Satu kata terucap dari bibir panas itu mengakhiri aksi negosiasi yang cukup melegakan perasaan. Tubuh Rose melengkung ke atas saat hampir setiap sentuhan ringan dilakukan serupa dengan pemujaan—begitu lembut, seolah – olah dia tembikar berharga yang Theo miliki.Dengan kedua tangan terikat. Rose menyentuh surai hitam yang bertahan di area dada. Theo menyesap kedua puting yang menantang secara bergantian. Begitu pria itu mendongak, bibirnya tampak kilap di bawah kilatan cahaya.Sebelum merayakan bagian puncak. Theo membebaskan belenggu ikatan di lengan Rose, hingga jemari itu menyentuh dada kasar yang mulai ditumbuhi bulu – bulu melebar. Rasanya Rose ingin memusnahkan mereka dengan cara yang sama seperti tempo waktu lalu.“Theo.”Rose menelan ludah kasar merasakan penestrasi yang perlahan menerobos masuk—memberi rasa sesak tatkala miliknya terisi penuh. Gerakan merambat, naik, turun, lepas mengirim gelenyar nikmat yang tak bisa dimungkiri.“Kau sangat sempit,” ucap Theo, menyingkirkan s
“Dore, bangun, hey, kau sudah kesiangan. Jangan sampai aku menyirammu dengan air dingin.”Sayup – sayup suara lembut berbisik, memancing netra abu – abu yang terpejam ... terbuka secara perlahan. Cantik.Satu kata yang bisa mengubah debaran damai di dada menjadi ketukan keras tak bernama. Theo bangkit mengambil posisi waspada. Sorot abu sama seperti miliknya terasa asing bagai persakitan. Kali kedua setelah sekian tahun, wanita itu muncul menampilkan senyum paling damai dari yang terakhir dilihat. Kanapa?“Dara?”“Ya, ini aku.”Sentuhan ringan di kulit pipi Theo membekukannya dalam keterpakuan. Lama dia mendalami wajah cantik Dara. Tidak bisa mengatakan apa pun, selain mata yang memerah.“Kau merindukanku, Kakak?”Berulang kali Theo mengangguk, membenarkan apa yang Dara katakan. Spontanitas lengannya memeluk Dara seerat mungkin. Theo menenggelamkan wajah di sana, antara bahu dan ceruk leher yang terbuka.“Why?”Pertanyaan demikian terdengar begitu lirih. Dara bisa merasakan betapa tu
“Satu jam lagi jangan lupa bawakan sarapan dan susu hangat ke kamar tamu. Rose mungkin masih tidur, tapi nanti kau bisa membangunkannya.” Theo bersuara tanpa menatap lawan bicara, fokus membenarkan ujung lengan kemeja panjang yang dikenakan. Sementara Beatrace, wanita paruh baya itu hanya bisa menunduk patuh, tidak berani mengangkat wajah menatap tuannya secara langsung. Sejak kekacauan yang dilakukan Afilia, apa pun yang Beatrace kerjakan berakhir di bawah tekanan. Dia sungguh merasa sungkan atas kesalahpahaman yang terjadi. Bersyukurlah, Theo memilih tidak membesar – besarkan masalah.“Anda yakin ingin menyetir sendiri, Tuan?” tanya Lion, merasa ragu terhadap kondisi kaki yang terlihat sedikit berbeda ketika pria di sampingnya melangkah.“I’m fine. Kau kerjakan saja tugas yang aku berikan.”Tidak sepenuhnya benar, barangkali kata baik – baik saja hanya bentuk peralihan, karena memang rasa sakit terkadang menyengat di beberapa titik. Seharusnya pada tahap pemulihan, Theo tidak menga
