"A-apa?" lirihnya tak percaya. Seperti disambar petir, Giselle mematung menatap lekat pada pria di hadapannya itu.
Tidur bersama mantan suaminya? Apakah Gerald sudah gila?! "A-apakah tidak ada cara lain?" Giselle menatapnya dengan putus asa. "Ke-kenapa harus tidur bersama? Kita ... kita tidak mungkin—" "Aku tidak memaksa," ucap Gerald menyela. "Tapi aku tidak yakin, kau bisa mendapatkan uang yang kau butuhkan di luar sana." Raut wajah cantik itu menjadi muram. Jemarinya terus meremas rok yang ia pakai dan iris mata birunya bergerak gelisah. Rasa nelangsa memenuhi relung hati Giselle. Haruskah ia menjadi wanita murahan yang menukarkan tubuhnya dengan uang, pada mantan suaminya? "Tolong berikan saya waktu untuk berpikir sebentar," ujarnya kemudian. Gerald menatapnya tajam. "Putuskan secepat mungkin. Aku tidak suka menunggu." Anggukan kecil diberikan oleh Giselle. Ia pun langsung membungkukkan badannya dan pamit dari sana. Tubuh kurusnya gemetar saat meninggalkan ruangan CEO. Air mata yang sudah ia tahan akhirnya tumpah saat ia berjalan menjauh. 'Ya Tuhan, kenapa menjadi begini?' Dadanya terasa sesak. Memikirkan ia akan menjual diri pada mantan suaminya membuat perasaan Giselle campur aduk. Padahal … Elodie adalah anak kandung Gerald. Tapi jika ia memberi tahu hal itu, Giselle tidak yakin apakah Gerald akan percaya. Pria itu justru akan semakin membencinya. Tidak mungkin Giselle menerima tawaran itu. Tapi dari mana ia akan mendapatkan uang lima ratus juta untuk pengobatan Elodie? Giselle terdiam dengan pandangan kosong, lalu teringat pada ibu tirinya. Ia tidak bisa berharap banyak, tapi ia akan mencoba. Saat itu juga, Giselle bergegas ke rumah ibu tirinya dengan bus kota. Hanya butuh beberapa menit untuk tiba di rumah mewah dengan gerbang hitam yang tinggi menjulang itu. Rumah ini dulu adalah rumah milik ayah Giselle, sebelum akhirnya sang ayah meninggal dan Giselle diusir oleh ibu tirinya. Giselle berjalan memasuki pekarangan rumah dan melihat Cintya—ibu tirinya yang tengah berdiri di teras bersama putrinya, Pamela—kakak tiri Giselle. "Giselle?" sapa mereka dengan nada tak suka. "Mau apa kau ke sini?!" seru Cintya. Langkah Giselle terhenti di ujung anak tangga teras. "Ma, aku—" "Oh, aku tahu! Kau pasti datang ke sini untuk meminta uang, kan?!" ujar Pamela, langsung menyela cepat. Sebenarnya, mereka tahu kalau Elodie selama ini sakit-sakitan. Tapi mereka sama sekali tidak peduli. Kalau bukan karena merasa buntu, Giselle tidak akan datang ke sini. "Ma, Elodie perlu pengobatan lanjutan. Kondisinya sudah semakin buruk dan aku tidak tahu harus meminta bantuan pada siapa lagi," ujar Giselle begitu sedih dan terpukul. "Kali ini saja, aku mohon, Ma ... tolong bantu aku menyelamatkan nyawa anakku. Aku janji akan mengembalikan semuanya nanti." "Tidak ada!" pekik Cintya garang. “Kau pikir uang bisa dipetik dari pohon?!” Giselle tiba-tiba menekuk kedua lututnya dan memegang kaki Cintya. "Mama, aku mohon ... Mama pasti masih menyimpan uang peninggalan Papa kan? Kumohon, Ma, aku tidak ingin kehilangan Elodie," kata Giselle memohon. Alih-alih berbelas kasih, Cintya justru mendorong Giselle hingga membuatnya tersungkur. "Kau ini memang sama merepotkan seperti mendiang Papamu itu!" pekik Cintya marah. "Pergi sana! Datang mengemis meminjam uang seenaknya saja! Dengar Giselle, meskipun anakmu itu sekarat ataupun mati saat ini juga, aku sama sekali tidak peduli!" teriaknya berapi-api. Mendengar itu, hati Giselle bagai tercabik rasanya. Meski sudah menduganya, tapi