawas diri apabila mereka mulai bertindak.“Berhenti di situ!” ucap Rose penuh peringatan. Jemarinya mengokang senjata bertepatan selangkah pria yang hendak mendekat.“Apa yang ingin kau lakukan ... menembak kami?”Tawa mereka kompak menggelegar. Terlalu meremehkan wanita sendirian, yang dengannya memiliki keberanian terpendam. Alih – alih beringsut mundur. Rose tidak sekali pun melepas pandangan pada predator di depan mata. Dia tidak boleh lengah.“Tubuh wanita ini enak dilihat. Sebaiknya kita giring bergantian
Samar – samar bunyi patahan ranting menyentak kesadaran Rose. Netranya mengerjap beberapa kali usai menemukan langit setengah cerah membentang tertutup oleh sekumpulan dedauanan. Berapa lama kesadarannya hilang? batin Rose bertanya – tanya dan memaksakan diri bangkit sembari menekan sebelah pelipis. Kontraksi hebat di perut mungkin tak lagi terasa. Namun, pusing di kepala belum sepenuhnya reda.Rose mencari – cari keberadaan barang – barang miliknya, tersentak saat tak menemukan benda pipih yang digunakan semalaman. Tidak tahu mengapa waktu itu dia lebih memilih membawa ponsel pemberian Theo. Itu sedikit menjadi sebuah keberuntungan. Rose ingat, dia sempat kehilangan arah tatkala dunia seakan berputar. Alasan paling tepat untuk menjabarkan hilangnya ponsel tersebut. Wajah Rose meringis, meraih pistol yang tergeletak asal di samping tubuh. Dia harus pergi. Setidaknya sekarang dapat melihat di bawah penerangan minim. Langit subuh sebentar lagi akan menjadi pagi. Rose yakin mereka masih