Rentetan poin penting tercantum di rangkuman penawaran proposal tidak sepenuhnya menarik perhatian Theo. Sesekali aksanya memicing, membidik wajah seorang pria yang terlihat ragu – ragu menyesap secangkir cappucino late. Kemudian bibir itu menipis membersihkan sisa cream yang tertinggal.“Ayahku sudah kembali ke Italia?” tanya Theo seraya menutup lembaran kertas berjilid rapi.“Ya, Tuan muda.”Sebelah alis Theo terangkat tinggi. Ketegangan di antara mata yang berkedut tidak fokus membuatnya menautkan jemari dengan siku bertumpu di atas meja restoran.“Jadi, Keneddy, saat ayahku di Kanada, apa yang ditugaskan padamu hingga harus menunda dua kali pertemuan?” Theo berhenti sejenak. Membaca reaksi wajah pria yang dipanggil dengan sebutan ‘Keneddy’. Kemudian dia berdecih sinis.“Jangan menganggap kerja sama ini sebagai hubungan kekerabatan. Aku mau semua berjalan sesuai prosedur. Bentuk tim untuk mengerjakan analisis swot. Sonya akan menghubungimu mengenai informasi lebih rinci. Pekan depan
“Afi, kau dan Lion mau ke mana?”Langkah dua orang itu terhenti bertepatan pintu kamar tamu terbuka lebar. Rose dengan penampilan jauh lebih segar menautkan alis bingung. Perhatiannya terforsir penuh pada tas jinjing besar di tangan Lion, serta Afilia yang terlihat berpakaian sopan memapah tas kecil di pundak.Afilia berpaling menatap wajah tampan di sampingnya. “Kak, aku boleh bicara empat mata bersama Kak Olesya?” Pertanyaan yang sebenarnya ragu diucapkan. Afilia takut Lion akan menolak. Namun, pria itu justru mengiyakan. Memilih untuk menjauh beberapa meter dari posisinya usai berpamitan pada Rose.“Mulai hari ini aku akan tinggal di asrama, Kak. Jaga dirimu baik – baik, ya,” ucap Afilia pelan, nada getir terdengar begitu jelas. Tatap sendu yang diperlihatkan pun sama kacaunya dengan rasa sesak yang harus ditahan. Ntah bagaimana dengan lingkungan barunya nanti, Afilia harap dia bisa betah tinggal di asrama selama enam semester ke depan.“Kita baru kemarin kenal. Kenapa tidak tingga
Sudut mata kelam itu tak henti memperhatikan setiap aktivitas Rose di meja bar. Gerakan santai dan wajah yang terlihat teduh sedikit membuatnya tidak mengerti. Sudah lebih dari 10 jam, seharusnya obat yang dia berikan bekerja secara efektif, atau setidaknya Rose merasakan kontraksi hebat dan pendarahan. Namun, semua yang dia harapkan tidak pernah terjadi. Rose terlihat baik – baik saja, lalu apa yang salah? Dengan geraman tertahan, Magdalena menipiskan bibir. Dia meletakkan segelas wine di tangan ke atas pantri, kemudian mendekati Rose yang menatapnya tak kalah sinis.“Sepertinya kau mulai berani padaku, jalang. Kenapa kau melihatku begitu?” tanya Magdalena sembari berdecih tak suka.Melirik sesaat, Rose melanjutkan kegiatan menabur toping tambahan di atas waffle buatannya tak acuh. “Aku tidak pernah takut padamu, tapi aku tidak punya waktu meladeni manusia yang suka mencari masalah.”Rose melenggang pergi meninggalkan Magdalena seorang diri di dapur. Tujuannya lurus mendatangi Lion y
Ada cinta yang disebut membiarkan pergi, untuk cinta yang berakhir selamanya. Jika kepergianku membiarkanmu memiliki semua, biarkan itu membawaku tiada. Demi dirimu, demi kehilanganmu.________________________Gerakan bibir Lion terhenti. Layar ponsel yang diperlihatkan tepat di depan mata membuatnya menelan ludah kasar. Seharusnya gigitan pada potongan waffle kedua tidak memiliki masalah, hingga Theo datang dengan kondisi kuyup dan tatapan penuh intimidasi. Sorot abu itu seakan menelanjanginya sampai ke tulang – tulang. Lion tidak merasa telah mengirimkan pesan singkat, kecuali menghubungi Theo secara langsung atas permintaan Rose.Tidak.Sebisa mungkin Lion menenangkan perasaan. Meraih ponselnya sendiri, lantas memeriksa pesan yang tak pernah ada di sana. Seseorang yang mengerjainya pasti sudah menghapus jejak digital agar dia tidak menyadari hal demikian.Travis!Seketika wajah Lion berpaling penuh peringatan. “Aku hanya meninggalkanmu sebentar ke kamar mandi. Kau malah membajak po
