Sebuah mobil berwarna merah tampak berhenti di depan gedung perusahaan milik Gerald. Sosok wanita cantik dengan balutan dress berwarna putih turun dari dalam mobil. Seperti biasa, Laura dengan fashion glamornya berjalan dengan langkah percaya diri memasuki gedung."Selamat siang, Bu Laura," sapa seorang penjaga yang sudah hafal dengannya. Laura hanya menatapnya sekilas dan berjalan masuk. Semua orang di sana menyapa Laura dengan begitu sopan. Laura mencari Gerald di ruang kerjanya. Tetapi ruangan itu kosong tidak ada siapapun. "Apa dia begitu sibuk?" gumam Laura sambil menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. "Semua pesanku sejak beberapa hari yang lalu tidak pernah dibalas." Wanita itu kembali turun ke lantai tiga, lalu masuk ke dalam ruang staff. Semua karyawan di sana yang tampak sibuk membicarakan sesuatu terkejut dengan kedatangannya. "Bu Laura, selamat siang." Semua orang di sana menatap Laura yang masih tampak cuek. "Di mana Pak Gerald?" tanya Laura me
Usai meeting seharian, sore ini Gerald pulang dengan wajah lelah. Laki-laki berbalut tuxedo hitam itu melangkah keluar dari dalam mobil begitu tiba di pekarangan rumahnya.Kening Gerald mengerut saat ia melihat mobil berwarna putih di pekarangan rumahnya saat ini. "Sepertinya Tuan dan Nyonya besar ada di sini, Tuan," ujar Sergio. Gerald tidak menjawabnya, melainkan ia segera bergegas masuk ke dalam rumah. Dan benar saja, di sana ada ibunya yang duduk di ruang tamu menunggunya entah sejak kapan. "Mama," sapa Gerald berjalan mendekat. "Kenapa Mama ke sini tanpa mengabariku lebih dulu? Papa mana?" Wanita dengan pakaian berwarna merah dan glamor itu menatap putranya dengan lekat. Marisa menghela napasnya pelan. "Mama ke sini hanya dengan sopir. Mama sengaja ingin menemuimu dan bertanya sesuatu padamu, Gerald," ujar Marisa sambil membuka kipas kain di tangannya. Gerald melepaskan tuxedo hitamnya dan duduk di hadapan sang Mama. Melihat ekspresi dingin Mamanya kali ini, ia mulai meras
Hujan turun sore ini, Giselle tidak bisa langsung pulang. Wanita itu meneduh di sebuah halte bus yang berada di depan gedung kantornya. Sesekali Giselle menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Pasti sore ini Elodie sudah menunggunya, karena Giselle berjanji akan pulang cepat. "Ya Tuhan, kumohon segera redakan hujan ini. Kasihan Elodie pasti menungguku," gumam Giselle sambil meremas jemari tangannya. Hujan turun semakin deras, Giselle hanya bisa pasrah dan tidak berhenti untuk terus berdoa. Sampai akhirnya dari arah kiri, sebuah mobil berwarna merah melaju dan berhenti tepat di hadapan Giselle. Giselle mengerjapkan kedua matanya dan memperhatikan siapa orang yang berhenti di depannya saat ini. Begitu pintu mobil terbuka, Giselle terkesiap saat ia melihat Dean—laki-laki yang ia temui saat meeting bersama Gerald kemarin, kini muncul kembali di hadapannya. "Pak Dean," ucap Giselle lirih. Laki-laki dengan balutan kemeja putih berdasi navy itu berjalan ke arahnya
