Menepati permintaan Gerald yang tak bisa Giselle tolak, mereka berdua pergi ke sebuah hotel berbintang di kota Luinz. Gerald memesan kamar khusus untuknya dan Giselle malam ini.
Sejak kejadian di kantor sore tadi, Giselle tampak murung dan sedih. Wanita cantik itu kini duduk di tepian ranjang kamar menundukkan kepalanya. 'Ya Tuhan, bagaimana dengan anakku sekarang? Bagaimana ... bagaimana caranya aku bisa melarikan diri dari Gerald saat ini?' Giselle menundukkan kepalanya dan meremas kuat rok selutut yang ia pakai. "Maafkan Mama, Elodie," lirih Giselle nyaris tak bersuara. Pikirannya terus dipenuhi bayangan Elodie yang menangis ketakutan. Lamunan Giselle buyar saat ia mendengar suara pintu dikunci. Sosok Gerald berdiri di sana, tengah melepaskan tuxedo hitamnya sambil berjalan mendekati Giselle. Tatapan matanya yang tajam menelisik Giselle yang diam duduk di tepian ranjang tak menatapnya sedikit pun. Ekspresi sedihnya bisa dibaca oleh Gerald. "Kau sedih karena tidak bisa menemui priamu di luaran sana?" Pertanyaan bernada dingin dari bibir Gerald membuat Giselle menggelengkan kepalanya. "Tidak," jawabnya lirih. Giselle beranjak dari duduknya dan meletakkan tasnya di atas meja. Wanita itu berdiri memunggungi Gerald. Tanpa diperintah, Giselle melepaskan blazer abu-abu yang ia pakai. Bukan tanpa alasan ia melakukannya. Giselle hanya ingin segera pergi dari sini secepat mungkin. Ia ingin menemani Elodie sebelum tengah malam. Wanita itu membalikkan badannya menatap Gerald yang menatapnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan. "Mari kita lakukan seperti yang Anda inginkan," ujar Giselle masih menatap Gerald dengan pasrah dan lelah. "Saya ... saya harus segera pergi setelah ini." Iris mata sebiru langit itu memancarkan beribu kesedihan yang tak mampu dibaca oleh Gerald. Gerald maju satu langkah mendekati Giselle dan menelisik wajah cantik mantan istrinya itu. "Semudah itu kau menjajakan tubuhmu, Giselle. Jangan harap kau bisa terlepas dariku malam ini!" Giselle tersentak saat Gerald menarik tengkuk lehernya. Bibirnya kini mencium bibir tipis Giselle dengan lembut tapi menuntut penuh gairah. Laki-laki itu memeluknya erat dan membawa Giselle ke atas ranjang, merebahkannya perlahan tanpa melepaskan ciumannya. Napas Giselle terasa tercekat dan sesak setiap ciuman yang Gerald berikan semakin menggebu. Rasa sedih semakin dalam di batin Giselle. Ingin rasanya ia menjerit, seiring bayangan tangisan Elodie yang kini menggentayangi Giselle di sela cumbuan Gerald yang semakin tak terkendali. "Aku tidak akan membiarkanmu pergi dari atas ranjangku, Giselle," bisik Gerald dengan napas hangatnya yang menerpa. Kedua bola mata Giselle melebar mendengar bisikan Gerald. Bagaimana mungkin? Tidak! Itu tidak boleh terjadi! Giselle harus cepat pergi, ia tidak mau anaknya menangis sendirian di rumah sakit! Pikiran Giselle berkeliaran ke mana-mana, padahal kini Gerald tengah mencumbunya dengan penuh gairah. "G-Gerald, ahh..." Wanita itu tersentak. Ia memejamkan kedua matanya erat dan jemarinya meremas kuat tengkuk leher Gerald saat bibir laki-laki itu mendarat di lehernya dan meninggalkan beberapa tanda basah di sana. Sampai tiba-tiba, terdengar suara deringan ponsel milik Giselle di dalam tasnya. "Nghh..." Giselle menoleh cepat. “G-Gerald, tolong berhenti sebentar—” "Diam," desis Gerald menekan pergelangan tangan Giselle. Pria itu kembali meraup bibir Giselle, berusaha meredam