tetap saja ia tak kuasa menahan tangis. Mengapa ibu tirinya begitu tega? "Ayo, Pamela!" ujar Cintya menarik lengan anaknya. Mereka menutup pintu dengan keras dan meninggalkan Giselle di sana yang tengah menangis bersama kesedihannya. Giselle putus asa ... ia benar-benar tidak memiliki siapapun yang bisa menolongnya. ** Pukul lima sore, Giselle kembali ke rumah sakit setelah seharian ia mencoba mendatangi satu, dua, temannya dan meminta bantuan. Tapi tak satupun ada yang bisa membantunya. Giselle masuk ke dalam kamar perawatan putrinya yang melihat Elodie yang masih terbaring lemah. "Ma-mama," lirih anak itu, mengulurkan satu tangannya dan merintih kecil. "Iya, Sayang ... Mama ada di sini." Giselle mengusap pucuk kepala Elodie. "Elodie sabar ya, Nak. Mama pasti akan berusaha agar Elodie cepat sembuh." Anak kecil itu hanya bisa merintih kesakitan. Giselle memeluk tubuh kecil Elodie dan menangis tanpa suara. Melihat kondisi Elodie yang seperti ini membuat Giselle tidak bisa berpikir apapun. Tidak ada cara lain baginya untuk mendapatkan uang selain menerima tawaran dari Gerald. Haruskah ia benar-benar merendahkan diri di hadapan ayah kandung anaknya sendiri? Hanya itu jalan yang ia punya saat ini. Bagaimanapun, Giselle tidak ingin kehilangan satu-satunya cahaya dalam hidupnya. Jika Elodie tidak ada, Giselle bahkan tidak ingin hidup lagi. Wanita itu lantas menatap anaknya. Ia sudah membuat keputusan. "Tunggu ya, Sayang. Mama akan segera kembali," katanya. Giselle lantas bergegas meninggalkan rumah sakit. Ia membuka tas miliknya dan membaca pesan dari asisten Gerald yang mengirimkan alamat sebuah hotel. Giselle meremas ponselnya dan menahan agar air matanya tidak menetes. Bermalam dengan mantan suaminya, Papa kandung dari anaknya, demi uang untuk pengobatan anaknya. Giselle tidak punya pilihan lain. Meskipun kakinya kini terasa gemetar saat berjalan, Giselle akan datang ke hotel itu, bertemu dengan Gerald dan melakukan semuanya. Hotel bintang lima yang berada di pusat kota Luinz itu semakin membuat nyali Giselle menyusut di setiap langkahnya. Tangannya terasa dingin dan kebas saat memutar gagang pintu kamar nomor satu di lantai lima belas. Kedua iris matanya menangkap sosok laki-laki yang berdiri tegap dengan balutan kemeja putih berdiri memunggunginya, menatap ke arah dinding kaca besar di ruangan itu. "Kau datang juga," ucap Gerald, membalikkan badannya menatap Giselle dengan tatapan dingin yang mengerikan. Ia lantas meletakkan gelas berisi wine yang ia bawa. Giselle hanya diam tertunduk dan berdiri meremas erat tali tasnya. "Apa yang kau tunggu? Mari kita lakukan seperti yang aku inginkan."Giselle susah payah menelan ludah. Ia tak berani mengangkat wajahnya saat Gerald berjalan menghampirinya yang berdiri di dekat ranjang. Sedangkan Gerald tersenyum tipis, nyaris tak terlihat di wajah dinginnya. Melihat ekspresi muram di wajah mantan istrinya yang sangat ia benci saat ini, seolah ada rasa senang tersendiri di hatinya. “Kenapa diam saja?” tanya Gerald seolah menantang, ketika sudah berdiri begitu dekat dengan Giselle.Giselle akhirnya mengangkat wajah. Kedua iris mata birunya menatap lekat wajah tampan Gerald. "Sa-saya, saya tidak yakin untuk melakukannya," ujar Giselle membuang muka. Gerald tersenyum kecut. "Jangan munafik, Giselle, kau bukan seorang perawan lagi," bisik Gerald tepat di depan bibir Giselle. “Bukankah dulu kita sering melakukan ini?”Giselle tertunduk. Mereka memang sering melakukan itu dulu. Tapi itu saat mereka masih bersama. “Kenapa? Apa yang membuatmu tidak bisa melakukan ini lagi denganku?”Wajah Giselle menegang, ia menggelengkan kepalanya. "K
