“Bu, gimana kalau Laila pulang ke rumah aja. Biar Naya juga lebih aman di sana. Laila takut kalau di sini Mas Bimo pasti terus dateng dan bikin ribut.”“Kalua kamu pulang, Ibu sama Anda gak bisa ngawasin kalian, lagian Bimo nanti makin seenaknya kalau tau kamu cuma berdua sama Naya. Pasti dia tau kalau kalian pulang.”“Terus Laila harus gimana, Bu? Laila gak mau Naya kenapa-kenapa, gak enak juga sama Mas Gio.”“Bu, Rossa sama Mas Gio pamit pulang.” Tiba-tiba Rossa dan Gio menghampiri Aminah dan Laila yang sedang berada di dapur.“Loh, Nak Gio mau pulang ke kosan Beben?” tanya Aminah.“Gak, Bu, Mas Gio mau Rossa ajak pulang ke rumah. Gak enak ngerepotin itu terus, gak enak juga sama tetangga.”“Makan malam dulu, ya, ini udah disiapin,” ajak Aminah.Mereka pun menikamati makan malam bersama sebelum Rossa dan Gio pulang. di kursi sebelah kanan ada Aminah, Rossa dan Andara, sedangkan di sebelah kiri, Naya tidak mau lepas dari Gio. Laila sudah berusaha membujuk anak itu, tetapi ia tetap ti
Satu minggu pasca perceraian, Laila masih tinggal di rumah Aminah demi keamanan dia dan Naya. Siapa yang bisa menduga, jika sewaktu-waktu Bimo datang ke rumah Laila dan merebut Naya atau berbuat kasar padanya. Maka dari itu, Aminah dan Andara tidak setujuh saat Laila mengatakan ingin kembali ke rumahnya sendiri. Mereka tidak ingin terjadi hal buruk menimpa Laila dan Naya lagi. “Apa rencana Kakak selanjutnya?” tanya Andara sambil mengoles selai cokelat ke rotinya.“Kakak mau jualan lagi.”“Di stasiun?” tanya Aminah yang dijawab anggukan oleh Laila.“Kanapa gak buka lapak di depan rumah kita aja atau sewa kedai,” imbuh Andara.“Kakak gak ada modal. Uang Kakak cukup buat modal kue aja, untuk sewa tempat Kakak belum punya.”“Andara ada tabungan kalau Kakak mau pake,” tawar Andara sambil melahap roti.“Ibu takut Bimo bisa aja ke sana dan membuat keributan,” sela Aminah. “Anak lebih aman jika kamu jualan di rumah aja,” sambungnya.“Bener kata Ibu, Naya juga bisa terkontrol, Kak. Kakak jug
“Ibu Cuma mau ada yang bisa jaga kalian,” jawab Aminah.“Laila punya Ibu dan Andara,” imbuh Laila.“Ibu gak selamanya hidup dan adikmu juga akan punya keluarga sendiri. Naya butuh kasih sayang seorang ayah, juga pelindung. Kamu gak bisa selamanya sendiri dan bergantung pada Ibu dan Andara,” terang Aminah.“Laila baru 1 minggu bercerai, Bu, tapi Ibu sudah mikir sejauh itu. Bahkan sakit yang Laila rasakan masih sangat jelas, Bu.” Suara Laila bergetar. Ia merasa ibunya egois dan tidak memikirkan perasaannya.Luka trauma yang masih membekas atas perlakuan Bimo dan orang tuanya sangat jelas terasa bagi Laila. Hampir setiap malam ia bermimpi buruk dan tidak bisa tidur, untuk keluar rumah pun Laila takut. Ia takut dengan pandangan orang-orang saat melihatnya lewat, seolah-olah mata mereka berkata “dia sudah janda, pasti karena mertuanya gak setuju, pasti terlalu merongrong suami makanya di cerai” dan banyak pikiran-pikiran buruk mengisi kepala Laila, padahal mereka tidak tahu apa yang terjad