“Pengen aja,” jawab Rose setengah berbohong. Kalau saja Theo tidak memotong ucapannya tempo waktu lalu, mungkin Rose tidak perlu menahan diri untuk mengatakan hal sederhana yang bisa membuat perasaannya sedikit lega. “Pokoknya kau harus menemaniku nonton,” lanjut Rose, mulai memosisikan ponselnya menjadi landscape.“Lain hari saja, apa tidak bisa, Sugar? Mataku sangat berat.”“Tidak. Kau tetap harus terjaga. Semalam juga kau tidak membiarkanku tidur. Sekarang giliranku.”“Tapi—““Cuma menemaniku nonton, Theo. Tidak perlu keluar tenaga. Cukup duduk manis. Lalu kenapa banyak protes?” Rose menatap tajam pria yang terdiam ... tak lagi membantah. Wajah pasrah itu menjadi hiburan tersendiri. Rose tersenyum, “Sini. Aku butuh bantal peluk,” lanjutnya tak sabaran. Dia suka bagaimana cara Theo menarik selimut tebal dan menutup tubuh keduanya. “Kita mau nonton film horror?” Theo memicing penasaran. Pertanyaan skeptis sengaja dilontarkan untuk merepresentasi tindakan Rose, yang secara tiba –
Kepergian Zever secara tiba – tiba cukup membekas di benak Rose. Saat itu dia dan Travis diam memperhatikan punggung milik dua orang yang menjauh. Rose tak berani mengatakan apa pun kala dia sendiri menyadari Travis seketika meninggalkannya—Travis menunduk dan Rose harap pria itu baik – baik saja, lantas ikut menyusul dengan langkah hati – hati membawa bayi kembarnya masuk ke dalam gedung mansion.Dua jam usai kejadian di taman belakang, dan setelah menidurkan anak – anak Rose segera menyusul keberadaan Zever. Lewat pesan – pesan yang diberikan kepada Lion, Rose tentu memantau apa pun yang terjadi di luar. Termasuk menanyakan bagaimana kondisi Travis. Pria itu sudah bersikap seperti semula, tetapi satu yang bermasalah. Zever di ruang tamu dengan riak wajah begitu dingin dan manik mata kelabu yang menatap setengah kosong menyusun sambungan miniatur di atas meja.Berulang kali Rose menarik napas sekadar memantapkan diri duduk di samping suaminya.“Zever,” panggil Rose ingin memastikan p
“Aku sudah selesai, Theo. Sekarang giliranmu—“ Pikir Rose, setelah keluar dari kamar mandi sekaligus mengganti pakaian di sana. Dia akan menemukan Theo menjaga ketiga bayi mereka dengan posisi semestinya, tetapi tubuh besar itu—dalam tidur menyampingnya seolah lebih lelap dari ketiga bayi yang memejam tenang. Kelelahan. Begitu yang Rose tafsirkan, karena hari – hari belakangan ini Theo sering sekali menyibukkan diri di tengah malam—menjaga bayi – bayi mereka, sementara Rose dipaksa untuk tetap beristirahat. Senyum Rose tipis sambil mengusap puncak kepala Theo. Hanya sesaat dia beralih pada tiga bayi kembarnya untuk dipindahkan ke dalam troli. Rose akan membawa mereka untuk berjalan – jalan di taman belakang. Selesai memindahkan dia kembali mendekati Theo sekadar menutup tubuh suaminya dengan selimut tebal. “Kami pergi dulu.” Singkat Rose mengecup sudut wajah Theo. Dia mendorong troli dengan hati – hati menuju lift. Rose sudah tahu di mana letaknya, cukup tersembunyi—dan Theo memang
