“I got you.”Rose menarik diri mundur usai mendapat sesuatu, yang jarang berakhir sebagai kesempatan baginya. Menjadikan Theo objek tangkapan gambar. Itu jelas merupakan hal mustahil saat Theo dalam keadaan waspada. Kaos ‘kitty pa’, yang pas di tubuh, tampak serasi dengan ekspresi mencolok, yang sialnya masih begitu tampan.Senyum Rose melebar puas. Wajah Theo seperti dipenuhi dendam saat sedang menatapnya.“Hapus fotonya, Sugar!”“Tidak. Tidak. Tidak. Dalam mimpimu,” jawab Rose setengah mengejek. Dia mengulik ponselnya cepat. Gambar langka Theo, ntah harus dikemanakan. Rose tidak yakin akan bertahan lama, jika membiarkannya terkubur dalam galeri. Menyebar luaskan ke salah satu akun social media, mungkin bukan ide yang buruk.“Hapus tidak fotonya!”Nada penuh peringatan tidak akan bisa mengecam Rose. Lebih tepatnya dia menyingkir ketika lengan Theo terulur, berusaha meraih ponsel dalam genggaman tangan. Tinggal menekan tombol ‘posting’, maka semuanya selesai.“Sudah aku upload.”Kekeh
“Sudah malam, Sugar. Cepat tidur.”“Nanti dulu,” ucap Rose acuh tak acuh. Di tengah lampu tidur redup dan sinar ponsel yang menyala memapar wajah. Dia menuliskan alamat email maupun password yang sama secara berulang. Hasilnya nihil. Rose tidak bisa masuk kembali ke akun instag*am miliknya setelah ter-logout otomatis, yang merupakan kali pertama mengalami masalah login. Rose mendesah. Dalam sekejap mengalami penurunan mood sekadar mengubah posisi tubuh. Yang dilakukannya hanya duduk termenung, menyayangkan akun itu hangus—lenyap tak bersisa. Dia sudah berusaha keras, tapi kenyataan di depan mata membuatnya merasa muak. Kalau Theo tidak berada di sampingnya, mungkin Rose akan sedikit menangisi hal itu.“Apa yang kau pikirkan, Sugar? Tidur!”Tidak ada jawaban. Rose tak berniat memberi balasan atau mengucapkan satu kata pun. Akunnya bisa kembali normal, itu yang dia inginkan. Namun, untuk hal – hal seperti itu, Rose masih dalam tahap awam. Dia hanya user, bukan seorang yang ahli terhada
Milan, Italia.Malam yang membuat Rose meragukan diri harus bersisihan di samping pria yang tampak rupawan dengan tuxedo hitam. Aroma maskulin semakin menguar acapkali jemari besar itu menyentuh permukaan kulit wajahnya. Masih dikuasai ketegangan, Rose hanya bisa memantapkan diri menatap lurus ke depan. Balutan backless dress dengan tali – tali kecil menyilang di punggung memberi kesan seductive, terutama warna beige yang tampak menyatu bersama kulit putihnya. Sandaran jok mulai menghangat. Ntah kenapa Rose merasa mobil yang Theo kendarai berjalan begitu pelan. Barangkali dia terlalu dihantui rasa takut, sehingga menunggu waktu berputar seperti sesuatu yang seharusnya tidak dia lakukan.“Lihat aku, Sugar.”Ucapan Theo sedikit menyentak lamunan Rose. “Sepertinya pikiranmu sedang tidak tenang.”Pria itu masih berusaha membawa Rose kembali pada kenyataan. Theo tidak tahu kenyataan itu terlalu berat Rose hadapi. Dia begitu takut dengan masa lalu, yang berbanding jauh dari kehidupan Theo