Pukul delapan malam, Giselle mendatangi kediaman Gerald. Giselle segera pergi setelah ia menidurkan Elodie di rumah sakit. Kini, Giselle sudah sampai di kediaman pria itu. Rumah berlantai dua yang megah dan mewah, berdiri kokoh di atas tanah perumahan para konglomerat di kota Luinz. Giselle berjalan ke arah teras dan menekan bell pintu rumah itu. Tak lama, pintu pun terbuka dan tampak seorang pelayan yang menyambutnya. "Nona mencari siapa?" tanya wanita itu. "Saya asisten Pak Gerald di kantor," jawab Giselle. "Apa Pak Gerald ada?" "Oh, ada. Silakan masuk."Giselle melangkah masuk ke dalam rumah itu. Ia duduk di sofa ruang tamu dan diam menunggu. Hingga terdengar suara langkah kaki dari arah tangga. Giselle menoleh dan melihat sosok Gerald yang menuruni anak tangga. Laki-laki tampan itu tampak segar dan rapi dengan memakai sweater hitam berlengan panjang dan celana bahan hitam. Sebuah rasa rindu tiba-tiba berlabuh di hati Giselle. Dulu, ia sangat menyukai Gerald yang mengenakan
Tengah malam Giselle kembali ke rumah sakit. Wanita itu berjalan tergesa-gesa di lorong yang sudah sangat sepi. Saat sampai di depan kamar inap Elodie, Giselle tiba-tiba menghentikan langkahnya saat ia sedikit membuka pintu kamar itu. Giselle melihat Elodie yang terbangun, putrinya tampak bermain dan berbicara dengan dua bonekanya. "Tuan beruang punya Papa, tidak? Kalau Elodie tidak tahu Papanya Elodie ada di mana," ujar anak itu dengan suara kecilnya. "Tuan kelinci sama seperti Elodie, Tuan Kelinci tidak punya Papa, ya?" Anak itu mendengus pelan dan mengucek kedua matanya. Jari telunjuknya yang mungil menekan hidung boneka beruang cokelat miliknya dan memeluknya erat. "Elodie ingin bertemu Papa. Emm ... Papanya Elodie seperti apa? Tapi Elodie sudah punya Mama, Elodie saaayang Mama!" seru anak itu tersenyum menatap ke arah jendela."Mama, Mama ... oh Mama, nanana..." Anak itu bernyanyi-nyanyi kecil dan mengangkat bonekanya di udara. Elodie kembali berbaring dan menatap boneka ber
Sejak petang tadi hingga pagi ini Giselle dibuat khawatir oleh putrinya. Elodie tiba-tiba bangun dan menangis mengeluh perutnya kembali sakit. Giselle tak peduli dengan jarum jam yang sudah menunjukkan pukul delapan pagi dan ia sudah membuat janji untuk menyelesaikan pekerjaannya, tapi kini masih di rumah sakit menjaga Elodie yang berbaring merengek-rengek saat dokter memeriksanya. "Bagaimana, dok? Apakah sakitnya kembali serius?" tanya Giselle dengan sorot matanya yang cemas. Dokter laki-laki itu memperhatikan Giselle dengan tatapan sendu. "Tidak, Nyonya. Untuk saat ini, sakitnya masih datang dan pergi. Tidak bisa kalau rasa sakitnya langsung hilang begitu saja," ujarnya. Raut wajah Giselle benar-benar berubah sedih. Wanita itu mengusap kening Elodie, putrinya meringkuk memeluk lengannya sambil terisak-isak kecil. "Elodie mau pulang, Mama! Elodie tidak mau disuntik lagi!" pekik Elodie marah di sisa-sisa tangisnya. "Om dokter nakal! Tangan Elodie disuntik terus!" "Ssstttt ... t
Siang ini, Giselle pergi berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari anaknya karena kebutuhan bulanan Elodie sudah hampir habis.Kini, Giselle berada di sebuah pusat perbelanjaan dan tengah berdiri di depan deretan rak berisi susu formula untuk balita. "Susu formula Elodie tinggal sedikit, sepertinya aku harus membeli dua box untuk berjaga-jaga," ucap Giselle mengambil dua box susu formula rasa cokelat di depannya. Wanita itu berjalan menuju ke lantai atas. Perhatian Giselle tertuju pada arena permainan anak-anak di depan sana. Hatinya begitu nelangsa saat ia melihat anak-anak seusia Elodie bisa menghabiskan waktunya dengan bermain dan tertawa ceria. Sedangkan Elodie harus berjuang dengan penyakit keras yang dia derita. Giselle tertunduk sedih. "Semoga kau cepat sembuh, Sayang." Setelah itu, Giselle bergegas masuk ke dalam sebuah toko pakaian. Gisella berniat membelikan baju hangat untuk putri kesayangannya, karena sebentar lagi akan memasuki musim dingin. Di tempat yang sama, tampak