“Bikin malu! Bisa-bisanya kalian melakukan hal seperti itu!” bentak Hermawan. “Kamu tahu, ‘kan, Ma, kalau aku sedang dalam pengawasan? Kamu dan Bimo malah bikin ulah. Bukannya bantu aku supaya gak terlibat masalah apapun, kalian malah buat aku semakin sulit. Ibu sama anak, sama aja. Tukang bikin onar.”“Pa, jangan, sok, suci kamu! Kamu pikir, aku gak tau apa yang kamu lakuin? Kamu sama aja kayak Pak Kades. Apa yang aku lakuin sama Bimo ini juga demi keluarga kita. Aku berusaha agar Bimo dan Laila gak cerai. Siapa yang akan menopang kebutuhan kita kalau kamu ketahuan korupsi?” Ratna melotot ke arah Hermawan. “Dan sekarang semuanya kacau gara-gara Andara dan temannya itu. Kamu malah nyalahin aku!”“Gak usah nyalahin orang lain, Ma. Kalau kamu gak serakah dan egois, semua gak akan seperti ini. Apa yang aku lakukan juga karena demi memenuhi semua keinginan kamu. Berlian, arisan, botox, dan semua yang gak penting itu. Aku capek nurutin semua maunya kamu!”“Jadi kamu nyalahin aku, Pa? Gara-
“Saya ingin mengajak Naya jalan-jalan,” ucap Gio. Di tangannya ada boneka beruang berukuran besar dan sebuah kotak cokelat. Laila mengajak Gio untuk masuk dan menyuruhnya untuk menunggu sebentar.Beberapa menit kemudian Laila keluar bersama Naya. Gadis itu langsung berlari ke pelukan Gio. Melihat boneka beruang dan cokelat yang dibawa pria itu, Naya langsung menghujani Gio dengan kecupan di pipi dan pelukan hangat.“Terima kasih, Om,” imbuh Naya yang direspon senyuman oleh Gio.Laila menatap kemesraan mereka berdua, ada rasa haru dan bahagia melihat puti kecilnya jauh lebih baik dari keadaan sebelumnya. Naya sudah jarang tantrum dan mulai mau bersosialisasi lagi. Kehadiran Gio sangat berpengaruh akan kesehatan mental Naya. Entah apa yang di rasakan oleh Laila saat ini, tiba-tiba timbul perasaan yang ia sendiri tidak mengerti. Setiap kali melihat Gio, jantungnya berdebar lebih cepat dan ia merasa gugup saat berhadapan dengan pria dengan kaki jenjang itu.“Tapi nanti sore Naya mau jalan
"Ada apa, Mas?" tanya Laila."Gak apa-apa," jawab Gio gelagapan. "Apa yang kamu dengar?" tanya Gio tiba-tiba.Laila mengernyitkan dahi dengan pandangan bingung, "Seperti sesorang sedang menyebut namaku," jawab Laila tidak acuh, kemudian sibuk dengan makananya."Ternyata benar Kak Laila dan Mas Gio." Tiba-tiba Andara berdiri di dekat meja mereka. Keduanya kompak menoleh ke arah Andara."Kalian sedang apa?" tanya Gio melihat Andara bersama Rossa."Kami baru saja mau makan, lalu Rossa melihat Naya. Kami memanggil Kak Laila, tapi sepertinya kakakku ini sedang menikmati kebebasannya sampai tidak mendengar panggilan Rossa," jelas Andara diikuti anggukan Rossa.Gio menghela napas lega. Ia pikir Laila bisa mendengar isi hatinya, ternyata samar-samar wanita dengan balutan dress sage itu mendengar panggilan Rossa. Nyaris saja jantung Gio keluar dari tempatnya. Bagaiman jika Laila punya kekuatan bisa mendengar suara hati, ia akan sangat malu karena ketahuan jika selama ini menyimpan rasa pada wa
Ada getaran saat gadis kecil itu memanggil Bimo. Rasa rindu pada sang ayah hanya bisa ia simpan. Meskipun Gio selalu ada dan berusaha menggantikan peran Bimo, perasaan rindu akan kehadiran ayah kandung tetap ada. Naya hanya bisa memandang punggung Bimo dari jauh saat pria itu pergi. Sedangkan wanita yang bersama Bimo, terlihat berlari mengejat sambil melontarkan umpatan kasar kepada Bimo."Sayang, ayo, kita pulang," ajak Laila. Naya hanya diam dan menurut.Sepanjang jalan gadis itu hanya diam, tidak