protes wanita itu. Tangan Gerald mulai menjamah lebih jauh, menelusup ke balik pakaiannya dan meraba titik-titik sensitif di tubuh Giselle, membuatnya gemetar dan semakin tidak berdaya. Kepalanya terasa pening karena ciuman dan sentuhan pria itu terasa begitu menuntut dan tergesa. “Ahh—” Giselle terkesiap saat merasakan jemari Gerald terasa panas membelai paha bagian dalamnya. “Kau lihat, Giselle? Kau menyukai sentuhanku, tapi berpura-pura menolakku!” bisik Gerald dengan suara baritonnya yang sarat akan gairah. Ia tersenyum licik saat sudut mata Giselle basah oleh air mata, mengira wanita itu menikmati sentuhannya. Padahal, Giselle merasa begitu rendah karena tidak berdaya. Deringan suara ponsel kembali terdengar tanpa henti. Giselle tersadar, mungkin saja itu panggilan dari rumah sakit. Keadaan Elodie! Giselle harus pergi sekarang juga! "Gerald, kumohon," lirih Giselle berusaha mendorong bahu kokoh laki-laki itu. Ia terus memberontak dalam kungkungan Gerald. Belum lagi, suara deringan ponsel yang terus bergema, membuat Gerald merasa terganggu. Laki-laki itu menjauhkan wajahnya dari ceruk leher Giselle. Saat Gerald lengah, Giselle segera mendorong dada bidangnya dengan sekuat tenaga, sampai laki-laki itu mundur menjauh. Giselle dengan gesit beranjak bangun dari atas tempat tidur. "Apa-apaan kau, Giselle?!" geram Gerald menatapnya tajam. Giselle tidak menjawab, wanita itu menyahut tasnya cepat dan menatap Gerald dengan kedua matanya tampak berkaca-kaca. Belum sempat ia melangkah pergi, Gerald menghadang dan menahannya. "Urusan kita belum selesai!" Iris hitam pria itu tampak menajam. "Tidak, kumohon jangan malam ini," pinta wanita itu dengan wajah memerah putus asa. Cengkeraman tangan Gerald bertambah kuat seiring dering ponsel milik Giselle yang masih tidak berhenti. "Kau berusaha lari dariku dan pergi menemui laki-laki lain? Katakan!" berang Gerald. "Tidak. Tidak, Gerald..." Giselle sudah berusaha menahan air matanya, namun tetap menetes membasahi pipinya. Wanita itu menarik tangan Gerald hingga cengkeramannya terlepas. "Kumohon, kali ini saja … izinkan aku pergi." Air mata yang membasahi wajah Giselle, ekspresi sedih dan khawatirnya yang begitu jelas membuat Gerald kesal sekaligus terpaku. Begitu cekalan tangan Gerald melonggar, Giselle langsung menarik tangannya dan berlari meninggalkan Gerald yang berdiri terdiam dengan kemarahan yang tersisa. Gerald mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. "Siapa laki-laki yang akan kau temui sampai kau berani padaku, Giselle?!" Sementara di lorong hotel, Giselle berjalan dengan langkah cepat. Tak peduli dengan penampilannya yang kini sangat berantakan akibat ulah Gerald beberapa menit yang lalu. Giselle membuka tasnya dan mengambil ponselnya yang masih berdering di dalam tas. "Ya Tuhan ... dari rumah sakit," lirih Giselle mengusap keningnya pelan. Wanita itu sangat panik, kedua matanya sudah berkaca-kaca lebih dulu. Pasti anaknya saat ini sedang tidak baik-baik saja. "Ha-halo?" "Halo, Nyonya. Maaf kalau menyita waktunya. Kami ingin Nyonya segera datang ke rumah sakit. Putri Nyonya menangis sejak sore tadi dan tidak ada yang bisa menenangkannya, Elodie terus mencari-cari Nyonya," ujar suster di balik panggilan itu. Giselle melangkah cepat sambil mengusap air matanya. "Ya, saya sebentar lagi akan sampai, sus." Giselle memutus panggilan itu dan berlari keluar gedung hotel. Ia segera masuk ke dalam sebuah