Keesokan paginya, Giselle sudah melunasi semua biaya pengobatan Elodie. Ia juga meminta pada dokter untuk segera melakukan pengobatan lanjutan. Giselle masih memiliki waktu beberapa menit untuk menemani putri kecilnya sebelum ia berangkat ke kantor. Seperti biasa, Elodie selalu manja pada Giselle. Ia ingin selalu ditemani. "Elodie tidak boleh sedih-sedih lagi ya, Sayang. Sebentar lagi Suster Anna akan ke sini menemani Elodie," ujar Giselle mengusap pipi putih putri kecilnya. "Mama tidak boleh pergi lama-lama, nanti hati Elodie sedih," ujar anak itu menyandarkan kepalanya di dada Giselle dengan bibir mungilnya yang mencebik. "Mama tidak akan pergi lama. Nanti sore Mama sudah pulang. Mama harus bekerja, supaya bisa beli susu buat Elodie," ujar Giselle mendekap tubuh mungil Elodie. Anak kecil itu kembali meminta berbaring. Giselle pun membaringkannya, ia mengecup wajah manis Elodie berkali-kali. Meskipun rasa sedih masih terus menyiksanya, namun di depan sang buah hati, Giselle ti
Jam menunjukkan pukul sebelas malam saat Giselle menyelesaikan pekerjaannya. Pekerjaan yang sungguh tak terkira, Giselle hanya bisa beristirahat di jam makan siang saja. Gerald tak mengizinkan ia pergi sebelum pekerjaannya benar-benar selesai. Malam ini hujan turun cukup deras di kota Luinz. Kilat dan petir juga menyambar berkali-kali. Giselle berjalan terburu-buru, ia sangat panik karena meninggalkan Elodie sendirian di rumah sakit. "Ya Tuhan, semoga dia tidak takut. Aku harus segera sampai ke rumah sakit sesegera mungkin," gumam Giselle di sela langkahnya yang tergesa-gesa. Di belakangnya, ada Gerald yang berjalan ditemani ajudannya, tampak memperhatikan wanita itu. Ekspresi dingin Gerald berubah sinis saat ia melihat Giselle yang berjalan terburu-buru. "Kenapa dia sangat terburu-buru?" gumam Gerald dengan kedua mata memicing tajam. "Entahlah, Tuan. Mungkin karena pulang terlalu malam, atau ... ada seseorang yang dia tinggalkan sendirian di rumah, mungkin," jawab Sergio. "S
Keesokan paginya... Giselle sudah bersiap dengan pakaian kerjanya yang rapi. Pagi ini Giselle berangkat sedikit terlambat karena Elodie masih rewel untuk ia tinggalkan. Sesampainya di kantor, Giselle berjalan cepat menuju ruang CEO. Namun, begitu Giselle sampai di ruangan itu, bukan Gerald yang ia temui di sana—melainkan sosok Laura yang tengah duduk di sofa dan menatapnya tajam. Giselle menundukkan kepalanya berusaha untuk bersikap tenang. "Selamat pagi, Bu Laura," sapanya. Wanita dengan balutan dress merah tua itu menaikkan salah satu alisnya saat Giselle menyapanya. "Sejak kapan kau memanggilku dengan sebutan itu, Giselle? Bukankah dulu kau hanya memanggilku Laura saja?" tanya Laura tersenyum miring dan duduk menyilangkan kakinya. Giselle yang berada di dekat mejanya menatap ke arah Laura dengan penuh keraguan. Sahabat yang dulunya Giselle anggap seperti saudara, ternyata menikamnya dengan kejam dari belakang. Tak hanya itu, Laura juga merampas semua kebahagiaan Gisell
