Keesokan paginya...
Giselle sudah bersiap dengan pakaian kerjanya yang rapi. Pagi ini Giselle berangkat sedikit terlambat karena Elodie masih rewel untuk ia tinggalkan. Sesampainya di kantor, Giselle berjalan cepat menuju ruang CEO. Namun, begitu Giselle sampai di ruangan itu, bukan Gerald yang ia temui di sana—melainkan sosok Laura yang tengah duduk di sofa dan menatapnya tajam. Giselle menundukkan kepalanya berusaha untuk bersikap tenang. "Selamat pagi, Bu Laura," sapanya. Wanita dengan balutan dress merah tua itu menaikkan salah satu alisnya saat Giselle menyapanya. "Sejak kapan kau memanggilku dengan sebutan itu, Giselle? Bukankah dulu kau hanya memanggilku Laura saja?" tanya Laura tersenyum miring dan duduk menyilangkan kakinya. Giselle yang berada di dekat mejanya menatap ke arah Laura dengan penuh keraguan. Sahabat yang dulunya Giselle anggap seperti saudara, ternyata menikamnya dengan kejam dari belakang. Tak hanya itu, Laura juga merampas semua kebahagiaan Giselle. "Maaf, karena Anda tunangan Pak Gerald, saya tidak bisa memanggil Anda dengan sembarangan," jawab Giselle masih berdiri di tempatnya. Laura tertawa sumbang mendengar jawaban Giselle. Wanita itu beranjak dari sofa dan berjalan mendekati Giselle dengan ekspresi licik di wajah cantiknya. "Oh, rupanya kau bisa dengan lapang dada mengakui aku sebagai calon istri Gerald," ujarnya bangga. "Bagaimana, Giselle? Apa hatimu tidak berdarah-darah melihat Gerald menjadi milikku?" Laura tersenyum miring. Giselle mengangkat wajahnya menatap sahabatnya itu dengan amarah tertahan di dalam dadanya. Namun, ia berusaha untuk menekan kesedihannya. Ia tak ingin terlihat lemah, apalagi di depan wanita ini. Giselle menggelengkan kepala dan tersenyum tipis. "Tidak, Bu Laura. Bukankah ini semua yang Anda inginkan sejak awal?" ujarnya dengan suara bergetar. Kening Laura mengerut saat Giselle membuka fakta itu. Raut wajahnya berubah tak terima dengan kata-kata yang Giselle lontarkan. Wanita itu memukul meja kayu di hadapannya dengan telapak tangannya. "Jadi kau mau menyalahkanku?!" sinis Laura menipiskan bibirnya kesal. "Semua yang terjadi ini murni karena kesalahanmu, Giselle! Kau yang dulu sudah meninggalkan Gerald. Belum lagi orang tua Gerald sangat membencimu karena kau tidak setara dengan mereka, bagai langit dan bumi!" Kedua tangan Giselle mengepal kuat, bibirnya terkatup rapat mendengar cemooh yang Laura ucapkan untuknya. Kepala Giselle tertunduk dan tidak mendebat lagi. Bagaimanapun juga, Giselle tidak akan pernah menang melawan Laura yang terus menyudutkannya. "Satu lagi, Giselle," ucap Laura tiba-tiba. Ia menatap Giselle dengan tajam. "Jangan karena sekarang kau menjadi asisten pribadi Gerald, kau berusaha merebutnya kembali. Kalau kau sampai berani melakukan itu, maka kau harus berhadapan denganku!" "Saya tidak akan melakukan hal itu," jawab Giselle balas menatapnya. "Saya di sini hanya untuk bekerja, tidak lebih dari itu. Anda tidak perlu merasa takut, saya tidak akan merebut apa yang bukan milikku." Laura menggertakkan giginya menatap ekspresi datar di wajah Giselle. Apalagi kata-katanya yang terdengar menyindir. "Kau—" "Ada apa ini, Laura?" Suara bariton tegas milik Gerald terdengar setelah pintu terbuka. Laki-laki berbalut tuxedo hitam itu menatap tajam pada kedua wanita yang bersitegang