taksi yang ia hentikan. Di dalam mobil itu, Giselle tidak bisa menahan kesedihannya yang begitu dalam. Bayangan kemahalan Gerald, tangisan Elodie, semuanya terasa menyiksanya. Giselle menutup wajahnya dan tertunduk pilu. “Ibu macam apa aku ini….”Giselle sampai di rumah sakit setelah lima belas menit perjalanan. Wanita itu tak peduli dengan penampilannya yang kini berantakan, ia berlari masuk ke dalam lorong rumah sakit. Di depan ruang kamar inap Elodie, tampak ada beberapa suster di sana. Hati Giselle semakin nyeri saat ia mendengar jerit tangis anaknya. "Elodie, Sayang..." Giselle masuk ke dalam kamar itu. Kedatangan Giselle membuat tiga suster di dalam kamar itu menoleh. Elodie pun langsung menjerit dan mengulurkan tangannya pada Giselle. "Mama, huwaa...! Mamaku!" pekik anak itu keras-keras. Suster Anne menyerahkan Elodie pada Mamanya. Giselle memeluk buah hatinya dengan sangat erat, mendekap tubuh kecil Elodie dengan sangat hangat. Tangisan anak itu langsung mereda dalam dekapannya."Syukurlah Nyonya sudah datang," ujar Suster Anne. "Sejak siang Elodie rewel, dia juga tidak mau makan apapun. Pukul enam petang tadi badannya panas, jadi semakin rewel. Tapi sekarang panasnya sudah turun setelah dokter memberikan suntika
Usai kejadian semalam, Gerald semakin merasa kesal karena tidak berhasil menemukan ke mana Giselle pergi setelah terlepas darinya di hotel. Pagi ini, ia kembali melihat mantan istrinya di dalam ruangan kerja dan bersikap baik-baik saja seolah tidak ada yang terjadi di antara mereka. Wanita itu beranjak dari duduknya dan menundukkan kepalanya. "Selamat pagi, Pak," sapa Giselle dengan ragu-ragu. Laki-laki berbalut tuxedo navy itu berdiri di hadapannya dengan sebongkah perasaan kesal yang sejak semalam ditahan. Giselle mengangkat wajahnya menyadari Gerald tidak menjawabnya, namun laki-laki itu masih menatapnya dengan sangat nyalang tajam. "Kau merasa senang karena bisa lari dariku semalam?" tanya Gerald.Bariton suaranya yang rendah dan menekan membuat wanita di depannya ini merinding. Giselle menggeleng kecil. "Ti-tidak, Pak Gerald. Semalam saya—"Ucapan Giselle terhenti saat Gerald maju dua langkah dan menyudutkannya pada meja kerjanya. Laki-laki itu membungkukkan badannya mendek
Sebuah mobil berwarna merah tampak berhenti di depan gedung perusahaan milik Gerald. Sosok wanita cantik dengan balutan dress berwarna putih turun dari dalam mobil. Seperti biasa, Laura dengan fashion glamornya berjalan dengan langkah percaya diri memasuki gedung."Selamat siang, Bu Laura," sapa seorang penjaga yang sudah hafal dengannya. Laura hanya menatapnya sekilas dan berjalan masuk. Semua orang di sana menyapa Laura dengan begitu sopan. Laura mencari Gerald di ruang kerjanya. Tetapi ruangan itu kosong tidak ada siapapun. "Apa dia begitu sibuk?" gumam Laura sambil menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. "Semua pesanku sejak beberapa hari yang lalu tidak pernah dibalas." Wanita itu kembali turun ke lantai tiga, lalu masuk ke dalam ruang staff. Semua karyawan di sana yang tampak sibuk membicarakan sesuatu terkejut dengan kedatangannya. "Bu Laura, selamat siang." Semua orang di sana menatap Laura yang masih tampak cuek. "Di mana Pak Gerald?" tanya Laura me