"Sayang, ini Om Dean, Nak. Temannya Mama. Om Dean ini bukan Papanya Elodie." Giselle berusaha menjelaskan pada si kecil yang kini duduk di pangkuan Dean dan menatap wajah Dean dengan pandangan polosnya. Tetapi anak perempuan itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan kembali mendusal dalam pelukan Dean. "Ini Papanya Elodie, Mama! Mama tidak boleh nakal!" pekik anak itu menjerit dan marah pada Mamanya. "Bukan Om. Ini Papa!" Giselle menarik napasnya panjang, raut wajah terlihat lesu. Elodie tampak nyaman dengan Dean dan anak itu sejak tadi memeluknya, tak mau lepas sedetikpun. Berkali-kali Elodie mengatakan pada Dean kalau dia sangat merindukan Papanya. Dean memperhatikan air muka Giselle yang terlihat sedih dan susah. Laki-laki itu hanya bisa menerka apa yang Giselle pikirkan saat ini. "Tidak apa-apa, Giselle. Aku tidak keberatan kalau Elodie memanggilku Papa," ujar Dean mengusap pundak Giselle. “Aku sama sekali tidak mempermasalahkan hal ini. Jangan tidak merasa tidak enak seperti
"Kenapa? Kaget melihatku di sini?!" Marisa menatap tajam pada Giselle yang berdiri mematung di hadapannya. Giselle langsung menundukkan kepalanya. Jemari tangannya terasa kaku dan mengepal meremas rok hitam selutut yang ia pakai. Wanita tua ini, satu-satunya orang yang membuat hidup Giselle menjadi sangat menderita dan kehilangan orang yang sangat ia cintai. "Kenapa Nyonya ingin bertemu dengan saya?" tanya Giselle kembali menatap Marisa. Marisa tersenyum sinis. "Kau masih berani bertanya seperti itu setelah apa yang kau lakukan pada anakku, heh?!" serunya. "Apa maksud Nyonya?" Giselle benar-benar tidak paham. Marisa maju satu langkah mendekati Giselle dan menatapnya dengan tatapan jijik pada Giselle. "Kau berusaha menggoda Gerald lagi, bukan?" tanyanya. "Lancang sekali kau, Giselle! Kau pikir dirimu ini siapa? Kau sudah menjadi sampah di keluargaku, kau sudah dibuang oleh putraku, berhenti menggoda Gerald dan bermimpi kalau aku akan membiarkan wanita miskin dan hina sepertimu
Rasa sakit hati dua hari yang lalu membekas dalam hati Laura setelah ia melihat Gerald dan Giselle bermesraan di kantor. Wanita dua puluh delapan tahun itu tidak segan mendatangi kediaman Keluarga Gilbert pagi ini dengan penuh kekecewaan. Laura mengadukan semuanya pada Marisa, karena ia tahu kalau Mamanya Gerald sangat membenci Giselle. "Saya benar-benar tidak menyangka kalau Gerald terus mengundur waktu pernikahan ternyata karena Giselle, Tante. Saya benar-benar kecewa pada Gerald,” ungkap Laura dengan wajah tertunduk dan air matanya yang mengalir. Marisa menatapnya tajam dan tak percaya. "A-apa?! Karena Giselle?!" pekiknya. "Bagaimana mungkin, Laura?!" Laura semakin tertunduk. "Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri kalau Giselle dan Gerald bermesraan di lorong kantor di lantai lima belas. Giselle memeluk Gerald dengan erat dan ... saat saya ke sana, sepertinya mereka baru saja berciuman." Laura menatap kedua orang tua Gerald yang kini mendengarkannya secara saksama. "B