di dalam ruangannya. Lantas, Laura bergegas mendekati Gerald dan langsung memeluk calon suaminya dengan ekspresi wajah murung, tak seperti ekspresi saat hanya berdua dengan Giselle. "Sayang, aku tidak tahu apa salahku pada Giselle. Dia menyalahkan aku dan mengatakan kalau aku merebutmu darinya," ujar Laura tertunduk sedih dan mengusap air mata palsunya. "Aku sungguh tidak menyangka dia akan menyalahkan aku seperti ini." Mendengar apa yang Laura katakan, Giselle melebarkan kedua matanya, terkejut bagaimana wanita itu dengan lihai bersandiwara. Giselle menggelengkan kepala cepat saat Gerald menatapnya tajam. "Ti-tidak, tidak seperti itu, Pak." Giselle berusaha menyangkal. Tatapan iris hitam Gerald menatapnya dingin dan penuh kebencian. "Giselle Marjorie..." Gerald maju satu langkah mendekatinya. Giselle menggeleng. Ia menelan ludah gugup, matanya berkaca-kaca saat ditatap penuh kebencian dan penghakiman oleh mantan suaminya ini. "Pak Gerald, saya—" "Berhenti menyalahkan orang lain atas keegoisanmu sendiri, Giselle!" desis Gerald dengan rahang mengeras. "Tapi saya tidak mengatakan itu, Pak," jawab Giselle kukuh. "Kau tidak perlu berbohong untuk mengadu domba aku dan Gerald, Giselle. Aku tahu pasti kau sangat membenciku," sahut Laura. "Kalau kau memang memutuskan meninggalkan Gerald, harusnya kau bisa mencari kebahagiaan lain, bukan malah menyalahkan aku!" Layaknya seorang aktris profesional, Laura menangis dan membuang muka dengan wajah patah hati. Gerald masih menatapnya dengan tajam. "Sekali lagi aku mendengar kau mengusik calon istriku, aku tidak akan tinggal diam!" desis Gerald. "Jangan sekali-kali kau mengungkit masa lalu di antara kita. Berhenti berpikir bahwa kau berharga untukku, Giselle!" Kedua iris biru mata Giselle bergetar. Detak jantungnya seperti berhenti seketika digantikan rasa sakit dan pedih meruntuhkan pertahanan kesabarannya. Wanita itu langsung menundukkan kepalanya. Tidak ada kata-kata yang mampu mewakili rasa sakit hati yang ia rasakan saat ini. Gerald membalikkan badannya dan segera menarik lengan Laura, mengajaknya keluar dari ruangan itu. "Ayo, Laura." Laura ikut melangkah, wanita itu menoleh ke arah Giselle dan menaikkan salah satu alisnya sambil tersenyum miring penuh kenangan. Pintu ruangan kembali tertutup rapat. Giselle tidak bisa menahan air mata yang berdesakan di pelupuk matanya. Wanita itu terduduk lemas di kursi kerjanya. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan dan berusaha meredam tangisnya. Tidak. Giselle harus berusaha meneguhkan hatinya untuk tidak bersedih terlalu lama meskipun kekecewaan meluap di lubuk hatinya atas tindakan Laura. Setelah menenangkan diri, Giselle menundukkan menyalakan layar ponselnya, melihat fotonya bersama Elodie yang menjadi wallpaper. Jemarinya mengusap air mata yang membasahi pipinya dengan gusar. “Jika bukan karena kondisi Elodie yang memburuk, aku akan pergi sejauh-jauhnya dari hidupmu, Gerald.”"Halo ... Nyonya Giselle. Apakah Nyonya sedang sibuk saat ini? Elodie terus rewel, sejak tadi mencari Nyonya." Suara seorang suster di balik panggilan itu membuat Giselle panik dan langsung beranjak dari duduknya cepat. Wanita cantik berambut panjang bergelombang itu menatap ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul lima sore. "Saya masih berada di