Usai meeting seharian, sore ini Gerald pulang dengan wajah lelah. Laki-laki berbalut tuxedo hitam itu melangkah keluar dari dalam mobil begitu tiba di pekarangan rumahnya.Kening Gerald mengerut saat ia melihat mobil berwarna putih di pekarangan rumahnya saat ini. "Sepertinya Tuan dan Nyonya besar ada di sini, Tuan," ujar Sergio. Gerald tidak menjawabnya, melainkan ia segera bergegas masuk ke dalam rumah. Dan benar saja, di sana ada ibunya yang duduk di ruang tamu menunggunya entah sejak kapan. "Mama," sapa Gerald berjalan mendekat. "Kenapa Mama ke sini tanpa mengabariku lebih dulu? Papa mana?" Wanita dengan pakaian berwarna merah dan glamor itu menatap putranya dengan lekat. Marisa menghela napasnya pelan. "Mama ke sini hanya dengan sopir. Mama sengaja ingin menemuimu dan bertanya sesuatu padamu, Gerald," ujar Marisa sambil membuka kipas kain di tangannya. Gerald melepaskan tuxedo hitamnya dan duduk di hadapan sang Mama. Melihat ekspresi dingin Mamanya kali ini, ia mulai meras
"Nyonya, nyawa putri anda bisa tidak tertolong..."Tubuh Giselle Marjorie menegang seketika. Sepasang matanya berkaca-kaca mendengar apa yang dikatakan oleh dokter."Tolong berikan yang terbaik untuk anak saya, dok. Saya mohon..." pinta Giselle, suaranya bergetar menahan tangis.Sambil menghindari tatapan sayu Giselle, dokter itu mengangkat stetoskopnya, lantas menarik nafas panjang."Maaf, Nyonya, kami tidak bisa bertindak lebih jauh sebelum tunggakan dilunasi," ucap sang dokter.Giselle menarik jas dokter tersebut seraya berlutut, "Saya akan berusaha melunasi semua biaya pengobatannya, saya berjanji!"Dokter itu tampak kelabakan. Ia membantu Giselle untuk berdiri dengan susah payah, lalu meminta maaf karena tidak bisa melakukan tindakan apapun saat ini.Giselle tertunduk dengan bahu terkulai di lorong rumah sakit begitu dokter pamit pergi. Air matanya berdesakan di pelupuk mata mengiringi kepedihan di hatinya.Biaya pengobatan yang menunggak itu hampir menyentuh lima ratus juta. Dar
"A-apa?" lirihnya tak percaya. Seperti disambar petir, Giselle mematung menatap lekat pada pria di hadapannya itu. Tidur bersama mantan suaminya? Apakah Gerald sudah gila?!"A-apakah tidak ada cara lain?" Giselle menatapnya dengan putus asa. "Ke-kenapa harus tidur bersama? Kita ... kita tidak mungkin—""Aku tidak memaksa," ucap Gerald menyela. "Tapi aku tidak yakin, kau bisa mendapatkan uang yang kau butuhkan di luar sana."Raut wajah cantik itu menjadi muram. Jemarinya terus meremas rok yang ia pakai dan iris mata birunya bergerak gelisah. Rasa nelangsa memenuhi relung hati Giselle. Haruskah ia menjadi wanita murahan yang menukarkan tubuhnya dengan uang, pada mantan suaminya?"Tolong berikan saya waktu untuk berpikir sebentar," ujarnya kemudian. Gerald menatapnya tajam. "Putuskan secepat mungkin. Aku tidak suka menunggu." Anggukan kecil diberikan oleh Giselle. Ia pun langsung membungkukkan badannya dan pamit dari sana.Tubuh kurusnya gemetar saat meninggalkan ruangan CEO. Air mat
Giselle susah payah menelan ludah. Ia tak berani mengangkat wajahnya saat Gerald berjalan menghampirinya yang berdiri di dekat ranjang. Sedangkan Gerald tersenyum tipis, nyaris tak terlihat di wajah dinginnya. Melihat ekspresi muram di wajah mantan istrinya yang sangat ia benci saat ini, seolah ada rasa senang tersendiri di hatinya. “Kenapa diam saja?” tanya Gerald seolah menantang, ketika sudah berdiri begitu dekat dengan Giselle.Giselle akhirnya mengangkat wajah. Kedua iris mata birunya menatap lekat wajah tampan Gerald. "Sa-saya, saya tidak yakin untuk melakukannya," ujar Giselle membuang muka. Gerald tersenyum kecut. "Jangan munafik, Giselle, kau bukan seorang perawan lagi," bisik Gerald tepat di depan bibir Giselle. “Bukankah dulu kita sering melakukan ini?”Giselle tertunduk. Mereka memang sering melakukan itu dulu. Tapi itu saat mereka masih bersama. “Kenapa? Apa yang membuatmu tidak bisa melakukan ini lagi denganku?”Wajah Giselle menegang, ia menggelengkan kepalanya. "K