seceriah sebelumnya. Gio menggandeng tangan kecil itu sambil bertanya apa lagi yang ia mau, tetapi Naya hanya menggeleng. Lalu Gio berinisiatif mengajaknya ke istana boneka. Di sana banyak berbagai jenis boneka yang lucu, mulai beruang berukuran kecil sampai yang paling besar. Melihat banyak benda yang disukainya, Naya langsung tersenyum dan berlari menghampiri beberapa boneka, untuk saat itu Gio mampu mengusir kesedihan Naya.Laila hanya mengekor dari belakang. Sama halnya dengan Naya, ia
Perjalanan hidup banyak mengajarkan Laila arti bertahan. Banyak hal yang ia dapatkan dari permasalahannya dengan Bimo. Perceraian, khianat, sakit hati, dan kesedihan, dari semuanya itu Laila dapat bangkit dan tahu bahwa hidupnya lebih berharga dibandingkan semua yang pernah ia korbankan untuk Bimo. Perasaan cinta yang terlalu dalam hingga tidak bisa membedakan antara logika dan perasaan membuat Laila tersadar, hidup tidak melulu tentang memberi, tetapi juga harus menerima. Apa yang ia berikan untuk Bimo tidak pernah ada balasan untuknya.Pagi itu, beberapa tetangga membeli sarapan di kedai Laila, seperti biasa mereka akan bergosip tentang segala hal, mulai dari artis yang sedang viral, hingga masalah rumah tangga tetangga mereka. Kali ini salah satu wanita dengan postur tubuh grmpal bertanya pada Laila tentang keluarga Bimo."Maaf, Bu, saya gak tau," jawab Laila."Masa kamu gak tau, sih, La? Kan, Bu Ratna sekarang udah kayak gembel penampilannya, suaminya ketaguan korupsi, belum lagi
Laila...” Suara Gio terdengar lirih, namun cukup jelas dalam keheningan yang menegangkan.“Mas Gio...” Rossa menyentuh pundak pria itu, membuatnya tersentak. Bukan Laila yang memanggilnya, melainkan Rossa. Gadis itu tak menyangka Gio akan terbawa emosi dan menghabisi pria itu begitu cepat.Gio berbalik menatap Rossa, matanya masih menyimpan bara kemarahan yang belum padam.“Singkirkan mereka semua. Kirim mayatnya ke bis mereka,” perintahnya dengan napas berat kepada Jhon, sebelum berjalan melewatinya. Rossa menatap punggung Gio yang perlahan menjauh, lalu mengikuti di belakangnya.Di ruang tengah bangunan itu, Rossa duduk di sofa, sementara Gio berdiri di depan jendela, menatap rintik hujan yang membasahi kaca. Keheningan menyelimuti ruangan, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri.“Mas...,” panggil Rossa pelan.Gio menoleh, dan saat tatapan mereka bertemu, Rossa berdiri, melangkah mendekat, lalu memeluknya erat. Tubuh pria itu bergetar, sebelum akhirnya ia membiarkan air ma
Setelah makan malam, Laila bersiap kembali ke rumah Aminah untuk mengambil perlengkapan mereka. Saat ia hendak masuk ke taksi online yang sudah menunggu di depan rumah Gio, Rossa tiba-tiba melihatnya dan segera menghampiri."Loh, Kak Laila mau ke mana?" tanya Rossa, menghentikan langkah Laila."Kakak mau pulang sebentar. Mau ambil baju Ibu dan perlengkapan Naya.""Udah, gak usah. Semua perlengkapan Naya dan baju ganti udah aku siapin. Kakak gak perlu repot-repot pulang.""Tapi ..."Belum sempat Laila melanjutkan ucapannya, Rossa sudah mendorongnya pelan untuk kembali masuk ke dalam rumah."Maaf, ya, Pak, cancel. Ini untuk Bapak," ujar Rossa sambil menyerahkan selembar uang merah kepada sopir taksi, lalu menunduk meminta maaf sebelum kembali menutup pintu gerbang.Saat itu, Gio keluar dari dalam rumah dan melihat keduanya. "Ada apa?""Kak Laila mau pulang, tapi gak jadi," jawab Rossa dengan santai. "Ya udah, kalau gitu Rossa pamit dulu, ya, Kak.""Kamu mau langsung ke Bandung?" tanya G