Masih ingat clue dari aku? Here we go .......Napas Rose tercekat. Namun, tidak semudah itu Mr. Alejandro menguasai keadaan. Theo tidak membiarkan itu berlangsung sempurna, bahkan satu detik yang berlalu merupakan waktu paling lama bagi desert eagle di genggaman Mr. Alejandro mengancam keselamatan Rose. Karena di saat bersamaan Theo turut bangkit, menyentak senjata di tangan tua itu dengan kecepatan tak terhitung. Belum – belum Mr. Alenjandro menekan trigger. Buah dari keterampilan Theo berhasil mengeluarkan extended magazine dari ganggang desert eagle, tempat di mana tambahan – tambahan peluru di dalamnya terpendam.“You let me get to close.”Theo menggeram sinis. Extended magazine milik Mr. Alejandro kini berada dalam cengkeraman tangannya. Aura yang dia dimiliki berubah pesat. Wajahnya dingin. Terlebih sorot abunya terlampau mematikan. “Kau bisa membawa putrimu pergi dari sini, atau benda ini akan melukainya. Oh, jangan bermimpi aku akan menjadi bagian dari dirimu. Itu tidak aka
“Menikahi pelacur? You don’t fucking kidding me, don’t you?”Sambutan pertanyaan menghakimi Theo ketika dia melangkahkan kaki memasuki ruang pribadi Verasco. Merasa aneh, Theo menatap ke setiap penjuru ruangan—menyadari bahwa Verasco tiba lebih awal darinya dengan selisih waktu yang begitu tipis. Sebelah alis Theo terangkat tinggi. Artinya Verasco masih sempat melakukan kegiatan lain, sebelum terburu – buru masuk dan duduk di kursi kebesaran miliknya—seolah dia sudah menunggu dari sekian abad lalu.“Kau dari mana saja?”Alih – alih menjawab kalimat Verasco. Theo mendekatkan diri—turut menghujami ayahnya dengan pertanyaan.“Kita tidak sedang membahas aku. Tapi kau.” Verasco berdiri, mengambil posisi menatap ke luar jendela. “Menceraikan Magdalena, lalu menikahi pelacur Kanada. Kau sinting, atau bagaimana?”Sebuah perbandingan tajam ... Theo tidak perlu bertanya – tanya lagi akan sesuatu yang sudah dia pahami. Kekuasaan Verasco merupakan koherensi, yang seharusnya tidak Theo remehkan. Di
Theo menarik lepas earphone sekaligus mematikan sambungan suara dari Verasco. Napasnya menggebu – gebu melirik kamera pengintai itu dengan emosi saling menarik ulur akal sehat. Ini yang disebut perang. Melawan diri sendiri hingga mencapai akhir dari keputusan.Jemari Theo mengepal erat. Dengan sekali pukulan lensa kamera itu retak. Dia menarik lepas keseluruhannya. Mencabik – cabik sisa – sisa kabel yang ada, lalu tanpa mengatakan apa pun mengeluarkan senjata api dan menyerahkan benda tersebut pada Rose.“Pegang ini, Rose. Waktumu 25 menit untuk lari dari sini sejauh mungkin. Kau bisa masuk ke dalam hutan, bersembunyi sampai semua terasa tenang.” Theo menghentikan kalimatnya sesaat. Dia berbalik, mengambil sesuatu di jok belakang. Buket mawar merah sudah disiapkan, tapi Theo lupa memberikan itu pada Rose—berpikir ini waktu yang tepat.“Sebenarnya apa yang terjadi, Theo? Kau selalu berbicara dengan bahasamu. Siapa tadi yang menelpon?” tanya Rose saat menerima dua benda yang saling berto
Berawal dari memperebutkan orang yang sama. Aku tidak pernah tahu kau akan menjadi satu - satunya pria yang menghanyutkanku dalam asmaraloka. Afeksi kau tawarkan seperti selincam nada - nada sumbang. Terasa sakit apabila aku harus mengurai simfoni menghitam.Sejauh aku mengenalmu. Kau pribadi paling rumit, yang tidak akan pernah aku mengerti. Hadir dan keberadaanmu bagai duri tumbuh di sisiku. Menjadi pelindung, termasuk yang menabur rasa sakit. Kenapa harus ada sesal saat kau akhirnya memilih pergi? Menyisakan bagian dari dirimu yang harus aku rengkuh seorang diri.Kau menghilangkan satu harapan. Begitu tidak adil siksa dan nikmat harus kuterima bersama, sekalipun pernikahan yang kita genggam bukan atas nama cinta. Aku memang tidak memahami hal itu. Tidak pernah memahami bagaimana rasaku. Semua terlihat bagai ilusi. Aku hanya ironi yang coba berdiri di atas partitur - partitur luka. Hati dan logikaku mungkin sedang bertempur. Sementara kebenaran telah dipupuk oleh butanya atma. Tida