Keesokan paginya, Giselle sudah melunasi semua biaya pengobatan Elodie. Ia juga meminta pada dokter untuk segera melakukan pengobatan lanjutan. Giselle masih memiliki waktu beberapa menit untuk menemani putri kecilnya sebelum ia berangkat ke kantor. Seperti biasa, Elodie selalu manja pada Giselle. Ia ingin selalu ditemani. "Elodie tidak boleh sedih-sedih lagi ya, Sayang. Sebentar lagi Suster Anna akan ke sini menemani Elodie," ujar Giselle mengusap pipi putih putri kecilnya. "Mama tidak boleh pergi lama-lama, nanti hati Elodie sedih," ujar anak itu menyandarkan kepalanya di dada Giselle dengan bibir mungilnya yang mencebik. "Mama tidak akan pergi lama. Nanti sore Mama sudah pulang. Mama harus bekerja, supaya bisa beli susu buat Elodie," ujar Giselle mendekap tubuh mungil Elodie. Anak kecil itu kembali meminta berbaring. Giselle pun membaringkannya, ia mengecup wajah manis Elodie berkali-kali. Meskipun rasa sedih masih terus menyiksanya, namun di depan sang buah hati, Giselle ti
Usai meeting seharian, sore ini Gerald pulang dengan wajah lelah. Laki-laki berbalut tuxedo hitam itu melangkah keluar dari dalam mobil begitu tiba di pekarangan rumahnya.Kening Gerald mengerut saat ia melihat mobil berwarna putih di pekarangan rumahnya saat ini. "Sepertinya Tuan dan Nyonya besar ada di sini, Tuan," ujar Sergio. Gerald tidak menjawabnya, melainkan ia segera bergegas masuk ke dalam rumah. Dan benar saja, di sana ada ibunya yang duduk di ruang tamu menunggunya entah sejak kapan. "Mama," sapa Gerald berjalan mendekat. "Kenapa Mama ke sini tanpa mengabariku lebih dulu? Papa mana?" Wanita dengan pakaian berwarna merah dan glamor itu menatap putranya dengan lekat. Marisa menghela napasnya pelan. "Mama ke sini hanya dengan sopir. Mama sengaja ingin menemuimu dan bertanya sesuatu padamu, Gerald," ujar Marisa sambil membuka kipas kain di tangannya. Gerald melepaskan tuxedo hitamnya dan duduk di hadapan sang Mama. Melihat ekspresi dingin Mamanya kali ini, ia mulai meras
Sebuah mobil berwarna merah tampak berhenti di depan gedung perusahaan milik Gerald. Sosok wanita cantik dengan balutan dress berwarna putih turun dari dalam mobil. Seperti biasa, Laura dengan fashion glamornya berjalan dengan langkah percaya diri memasuki gedung."Selamat siang, Bu Laura," sapa seorang penjaga yang sudah hafal dengannya. Laura hanya menatapnya sekilas dan berjalan masuk. Semua orang di sana menyapa Laura dengan begitu sopan. Laura mencari Gerald di ruang kerjanya. Tetapi ruangan itu kosong tidak ada siapapun. "Apa dia begitu sibuk?" gumam Laura sambil menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. "Semua pesanku sejak beberapa hari yang lalu tidak pernah dibalas." Wanita itu kembali turun ke lantai tiga, lalu masuk ke dalam ruang staff. Semua karyawan di sana yang tampak sibuk membicarakan sesuatu terkejut dengan kedatangannya. "Bu Laura, selamat siang." Semua orang di sana menatap Laura yang masih tampak cuek. "Di mana Pak Gerald?" tanya Laura me
