Suara pintu yang membentur tembok menimbulkan getar. Laila yang baru terlelap beberapa menit langsung terperanjat. Ia melihat jam di dinding, jarumnya masih menunjukkan pukul 22.15. Laila langsung bangkit dan menuju ke luar saat namanya dipanggil beberapa kali.
“Laila!” pekik laki-laki itu. Laila berjalan tergopoh-gopoh ke sumber suara. Ia mencium bau menyengat dari tubuh laki-laki itu, “Mas, kamu mabuk” Laki-laki yang masih berdiri sempoyongan di depan meja makan itu mendorong tubuh Laila hingga membentur sudut lemari. Wanita itu sedikit meringis saat bahunya terbentur lemari. “Aku lapar, siapkan makanan!” titah Bimo, suami Laila. Laila masih bergeming di tempatnya. “Hei! Kamu denger gak, sih, aku bilang siapkan makan! Aku lapar!” teriak Bimo. “Tidak ada lauk dan nasi, Mas,” jawab Laila. Bimo menendang kursi yang ada di hadapannya, “Kamu gak tinggali aku nasi dan lauk?” Laki-laki yang dipengaruhi alkohol itu mendekati Laila dan mencengkeram wajah istrinya dengan kasar. “Kamu mau aku kelaparan? Sudah berani kamu sama aku sekarang, ya!” Bimo melirik ke arah dapur yang masih sedikit berantakan, “kamu habis buat makanan, ‘kan? Cepat siapkan untuk aku!” titah Bimo dengan tatapan tajam. “Gak ada!” benta Laila sambil sedikit meringis karena menahan sakit oleh cengkeraman sang suami. “Cepat keluarkan makanan yang kau sembunyikan!” Bimo mendorong tubuh Laila hingga terjatuh ke lantai. “Gak ada makanan! Kamu lupa atau pura-pura lupa? Pagi tadi sebelum pergi bekerja, aku minta uang untuk beli beras, tapi kamu bilang tidak ada dan kamu akan berusaha mencari uang untuk makan hari ini. Nyatanya, kamu pulang dalam keadaan mabuk dan marah-marah,” sungut Laila. “Istri kurang ajar!” Bimo menjambak Laila hingga kepalanya mendongak, “aku ini mencari uang di luar sana!” “Dengan cara berjudi?!” bentak Laila. “Aku tidak sudi makan dari hasil uang harammu!” Bimo yang dipengaruhi oleh minuman keras itu langsung kalap mendengar ucapan Laila. Ia menendang dan menampar istrinya. “Dasar istri si*lan, pantas saja tadi aku kalah. Kamu mendoakan hal jelek kepadaku, harusnya kamu doakan aku agar menang judi dan bisa memberimu uang!” ujar Bimo. Wanita itu meringis menahankan sakit akibat tendangan dan tamparan Bimo. Tanpa sadar air matanya jatuh, ia merasakan perih di sudut bibir. Ada sedikit cairan kental berwarna merah keluar dari sudut bibirnya. Bimo berjalan sempoyongan ke arah dapur, membuka lemari makan dan kulkas untuk mencari kue yang dibuat Laila. Semua piring dan peralatan dapur ia lempar ke sembarang arah. Hingga ia menemukan makanan yang dicarinya. Laila bangkit dan mendekati Bimo, “Mas, jangan! Itu untuk aku jualan besok,” ujar Laila merebut donat yang berada di tangan sang suami. “Jangan pelit sama suami sendiri!” Bimo mendorong Laila dan memakan donat tersebut. Laila menarik lengan Bimo, lagi-lagi laki-laki itu mendorong sang istri kemudian menendangnya. Tidak tinggal diam, Laila mengambil baskom yang berserakan di lantai lalu melemparnya ke arah Bimo. Baskom itu tepat mengenai kepala laki-laki pemabuk itu. Bimo menatap sengit ke arah Laila. Wajahnya merah padam karena emosi yang semakin memuncak. Cepat ia menarik Laila dan menyeretnya. Beberapa kali tamparan dan tendangan mendarat di wajah dan tubuh Laila. Wanita itu memberontak dengan berusaha menendang benda berharga suaminya. Dengan beringas, Laila membalas kekerasan yang dilakukan oleh Bimo kepadanya. Bimo menjerit saat benda berharganya ditendang oleh Laila. “Wanita si*lan!” umpat Bimo sambil memegang area intimnya. “Kau pikir, aku akan terus diam? Sudah cukup selama ini aku menderita karena kelakuanmu!” Lail bangkit dan meninggalkan Bimo yang tengah kesakitan. Wanita berkulit kuning langsat dengan lesung pipi itu kembali ke kamar. Ia mengunci pintu dan merebahkan diri di sebelah putri kecilnya yang tertidur lelap. Air matanya membanjiri pipi saat ia