“Aku mendapat cucu yang banyak.”Tawa O’Douglas pecah persis seperti kapten bajak laut yang baru saja menemukan harta karun bersejarah. Masing – masing lengan pria paruh baya itu mengapit dua bayi mungil, sementara bayi mungil yang lain berada di dekapan Verasco—yang terus menimang, sesekali mendekatkan bayi – bayi tersebut dengan guyonan ringan.Ntah apa yang bisa Rose katakan ketika menyaksikan anak – anaknya langsung diserbu begitu Verasco dan O’Douglas masuk ke ruang rawat. Dia baru selesai menyusui, sehingga bayi – bayi yang kekenyangan hanya akan tidur sepanjang hari, dan tidak merepotkan kedua kakek mereka.“Kau dari tadi tak pernah berhenti menatapku,” ucap Rose pelan. Sering kali Theo menyorot wajahnya, tetapi saat ini manik kelabu itu membinarkan sesuatu yang berbeda. Begitu penuh cinta dan sebagian tak bisa Rose tafsirkan dengan benar. Bagaimana mungkin Rose tahan dibidik sedemikian lamat. Theo harus, sekali saja, berpaling darinya.“Terima kasih, Sugar.”Sentuhan lembut di
Rose tak menyangka Theo akan membawanya sampai ke pulau Ortogia, pusat sejarah Kota Sirakusa, Sisilia, untuk menikmati keindahan laut Mediterania. Aroma – aroma di tepi laut itu memberi keindahan yang menyejukkan. Rose bahkan tak melupakan bahwa Theo tidak sekali pun melepaskan tubuhnya di pundak lebar pria tersebut setelah menyusuri sepanjang gedung – gedung tua di pulau – pulau Ortogia.“Ini rumah siapa?” tanya Rose memandangi sebuah bangunan kokoh yang seperti dikhususkan untuk ditinggali dua orang.“Rumah kita.”Tidak banyak yang dapat Rose katakan, kecuali menyematkan wajahnya dalam – dalam di ceruk leher Theo. Aroma maskulin itu masih sangat menguak, bahkan usai sepanjang hari mereka memberikan jamuan kepada para tamu, seakan – akan cairan parfum pun sangat betah menjamah kulit liat Theo.“Mau langsung tidur atau mandi dulu, Sugar?”Di depan sebuah pintu Theo menghentikan langkah sekaligus membiarkan Rose berpijak di atas lantai. Antara ragu dan butuh sesuatu yang segar akhirnya
“Sudah siap?”Rose mengangguk saat Theo bicara di atas puncak kepalanya. Dia memang berdiri membelakangi Theo, memegang ganggang pisau pemotong kue yang panjang, sementara jemari besar Theo menggenggam hangat tiap – tiap buku tangannya.Kue bertingkat – tingkat itu, atau tak jauh berbeda dengan menara rapuh sedang terbelah. Irisan mata pisau perlahan menurun ke bawah menjadi simbol ketajaman. Rose tersenyum nyaris meleburkan tawa ketika Theo membisikkan sesuatu yang lucu untuknya, yang lucu tapi tak akan Rose beritahu pada siapa pun. Biar dia menyimpan sendiri dan menjadikan itu momen menyenangkan yang penting.Setelah potongan kue pertama seharusnya Rose dan Theo saling memberi suapan. Alih – alih demikian Theo sebaliknya mencongkel krim dan segera mengoleskan ke bibir bawah Rose. Wajah Rose tampak berepotan, namun itulah yang Theo inginkan. Dia merampas bibir Rose seperti merampas kue yang sangat lezat.Manis dari campuran gula dan mentega seakan membuat Theo tak pernah puas. Dia mem
“Sudah. Aku sudah kenyang.”Lagi – lagi Rose harus menahan diri saat jemari besar Theo berusaha menyingkirkan semangkok bubur putih di tangannya.“Sedikit lagi, Theo. Kau harus menghabiskan buburmu.”“Ayo.”Sesendok bubur kembali Rose dekatkan, tetapi wajah itu menolak.“Jangan memaksaku makan bubur yang tidak enak, Sugar. Rasanya hambar.”“Makanya kalau makan sambil lihat aku, biar ada rasanya.”“Satu suapan lagi. Aku janji setelah ini selesai.”“Aku tidak percaya. Kau mengatakan itu sejak tadi, apa kau tidak ingat?”Rose menyengir lebar benar – benar mengelabuhi Theo. Pria itu persis anak kecil yang kehilangan nafsu makan. Sulit sekali dibujuk untuk membuka mulut.“Kali ini aku serius yang terakhir. Ahk ... buka yang lebar.”Rose pikir Theo akan segera menerima suapan darinya. Pria itu justru menggerakkan siku tangan Rose, memindahkan haluan sendok ke bibir Rose sendiri.“Kau juga harus makan.”“Tadi aku sudah makan,” bantah Rose, tetap saja dia tak bisa menyangkal satu suapan mendar