"Mau apa lagi Bimo menghubungi?" tanya Gio dengan tatapan tajam.Laila menggigit bibir, jemarinya menggenggam erat ponsel yang baru saja diambil dari tangan Gio. "Aku gak tahu, Mas," jawabnya dengan nada sedikit bergetar. "Gak usah diangkat. Aku tahu dia hanya ingin mengusik kebahagiaanku. Aku sudah tenang saat ini, bersamamu. Aku gak mau dia mengganggu kehidupanku atau pun Naya."Tanpa ragu, Laila menekan tombol matikan panggilan, lalu meletakkan ponsel itu di meja.Gio hanya diam, memperhatikan tindakannya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Ia tahu Laila punya masa lalu yang sulit, tapi hatinya tetap terusik.Tiba-tiba, suara ceria Naya memecah ketegangan di antara mereka. "Bunda, Om Gio mau ajak Naya jalan-jalan ke luar negeri!" serunya penuh antusias.Laila menoleh dengan ekspresi bingung. "Ke luar negeri?"Gio menatapnya dalam-dalam sebelum berkata, "Ayo, menikah."Laila membelalakkan mata. "Mas...?""Lusa, aku harus ke Itali. Ada pekerjaan mendesak di sana. Sebelum pergi, aku
"Horreee…," teriak Naya girang sambil melompat-lompat di atas kasur. "Naya, hati-hati," tegur Laila yang baru saja berbalik menuju pintu. Namun, peringatan itu terlambat. Dalam loncatan terakhirnya, kaki kecil Naya terpeleset dari ujung kasur. Tubuhnya hampir terjatuh ke lantai, tetapi sebelum hal itu terjadi, Gio dengan cepat menangkapnya. "Om Gio!" pekik Naya kaget, matanya membulat. Gio menarik napas lega, mendekap Naya erat dalam pelukannya. "Kamu harus lebih hati-hati, Sayang," ucap Gio lembut sambil mengusap punggung gadis kecil itu. Laila, yang hampir saja panik, segera menghampiri mereka dan menghela napas lega. "Mas, Naya bisa jatuh tadi," ujar Laila dengan nada sedikit khawatir. Gio tersenyum tipis. "Iya, tapi untung Om Gio ada di sini buat menangkap Naya, 'kan?" ujar Gio sambil mecubit manjah hidung Naya.Naya menunduk dengan wajah menyesal. "Maaf, Bunda … Om Gio …." Laila mengusap kepala putrinya. "Gak apa-apa, Sayang. Tapi jangan lompat-lompat lagi, ya?" N
"Bimo? Sedang apa kau di sini?" ujar Gio.Dengan wajah mengibah, Bimo berlutut di samping Gio sambil memegang tangan pria itu. "Aku mohon kembalina Laila dan Naya kepadaku."Melihat tindakan mantan suami Laila itu, Gio yang sedang berbaring langsung duduk dan menarik tangannya dari Bimo. "Apa yang kau lakukan?"Bimo berdiri sambil menangis dan memohon pada Gio untuk bisa bersama dengan Laila dan Naya lagi. Namun, Gio tidak bereaksi."Kenapa aku harus mengembalikan mereka padamu?" tanya Gio dengan tatapan sengit."Aku gak bisa hidup tanpa mereka berdua, tolong kembalikan mereka padaku. Kau bisa mendapatkan wanita yang lebih baik dari Laila.""Untuk apa aku melakukannya, Laila sudah lebih dari cukup untukku. Aku tidak perlu mencari orang lain.""Dia milikku!" ujar Bimo dengan suara yang sedikit meninggi."Lalu, kenapa kau menyia-nyiakannya?""Aku gak pernah ngelakuin itu," elak Bimo."Kau sudah menjadi masa lalunya. Biarkan dia hidup bahagian sekarang. Kau sudah memiliki keluarga baru.