memandang malaikat kecil itu. Hampir 6 tahun berumah tangga, Bimo selalu kasar dan juga gemar minum-minuman keras. Ia hanya bisa menangis, hatinya perih mengetahui sifat buruk sang suami. Tidak jarang Laila jadi sasarannya setiap kali sang suami kalah berjudi. "Tunggu saja jika sudah waktunya aku menampakkan siapa diriku, Mas! Jangankan menendang dan memaki, menyentuhku pun kau tak akan berani!" Laila bermonolog sembari menatap penuh kebencian foto pernikahannya dengan Bimo yang terpajang di kamar. Di foto itu ia begitu cantik dengan senyum semringah, berharap hidupnya akan cerah bersama lelaki pilihannya. Namun, nyatanya ia salah. Bibit penyesalan mulai tumbuh setelah enam bulan pernikahan, kala sifat asli Bimo tak mampu lagi disembunyikan. Sebenarnya sangat memungkinkan untuk Laila pergi dan kembali pada lelaki yang jelas mampu memuliakannya, tetapi ia ingin memberikan efek jera yang cantik kepada Bimo dan keluarganya. Air matanya semakin deras saat teringat kejadian pagi itu. Ia ingat betul bagaimana sikap manis Bimo saat hendak pergi bekerja. Ia mengira laki-laki itu sudah berubah dan benar-benar mau bertanggung jawab. *** "Mas, beras habis.” Laila berdiri di ambang pintu. Wanita berambut panjang itu menatap suaminya yang sedang mengikat tali sepatu. Bimo membalas tatapan istrinya dengan sendu, “Sabar, ya, Sayang. Hari ini Mas usahakan dapat uang.” “Aku lelah, Mas!” Laila bersuara lirih karena menahan sesak di dada. “Aku janji ini yang terakhir, Dik, besok aku akan berusaha lagi,” janji Bimo kepada Laila. “Aku bosan, Mas! Selalu itu yang kau janjikan, nyatanya? Aku harus berjuang sendiri!” Suara Laila melengking. Bimo beranjak mencoba memeluk Laila, tetapi ia memberontak. Laki-laki itu menghela napas, ditinggalkannya sang istri yang masih berdiri di ambang pintu, Bimo berangkat ke balai desa, tempat ia mencari nafkah. Laila bergeming melepas kepergian suaminya. Ia hanya bisa berdoa agar ucapan suaminya kali ini terkabul. *** Ternyata doa Laila belum terkabul. Ia harus merasakan lagi sakitnya pukulan dari Bimo. Hal ini bukan kali pertama ia diperlakukan kasar oleh sang suami. Lima bulan pasca pernikahan, sifat asli Bimo mulai tampak. Laki-laki berhidung bangir itu mulai malas bekerja. Ia merasa tidak perlu capek-capek mencari uang karena sang ayah yang merupakan salah satu anggota dewan. Ia tinggal menyebutkan nominal uang, sudah pasti sang ayah akan segera memberinya. Laila yang masih polos dan terlalu bucin tidak mempermasalahkannya. Ia juga saat itu tidak merasa kekurangan karena memiliki penghasilan dari gajinya sebagai staf keuangan di salah satu perusahaan swasta. Selama satu tahun Laila menopang kehidupan rumah tangganya, selama itu pula sang suami hanya ongkang-ongkang kaki dan bekerja sesuai keinginannya saja. Pintu kamar digedor paksa oleh Bimo. Laila yang tengah melamun terlonjak kaget. Anaknya yang berada di sisi kanan pun terkejut karena gedoran pintu yang dilakukan oleh Bimo. Gadis kecil itu menangis, dengan sigap Laila menenangkan putrinya. Namun, gedoran itu semakin kuat. “Laila .... buka pintunya!” teriak Bimo dari luar. “Istri durhaka! Cepat buka pintu, jangan membangkang, kalau tidak aku patahkan kakimu!” “Tidak! Aku tidak akan membiarkan kau masuk!” teriak Laila. Bimo semakin kuat mengedor pintu, ia juga menendangnya berkali-kali agar Laila mau membuka pintu kamar. Hampir 10 menit, pintu akhirnya terbuka secara paksa. Laila memeluk tubuh putrinya sambil menangis. Ia melihat sebuah gunting yang terletak di meja tidak jauh dari tempat tidur. Terpikir olehnya meraih gunting itu untuk membela diri. Kemungkinan buruk bisa saja terjadi jika berhadapan dengan orang mabuk.