Satu hari setelah Theo sadar akhirnya Rose memutuskan kembali sejenak ke rumah, tempat di mana dia pernah tinggal seorang diri yang bersebelahan dengan restoran kecil miliknya. Saat ini tidak banyak yang Rose lakukan selain mempersiapkan diri menemui Theo di rumah sakit. Rose segera mengendarai mobil—milik ayahnya yang dipinjam. Di kursi penumpang belakang dia meletakkan sebuah kotak berukuran sedang dengan beberapa lubang di dalamnya yang dibungkus sangat cantik. Sementara di sampingnya duduk seekor anjing kecil lucu berbulu keriting dan warna putih seperti kapas. Kemarin Rose baru saja membeli ras anjing pudel tersebut di toko hewan. Tertarik. Hanya itu yang menggambar keinginan Rose membawa pulang pudel yang diberi nama Cocomelo.“Kita sudah sampai.”Rose menyiapkan tas ransel khusus untuk membawa Cocomelo di pundak, agar saat pertama kali masuk ke ruang rawat Theo tak langsung bertemu dengan Cocomelo-nya selain Rose yang akan memperlihatkan. Dan di tangannya, dia membawa kotak be
Sekembali dari kamar mandi Rose pikir akan dihadapkan pada situasi yang sama. Dia sudah mewanti dengan menunggu lebih lama di ruang lembab sampai beberapa suara dari luar meredup. Tetapi semua yang Rose perkirakan tidak benar adanya. Rembesan darah di lantai ketika dia membuka pintu sudah hilang tak berjejak. Bawahan Verasco ... bahkan Verasco itu sendiri pun sudah tak terlihat ada di sana, di ruang rawat suaminya. Hanya tersisa Lion yang menunggu sangat tenang, bersedekap dada sambil memperhatikan Theo tanpa suara.“Kau masih di sini, Lion? Di mana yang lain?” tanya Rose begitu langkahnya menyisir di sisi blankar.“Tuan Verasco meminta saya menunggu di sini, Nona.”Perhatian Lion akhirnya teralihkan. Rose menduga pria itu baru pulang dari kantor kepolisian lalu membantu Verasco dan Elijah untuk mengeksekusi George. Terkait pengkhianatan yang dilakukan George, mungkin itu menjadi kecamuk rasa waspada bagi Verasco agar lebih intoleran terhadap niat – niat terselubung dan apa pun yang ba
“Dalam perjalanan menuju rumah. Kisah mereka berakhir bahagia. Selesai.”Rose menutup buku setebal kurang lebih 400 halaman dan meletakkan buku tersebut di atas nakas. Membacakan kisah – kisah manis menjadi rutinitasnya beberapa hari terakhir. Senyum Rose tipis menatap wajah suaminya yang terbaring begitu tenang. Pagi tadi alat bantu napas baru saja dilepas menandakan kondisi Theo semakin membaik pasca kejadian tombak berdarah. Beruntung mereka segera membawa Theo untuk mendapat penanganan tepat. Tiga kali Theo harus menjalani tindakan operasi. Pria itu kehilangan banyak darah, sehingga membutuhkan transfusi secepatnya. Rose ingat beberapa perdebatan terjadi di antara mereka terkait Theo yang memiliki darah sangat langkah, bahkan Verasco pun tak berdaya tentang itu. Hanya Dara ....Demikian yang Verasco katakan saat itu dengan nada suara gemetar penuh. Seperti begitu sesal. Benar – benar menyesal, sampai akhirnya Travis menyarankan beberapa orang yang masih tertinggal di Italia untuk