Giselle susah payah menelan ludah. Ia tak berani mengangkat wajahnya saat Gerald berjalan menghampirinya yang berdiri di dekat ranjang.
Sedangkan Gerald tersenyum tipis, nyaris tak terlihat di wajah dinginnya. Melihat ekspresi muram di wajah mantan istrinya yang sangat ia benci saat ini, seolah ada rasa senang tersendiri di hatinya.
“Kenapa diam saja?” tanya Gerald seolah menantang, ketika sudah berdiri begitu dekat dengan Giselle.
Giselle akhirnya mengangkat wajah. Kedua iris mata birunya menatap lekat wajah tampan Gerald.
"Sa-saya, saya tidak yakin untuk melakukannya," ujar Giselle membuang muka.
Gerald tersenyum kecut. "Jangan munafik, Giselle, kau bukan seorang perawan lagi," bisik Gerald tepat di depan bibir Giselle. “Bukankah dulu kita sering melakukan ini?”
Giselle tertunduk. Mereka memang sering melakukan itu dulu. Tapi itu saat mereka masih bersama.
“Kenapa? Apa yang membuatmu tidak bisa melakukan ini lagi denganku?”
Wajah Giselle menegang, ia menggelengkan kepalanya. "Karena status kita saat ini, Gerald," lirihnya.
Rahang Gerald mengetat saat Giselle menyebut namanya. Laki-laki itu lantas maju satu langkah dan menarik pinggang Giselle dengan erat.
"Jangan membuang waktu. Bukankah kau menginginkan uang? Jadi tunjukkan padaku, betapa murahnya dirimu yang ingin mendapatkan uangku!"
"Gerald—"
Ucapan Giselle terhenti saat tiba-tiba saja Gerald mencium bibirnya dengan kasar. Ia berusaha mendorong dada bidang pria itu, tapi tenaganya tidak seberapa.
Ciuman itu semakin menggebu-gebu hingga Giselle mengerang saat bibirnya digigit dan terluka.
Napasnya tercekat saat menyadari sosok Gerald yang ia hadapi saat ini bukanlah Gerald yang dulu ia kenal. Dia bukan lagi Gerald yang selalu sayang dan bersikap lembut padanya. Saat ini, Giselle seperti berhadapan dengan orang asing yang menyeramkan.
Kedua mata Giselle terpejam erat kala Gerald membawanya ke arah ranjang. Laki-laki itu kembali menciumnya dengan kasar dan menuntut.
Giselle tak punya tenaga lagi untuk terus memberontak. Tubuhnya terlalu lemah dan gemetar.
"Ahh!" Giselle meringis saat bibir laki-laki mulai turun ke lehernya dan meninggalkan bekas di sana.
Deru napas yang terdengar dari Gerald membuat tubuh Giselle semakin gemetar. Ia bisa merasakan kemarahan yang Gerald lampiaskan lewat deru napasnya yang memberat.
"Giselle Marjorie, kau pikir kau siapa bisa melakukan ini semua padaku?" bisik Gerald dengan suara seraknya yang dalam.
Kedua mata indah Giselle menatap wajah dan kilatan mata emosi milik Gerald. Sedangkan satu tangan laki-laki itu melepaskan satu persatu kancing dress yang Giselle pakai. Hanya dalam satu tarikan, dress merah muda itu lolos dari tubuh Giselle.
Rahang tegas Gerald mengetat kuat, kilatan amarah membara terlihat jelas di kedua iris hitamnya yang tajam.
Giselle sontak membekam mulutnya dengan satu tangan saat laki-laki itu menjajahkan bibirnya di atas kulit tubuh putih Giselle yang tak tertutup pakaian lagi hingga membuat wanita itu merintih.
"G-Gerald, tunggu—" Giselle memekik tertahan.
Alih-alih berhenti, Gerald justru kian menjadi-jadi. Laki-laki itu mendekatkan wajahnya dan ia kembali menyambar bibir Giselle, menciumnya dengan kasar bahkan tak peduli bila ia harus melukai bibir tipis milik Giselle hingga membuat wanita itu mengerang kesakitan.
Tak lama, Gerald melepaskan ciumannya dan menatap Giselle yang kini kacau dan terengah-engah akibat ulahnya.
"Kau ... benar-benar sangat murahan, Giselle," desis Gerald diiringi ekspresi wajahnya yang marah. "Berapa banyak laki-laki yang sudah mencoba tubuhmu, setelah kau meninggalkanku, heh?"