“Dasar wanita kurang aja!” Bimo menjambak rambut Laila dengan beringas. Tatapannya seperti pedang yang siap menghunus lawan. “Sudah berani melawan kau sekarang, ya!” ujar Bimo.Kepala Laila mendongak akibat jambakan suaminya. Anak yang tadi dalam pelukannya, menangis kencang melihat pertikaian keduanya. Gunting yang tadi ia lihat, sudah ia sembunyikan di balik bantal yang berada disampingnya. Laila merogoh bawah bantal, mengambil benda tajam itu. Saat laki-laki dihadapannya hendak memukul, Laila mengayunkan gunting itu ke arah tangannya.Bimo menejerit, lengannya tergores. “Dasar jal*ang!” umpat Bimo.Laila berlari keluar kamar menuju dapur. Di sana terdapat ruangan kosong yang digunakan untuk menyimpan barang tidak terpakai dan pakaian kering setelah di jemur. Laila masuk ke sana dan mengunci dari dalam. Ruangan itu gelap, hanya ada penerangan dari cela fentilasi. Ia bersembunyi di balik lemari plastik dekat jendela. Ia juga mendekap mulut sang putri agar suara tangis bocah itu tid
Sampai di depan bangunan sederhana itu, Laila masuk dan menuju kamar. Tidak memedulikan sang mertua yang masih berada di belakangnya. Tiba di kamar, ia melihat Bimo terbaring di tempat tidur dengan santai sambil bermain ponsel. Laila kaget melihat kepala laki-laki itu diperban, tetapi ia tidak peduli. Wanita yang mengenakan dress sebatas lutut itu membuka lemari pakaian dan menuju kamar mandi. Bimo melirik sekilas ke arah Laila, lalu berkata, “Punya nyali juga kamu pulang ke rumah ini?!” Laila hanya diam tidak menanggapi ucapan suaminya. “Untung tidak aku bakar rumah ini,” ujar Bimo santai. Laila menghentikan langkahnya dan menatap Bimo dengan tajam. “Kamu tidak ada hak atas rumah ini, Mas!” jawab Laila sengit. “Kata siapa? Kau istriku, jadi aku berhak atas rumah ini juga!” Bimo bangun dari tempat tidur dan duduk di tepinya, “jangan macam-macam kepadaku. Ingat, kau masih istri sahku!” lanjut Bimo. “Sebentar lagi akan menjadi mantan!” ucap Laila sambil menekankan kata mantan.
Di dapur, Laila menuangkan air ke dalam gelas yang berada di hadapannya. Ia meneguk air tersebut hingga tandas. Wanita dengan mata bulat itu menghela napas, menyenderkan tubuh pada kulkas. Ia menatap lurus dengan pandangan kosong. Hatinya bergemuruh, marah, sedih, kesal jadi satu. Tuhan sedang bermain-main dengan kehidupanku. Aku tidak boleh lemah, aku harus bangkit dan menunjukkan kepada Mas Bimo dan keluarganya bahwa mereka tidak bisa semena-mena padaku. Aku bukan budak yang harus memenuhi hasrat dan kebutuhannya. Aku wanita biasa yang juga butuh kasih sayang dan perhatian. Batin Laila. Tanpa sadar air mata mengalir di pipi mulus Laila. Ia menghapus air mata dan kembali menghela napas. Laila beranjak dari tempatnya menuju kamar Naya. Jam telah menunjukkan pukul 22.00, perlahan Laila membuka pintu kamar. Di sana, sang putri sudah tertidur pulas sambil memeluk boneka beruang. Laila duduk perlahan di samping Naya, dibelainya rambut gadis kecil itu. Derai air mata semakin mengalir der
Ratna keluar dengan muka ditekuk. “Bisa-bisanya mereka bergibah di depanku,” gerutu Ratna sambil menuruni anak tangga yang berada di teras rumah mewah tersebut. Wanita yang mengenakan sepatu berhak 5 centi itu berjalan sambil mengentakkan kakinya, tanpa ia sadar anak tangga yang ia lalui terdapat kulit pisang dan mengakibatkan ia terpeleset hingga terduduk. Ratna menggeram, melihat kiri dan kanan, malu jika sampai teman-temannya melihat, bergegas ia masuk ke mobil yang sejak tadi menunggunya. Tanpa disadari Ratna, beberapa temanya mengintip dari jendela dan tertawa melihat ia terjatuh. Bimo yang menunggu di mobil terkekeh melihat ibunya jatuh. Ia langsung pura-pura memainkan ponsel saat Ratna membuka pintu dan membantingnya dengan keras. Bimo tersentak. “Kenapa Mama terlihat kesal?” tanya Bimo. “Mama gak mau Laila berjualan di stasiun lagi. Mulai besok dia gak boleh lagi berada di sana. Mama malu!” oceh Ratna. “Ada apa, Ma?” “Istri kamu itu bikin Mama malu, semua teman Mama tahu