Setelah hasil pemeriksaan keluar, Giselle merasa lega dan senang karena Elodie sudah membaik, meskipun belum seratus persen sembuh dan memerlukan pemeriksaan kesehatan tiap satu minggu sekali. Pagi ini, dokter mengizinkan untuk Elodie dibawa pulang. Elodie sangat gembira, apalagi Dean yang menjemput mereka dan mengajaknya pulang bersama. "Sekarang Elodie sudah sembuh. Anak pintar tidak boleh sakit-sakit lagi ya, Sayang," ujar Dean mengusap pipi gembil Elodie. Anak perempuan itu mengangguk dalam pelukannya dan merengkuh leher Dean dengan erat. Sedangkan Giselle berjalan di samping Dean membawa dua tas berukuran besar dan kecil, berisi pakaian dan beberapa barang-barang milik Elodie. "Sudah tidak ada yang tertinggal, kan?" tanya Dean pada Giselle."Tidak ada, Dean. Semuanya sudah aku rapikan," jawab wanita itu. "Baguslah. Ayo ... aku akan mengantarkan kalian pulang," ujar Dean. Giselle menatapnya sekilas. "Dean, sebenarnya aku dan Elodie bisa pulang dengan taksi. Kau pasti hari i
Hari ini Giselle sudah kembali bekerja setelah seharian kemarin dia mengambil cuti.Giselle juga sudah menjelaskan pada Gerald kalau kemarin ia ada kepentingan yang tidak bisa dtinggalkan. Tapi Gerald tidak mempedulikan hal itu. Di dalam ruangan meeting, Giselle menata beberapa berkas-berkas penting. "Nona Giselle, berkas dari perusahaan saya, saya taruh di sebelah sini," ujar seorang laki-laki berambut putih pada Giselle. "Iya, Tuan Darren. Saya akan merapikannya," ujar Giselle dengan ramah. Giselle meletakkan tumpukan berkas di meja yang berada di hadapan Gerald. "Semuanya sudah saya kumpulkan, Pak," ujarnya. "Letakkan di sini dulu," ujar Gerald dengan dingin seperti biasa. Ruangan itu pun kembali sunyi saat satu persatu anggota meeting berjalan keluar meninggalkan ruangan tersebut. Giselle duduk di hadapan Gerald sambil membuka laptopnya. Baru saja Giselle fokus beberapa menit, deringan ponselnya menyita perhatiannya dan juga Gerald. Panggilan dari rumah sakit itu membuat
Di sela rasa kesal yang kini Gerald rasakan karena Giselle yang tidak datang dan tidak kunjung menjawab panggilannya, tiba-tiba pintu ruangannya pun terbuka. Muncul sosok Dean berjalan masuk ke arah mejanya sambil membawa beberapa berkas yang akan mereka bahas untuk meeting pagi ini. Gerald tak peduli dengan kehadiran Dean saat ini. Ia masih berusaha menghubungi Giselle lagi dan lagi. "Siapa yang kau hubungi? Ada apa dengan ekspresimu yang seperti itu?" tanya Dean. "Bukan urusanmu," jawab Gerald. "Giselle?" Dean langsung menebak dengan tepat. Gerald menatapnya dengan tatapan benci. Ya! Dia tidak suka pada Dean yang terlalu ikut campur, bahkan dia yang beraninya berdebat dengannya hanya karena Giselle. Helaan napas terdengar dari bibir Dean, ia duduk menyilangkan kakinya dan menatap Gerald dengan sama dinginnya. "Apa kau tidak sadar, Gerald? Semua hal yang kau lakukan pada Giselle sangat keterlaluan!" seru Dean jujur. "Tidak ada atasan di luar sana yang memberikan waktu kerja s
Giselle berjalan pelan di lorong rumah sakit, wajahnya sembab dan air matanya masih menetes bila ia teringat perlakukan Gerald padanya. Ia tidak bisa membayangkan tangisan Elodie sebentar lagi, ini sudah terlalu malam untuk mencari makanan yang Elodie minta tadi. "Ya Tuhan ... bagaimana kalau anakku marah?" lirih Giselle mengusap wajahnya. Wanita itu melangkah gontai menuju kamar Elodie. Dari pintu kamar yang terbuka, Giselle berdiri di sana dan terpaku menatap sosok Dean yang berada di dalam bersama Elodie. Elodie tampak senang, anaknya yang kini memakan cake di tangannya dan terlihat sibuk dengan buku-buku gambar yang kemungkinan Dean bawakan untuknya, sambil tersenyum cerah ceria. Dean, laki-laki berhati malaikat itu membuat Giselle tidak bisa menghindarinya. "Mama..." Suara kecil Elodie menyandarkan lamunan Giselle. Dean pun menoleh ke belakang dan langsung beranjak dari duduknya mendekati Giselle di ambang pintu, berdiri dengan mata sembab berkaca-kaca. "Giselle, kau dari