Ucapan Gerald begitu menusuk hati Giselle yang kini terasa sakit seperti tercabik.
Air matanya menetes tanpa bisa ia cegah. Kata sedih tak cukup untuk mengungkap apa Giselle rasakan saat ini.
"Tidak ... aku tidak pernah melakukan hal ini dengan siapapun," lirih Giselle dengan suara tercekat. "A-aku melakukan ini karena aku butuh uang itu, u-untuk suatu hal."
Gerald menarik tubuhnya dari atas tubuh Giselle. "Hanya demi sejumlah uang kau rela berada di atas ranjang bersama mantan suamimu!"
Pria itu beranjak dari atas ranjang dan berdiri merapikan kemejanya. Laki-laki itu melirik ke arah Giselle yang duduk menutupi tubuhnya dengan selimut.
"Tangisan dramatismu membuat seleraku hilang!" sinis Gerald dengan ucapan dinginnya.
Giselle tidak menjawab, ia mencengkeram selimut dan memeluk tubuhnya erat-erat, menangis menundukkan kepalanya, menahan rasa sedih dan malu yang bercampur menjadi satu.
Gerald kembali mendekatinya sambil membawa sebuah selembar kertas dan menyerahkan pada Giselle.
Giselle mendongak menatapnya dengan kedua mata berkaca-kaca.
Jika bukan karena nyawa anaknya, Giselle tak akan melakukan hal serendah ini. Apalagi, di hadapan seorang Gerald Gilbert.
"Ambil!" seru Gerald.
Dengan tangan gemetar, Giselle meraih cek yang Gerald berikan sebelum tiba-tiba saja Gerald menarik tengkuknya dan memangkas jarak di antara mereka.
“Malam ini memang gagal, Giselle. Tapi, jangan harap kau bisa lepas dariku!”
Bibir Giselle terbuka, tapi tidak ada kata yang sanggup ia keluarkan.
“Satu malam saja tidak sebanding dengan uang sudah kuberikan padamu," desis pria itu.
Rahang kecil Giselle mengatup rapat. Wanita itu tertunduk meremas pelan cek yang Gerald berikan.
Gerald lantas menjauh, meraih tuxedo hitamnya yang berada di ujung ranjang.
“Mulai besok, kau akan menjadi asistenku di kantor.”
Giselle tersentak, benar-benar tidak mengerti jalan pikiran pria itu. Namun, ia tidak bisa membantah.
“Kau harus melakukan apapun yang aku perintahkan. Kalau tidak, kau harus mengganti uangku dua kali lipat!" sinis Gerald melirik Giselle yang masih terduduk di atas ranjang sambil mencengkeram erat selimut yang menutupi tubuhnya.
Wanita cantik itu hanya bisa mengangguk pelan. "Sa-saya mengerti, Pak Gerald."
Tanpa berkata-kata lagi, Gerald pergi meninggalkan Giselle seorang diri di sana.
Giselle diam mematung menatap cek yang Gerald berikan padanya. Lima ratus juta tertulis jelas di atas kertas itu.
Namun, bukan hanya itu yang membuat hatinya mencelos.
"Dia telah membuatku terperangkap bersamanya," lirih Giselle. "Karena uang ini..."
Dadanya terasa sesak. Tapi Giselle segera menyeka air matanya cepat.
"Setidaknya aku bisa melihat anakku sembuh," ucapnya pedih.
Meski ia harus menjadi boneka ranjang mantan suaminya sendiri.