kantor, sus," jawab Giselle gusar."Bisakah Nyonya datang? Kami sudah berusaha untuk menenangkan Elodie, tetapi dia terus mencari Mamanya," jelas suster itu. Giselle mengusap wajahnya yang sangat cemas. "Tolong berikan ponselnya pada Elodie sebentar saja, suster." "Baik, Nyonya. Tunggu sebentar." Giselle mendengar suara rengekan tangis anak kecil di balik panggilan itu. "Mamaaa," panggil Elodie dengan suara bergetar. "Sayang. Ini Mama, Nak. Elodie jangan menangis ya, Mama sebentar lagi akan pulang," ucap Giselle dengan lembut. "Mama pulang, Ma…!" Tangis Elodie terdengar di sana. Kedua mata Giselle terpejam, kepiluan memenuh
Menepati permintaan Gerald yang tak bisa Giselle tolak, mereka berdua pergi ke sebuah hotel berbintang di kota Luinz. Gerald memesan kamar khusus untuknya dan Giselle malam ini. Sejak kejadian di kantor sore tadi, Giselle tampak murung dan sedih. Wanita cantik itu kini duduk di tepian ranjang kamar menundukkan kepalanya. 'Ya Tuhan, bagaimana dengan anakku sekarang? Bagaimana ... bagaimana caranya aku bisa melarikan diri dari Gerald saat ini?' Giselle menundukkan kepalanya dan meremas kuat rok selutut yang ia pakai. "Maafkan Mama, Elodie," lirih Giselle nyaris tak bersuara. Pikirannya terus dipenuhi bayangan Elodie yang menangis ketakutan.Lamunan Giselle buyar saat ia mendengar suara pintu dikunci. Sosok Gerald berdiri di sana, tengah melepaskan tuxedo hitamnya sambil berjalan mendekati Giselle. Tatapan matanya yang tajam menelisik Giselle yang diam duduk di tepian ranjang tak menatapnya sedikit pun. Ekspresi sedihnya bisa dibaca oleh Gerald. "Kau sedih karena tidak bisa menemu
Giselle sampai di rumah sakit setelah lima belas menit perjalanan. Wanita itu tak peduli dengan penampilannya yang kini berantakan, ia berlari masuk ke dalam lorong rumah sakit. Di depan ruang kamar inap Elodie, tampak ada beberapa suster di sana. Hati Giselle semakin nyeri saat ia mendengar jerit tangis anaknya. "Elodie, Sayang..." Giselle masuk ke dalam kamar itu. Kedatangan Giselle membuat tiga suster di dalam kamar itu menoleh. Elodie pun langsung menjerit dan mengulurkan tangannya pada Giselle. "Mama, huwaa...! Mamaku!" pekik anak itu keras-keras. Suster Anne menyerahkan Elodie pada Mamanya. Giselle memeluk buah hatinya dengan sangat erat, mendekap tubuh kecil Elodie dengan sangat hangat. Tangisan anak itu langsung mereda dalam dekapannya."Syukurlah Nyonya sudah datang," ujar Suster Anne. "Sejak siang Elodie rewel, dia juga tidak mau makan apapun. Pukul enam petang tadi badannya panas, jadi semakin rewel. Tapi sekarang panasnya sudah turun setelah dokter memberikan suntika
Usai kejadian semalam, Gerald semakin merasa kesal karena tidak berhasil menemukan ke mana Giselle pergi setelah terlepas darinya di hotel. Pagi ini, ia kembali melihat mantan istrinya di dalam ruangan kerja dan bersikap baik-baik saja seolah tidak ada yang terjadi di antara mereka. Wanita itu beranjak dari duduknya dan menundukkan kepalanya. "Selamat pagi, Pak," sapa Giselle dengan ragu-ragu. Laki-laki berbalut tuxedo navy itu berdiri di hadapannya dengan sebongkah perasaan kesal yang sejak semalam ditahan. Giselle mengangkat wajahnya menyadari Gerald tidak menjawabnya, namun laki-laki itu masih menatapnya dengan sangat nyalang tajam. "Kau merasa senang karena bisa lari dariku semalam?" tanya Gerald.Bariton suaranya yang rendah dan menekan membuat wanita di depannya ini merinding. Giselle menggeleng kecil. "Ti-tidak, Pak Gerald. Semalam saya—"Ucapan Giselle terhenti saat Gerald maju dua langkah dan menyudutkannya pada meja kerjanya. Laki-laki itu membungkukkan badannya mendek