Derap kaki Rose tidak pernah henti memasuki hutan lebih dalam. Dia pergi meninggalkan orang – orang itu, karena tahu berikutnya akan turut menjadi sasaran pencarian. Buket mawar yang dipegang tanpa sadar diremas kuat. Kekalutan tidak mengingatkannya untuk menebar kelopak yang berguguran sendiri—terbang oleh tepisan angin malam.Ke mana lagi Rose harus menyusuri hutan dengan kondisi sedang mengandung? Dia bahkan tidak sadar wajah kacaunya sudah membasah. Apa yang sebenarnya Rose tangisi, kepergian Theo? Atau, karena dia tersesat seorang diri di tempat yang begitu luas sekaligus bersemak?Jawaban atas kebingungan Rose terletak pada pertanyaan pertama. Sudah seberapa sering Theo mengorbankan jiwa raga demi dirinya? Dan dia masih menjadi satu – satunya orang yang secara tidak langsung mencelakakan Theo.Bisakah waktu diulang? Rose tidak akan mau datang di acara makan malam keluarga Witson, kalau saja dia tahu kekacauan ini justru merenggut nyawa seseorang yang baru terasa berarti. Theo be
Kepergian Zever secara tiba – tiba cukup membekas di benak Rose. Saat itu dia dan Travis diam memperhatikan punggung milik dua orang yang menjauh. Rose tak berani mengatakan apa pun kala dia sendiri menyadari Travis seketika meninggalkannya—Travis menunduk dan Rose harap pria itu baik – baik saja, lantas ikut menyusul dengan langkah hati – hati membawa bayi kembarnya masuk ke dalam gedung mansion.Dua jam usai kejadian di taman belakang, dan setelah menidurkan anak – anak Rose segera menyusul keberadaan Zever. Lewat pesan – pesan yang diberikan kepada Lion, Rose tentu memantau apa pun yang terjadi di luar. Termasuk menanyakan bagaimana kondisi Travis. Pria itu sudah bersikap seperti semula, tetapi satu yang bermasalah. Zever di ruang tamu dengan riak wajah begitu dingin dan manik mata kelabu yang menatap setengah kosong menyusun sambungan miniatur di atas meja.Berulang kali Rose menarik napas sekadar memantapkan diri duduk di samping suaminya.“Zever,” panggil Rose ingin memastikan p
“Aku sudah selesai, Theo. Sekarang giliranmu—“ Pikir Rose, setelah keluar dari kamar mandi sekaligus mengganti pakaian di sana. Dia akan menemukan Theo menjaga ketiga bayi mereka dengan posisi semestinya, tetapi tubuh besar itu—dalam tidur menyampingnya seolah lebih lelap dari ketiga bayi yang memejam tenang. Kelelahan. Begitu yang Rose tafsirkan, karena hari – hari belakangan ini Theo sering sekali menyibukkan diri di tengah malam—menjaga bayi – bayi mereka, sementara Rose dipaksa untuk tetap beristirahat. Senyum Rose tipis sambil mengusap puncak kepala Theo. Hanya sesaat dia beralih pada tiga bayi kembarnya untuk dipindahkan ke dalam troli. Rose akan membawa mereka untuk berjalan – jalan di taman belakang. Selesai memindahkan dia kembali mendekati Theo sekadar menutup tubuh suaminya dengan selimut tebal. “Kami pergi dulu.” Singkat Rose mengecup sudut wajah Theo. Dia mendorong troli dengan hati – hati menuju lift. Rose sudah tahu di mana letaknya, cukup tersembunyi—dan Theo memang