Keesokan paginya, Giselle sudah melunasi semua biaya pengobatan Elodie. Ia juga meminta pada dokter untuk segera melakukan pengobatan lanjutan. Giselle masih memiliki waktu beberapa menit untuk menemani putri kecilnya sebelum ia berangkat ke kantor. Seperti biasa, Elodie selalu manja pada Giselle. Ia ingin selalu ditemani. "Elodie tidak boleh sedih-sedih lagi ya, Sayang. Sebentar lagi Suster Anna akan ke sini menemani Elodie," ujar Giselle mengusap pipi putih putri kecilnya. "Mama tidak boleh pergi lama-lama, nanti hati Elodie sedih," ujar anak itu menyandarkan kepalanya di dada Giselle dengan bibir mungilnya yang mencebik. "Mama tidak akan pergi lama. Nanti sore Mama sudah pulang. Mama harus bekerja, supaya bisa beli susu buat Elodie," ujar Giselle mendekap tubuh mungil Elodie. Anak kecil itu kembali meminta berbaring. Giselle pun membaringkannya, ia mengecup wajah manis Elodie berkali-kali. Meskipun rasa sedih masih terus menyiksanya, namun di depan sang buah hati, Giselle ti
Jam menunjukkan pukul sebelas malam saat Giselle menyelesaikan pekerjaannya. Pekerjaan yang sungguh tak terkira, Giselle hanya bisa beristirahat di jam makan siang saja. Gerald tak mengizinkan ia pergi sebelum pekerjaannya benar-benar selesai. Malam ini hujan turun cukup deras di kota Luinz. Kilat dan petir juga menyambar berkali-kali. Giselle berjalan terburu-buru, ia sangat panik karena meninggalkan Elodie sendirian di rumah sakit. "Ya Tuhan, semoga dia tidak takut. Aku harus segera sampai ke rumah sakit sesegera mungkin," gumam Giselle di sela langkahnya yang tergesa-gesa. Di belakangnya, ada Gerald yang berjalan ditemani ajudannya, tampak memperhatikan wanita itu. Ekspresi dingin Gerald berubah sinis saat ia melihat Giselle yang berjalan terburu-buru. "Kenapa dia sangat terburu-buru?" gumam Gerald dengan kedua mata memicing tajam. "Entahlah, Tuan. Mungkin karena pulang terlalu malam, atau ... ada seseorang yang dia tinggalkan sendirian di rumah, mungkin," jawab Sergio. "S
Keesokan paginya... Giselle sudah bersiap dengan pakaian kerjanya yang rapi. Pagi ini Giselle berangkat sedikit terlambat karena Elodie masih rewel untuk ia tinggalkan. Sesampainya di kantor, Giselle berjalan cepat menuju ruang CEO. Namun, begitu Giselle sampai di ruangan itu, bukan Gerald yang ia temui di sana—melainkan sosok Laura yang tengah duduk di sofa dan menatapnya tajam. Giselle menundukkan kepalanya berusaha untuk bersikap tenang. "Selamat pagi, Bu Laura," sapanya. Wanita dengan balutan dress merah tua itu menaikkan salah satu alisnya saat Giselle menyapanya. "Sejak kapan kau memanggilku dengan sebutan itu, Giselle? Bukankah dulu kau hanya memanggilku Laura saja?" tanya Laura tersenyum miring dan duduk menyilangkan kakinya. Giselle yang berada di dekat mejanya menatap ke arah Laura dengan penuh keraguan. Sahabat yang dulunya Giselle anggap seperti saudara, ternyata menikamnya dengan kejam dari belakang. Tak hanya itu, Laura juga merampas semua kebahagiaan Gisell
"Halo ... Nyonya Giselle. Apakah Nyonya sedang sibuk saat ini? Elodie terus rewel, sejak tadi mencari Nyonya." Suara seorang suster di balik panggilan itu membuat Giselle panik dan langsung beranjak dari duduknya cepat. Wanita cantik berambut panjang bergelombang itu menatap ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul lima sore. "Saya masih berada di kantor, sus," jawab Giselle gusar."Bisakah Nyonya datang? Kami sudah berusaha untuk menenangkan Elodie, tetapi dia terus mencari Mamanya," jelas suster itu. Giselle mengusap wajahnya yang sangat cemas. "Tolong berikan ponselnya pada Elodie sebentar saja, suster." "Baik, Nyonya. Tunggu sebentar." Giselle mendengar suara rengekan tangis anak kecil di balik panggilan itu. "Mamaaa," panggil Elodie dengan suara bergetar. "Sayang. Ini Mama, Nak. Elodie jangan menangis ya, Mama sebentar lagi akan pulang," ucap Giselle dengan lembut. "Mama pulang, Ma…!" Tangis Elodie terdengar di sana. Kedua mata Giselle terpejam, kepiluan memenuh