Sebuah mobil berwarna merah tampak berhenti di depan gedung perusahaan milik Gerald. Sosok wanita cantik dengan balutan dress berwarna putih turun dari dalam mobil. Seperti biasa, Laura dengan fashion glamornya berjalan dengan langkah percaya diri memasuki gedung."Selamat siang, Bu Laura," sapa seorang penjaga yang sudah hafal dengannya. Laura hanya menatapnya sekilas dan berjalan masuk. Semua orang di sana menyapa Laura dengan begitu sopan. Laura mencari Gerald di ruang kerjanya. Tetapi ruangan itu kosong tidak ada siapapun. "Apa dia begitu sibuk?" gumam Laura sambil menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. "Semua pesanku sejak beberapa hari yang lalu tidak pernah dibalas." Wanita itu kembali turun ke lantai tiga, lalu masuk ke dalam ruang staff. Semua karyawan di sana yang tampak sibuk membicarakan sesuatu terkejut dengan kedatangannya. "Bu Laura, selamat siang." Semua orang di sana menatap Laura yang masih tampak cuek. "Di mana Pak Gerald?" tanya Laura me
Usai meeting seharian, sore ini Gerald pulang dengan wajah lelah. Laki-laki berbalut tuxedo hitam itu melangkah keluar dari dalam mobil begitu tiba di pekarangan rumahnya.Kening Gerald mengerut saat ia melihat mobil berwarna putih di pekarangan rumahnya saat ini. "Sepertinya Tuan dan Nyonya besar ada di sini, Tuan," ujar Sergio. Gerald tidak menjawabnya, melainkan ia segera bergegas masuk ke dalam rumah. Dan benar saja, di sana ada ibunya yang duduk di ruang tamu menunggunya entah sejak kapan. "Mama," sapa Gerald berjalan mendekat. "Kenapa Mama ke sini tanpa mengabariku lebih dulu? Papa mana?" Wanita dengan pakaian berwarna merah dan glamor itu menatap putranya dengan lekat. Marisa menghela napasnya pelan. "Mama ke sini hanya dengan sopir. Mama sengaja ingin menemuimu dan bertanya sesuatu padamu, Gerald," ujar Marisa sambil membuka kipas kain di tangannya. Gerald melepaskan tuxedo hitamnya dan duduk di hadapan sang Mama. Melihat ekspresi dingin Mamanya kali ini, ia mulai meras
"Nyonya, nyawa putri anda bisa tidak tertolong..."Tubuh Giselle Marjorie menegang seketika. Sepasang matanya berkaca-kaca mendengar apa yang dikatakan oleh dokter."Tolong berikan yang terbaik untuk anak saya, dok. Saya mohon..." pinta Giselle, suaranya bergetar menahan tangis.Sambil menghindari tatapan sayu Giselle, dokter itu mengangkat stetoskopnya, lantas menarik nafas panjang."Maaf, Nyonya, kami tidak bisa bertindak lebih jauh sebelum tunggakan dilunasi," ucap sang dokter.Giselle menarik jas dokter tersebut seraya berlutut, "Saya akan berusaha melunasi semua biaya pengobatannya, saya berjanji!"Dokter itu tampak kelabakan. Ia membantu Giselle untuk berdiri dengan susah payah, lalu meminta maaf karena tidak bisa melakukan tindakan apapun saat ini.Giselle tertunduk dengan bahu terkulai di lorong rumah sakit begitu dokter pamit pergi. Air matanya berdesakan di pelupuk mata mengiringi kepedihan di hatinya.Biaya pengobatan yang menunggak itu hampir menyentuh lima ratus juta. Dar
