“Di mana pakaian normalku?”Emosi Rose meluap – luap, mendatangi pria yang sibuk berhadapan dengan layar monitor di ruang tengah. Sikapnya tak acuh—masih duduk santai, menyanggah punggung di sandaran sofa dan laptop di atas pangkuan. Hanya menatap Rose sesaat, kemudian kembali fokus pada layar yang sedang menyala – nyala.“Kau mendadak jadi robot kalau sudah tenggelam di depan laptop!” timpal Rose. Melempar beberapa lingerie dari genggaman tangan hingga mendarat tepat sasaran. Dia sukses membuat tubuh Theo tersentak oleh keberadaan kain tipis yang bersarang di wajah adonis itu.Alih – alih marah. Hal yang Theo lakukan justru menimbulkan efek kemerahan di kedua pipi Rose. Merah persis seperti warna menyala dari salah satu lingerie yang terhampar lebar di depan matanya. Theo sialan, pria itu sengaja memperjelas bentuk daripada ukuran lingerie dengan mengangkat benda tersebut tinggi – tinggi. “Ini pas di tubuhmu. Terus apa yang salah?”“Apa yang salah? Kau pasti sengaja menyiapkan semua
Napas Rose berkali – kali berembus kasar. Dia melangkah hati – hati menyusuri pinggiran kolam renang, memikirkan beberapa kalimat Bridgette, yang membuat perasaannya berpacu tidak pasti. Rose tidak berusaha percaya. Namun, fakta mengenai Xelle ‘yang begitu bajingan’ tidak akan pernah Rose lupakan. Dia masih mengingat perkataan Bridgette pada sambungan telepon tadi pagi, ‘sifat Xelle berubah pesat dalam beberapa jangka waktu tertentu. Tidak bisa dikendalikan seperti Xelle yang sudah – sudah, bahkan di luar dari masalah kesehatan mentalnya’. Mungkin itu bukan urusan Rose, tapi bagaimana jika Xelle menyakiti Bridgette dengan artian yang bahkan tidak bisa dianalogikan?“Sugar.”Tubuh Rose terlonjak mendapat panggilan dari atas balkon, lantai dua. Dia menegadah tinggi, tapi tidak lebih cepat dari tubuh yang telah hilang. “Apa yang kau lakukan di sana, Sugar?”Lagi. Rose terkesiap, berbalik menatap Theo tidak percaya. Secepat itu Theo menyusulnya?“Kau ini jalan apa terbang? Cepat sekali!”
“Kalian bisa pergi sekarang.”Nada tegas Verasco meninggalkan bekas kernyitan di dahi Theo, yang hanya bisa menatap dari layar monitor. Meski berada di luar jangkauan sekadar bertatap muka, Theo tidak melewatkan kesempatan ikut serta pertemuan kerja sama dengan menjadi anggota virtual. Anehnya, di akhir penutupan dia merasa Verasco sudah mengincarnya. Atau seharusnya Verasco orang pertama yang meninggalkan ruang rapat, tapi pria itu masih bertahan di sana. Menyorot wajah Theo dengan pandangan tak teralihkan.“Long time no see, Son. Kau terlihat bahagia.”Netra abu Theo setengah menyipit, memperhatikan lamat – lamat setiap gestur pria paruh baya di depannya dari tampilan layar. Dia tidak pernah mendapat sapaan sehangat itu. Terlebih bukan kebiasaan Verasco sekadar mengomentari apa yang sedang dia rasakan dan tidak. “Do I owe you something?” Theo memberi jawaban dengan pertanyaan. “Aku tidak suka basa – basi. Kau mau apa?” lanjutnya. Namun, mendapat tawa menggelegar, hingga gelak Verasc
Malam semakin larut, yang Rose sangkakan akan membawa pria itu kembali. Seharusnya tidak butuh waktu lama saat Theo pergi bersama amarah. ‘Dia’ seharusnya sudah berada di hadapan Rose, seperti kebiasaan yang tak pernah lepas dari tingkah gilanya. Namun, sampai deburan ombak meraung – meraung keras. Meraung – raung dengan rambatan menggelitik pendengaran. Tidak pernah ada di mana satu titik pun Theo memperlihatkan diri.Napas Rose berembus kasar, menatap pemandangan tembus pandang dari dinding kaca. Air laut adalah gambaran dari perasaan Rose. Terombang ambing oleh elemen sekitar. Theo tahu Rose takut sendiri di tempat asing saat tengah malam. Melangkah pada sepetak jarak sekadar menutup gorden pun, dia harus mencengkeram erat pinggiran ranjang. Bayangan gelap seakan menghantui isi kepala. Rose tidak bisa mengatakan apa pun, bahwa dia begitu ingin pergi mencari keberadaan Theo. Nahas, tubuhnya beku. Tak berkutik. Tak bergerak. Hanya berharap pintu kamar terbuka menampilkan wajah yang te