"Halo ... Nyonya Giselle. Apakah Nyonya sedang sibuk saat ini? Elodie terus rewel, sejak tadi mencari Nyonya." Suara seorang suster di balik panggilan itu membuat Giselle panik dan langsung beranjak dari duduknya cepat. Wanita cantik berambut panjang bergelombang itu menatap ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul lima sore. "Saya masih berada di kantor, sus," jawab Giselle gusar."Bisakah Nyonya datang? Kami sudah berusaha untuk menenangkan Elodie, tetapi dia terus mencari Mamanya," jelas suster itu. Giselle mengusap wajahnya yang sangat cemas. "Tolong berikan ponselnya pada Elodie sebentar saja, suster." "Baik, Nyonya. Tunggu sebentar." Giselle mendengar suara rengekan tangis anak kecil di balik panggilan itu. "Mamaaa," panggil Elodie dengan suara bergetar. "Sayang. Ini Mama, Nak. Elodie jangan menangis ya, Mama sebentar lagi akan pulang," ucap Giselle dengan lembut. "Mama pulang, Ma…!" Tangis Elodie terdengar di sana. Kedua mata Giselle terpejam, kepiluan memenuh
Menepati permintaan Gerald yang tak bisa Giselle tolak, mereka berdua pergi ke sebuah hotel berbintang di kota Luinz. Gerald memesan kamar khusus untuknya dan Giselle malam ini. Sejak kejadian di kantor sore tadi, Giselle tampak murung dan sedih. Wanita cantik itu kini duduk di tepian ranjang kamar menundukkan kepalanya. 'Ya Tuhan, bagaimana dengan anakku sekarang? Bagaimana ... bagaimana caranya aku bisa melarikan diri dari Gerald saat ini?' Giselle menundukkan kepalanya dan meremas kuat rok selutut yang ia pakai. "Maafkan Mama, Elodie," lirih Giselle nyaris tak bersuara. Pikirannya terus dipenuhi bayangan Elodie yang menangis ketakutan.Lamunan Giselle buyar saat ia mendengar suara pintu dikunci. Sosok Gerald berdiri di sana, tengah melepaskan tuxedo hitamnya sambil berjalan mendekati Giselle. Tatapan matanya yang tajam menelisik Giselle yang diam duduk di tepian ranjang tak menatapnya sedikit pun. Ekspresi sedihnya bisa dibaca oleh Gerald. "Kau sedih karena tidak bisa menemu
"Nyonya, nyawa putri anda bisa tidak tertolong..."Tubuh Giselle Marjorie menegang seketika. Sepasang matanya berkaca-kaca mendengar apa yang dikatakan oleh dokter."Tolong berikan yang terbaik untuk anak saya, dok. Saya mohon..." pinta Giselle, suaranya bergetar menahan tangis.Sambil menghindari tatapan sayu Giselle, dokter itu mengangkat stetoskopnya, lantas menarik nafas panjang."Maaf, Nyonya, kami tidak bisa bertindak lebih jauh sebelum tunggakan dilunasi," ucap sang dokter.Giselle menarik jas dokter tersebut seraya berlutut, "Saya akan berusaha melunasi semua biaya pengobatannya, saya berjanji!"Dokter itu tampak kelabakan. Ia membantu Giselle untuk berdiri dengan susah payah, lalu meminta maaf karena tidak bisa melakukan tindakan apapun saat ini.Giselle tertunduk dengan bahu terkulai di lorong rumah sakit begitu dokter pamit pergi. Air matanya berdesakan di pelupuk mata mengiringi kepedihan di hatinya.Biaya pengobatan yang menunggak itu hampir menyentuh lima ratus juta. Dar
Menepati permintaan Gerald yang tak bisa Giselle tolak, mereka berdua pergi ke sebuah hotel berbintang di kota Luinz. Gerald memesan kamar khusus untuknya dan Giselle malam ini. Sejak kejadian di kantor sore tadi, Giselle tampak murung dan sedih. Wanita cantik itu kini duduk di tepian ranjang kamar menundukkan kepalanya. 'Ya Tuhan, bagaimana dengan anakku sekarang? Bagaimana ... bagaimana caranya aku bisa melarikan diri dari Gerald saat ini?' Giselle menundukkan kepalanya dan meremas kuat rok selutut yang ia pakai. "Maafkan Mama, Elodie," lirih Giselle nyaris tak bersuara. Pikirannya terus dipenuhi bayangan Elodie yang menangis ketakutan.Lamunan Giselle buyar saat ia mendengar suara pintu dikunci. Sosok Gerald berdiri di sana, tengah melepaskan tuxedo hitamnya sambil berjalan mendekati Giselle. Tatapan matanya yang tajam menelisik Giselle yang diam duduk di tepian ranjang tak menatapnya sedikit pun. Ekspresi sedihnya bisa dibaca oleh Gerald. "Kau sedih karena tidak bisa menemu