“Aku mendapat cucu yang banyak.”Tawa O’Douglas pecah persis seperti kapten bajak laut yang baru saja menemukan harta karun bersejarah. Masing – masing lengan pria paruh baya itu mengapit dua bayi mungil, sementara bayi mungil yang lain berada di dekapan Verasco—yang terus menimang, sesekali mendekatkan bayi – bayi tersebut dengan guyonan ringan.Ntah apa yang bisa Rose katakan ketika menyaksikan anak – anaknya langsung diserbu begitu Verasco dan O’Douglas masuk ke ruang rawat. Dia baru selesai menyusui, sehingga bayi – bayi yang kekenyangan hanya akan tidur sepanjang hari, dan tidak merepotkan kedua kakek mereka.“Kau dari tadi tak pernah berhenti menatapku,” ucap Rose pelan. Sering kali Theo menyorot wajahnya, tetapi saat ini manik kelabu itu membinarkan sesuatu yang berbeda. Begitu penuh cinta dan sebagian tak bisa Rose tafsirkan dengan benar. Bagaimana mungkin Rose tahan dibidik sedemikian lamat. Theo harus, sekali saja, berpaling darinya.“Terima kasih, Sugar.”Sentuhan lembut di
Rose tak menyangka Theo akan membawanya sampai ke pulau Ortogia, pusat sejarah Kota Sirakusa, Sisilia, untuk menikmati keindahan laut Mediterania. Aroma – aroma di tepi laut itu memberi keindahan yang menyejukkan. Rose bahkan tak melupakan bahwa Theo tidak sekali pun melepaskan tubuhnya di pundak lebar pria tersebut setelah menyusuri sepanjang gedung – gedung tua di pulau – pulau Ortogia.“Ini rumah siapa?” tanya Rose memandangi sebuah bangunan kokoh yang seperti dikhususkan untuk ditinggali dua orang.“Rumah kita.”Tidak banyak yang dapat Rose katakan, kecuali menyematkan wajahnya dalam – dalam di ceruk leher Theo. Aroma maskulin itu masih sangat menguak, bahkan usai sepanjang hari mereka memberikan jamuan kepada para tamu, seakan – akan cairan parfum pun sangat betah menjamah kulit liat Theo.“Mau langsung tidur atau mandi dulu, Sugar?”Di depan sebuah pintu Theo menghentikan langkah sekaligus membiarkan Rose berpijak di atas lantai. Antara ragu dan butuh sesuatu yang segar akhirnya
“Sudah siap?”Rose mengangguk saat Theo bicara di atas puncak kepalanya. Dia memang berdiri membelakangi Theo, memegang ganggang pisau pemotong kue yang panjang, sementara jemari besar Theo menggenggam hangat tiap – tiap buku tangannya.Kue bertingkat – tingkat itu, atau tak jauh berbeda dengan menara rapuh sedang terbelah. Irisan mata pisau perlahan menurun ke bawah menjadi simbol ketajaman. Rose tersenyum nyaris meleburkan tawa ketika Theo membisikkan sesuatu yang lucu untuknya, yang lucu tapi tak akan Rose beritahu pada siapa pun. Biar dia menyimpan sendiri dan menjadikan itu momen menyenangkan yang penting.Setelah potongan kue pertama seharusnya Rose dan Theo saling memberi suapan. Alih – alih demikian Theo sebaliknya mencongkel krim dan segera mengoleskan ke bibir bawah Rose. Wajah Rose tampak berepotan, namun itulah yang Theo inginkan. Dia merampas bibir Rose seperti merampas kue yang sangat lezat.Manis dari campuran gula dan mentega seakan membuat Theo tak pernah puas. Dia mem
“Sudah. Aku sudah kenyang.”Lagi – lagi Rose harus menahan diri saat jemari besar Theo berusaha menyingkirkan semangkok bubur putih di tangannya.“Sedikit lagi, Theo. Kau harus menghabiskan buburmu.”“Ayo.”Sesendok bubur kembali Rose dekatkan, tetapi wajah itu menolak.“Jangan memaksaku makan bubur yang tidak enak, Sugar. Rasanya hambar.”“Makanya kalau makan sambil lihat aku, biar ada rasanya.”“Satu suapan lagi. Aku janji setelah ini selesai.”“Aku tidak percaya. Kau mengatakan itu sejak tadi, apa kau tidak ingat?”Rose menyengir lebar benar – benar mengelabuhi Theo. Pria itu persis anak kecil yang kehilangan nafsu makan. Sulit sekali dibujuk untuk membuka mulut.“Kali ini aku serius yang terakhir. Ahk ... buka yang lebar.”Rose pikir Theo akan segera menerima suapan darinya. Pria itu justru menggerakkan siku tangan Rose, memindahkan haluan sendok ke bibir Rose sendiri.“Kau juga harus makan.”“Tadi aku sudah makan,” bantah Rose, tetap saja dia tak bisa menyangkal satu suapan mendar