"A-apa?" lirihnya tak percaya. Seperti disambar petir, Giselle mematung menatap lekat pada pria di hadapannya itu. Tidur bersama mantan suaminya? Apakah Gerald sudah gila?!"A-apakah tidak ada cara lain?" Giselle menatapnya dengan putus asa. "Ke-kenapa harus tidur bersama? Kita ... kita tidak mungkin—""Aku tidak memaksa," ucap Gerald menyela. "Tapi aku tidak yakin, kau bisa mendapatkan uang yang kau butuhkan di luar sana."Raut wajah cantik itu menjadi muram. Jemarinya terus meremas rok yang ia pakai dan iris mata birunya bergerak gelisah. Rasa nelangsa memenuhi relung hati Giselle. Haruskah ia menjadi wanita murahan yang menukarkan tubuhnya dengan uang, pada mantan suaminya?"Tolong berikan saya waktu untuk berpikir sebentar," ujarnya kemudian. Gerald menatapnya tajam. "Putuskan secepat mungkin. Aku tidak suka menunggu." Anggukan kecil diberikan oleh Giselle. Ia pun langsung membungkukkan badannya dan pamit dari sana.Tubuh kurusnya gemetar saat meninggalkan ruangan CEO. Air mat
Usai meeting seharian, sore ini Gerald pulang dengan wajah lelah. Laki-laki berbalut tuxedo hitam itu melangkah keluar dari dalam mobil begitu tiba di pekarangan rumahnya.Kening Gerald mengerut saat ia melihat mobil berwarna putih di pekarangan rumahnya saat ini. "Sepertinya Tuan dan Nyonya besar ada di sini, Tuan," ujar Sergio. Gerald tidak menjawabnya, melainkan ia segera bergegas masuk ke dalam rumah. Dan benar saja, di sana ada ibunya yang duduk di ruang tamu menunggunya entah sejak kapan. "Mama," sapa Gerald berjalan mendekat. "Kenapa Mama ke sini tanpa mengabariku lebih dulu? Papa mana?" Wanita dengan pakaian berwarna merah dan glamor itu menatap putranya dengan lekat. Marisa menghela napasnya pelan. "Mama ke sini hanya dengan sopir. Mama sengaja ingin menemuimu dan bertanya sesuatu padamu, Gerald," ujar Marisa sambil membuka kipas kain di tangannya. Gerald melepaskan tuxedo hitamnya dan duduk di hadapan sang Mama. Melihat ekspresi dingin Mamanya kali ini, ia mulai meras
Sebuah mobil berwarna merah tampak berhenti di depan gedung perusahaan milik Gerald. Sosok wanita cantik dengan balutan dress berwarna putih turun dari dalam mobil. Seperti biasa, Laura dengan fashion glamornya berjalan dengan langkah percaya diri memasuki gedung."Selamat siang, Bu Laura," sapa seorang penjaga yang sudah hafal dengannya. Laura hanya menatapnya sekilas dan berjalan masuk. Semua orang di sana menyapa Laura dengan begitu sopan. Laura mencari Gerald di ruang kerjanya. Tetapi ruangan itu kosong tidak ada siapapun. "Apa dia begitu sibuk?" gumam Laura sambil menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. "Semua pesanku sejak beberapa hari yang lalu tidak pernah dibalas." Wanita itu kembali turun ke lantai tiga, lalu masuk ke dalam ruang staff. Semua karyawan di sana yang tampak sibuk membicarakan sesuatu terkejut dengan kedatangannya. "Bu Laura, selamat siang." Semua orang di sana menatap Laura yang masih tampak cuek. "Di mana Pak Gerald?" tanya Laura me