Menepati permintaan Gerald yang tak bisa Giselle tolak, mereka berdua pergi ke sebuah hotel berbintang di kota Luinz. Gerald memesan kamar khusus untuknya dan Giselle malam ini. Sejak kejadian di kantor sore tadi, Giselle tampak murung dan sedih. Wanita cantik itu kini duduk di tepian ranjang kamar menundukkan kepalanya. 'Ya Tuhan, bagaimana dengan anakku sekarang? Bagaimana ... bagaimana caranya aku bisa melarikan diri dari Gerald saat ini?' Giselle menundukkan kepalanya dan meremas kuat rok selutut yang ia pakai. "Maafkan Mama, Elodie," lirih Giselle nyaris tak bersuara. Pikirannya terus dipenuhi bayangan Elodie yang menangis ketakutan.Lamunan Giselle buyar saat ia mendengar suara pintu dikunci. Sosok Gerald berdiri di sana, tengah melepaskan tuxedo hitamnya sambil berjalan mendekati Giselle. Tatapan matanya yang tajam menelisik Giselle yang diam duduk di tepian ranjang tak menatapnya sedikit pun. Ekspresi sedihnya bisa dibaca oleh Gerald. "Kau sedih karena tidak bisa menemu
"Nyonya, nyawa putri anda bisa tidak tertolong..."Tubuh Giselle Marjorie menegang seketika. Sepasang matanya berkaca-kaca mendengar apa yang dikatakan oleh dokter."Tolong berikan yang terbaik untuk anak saya, dok. Saya mohon..." pinta Giselle, suaranya bergetar menahan tangis.Sambil menghindari tatapan sayu Giselle, dokter itu mengangkat stetoskopnya, lantas menarik nafas panjang."Maaf, Nyonya, kami tidak bisa bertindak lebih jauh sebelum tunggakan dilunasi," ucap sang dokter.Giselle menarik jas dokter tersebut seraya berlutut, "Saya akan berusaha melunasi semua biaya pengobatannya, saya berjanji!"Dokter itu tampak kelabakan. Ia membantu Giselle untuk berdiri dengan susah payah, lalu meminta maaf karena tidak bisa melakukan tindakan apapun saat ini.Giselle tertunduk dengan bahu terkulai di lorong rumah sakit begitu dokter pamit pergi. Air matanya berdesakan di pelupuk mata mengiringi kepedihan di hatinya.Biaya pengobatan yang menunggak itu hampir menyentuh lima ratus juta. Dar
"A-apa?" lirihnya tak percaya. Seperti disambar petir, Giselle mematung menatap lekat pada pria di hadapannya itu. Tidur bersama mantan suaminya? Apakah Gerald sudah gila?!"A-apakah tidak ada cara lain?" Giselle menatapnya dengan putus asa. "Ke-kenapa harus tidur bersama? Kita ... kita tidak mungkin—""Aku tidak memaksa," ucap Gerald menyela. "Tapi aku tidak yakin, kau bisa mendapatkan uang yang kau butuhkan di luar sana."Raut wajah cantik itu menjadi muram. Jemarinya terus meremas rok yang ia pakai dan iris mata birunya bergerak gelisah. Rasa nelangsa memenuhi relung hati Giselle. Haruskah ia menjadi wanita murahan yang menukarkan tubuhnya dengan uang, pada mantan suaminya?"Tolong berikan saya waktu untuk berpikir sebentar," ujarnya kemudian. Gerald menatapnya tajam. "Putuskan secepat mungkin. Aku tidak suka menunggu." Anggukan kecil diberikan oleh Giselle. Ia pun langsung membungkukkan badannya dan pamit dari sana.Tubuh kurusnya gemetar saat meninggalkan ruangan CEO. Air mat