"Halo ... Nyonya Giselle. Apakah Nyonya sedang sibuk saat ini? Elodie terus rewel, sejak tadi mencari Nyonya." Suara seorang suster di balik panggilan itu membuat Giselle panik dan langsung beranjak dari duduknya cepat. Wanita cantik berambut panjang bergelombang itu menatap ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul lima sore. "Saya masih berada di kantor, sus," jawab Giselle gusar."Bisakah Nyonya datang? Kami sudah berusaha untuk menenangkan Elodie, tetapi dia terus mencari Mamanya," jelas suster itu. Giselle mengusap wajahnya yang sangat cemas. "Tolong berikan ponselnya pada Elodie sebentar saja, suster." "Baik, Nyonya. Tunggu sebentar." Giselle mendengar suara rengekan tangis anak kecil di balik panggilan itu. "Mamaaa," panggil Elodie dengan suara bergetar. "Sayang. Ini Mama, Nak. Elodie jangan menangis ya, Mama sebentar lagi akan pulang," ucap Giselle dengan lembut. "Mama pulang, Ma…!" Tangis Elodie terdengar di sana. Kedua mata Giselle terpejam, kepiluan memenuh
Keesokan paginya... Giselle sudah bersiap dengan pakaian kerjanya yang rapi. Pagi ini Giselle berangkat sedikit terlambat karena Elodie masih rewel untuk ia tinggalkan. Sesampainya di kantor, Giselle berjalan cepat menuju ruang CEO. Namun, begitu Giselle sampai di ruangan itu, bukan Gerald yang ia temui di sana—melainkan sosok Laura yang tengah duduk di sofa dan menatapnya tajam. Giselle menundukkan kepalanya berusaha untuk bersikap tenang. "Selamat pagi, Bu Laura," sapanya. Wanita dengan balutan dress merah tua itu menaikkan salah satu alisnya saat Giselle menyapanya. "Sejak kapan kau memanggilku dengan sebutan itu, Giselle? Bukankah dulu kau hanya memanggilku Laura saja?" tanya Laura tersenyum miring dan duduk menyilangkan kakinya. Giselle yang berada di dekat mejanya menatap ke arah Laura dengan penuh keraguan. Sahabat yang dulunya Giselle anggap seperti saudara, ternyata menikamnya dengan kejam dari belakang. Tak hanya itu, Laura juga merampas semua kebahagiaan Gisell
Jam menunjukkan pukul sebelas malam saat Giselle menyelesaikan pekerjaannya. Pekerjaan yang sungguh tak terkira, Giselle hanya bisa beristirahat di jam makan siang saja. Gerald tak mengizinkan ia pergi sebelum pekerjaannya benar-benar selesai. Malam ini hujan turun cukup deras di kota Luinz. Kilat dan petir juga menyambar berkali-kali. Giselle berjalan terburu-buru, ia sangat panik karena meninggalkan Elodie sendirian di rumah sakit. "Ya Tuhan, semoga dia tidak takut. Aku harus segera sampai ke rumah sakit sesegera mungkin," gumam Giselle di sela langkahnya yang tergesa-gesa. Di belakangnya, ada Gerald yang berjalan ditemani ajudannya, tampak memperhatikan wanita itu. Ekspresi dingin Gerald berubah sinis saat ia melihat Giselle yang berjalan terburu-buru. "Kenapa dia sangat terburu-buru?" gumam Gerald dengan kedua mata memicing tajam. "Entahlah, Tuan. Mungkin karena pulang terlalu malam, atau ... ada seseorang yang dia tinggalkan sendirian di rumah, mungkin," jawab Sergio. "S