Usai kejadian semalam, Gerald semakin merasa kesal karena tidak berhasil menemukan ke mana Giselle pergi setelah terlepas darinya di hotel. Pagi ini, ia kembali melihat mantan istrinya di dalam ruangan kerja dan bersikap baik-baik saja seolah tidak ada yang terjadi di antara mereka. Wanita itu beranjak dari duduknya dan menundukkan kepalanya. "Selamat pagi, Pak," sapa Giselle dengan ragu-ragu. Laki-laki berbalut tuxedo navy itu berdiri di hadapannya dengan sebongkah perasaan kesal yang sejak semalam ditahan. Giselle mengangkat wajahnya menyadari Gerald tidak menjawabnya, namun laki-laki itu masih menatapnya dengan sangat nyalang tajam. "Kau merasa senang karena bisa lari dariku semalam?" tanya Gerald.Bariton suaranya yang rendah dan menekan membuat wanita di depannya ini merinding. Giselle menggeleng kecil. "Ti-tidak, Pak Gerald. Semalam saya—"Ucapan Giselle terhenti saat Gerald maju dua langkah dan menyudutkannya pada meja kerjanya. Laki-laki itu membungkukkan badannya mendek
Giselle sampai di rumah sakit setelah lima belas menit perjalanan. Wanita itu tak peduli dengan penampilannya yang kini berantakan, ia berlari masuk ke dalam lorong rumah sakit. Di depan ruang kamar inap Elodie, tampak ada beberapa suster di sana. Hati Giselle semakin nyeri saat ia mendengar jerit tangis anaknya. "Elodie, Sayang..." Giselle masuk ke dalam kamar itu. Kedatangan Giselle membuat tiga suster di dalam kamar itu menoleh. Elodie pun langsung menjerit dan mengulurkan tangannya pada Giselle. "Mama, huwaa...! Mamaku!" pekik anak itu keras-keras. Suster Anne menyerahkan Elodie pada Mamanya. Giselle memeluk buah hatinya dengan sangat erat, mendekap tubuh kecil Elodie dengan sangat hangat. Tangisan anak itu langsung mereda dalam dekapannya."Syukurlah Nyonya sudah datang," ujar Suster Anne. "Sejak siang Elodie rewel, dia juga tidak mau makan apapun. Pukul enam petang tadi badannya panas, jadi semakin rewel. Tapi sekarang panasnya sudah turun setelah dokter memberikan suntika
Menepati permintaan Gerald yang tak bisa Giselle tolak, mereka berdua pergi ke sebuah hotel berbintang di kota Luinz. Gerald memesan kamar khusus untuknya dan Giselle malam ini. Sejak kejadian di kantor sore tadi, Giselle tampak murung dan sedih. Wanita cantik itu kini duduk di tepian ranjang kamar menundukkan kepalanya. 'Ya Tuhan, bagaimana dengan anakku sekarang? Bagaimana ... bagaimana caranya aku bisa melarikan diri dari Gerald saat ini?' Giselle menundukkan kepalanya dan meremas kuat rok selutut yang ia pakai. "Maafkan Mama, Elodie," lirih Giselle nyaris tak bersuara. Pikirannya terus dipenuhi bayangan Elodie yang menangis ketakutan.Lamunan Giselle buyar saat ia mendengar suara pintu dikunci. Sosok Gerald berdiri di sana, tengah melepaskan tuxedo hitamnya sambil berjalan mendekati Giselle. Tatapan matanya yang tajam menelisik Giselle yang diam duduk di tepian ranjang tak menatapnya sedikit pun. Ekspresi sedihnya bisa dibaca oleh Gerald. "Kau sedih karena tidak bisa menemu
"Halo ... Nyonya Giselle. Apakah Nyonya sedang sibuk saat ini? Elodie terus rewel, sejak tadi mencari Nyonya." Suara seorang suster di balik panggilan itu membuat Giselle panik dan langsung beranjak dari duduknya cepat. Wanita cantik berambut panjang bergelombang itu menatap ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul lima sore. "Saya masih berada di kantor, sus," jawab Giselle gusar."Bisakah Nyonya datang? Kami sudah berusaha untuk menenangkan Elodie, tetapi dia terus mencari Mamanya," jelas suster itu. Giselle mengusap wajahnya yang sangat cemas. "Tolong berikan ponselnya pada Elodie sebentar saja, suster." "Baik, Nyonya. Tunggu sebentar." Giselle mendengar suara rengekan tangis anak kecil di balik panggilan itu. "Mamaaa," panggil Elodie dengan suara bergetar. "Sayang. Ini Mama, Nak. Elodie jangan menangis ya, Mama sebentar lagi akan pulang," ucap Giselle dengan lembut. "Mama pulang, Ma…!" Tangis Elodie terdengar di sana. Kedua mata Giselle terpejam, kepiluan memenuh