Satu hari setelah Theo sadar akhirnya Rose memutuskan kembali sejenak ke rumah, tempat di mana dia pernah tinggal seorang diri yang bersebelahan dengan restoran kecil miliknya. Saat ini tidak banyak yang Rose lakukan selain mempersiapkan diri menemui Theo di rumah sakit. Rose segera mengendarai mobil—milik ayahnya yang dipinjam. Di kursi penumpang belakang dia meletakkan sebuah kotak berukuran sedang dengan beberapa lubang di dalamnya yang dibungkus sangat cantik. Sementara di sampingnya duduk seekor anjing kecil lucu berbulu keriting dan warna putih seperti kapas. Kemarin Rose baru saja membeli ras anjing pudel tersebut di toko hewan. Tertarik. Hanya itu yang menggambar keinginan Rose membawa pulang pudel yang diberi nama Cocomelo.“Kita sudah sampai.”Rose menyiapkan tas ransel khusus untuk membawa Cocomelo di pundak, agar saat pertama kali masuk ke ruang rawat Theo tak langsung bertemu dengan Cocomelo-nya selain Rose yang akan memperlihatkan. Dan di tangannya, dia membawa kotak be
Sekembali dari kamar mandi Rose pikir akan dihadapkan pada situasi yang sama. Dia sudah mewanti dengan menunggu lebih lama di ruang lembab sampai beberapa suara dari luar meredup. Tetapi semua yang Rose perkirakan tidak benar adanya. Rembesan darah di lantai ketika dia membuka pintu sudah hilang tak berjejak. Bawahan Verasco ... bahkan Verasco itu sendiri pun sudah tak terlihat ada di sana, di ruang rawat suaminya. Hanya tersisa Lion yang menunggu sangat tenang, bersedekap dada sambil memperhatikan Theo tanpa suara.“Kau masih di sini, Lion? Di mana yang lain?” tanya Rose begitu langkahnya menyisir di sisi blankar.“Tuan Verasco meminta saya menunggu di sini, Nona.”Perhatian Lion akhirnya teralihkan. Rose menduga pria itu baru pulang dari kantor kepolisian lalu membantu Verasco dan Elijah untuk mengeksekusi George. Terkait pengkhianatan yang dilakukan George, mungkin itu menjadi kecamuk rasa waspada bagi Verasco agar lebih intoleran terhadap niat – niat terselubung dan apa pun yang ba
“Dalam perjalanan menuju rumah. Kisah mereka berakhir bahagia. Selesai.”Rose menutup buku setebal kurang lebih 400 halaman dan meletakkan buku tersebut di atas nakas. Membacakan kisah – kisah manis menjadi rutinitasnya beberapa hari terakhir. Senyum Rose tipis menatap wajah suaminya yang terbaring begitu tenang. Pagi tadi alat bantu napas baru saja dilepas menandakan kondisi Theo semakin membaik pasca kejadian tombak berdarah. Beruntung mereka segera membawa Theo untuk mendapat penanganan tepat. Tiga kali Theo harus menjalani tindakan operasi. Pria itu kehilangan banyak darah, sehingga membutuhkan transfusi secepatnya. Rose ingat beberapa perdebatan terjadi di antara mereka terkait Theo yang memiliki darah sangat langkah, bahkan Verasco pun tak berdaya tentang itu. Hanya Dara ....Demikian yang Verasco katakan saat itu dengan nada suara gemetar penuh. Seperti begitu sesal. Benar – benar menyesal, sampai akhirnya Travis menyarankan beberapa orang yang masih tertinggal di Italia untuk