Usai kejadian semalam, Gerald semakin merasa kesal karena tidak berhasil menemukan ke mana Giselle pergi setelah terlepas darinya di hotel. Pagi ini, ia kembali melihat mantan istrinya di dalam ruangan kerja dan bersikap baik-baik saja seolah tidak ada yang terjadi di antara mereka. Wanita itu beranjak dari duduknya dan menundukkan kepalanya. "Selamat pagi, Pak," sapa Giselle dengan ragu-ragu. Laki-laki berbalut tuxedo navy itu berdiri di hadapannya dengan sebongkah perasaan kesal yang sejak semalam ditahan. Giselle mengangkat wajahnya menyadari Gerald tidak menjawabnya, namun laki-laki itu masih menatapnya dengan sangat nyalang tajam. "Kau merasa senang karena bisa lari dariku semalam?" tanya Gerald.Bariton suaranya yang rendah dan menekan membuat wanita di depannya ini merinding. Giselle menggeleng kecil. "Ti-tidak, Pak Gerald. Semalam saya—"Ucapan Giselle terhenti saat Gerald maju dua langkah dan menyudutkannya pada meja kerjanya. Laki-laki itu membungkukkan badannya mendek
Giselle sampai di rumah sakit setelah lima belas menit perjalanan. Wanita itu tak peduli dengan penampilannya yang kini berantakan, ia berlari masuk ke dalam lorong rumah sakit. Di depan ruang kamar inap Elodie, tampak ada beberapa suster di sana. Hati Giselle semakin nyeri saat ia mendengar jerit tangis anaknya. "Elodie, Sayang..." Giselle masuk ke dalam kamar itu. Kedatangan Giselle membuat tiga suster di dalam kamar itu menoleh. Elodie pun langsung menjerit dan mengulurkan tangannya pada Giselle. "Mama, huwaa...! Mamaku!" pekik anak itu keras-keras. Suster Anne menyerahkan Elodie pada Mamanya. Giselle memeluk buah hatinya dengan sangat erat, mendekap tubuh kecil Elodie dengan sangat hangat. Tangisan anak itu langsung mereda dalam dekapannya."Syukurlah Nyonya sudah datang," ujar Suster Anne. "Sejak siang Elodie rewel, dia juga tidak mau makan apapun. Pukul enam petang tadi badannya panas, jadi semakin rewel. Tapi sekarang panasnya sudah turun setelah dokter memberikan suntika
Menepati permintaan Gerald yang tak bisa Giselle tolak, mereka berdua pergi ke sebuah hotel berbintang di kota Luinz. Gerald memesan kamar khusus untuknya dan Giselle malam ini. Sejak kejadian di kantor sore tadi, Giselle tampak murung dan sedih. Wanita cantik itu kini duduk di tepian ranjang kamar menundukkan kepalanya. 'Ya Tuhan, bagaimana dengan anakku sekarang? Bagaimana ... bagaimana caranya aku bisa melarikan diri dari Gerald saat ini?' Giselle menundukkan kepalanya dan meremas kuat rok selutut yang ia pakai. "Maafkan Mama, Elodie," lirih Giselle nyaris tak bersuara. Pikirannya terus dipenuhi bayangan Elodie yang menangis ketakutan.Lamunan Giselle buyar saat ia mendengar suara pintu dikunci. Sosok Gerald berdiri di sana, tengah melepaskan tuxedo hitamnya sambil berjalan mendekati Giselle. Tatapan matanya yang tajam menelisik Giselle yang diam duduk di tepian ranjang tak menatapnya sedikit pun. Ekspresi sedihnya bisa dibaca oleh Gerald. "Kau sedih karena tidak bisa menemu
"Halo ... Nyonya Giselle. Apakah Nyonya sedang sibuk saat ini? Elodie terus rewel, sejak tadi mencari Nyonya." Suara seorang suster di balik panggilan itu membuat Giselle panik dan langsung beranjak dari duduknya cepat. Wanita cantik berambut panjang bergelombang itu menatap ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul lima sore. "Saya masih berada di kantor, sus," jawab Giselle gusar."Bisakah Nyonya datang? Kami sudah berusaha untuk menenangkan Elodie, tetapi dia terus mencari Mamanya," jelas suster itu. Giselle mengusap wajahnya yang sangat cemas. "Tolong berikan ponselnya pada Elodie sebentar saja, suster." "Baik, Nyonya. Tunggu sebentar." Giselle mendengar suara rengekan tangis anak kecil di balik panggilan itu. "Mamaaa," panggil Elodie dengan suara bergetar. "Sayang. Ini Mama, Nak. Elodie jangan menangis ya, Mama sebentar lagi akan pulang," ucap Giselle dengan lembut. "Mama pulang, Ma…!" Tangis Elodie terdengar di sana. Kedua mata Giselle terpejam, kepiluan memenuh