Keesokan paginya... Giselle sudah bersiap dengan pakaian kerjanya yang rapi. Pagi ini Giselle berangkat sedikit terlambat karena Elodie masih rewel untuk ia tinggalkan. Sesampainya di kantor, Giselle berjalan cepat menuju ruang CEO. Namun, begitu Giselle sampai di ruangan itu, bukan Gerald yang ia temui di sana—melainkan sosok Laura yang tengah duduk di sofa dan menatapnya tajam. Giselle menundukkan kepalanya berusaha untuk bersikap tenang. "Selamat pagi, Bu Laura," sapanya. Wanita dengan balutan dress merah tua itu menaikkan salah satu alisnya saat Giselle menyapanya. "Sejak kapan kau memanggilku dengan sebutan itu, Giselle? Bukankah dulu kau hanya memanggilku Laura saja?" tanya Laura tersenyum miring dan duduk menyilangkan kakinya. Giselle yang berada di dekat mejanya menatap ke arah Laura dengan penuh keraguan. Sahabat yang dulunya Giselle anggap seperti saudara, ternyata menikamnya dengan kejam dari belakang. Tak hanya itu, Laura juga merampas semua kebahagiaan Gisell
Jam menunjukkan pukul sebelas malam saat Giselle menyelesaikan pekerjaannya. Pekerjaan yang sungguh tak terkira, Giselle hanya bisa beristirahat di jam makan siang saja. Gerald tak mengizinkan ia pergi sebelum pekerjaannya benar-benar selesai. Malam ini hujan turun cukup deras di kota Luinz. Kilat dan petir juga menyambar berkali-kali. Giselle berjalan terburu-buru, ia sangat panik karena meninggalkan Elodie sendirian di rumah sakit. "Ya Tuhan, semoga dia tidak takut. Aku harus segera sampai ke rumah sakit sesegera mungkin," gumam Giselle di sela langkahnya yang tergesa-gesa. Di belakangnya, ada Gerald yang berjalan ditemani ajudannya, tampak memperhatikan wanita itu. Ekspresi dingin Gerald berubah sinis saat ia melihat Giselle yang berjalan terburu-buru. "Kenapa dia sangat terburu-buru?" gumam Gerald dengan kedua mata memicing tajam. "Entahlah, Tuan. Mungkin karena pulang terlalu malam, atau ... ada seseorang yang dia tinggalkan sendirian di rumah, mungkin," jawab Sergio. "S
Keesokan paginya, Giselle sudah melunasi semua biaya pengobatan Elodie. Ia juga meminta pada dokter untuk segera melakukan pengobatan lanjutan. Giselle masih memiliki waktu beberapa menit untuk menemani putri kecilnya sebelum ia berangkat ke kantor. Seperti biasa, Elodie selalu manja pada Giselle. Ia ingin selalu ditemani. "Elodie tidak boleh sedih-sedih lagi ya, Sayang. Sebentar lagi Suster Anna akan ke sini menemani Elodie," ujar Giselle mengusap pipi putih putri kecilnya. "Mama tidak boleh pergi lama-lama, nanti hati Elodie sedih," ujar anak itu menyandarkan kepalanya di dada Giselle dengan bibir mungilnya yang mencebik. "Mama tidak akan pergi lama. Nanti sore Mama sudah pulang. Mama harus bekerja, supaya bisa beli susu buat Elodie," ujar Giselle mendekap tubuh mungil Elodie. Anak kecil itu kembali meminta berbaring. Giselle pun membaringkannya, ia mengecup wajah manis Elodie berkali-kali. Meskipun rasa sedih masih terus menyiksanya, namun di depan sang buah hati, Giselle ti