Menepati permintaan Gerald yang tak bisa Giselle tolak, mereka berdua pergi ke sebuah hotel berbintang di kota Luinz. Gerald memesan kamar khusus untuknya dan Giselle malam ini. Sejak kejadian di kantor sore tadi, Giselle tampak murung dan sedih. Wanita cantik itu kini duduk di tepian ranjang kamar menundukkan kepalanya. 'Ya Tuhan, bagaimana dengan anakku sekarang? Bagaimana ... bagaimana caranya aku bisa melarikan diri dari Gerald saat ini?' Giselle menundukkan kepalanya dan meremas kuat rok selutut yang ia pakai. "Maafkan Mama, Elodie," lirih Giselle nyaris tak bersuara. Pikirannya terus dipenuhi bayangan Elodie yang menangis ketakutan.Lamunan Giselle buyar saat ia mendengar suara pintu dikunci. Sosok Gerald berdiri di sana, tengah melepaskan tuxedo hitamnya sambil berjalan mendekati Giselle. Tatapan matanya yang tajam menelisik Giselle yang diam duduk di tepian ranjang tak menatapnya sedikit pun. Ekspresi sedihnya bisa dibaca oleh Gerald. "Kau sedih karena tidak bisa menemu
"Halo ... Nyonya Giselle. Apakah Nyonya sedang sibuk saat ini? Elodie terus rewel, sejak tadi mencari Nyonya." Suara seorang suster di balik panggilan itu membuat Giselle panik dan langsung beranjak dari duduknya cepat. Wanita cantik berambut panjang bergelombang itu menatap ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul lima sore. "Saya masih berada di kantor, sus," jawab Giselle gusar."Bisakah Nyonya datang? Kami sudah berusaha untuk menenangkan Elodie, tetapi dia terus mencari Mamanya," jelas suster itu. Giselle mengusap wajahnya yang sangat cemas. "Tolong berikan ponselnya pada Elodie sebentar saja, suster." "Baik, Nyonya. Tunggu sebentar." Giselle mendengar suara rengekan tangis anak kecil di balik panggilan itu. "Mamaaa," panggil Elodie dengan suara bergetar. "Sayang. Ini Mama, Nak. Elodie jangan menangis ya, Mama sebentar lagi akan pulang," ucap Giselle dengan lembut. "Mama pulang, Ma…!" Tangis Elodie terdengar di sana. Kedua mata Giselle terpejam, kepiluan memenuh
Keesokan paginya... Giselle sudah bersiap dengan pakaian kerjanya yang rapi. Pagi ini Giselle berangkat sedikit terlambat karena Elodie masih rewel untuk ia tinggalkan. Sesampainya di kantor, Giselle berjalan cepat menuju ruang CEO. Namun, begitu Giselle sampai di ruangan itu, bukan Gerald yang ia temui di sana—melainkan sosok Laura yang tengah duduk di sofa dan menatapnya tajam. Giselle menundukkan kepalanya berusaha untuk bersikap tenang. "Selamat pagi, Bu Laura," sapanya. Wanita dengan balutan dress merah tua itu menaikkan salah satu alisnya saat Giselle menyapanya. "Sejak kapan kau memanggilku dengan sebutan itu, Giselle? Bukankah dulu kau hanya memanggilku Laura saja?" tanya Laura tersenyum miring dan duduk menyilangkan kakinya. Giselle yang berada di dekat mejanya menatap ke arah Laura dengan penuh keraguan. Sahabat yang dulunya Giselle anggap seperti saudara, ternyata menikamnya dengan kejam dari belakang. Tak hanya itu, Laura juga merampas semua kebahagiaan Gisell
Jam menunjukkan pukul sebelas malam saat Giselle menyelesaikan pekerjaannya. Pekerjaan yang sungguh tak terkira, Giselle hanya bisa beristirahat di jam makan siang saja. Gerald tak mengizinkan ia pergi sebelum pekerjaannya benar-benar selesai. Malam ini hujan turun cukup deras di kota Luinz. Kilat dan petir juga menyambar berkali-kali. Giselle berjalan terburu-buru, ia sangat panik karena meninggalkan Elodie sendirian di rumah sakit. "Ya Tuhan, semoga dia tidak takut. Aku harus segera sampai ke rumah sakit sesegera mungkin," gumam Giselle di sela langkahnya yang tergesa-gesa. Di belakangnya, ada Gerald yang berjalan ditemani ajudannya, tampak memperhatikan wanita itu. Ekspresi dingin Gerald berubah sinis saat ia melihat Giselle yang berjalan terburu-buru. "Kenapa dia sangat terburu-buru?" gumam Gerald dengan kedua mata memicing tajam. "Entahlah, Tuan. Mungkin karena pulang terlalu malam, atau ... ada seseorang yang dia tinggalkan sendirian di rumah, mungkin," jawab Sergio. "S