Tidak seperti yang Giselle pikiran, kini Gerald mengajaknya ke sebuah rumah makan yang berada di hotel bintang lima. Laki-laki itu masih menarik tangannya dan memilih meja makan yang tepat untuknya. "Duduk!" Gerald melepaskan tangan Giselle dan memerintahnya untuk duduk. Giselle langsung duduk dan memangku paper bag yang ia bawa. Wanita itu melayangkan tatapan kesal pada Gerald. "Kenapa Pak Gerald mengajak saya ke sini?" tanya Giselle menahan geram. "Temani aku makan malam," jawab Gerald, ia menyerahkan buku menu pada Giselle. "Pilih makanan apapun yang kau kau mau." Giselle menggeleng. "Pak Gerald tidak perlu repot-repot, saya tidak lapar. Terima kasih." Alih-alih Gerald mengiyakannya, laki-laki itu malah tertawa sumbang sambil menatap Giselle dengan begitu rendahnya. "Kau tidak perlu sungkan, kapan lagi kau bisa memakan makanan mahal setelah berpisah denganku?" ujar Gerald. "Bukankah hidupmu sekarang sangat susah?" Gerald menatap buku menu di hadapan Giselle dan ia menunjuk
Malam ini Gerald mendatangi sebuah restoran mewah milik keluarganya yang berada di tengah-tengah kota Luinz. Ia datang bersama Laura. Kedua orang tua Gerald sudah menunggu sejak beberapa menit yang lalu. Kedatangan mereka berdua disambut dengan hangat oleh Marisa dan Charles. "Datang juga akhirnya kalian berdua," ujar Marisa tersenyum. "Tentu saja kami pasti datang, Tante. Maaf kalau sudah membuat Tante dan Om menunggu," ujar Laura, lalu memeluk Marisa. "Iya Laura, tidak masalah. Ayo, silakan duduk." Laura langsung duduk di samping Gerald. Ekspresi dingin Gerald tidak menunjukkan tiada rasa bersemangat sedikitpun dalam dirinya untuk mengikuti berjalannya acara makan ini. Melihat raut dingin wajah Gerald, Charles—Papanya pun berdehem pelan. Gerald langsung meliriknya dengan sorot mata yang begitu tenang. "Bagaimana dengan kantormu yang baru, Gerald? Papa dengar kau mengalami peningkatan yang cukup baik akhir-akhir ini?" tanya Charles, di sela para pelayan menyiapkan menu makan
Pagi ini, sebelum Giselle berangkat bekerja, wanita itu menemui Dokter Benny untuk menanyakan seputar kondisi dan perkembangan kesehatan Elodie. Di dalam sebuah ruangan bernuansa putih, kini Giselle duduk berhadapan dengan dokter laki-laki yang sudah berambut putih tersebut. "Bagaimana dengan perkembangan kondisi Elodie, dok?" tanya Giselle dengan raut wajah yang menanti-nanti. Dokter Benny tersenyum setelah membaca surat hasil pemeriksaan. "Kondisi Elodie sudah cukup membaik, Nyonya. Sudah saya amati beberapa hari ini, Elodie juga sangat ceria, gembira, nafsu makannya juga sudah stabil. Dan saat saya bertanya tentang sakitnya, dia tidak pernah mengeluhkan lagi." Giselle tersenyum lega. "Syukurlah, dok. Saya senang mendengarnya," ujar wanita muda itu berkaca-kaca. Anggukan diberikan oleh Dokter Benny, ia pun juga tersenyum. "Mungkin ini semua bentuk dari rasa senangnya karena Papanya sudah pulang. Jadi, Elodie sedikit melupakan rasa sakitnya dan mengisi kejenuhannya dengan kedat