Keesokan paginya... Giselle sudah bersiap dengan pakaian kerjanya yang rapi. Pagi ini Giselle berangkat sedikit terlambat karena Elodie masih rewel untuk ia tinggalkan. Sesampainya di kantor, Giselle berjalan cepat menuju ruang CEO. Namun, begitu Giselle sampai di ruangan itu, bukan Gerald yang ia temui di sana—melainkan sosok Laura yang tengah duduk di sofa dan menatapnya tajam. Giselle menundukkan kepalanya berusaha untuk bersikap tenang. "Selamat pagi, Bu Laura," sapanya. Wanita dengan balutan dress merah tua itu menaikkan salah satu alisnya saat Giselle menyapanya. "Sejak kapan kau memanggilku dengan sebutan itu, Giselle? Bukankah dulu kau hanya memanggilku Laura saja?" tanya Laura tersenyum miring dan duduk menyilangkan kakinya. Giselle yang berada di dekat mejanya menatap ke arah Laura dengan penuh keraguan. Sahabat yang dulunya Giselle anggap seperti saudara, ternyata menikamnya dengan kejam dari belakang. Tak hanya itu, Laura juga merampas semua kebahagiaan Gisell
Jam menunjukkan pukul sebelas malam saat Giselle menyelesaikan pekerjaannya. Pekerjaan yang sungguh tak terkira, Giselle hanya bisa beristirahat di jam makan siang saja. Gerald tak mengizinkan ia pergi sebelum pekerjaannya benar-benar selesai. Malam ini hujan turun cukup deras di kota Luinz. Kilat dan petir juga menyambar berkali-kali. Giselle berjalan terburu-buru, ia sangat panik karena meninggalkan Elodie sendirian di rumah sakit. "Ya Tuhan, semoga dia tidak takut. Aku harus segera sampai ke rumah sakit sesegera mungkin," gumam Giselle di sela langkahnya yang tergesa-gesa. Di belakangnya, ada Gerald yang berjalan ditemani ajudannya, tampak memperhatikan wanita itu. Ekspresi dingin Gerald berubah sinis saat ia melihat Giselle yang berjalan terburu-buru. "Kenapa dia sangat terburu-buru?" gumam Gerald dengan kedua mata memicing tajam. "Entahlah, Tuan. Mungkin karena pulang terlalu malam, atau ... ada seseorang yang dia tinggalkan sendirian di rumah, mungkin," jawab Sergio. "S
Keesokan paginya, Giselle sudah melunasi semua biaya pengobatan Elodie. Ia juga meminta pada dokter untuk segera melakukan pengobatan lanjutan. Giselle masih memiliki waktu beberapa menit untuk menemani putri kecilnya sebelum ia berangkat ke kantor. Seperti biasa, Elodie selalu manja pada Giselle. Ia ingin selalu ditemani. "Elodie tidak boleh sedih-sedih lagi ya, Sayang. Sebentar lagi Suster Anna akan ke sini menemani Elodie," ujar Giselle mengusap pipi putih putri kecilnya. "Mama tidak boleh pergi lama-lama, nanti hati Elodie sedih," ujar anak itu menyandarkan kepalanya di dada Giselle dengan bibir mungilnya yang mencebik. "Mama tidak akan pergi lama. Nanti sore Mama sudah pulang. Mama harus bekerja, supaya bisa beli susu buat Elodie," ujar Giselle mendekap tubuh mungil Elodie. Anak kecil itu kembali meminta berbaring. Giselle pun membaringkannya, ia mengecup wajah manis Elodie berkali-kali. Meskipun rasa sedih masih terus menyiksanya, namun di depan sang buah hati, Giselle ti