Keesokan paginya, Giselle sudah melunasi semua biaya pengobatan Elodie. Ia juga meminta pada dokter untuk segera melakukan pengobatan lanjutan. Giselle masih memiliki waktu beberapa menit untuk menemani putri kecilnya sebelum ia berangkat ke kantor. Seperti biasa, Elodie selalu manja pada Giselle. Ia ingin selalu ditemani. "Elodie tidak boleh sedih-sedih lagi ya, Sayang. Sebentar lagi Suster Anna akan ke sini menemani Elodie," ujar Giselle mengusap pipi putih putri kecilnya. "Mama tidak boleh pergi lama-lama, nanti hati Elodie sedih," ujar anak itu menyandarkan kepalanya di dada Giselle dengan bibir mungilnya yang mencebik. "Mama tidak akan pergi lama. Nanti sore Mama sudah pulang. Mama harus bekerja, supaya bisa beli susu buat Elodie," ujar Giselle mendekap tubuh mungil Elodie. Anak kecil itu kembali meminta berbaring. Giselle pun membaringkannya, ia mengecup wajah manis Elodie berkali-kali. Meskipun rasa sedih masih terus menyiksanya, namun di depan sang buah hati, Giselle ti
Giselle susah payah menelan ludah. Ia tak berani mengangkat wajahnya saat Gerald berjalan menghampirinya yang berdiri di dekat ranjang. Sedangkan Gerald tersenyum tipis, nyaris tak terlihat di wajah dinginnya. Melihat ekspresi muram di wajah mantan istrinya yang sangat ia benci saat ini, seolah ada rasa senang tersendiri di hatinya. “Kenapa diam saja?” tanya Gerald seolah menantang, ketika sudah berdiri begitu dekat dengan Giselle.Giselle akhirnya mengangkat wajah. Kedua iris mata birunya menatap lekat wajah tampan Gerald. "Sa-saya, saya tidak yakin untuk melakukannya," ujar Giselle membuang muka. Gerald tersenyum kecut. "Jangan munafik, Giselle, kau bukan seorang perawan lagi," bisik Gerald tepat di depan bibir Giselle. “Bukankah dulu kita sering melakukan ini?”Giselle tertunduk. Mereka memang sering melakukan itu dulu. Tapi itu saat mereka masih bersama. “Kenapa? Apa yang membuatmu tidak bisa melakukan ini lagi denganku?”Wajah Giselle menegang, ia menggelengkan kepalanya. "K
"A-apa?" lirihnya tak percaya. Seperti disambar petir, Giselle mematung menatap lekat pada pria di hadapannya itu. Tidur bersama mantan suaminya? Apakah Gerald sudah gila?!"A-apakah tidak ada cara lain?" Giselle menatapnya dengan putus asa. "Ke-kenapa harus tidur bersama? Kita ... kita tidak mungkin—""Aku tidak memaksa," ucap Gerald menyela. "Tapi aku tidak yakin, kau bisa mendapatkan uang yang kau butuhkan di luar sana."Raut wajah cantik itu menjadi muram. Jemarinya terus meremas rok yang ia pakai dan iris mata birunya bergerak gelisah. Rasa nelangsa memenuhi relung hati Giselle. Haruskah ia menjadi wanita murahan yang menukarkan tubuhnya dengan uang, pada mantan suaminya?"Tolong berikan saya waktu untuk berpikir sebentar," ujarnya kemudian. Gerald menatapnya tajam. "Putuskan secepat mungkin. Aku tidak suka menunggu." Anggukan kecil diberikan oleh Giselle. Ia pun langsung membungkukkan badannya dan pamit dari sana.Tubuh kurusnya gemetar saat meninggalkan ruangan CEO. Air mat
"Nyonya, nyawa putri anda bisa tidak tertolong..."Tubuh Giselle Marjorie menegang seketika. Sepasang matanya berkaca-kaca mendengar apa yang dikatakan oleh dokter."Tolong berikan yang terbaik untuk anak saya, dok. Saya mohon..." pinta Giselle, suaranya bergetar menahan tangis.Sambil menghindari tatapan sayu Giselle, dokter itu mengangkat stetoskopnya, lantas menarik nafas panjang."Maaf, Nyonya, kami tidak bisa bertindak lebih jauh sebelum tunggakan dilunasi," ucap sang dokter.Giselle menarik jas dokter tersebut seraya berlutut, "Saya akan berusaha melunasi semua biaya pengobatannya, saya berjanji!"Dokter itu tampak kelabakan. Ia membantu Giselle untuk berdiri dengan susah payah, lalu meminta maaf karena tidak bisa melakukan tindakan apapun saat ini.Giselle tertunduk dengan bahu terkulai di lorong rumah sakit begitu dokter pamit pergi. Air matanya berdesakan di pelupuk mata mengiringi kepedihan di hatinya.Biaya pengobatan yang menunggak itu hampir menyentuh lima ratus juta. Dar