Dua koper sudah tersusun rapi. Tersisa bagian terakhir, berisi pakaian Theo, setelah koper pertama dipenuhi lingeri dan yang kedua, berukuran sedang, tertata rapi kepentingan ‘pribadi’ pria tersebut—beberapa berupa senjata api, sisanya alat – alat kecil, tampak mahal. Namun, Rose tidak mengerti apa dan bagaimana kegunaannya. Dia tidak berusaha mencari tahu. Tidak ingin memenuhi isi kepalanya dengan hal – hal yang mustahil dia ketahui. Theo sudah biasa memegang senjata seperti itu, apa lagi yang perlu Rose tanyakan, selain kenyataan yang tidak bisa ditolak. Theo berbahaya. Dan itu benar.Napas Rose berembus. Sesekali berpaling ke belakang. Theo masih tenggelam dalam lelap yang tidak bisa Rose ceritakan. Malam penuh lautan ketidaksadaran, menghantarkan kembali mimpi – mimpi buruk. Nama yang sama. Kesakitan tak jauh berbeda. Terus terpanggil di antara racauan dan tubuh yang memberontak hebat. Bersyukur, Rose bisa mengendalikan situasi, membawa Theo kembali pada ketenangan dengan dekapan
“I got you.”Rose menarik diri mundur usai mendapat sesuatu, yang jarang berakhir sebagai kesempatan baginya. Menjadikan Theo objek tangkapan gambar. Itu jelas merupakan hal mustahil saat Theo dalam keadaan waspada. Kaos ‘kitty pa’, yang pas di tubuh, tampak serasi dengan ekspresi mencolok, yang sialnya masih begitu tampan.Senyum Rose melebar puas. Wajah Theo seperti dipenuhi dendam saat sedang menatapnya.“Hapus fotonya, Sugar!”“Tidak. Tidak. Tidak. Dalam mimpimu,” jawab Rose setengah mengejek. Dia mengulik ponselnya cepat. Gambar langka Theo, ntah harus dikemanakan. Rose tidak yakin akan bertahan lama, jika membiarkannya terkubur dalam galeri. Menyebar luaskan ke salah satu akun social media, mungkin bukan ide yang buruk.“Hapus tidak fotonya!”Nada penuh peringatan tidak akan bisa mengecam Rose. Lebih tepatnya dia menyingkir ketika lengan Theo terulur, berusaha meraih ponsel dalam genggaman tangan. Tinggal menekan tombol ‘posting’, maka semuanya selesai.“Sudah aku upload.”Kekeh
“Sudah malam, Sugar. Cepat tidur.”“Nanti dulu,” ucap Rose acuh tak acuh. Di tengah lampu tidur redup dan sinar ponsel yang menyala memapar wajah. Dia menuliskan alamat email maupun password yang sama secara berulang. Hasilnya nihil. Rose tidak bisa masuk kembali ke akun instag*am miliknya setelah ter-logout otomatis, yang merupakan kali pertama mengalami masalah login. Rose mendesah. Dalam sekejap mengalami penurunan mood sekadar mengubah posisi tubuh. Yang dilakukannya hanya duduk termenung, menyayangkan akun itu hangus—lenyap tak bersisa. Dia sudah berusaha keras, tapi kenyataan di depan mata membuatnya merasa muak. Kalau Theo tidak berada di sampingnya, mungkin Rose akan sedikit menangisi hal itu.“Apa yang kau pikirkan, Sugar? Tidur!”Tidak ada jawaban. Rose tak berniat memberi balasan atau mengucapkan satu kata pun. Akunnya bisa kembali normal, itu yang dia inginkan. Namun, untuk hal – hal seperti itu, Rose masih dalam tahap awam. Dia hanya user, bukan seorang yang ahli terhada
Milan, Italia.Malam yang membuat Rose meragukan diri harus bersisihan di samping pria yang tampak rupawan dengan tuxedo hitam. Aroma maskulin semakin menguar acapkali jemari besar itu menyentuh permukaan kulit wajahnya. Masih dikuasai ketegangan, Rose hanya bisa memantapkan diri menatap lurus ke depan. Balutan backless dress dengan tali – tali kecil menyilang di punggung memberi kesan seductive, terutama warna beige yang tampak menyatu bersama kulit putihnya. Sandaran jok mulai menghangat. Ntah kenapa Rose merasa mobil yang Theo kendarai berjalan begitu pelan. Barangkali dia terlalu dihantui rasa takut, sehingga menunggu waktu berputar seperti sesuatu yang seharusnya tidak dia lakukan.“Lihat aku, Sugar.”Ucapan Theo sedikit menyentak lamunan Rose. “Sepertinya pikiranmu sedang tidak tenang.”Pria itu masih berusaha membawa Rose kembali pada kenyataan. Theo tidak tahu kenyataan itu terlalu berat Rose hadapi. Dia begitu takut dengan masa lalu, yang berbanding jauh dari kehidupan Theo