“Cepat keluar!” Seorang pria berbadan kekar memukul kaca mobil, “jangan kabur kamu! Cepat bayar hutangmu, enak aja abis ngutang gak mau bayar!”Bimo keluar dengan pasrah, hari ini sudah ada beberapa orang yang datang menagih hutang, tidak menutup kemungkinan kalau besok akan ada orang yang datang lagi. Bimo harus mencari cara agar terlepas dari kejaran para preman itu. Namun saat ini ia berada di posisi sulit, meminta kepada orang tuanya sama saja dengan bu*nuh diri. Kedua orang tua Bimo, terutama Ratna, tidak akan percaya jika sang anak terlilit banyak hutang, terlebih selama ini Bimo dikenal anak yang santun dan pekerja keras. Mustahil bagi mereka jika Bimo jatuh dalam lembah hitam.“Bang, kasih saya waktu satu minggu, pasti saya lunasi hutangnya,” pinta Bimo.“Halah, dari kemarin juga janjinya satu minggu , ini sudah satu bulan. Cepat bayar atau aku sita mobil ini!”“Jangan, Bang. Saya janji kali ini benar-benar akan saya lunasi.”Laila yang masih merutuki dan mengumpat perbuatan
Sebelum Ratna berbuat kasar, Laila langsung berdiri dan berlari menuju kamar Naya sambil menjulurkan lidah ke arah mertuanya. Dari balik pintu, ia tertawa geli melihat ekspresi Ratna yang kesal karena diledeknya. “Ini baru awal, Ma. Aku bukan Laila yang dulu, yang hanya diam saja saat kau hina.” Laila bermonolog. “Bunda, kenapa?” tanya Naya melihat sang bunda tertawa sendiri. Laila hanya menggeleng lalu berjalan mendekati Naya, duduk di sebelah sang putri yang sedang mewarnai. Di luar, Ratna mengumpat perbuatan menantunya itu. Mendengar teriakan Ratna, Bimo yang tengah tertidur di kamarnya, keluar sambil berjalan malas. “Ada apa, sih, berisik sekali!” bentaknya. Wanita yang dari tadi berdiri di depan meja makan, menoleh ke sumber suara. Mendapati anak laki-lakinya keluar kamar. Ia berjalan mendekat dan menjewer telinga Bimo. Menumpahkan kekesalan atas tindakan Laila kepada Bimo. Laki-laki dengan celana pendek itu menjerit. Matanya terbelalak menyadari bahwa sang ibu y
Andara berlari menuju Bimo yang sedang menikmati makan malam. Ia menarik kera baju lalu mem*mukul wajah Bimo. Laki-laki yang merupakan kakak iparnya itu terkejut dan tersungkur dari kursi meja makan. “Apa-apaan kamu!” bentak Bimo sambil berdiri. Cairan merah kental keluar dari sudut bibirnya. Laila memeluk Naya yang duduk di kursi seberang Bimo. Ia membenamkan wajah anaknya dalam pelukan, tidak ingin sang putri melihat pamannya baku hantam dengan sang ayah. Bergegas Laila mengajak gadis kecil itu ke kamar dan memerintahkan agar Naya tidak keluar. Gadis itu mengangguk. “Laki-laki benalu!’ umpat Andara. “Ada apa ini?” tanya Laila bingung. “Suami tercinta Mbak ini sudah menggadaikan rumah, Mbak!” tutur Andara dengan lantang. Wanita yang berdiri di antara adik dan suaminya itu terkejut. Kedua telap tangannya menutup mulut lalu menatap ke arah sang suami. Ia menggelakkan kepala tidak percaya kalau Bimo tega berbuat seperti itu. “Sudah aku katakan jangan kembali pada benalu in
“Bimo!” Ratna berteriak memanggil anaknya yang langsung masuk ke rumah.Laki-laki Itu tidak menghiraukan ibunya, ia terus saja berjalan menuju kamar, tempat yang selalu disinggahi jika berada di rumah orang tuanya. Bimo menghempaskan tubuh di atas kasur king sizenya. Ia menatap kosong langit-langit kamar yang berwarna putih. Pandangannya beralih pada sebuah foto yang menempel tepat di depannya. Di sana tampak seorang wanita cantik mengenakan gaun putih seperti putri di negeri dongeng, dihiasi senyum manis dengan lesung pipi. Di sebelah wanita itu, seorang pria tinggi berhidung mancung dengan mengenakan jas hitam, menatap penuh cinta ke arah wanita tersebut.Itu adalah foto pernikahan Bimo dan Laila. Bimo menyambar vas bunga yang berada di meja samping tempat tidurnya, lalu melempar benda itu ke arah foto tersebut. Suara benturan dan pecahan kaca menggelegar di kamar itu. Ia menjerit, menangis frustrasi, merasakan kesal dan kecewa pada diri sendiri. Andai ia tidak salah langkah dan sel