Keesokan paginya, Giselle sudah melunasi semua biaya pengobatan Elodie. Ia juga meminta pada dokter untuk segera melakukan pengobatan lanjutan. Giselle masih memiliki waktu beberapa menit untuk menemani putri kecilnya sebelum ia berangkat ke kantor. Seperti biasa, Elodie selalu manja pada Giselle. Ia ingin selalu ditemani. "Elodie tidak boleh sedih-sedih lagi ya, Sayang. Sebentar lagi Suster Anna akan ke sini menemani Elodie," ujar Giselle mengusap pipi putih putri kecilnya. "Mama tidak boleh pergi lama-lama, nanti hati Elodie sedih," ujar anak itu menyandarkan kepalanya di dada Giselle dengan bibir mungilnya yang mencebik. "Mama tidak akan pergi lama. Nanti sore Mama sudah pulang. Mama harus bekerja, supaya bisa beli susu buat Elodie," ujar Giselle mendekap tubuh mungil Elodie. Anak kecil itu kembali meminta berbaring. Giselle pun membaringkannya, ia mengecup wajah manis Elodie berkali-kali. Meskipun rasa sedih masih terus menyiksanya, namun di depan sang buah hati, Giselle ti
Giselle susah payah menelan ludah. Ia tak berani mengangkat wajahnya saat Gerald berjalan menghampirinya yang berdiri di dekat ranjang. Sedangkan Gerald tersenyum tipis, nyaris tak terlihat di wajah dinginnya. Melihat ekspresi muram di wajah mantan istrinya yang sangat ia benci saat ini, seolah ada rasa senang tersendiri di hatinya. “Kenapa diam saja?” tanya Gerald seolah menantang, ketika sudah berdiri begitu dekat dengan Giselle.Giselle akhirnya mengangkat wajah. Kedua iris mata birunya menatap lekat wajah tampan Gerald. "Sa-saya, saya tidak yakin untuk melakukannya," ujar Giselle membuang muka. Gerald tersenyum kecut. "Jangan munafik, Giselle, kau bukan seorang perawan lagi," bisik Gerald tepat di depan bibir Giselle. “Bukankah dulu kita sering melakukan ini?”Giselle tertunduk. Mereka memang sering melakukan itu dulu. Tapi itu saat mereka masih bersama. “Kenapa? Apa yang membuatmu tidak bisa melakukan ini lagi denganku?”Wajah Giselle menegang, ia menggelengkan kepalanya. "K
"A-apa?" lirihnya tak percaya. Seperti disambar petir, Giselle mematung menatap lekat pada pria di hadapannya itu. Tidur bersama mantan suaminya? Apakah Gerald sudah gila?!"A-apakah tidak ada cara lain?" Giselle menatapnya dengan putus asa. "Ke-kenapa harus tidur bersama? Kita ... kita tidak mungkin—""Aku tidak memaksa," ucap Gerald menyela. "Tapi aku tidak yakin, kau bisa mendapatkan uang yang kau butuhkan di luar sana."Raut wajah cantik itu menjadi muram. Jemarinya terus meremas rok yang ia pakai dan iris mata birunya bergerak gelisah. Rasa nelangsa memenuhi relung hati Giselle. Haruskah ia menjadi wanita murahan yang menukarkan tubuhnya dengan uang, pada mantan suaminya?"Tolong berikan saya waktu untuk berpikir sebentar," ujarnya kemudian. Gerald menatapnya tajam. "Putuskan secepat mungkin. Aku tidak suka menunggu." Anggukan kecil diberikan oleh Giselle. Ia pun langsung membungkukkan badannya dan pamit dari sana.Tubuh kurusnya gemetar saat meninggalkan ruangan CEO. Air mat
"Nyonya, nyawa putri anda bisa tidak tertolong..."Tubuh Giselle Marjorie menegang seketika. Sepasang matanya berkaca-kaca mendengar apa yang dikatakan oleh dokter."Tolong berikan yang terbaik untuk anak saya, dok. Saya mohon..." pinta Giselle, suaranya bergetar menahan tangis.Sambil menghindari tatapan sayu Giselle, dokter itu mengangkat stetoskopnya, lantas menarik nafas panjang."Maaf, Nyonya, kami tidak bisa bertindak lebih jauh sebelum tunggakan dilunasi," ucap sang dokter.Giselle menarik jas dokter tersebut seraya berlutut, "Saya akan berusaha melunasi semua biaya pengobatannya, saya berjanji!"Dokter itu tampak kelabakan. Ia membantu Giselle untuk berdiri dengan susah payah, lalu meminta maaf karena tidak bisa melakukan tindakan apapun saat ini.Giselle tertunduk dengan bahu terkulai di lorong rumah sakit begitu dokter pamit pergi. Air matanya berdesakan di pelupuk mata mengiringi kepedihan di hatinya.Biaya pengobatan yang menunggak itu hampir menyentuh lima ratus juta. Dar