Gio terbangun dengan napas memburu. Mimpi buruk itu datang lagi—kenangan pahit 15 tahun lalu yang merenggut semua kebahagiannya. Ia masih bisa melihat dengan jelas bagaimana kedua orang tuanya meninggal di depan matanya dalam kecelakaan tragis. Bayangan-bayangan itu terus menghantuinya setiap kali ia terlelap. Selama 15 tahun, Gio tidak pernah bisa melupakan malam mengerikan yang menjadikannya yatim piatu. Keringat membasahi tubuhnya. Pendingin udara di kamar ini seakan tak mampu menyejukkan ketakutan yang masih membelenggunya. Saat ia membuka mata, sosok Laila sudah berdiri di sampingnya. Tatapan penuh kekhawatiran menghiasi wajahnya, sementara tangannya yang lembut mengusap keringat di dahi Gio. "Kamu gak apa-apa, Mas? Ada yang sakit?" tanya Laila dengan nada cemas. Gio hanya diam, menatap wajah orang yang kini menjadi cahaya dalam hidupnya. Bayangan kemesraan kedua orang tuanya kembali berkelebat di pikirannya—bagaimana mereka selalu berusaha melindunginya, bagaimana hidup
Istanbul, Turki – 15 Tahun yang Lalu"Akan lebih aman jika kita membawa Gio ke Indonesia. Aku gak mau dia dalam bahaya," ujar Zyan, suaranya tenang tetapi penuh ketegasan. Melinda menatap suaminya dengan cemas. "Tapi, Mas ...."Sebelum Melinda bisa menyelesaikan kalimatnya, Zyan langsung memotong. "Kamu dan Gio akan aman jika bersama kakakmu. Di sini terlalu berbahaya. Aku gak mau terjadi sesuatu pada kalian berdua."Ia berjalan mendekat, kedua tangannya menggenggam pundak Melinda, menatap matanya dalam-dalam. "Kamu yakin, Mas?"Zyan mengangguk tegas. "Aku sudah mengatur semuanya. Tiket pesawat dan rumah di Indonesia sudah aku siapkan. Kakakmu sudah tahu rencana ini, mereka akan menjemput kalian di bandara. Aku sendiri yang akan mengantar kalian ke sana. Setelah semua urusan selesai, aku janji akan menyusul."Melinda menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata. "Mas ..., bisakah kau berhenti dari pekerjaan ini? Aku dan Gio membutuhkanmu."Zyan terdiam sejenak, lalu mengusap pipi
**Dua Hari Setelah Insiden** Sudah dua hari sejak insiden penembakan itu terjadi. Kondisi Gio semakin membaik, meskipun luka tembak di punggungnya masih terasa nyeri sesekali. Setiap kali rasa sakit itu datang, Laila selalu sigap menenangkannya, memastikan Gio tidak terlalu menderita. Siang itu, suasana di dalam ruang VIP rumah sakit terasa tenang. Ruangan yang luas dan nyaman itu dilengkapi dengan berbagai fasilitas. Di sisi kanan, Laila duduk di kursi kecil di dekat tempat tidur Gio, dengan cekatan mengupas buah untuknya. Sementara itu, Andara duduk di sofa di sisi kiri ruangan, sibuk dengan ponselnya. Awalnya, Gio terpejam, mencoba beristirahat. Namun, suara getaran ponsel di atas meja kecil di samping tempat tidurnya membuatnya langsung membuka mata. Dengan cepat, ia meraih ponselnya dan menatap layar. Sebuah pesan masuk dari Jhon. [Jangan sampai polisi terlibat.] balas Gio singkat, sebelum meletakkan kembali ponselnya. Tatapannya kembali menajam, pikirannya penuh dengan
“Dokter, sampai kapan dia akan tetap di ICU?” tanya Laila saat dokter keluar dari ruang ICU. Suaranya bergetar, mencerminkan kekhawatiran yang tak lagi bisa ia sembunyikan. Pria yang memakai jas outih itu menghela napas sejenak sebelum menjawab, “Kondisi pasien masih belum stabil. Operasinya memang berjalan lancar, tapi pasien kehilangan banyak darah. Kami masih memantau respons tubuhnya.” Laila mengepalkan tangan, berusaha menahan perasaan yang bergemuruh di dada. “Ini sudah hampir 24 jam… Kenapa dia belum sadar juga?” ucap Laila pelak, nyaris berbisik, tapi lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada dokter. Dokter menatapnya penuh empati. “Pasien masih dalam fase pemulihan kritis. Setiap tubuh memiliki waktunya sendiri untuk bangun. Yang bisa kita lakukan sekarang adalah menunggu dan berdoa.” Laila menggigit bi bir, matanya kembali tertuju pada Gio yang masih terbaring diam. Harapan dan ketakutan bercampur dalam pikirannya.***Sebuah rumah mewah bergaya modern berdiri meg