“Cepat keluar!” Seorang pria berbadan kekar memukul kaca mobil, “jangan kabur kamu! Cepat bayar hutangmu, enak aja abis ngutang gak mau bayar!”
Bimo keluar dengan pasrah, hari ini sudah ada beberapa orang yang datang menagih hutang, tidak menutup kemungkinan kalau besok akan ada orang yang datang lagi. Bimo harus mencari cara agar terlepas dari kejaran para preman itu. Namun saat ini ia berada di posisi sulit, meminta kepada orang tuanya sama saja dengan bu*nuh diri. Kedua orang tua Bimo, terutama Ratna, tidak akan percaya jika sang anak terlilit banyak hutang, terlebih selama ini Bimo dikenal anak yang santun dan pekerja keras. Mustahil bagi mereka jika Bimo jatuh dalam lembah hitam. “Bang, kasih saya waktu satu minggu, pasti saya lunasi hutangnya,” pinta Bimo. “Halah, dari kemarin juga janjinya satu minggu , ini sudah satu bulan. Cepat bayar atau aku sita mobil ini!” “Jangan, Bang. Saya janji kali ini benar-benar akan saya lunasi.” Laila yang masih merutuki dan mengumpat perbuatan Bimo, terlihat bingung karena mendengar keributan di luar. Diletakkannya baskom berisi singkong, lalu berjalan menuju teras. Laila terpaku di depan, melihat suaminya sedang dihajar oleh 2 orang preman. Cepat ia berlari ke arah Bimo dan melerainya. “Hentikan! Apa-apaan ini?” teriak Laila. Salah satu preman mendorong wanita itu hingga terjungkal ke belakang dan membentur dinding pagar. Salah satu dari preman itu masuk ke mobil dan menyalakannya. Sedangkan yang satunya pergi ke arah motor setelah menendang perut Bimo. Mereka pergi dengan membawa mobil Bimo sebagai jaminannya. Bimo meringis kesakitan. Laila berdiri dan membantu suaminya berdiri dan membawanya ke dalam. Ia ke dapur mengambil air hangat untuk mengompres luka memar di wajah Bimo. Laila sengaja menekan pipi dan dahi Bimo yang memar saat mengompres. Ia mengambil obat merah di kotak obat yang berada di dinding dapur. Menumpahkannya ke kapas dan menempelkannya pada sudut bibir dan lengan Bimo yang berdarah. “Auh ..., pelan-pelan, dong!” teriak Bimo kesakitan. “Makanya jangan bertingkah.” Laila sengaja menekan lebih keras pada luka itu.Bimo hanya meringis. “Kembalikan kalungku!” Laila menadahkan tangannya sambil berdiri di depan Bimo. Laila menendang pelan ujung kaki Bimo, lalu mengerakkan alisnya ke atas dan ke bawah, memberi kode agar laki-laki yang sudah babak belur itu memberikan perhiasannya. Laila melotot saat Bimo mengalihkan pandangan dan tidak meresponsnya. Lagi,ia menyenggol kaki sang suami. Dengan geram Laila menarik lengan baju Bimo. “Mas, kamu denger gak, sih?!” Bimo bergeming, tidak menghiraukan Laila yang semakin melotot. Dengan malas ia mengatakan bahwa benda itu sudah berpindah tangan ke preman tadi. Dengan kesal Laila memukul bahu Bimo. Ia mengumpat dan melempar suaminya dengan bantal sofa. Laila menangis, sambil mengentakkan kaki ia meninggalkan Bimo sendirian di ruang tamu. Bimo berteriak dan melemparkan vas bunga yang berada di meja ke sembarang arah. Suara nyaring terdengar dari ponsel Bimo, ia merogoh saku celana dan mendapati nama sang ibu tertera di sana. Bimo menghela napas, malas mengangkat telepon dari Ratna, tetapi mau tidak mau dia harus menekan tombol hijau jika tidak mau mendapat teror dari ibunya. Suara cempreng Ratna langsung terdengar begitu Bimo menerima panggilan. Ia sampai harus menjauhkan benda itu dari telinganya karena memekakkan. “Ada apa, sih, Ma?” ujar Bimo kesal. “Barusan Mama dapet telepon dari DC pinjol, mereka nagih hutang kamu. Kamu gak mungkin terlibat dengan pinjol, ‘kan?” cerocos Ratna dari seberang sana. “Mampus!” ujar Bimo sambil menepuk jidat. “Beneran kamu hutang ke pinjol?!” Ratna memekik. “Gak, Ma, mana mungkin Bimo hutang ke pinjol. Ini pasti ulah Laila. Dia selalu kurang, kemarin minta beliin kalung mutiara. Bimo bilang nanti, pasti karena Bimo gak kasih uang makanya dia berhutang.” Bimo beralasan. Dari seberang telepon Ratna mengumpati menantunya itu. Tanpa tahu kebenarannya. Bagi Ratna, Laila adalah menantu tidak tahu diri dan selalu membuat malu, dia beranggapan bahwa Bimo harus bekerja keras demi memenuhi kebutuhan menantunya itu. Nyatanya, Laila lah yang memenuhi semua kebutuhan Bimo, tanpa ia tahu sebenarnya yang menjadi penyebab itu adalah dirinya sendiri. “Menantu si*alan, kurang aja, dasar tidak tau malu. Mama ke sana sekarang!” Sambungan telepon putus sepihak. Bimo mulai gusar, takut ketahuan jika ia sudah memfitnah Laila. Namun dia yakin, ibunya tidak akan percaya ucapan sang istri karena ia tahu betul kalau Ratna sangat membenci Laila. Situasi inilah yang selalu dimanfaatkan Bimo untuk mengkambinghitamkan istrinya. *** Tanpa salam dan mengetuk pintu Ratna masuk dan berteriak mencari Laila. Wanita paruh baya dengan dress biru dangkar itu menghampiri Laila yang sedang makan bersama Naya di meja makan. Ratna menggebrak meja sambil melotot ke arah sang menantu. “Naya, makan di kamar, ya,” ujar Laila memberikan piring nasi ke pada anaknya.Naya mengangguk dan berjalan ke kamarnya. “Untuk apa kamu hutang di pinjol?” tudur Ratna. Laila mengernyitkan dahi, tidak mengerti perkataan mertuanya. Seolah-olah paham dengan ekspresi sang menantu, Ratna kembali mencecar Laila. “Gak usah pura-pura be*gok, kamu berhutang kan buat beli kalung mutiara? Anakku kerja capek-capek kamu enak banget ngabisin uangnya.” Laila mulai paham arah pembicaraan ini. Ia masih tampak tenang menyikapi mertua bar-bar sepeti Ratna. Baginya, hinaan dan cacian yang selalu mertuanya lontarkan itu adalah makanan sehari-harinya. Laila masih diam dengan khusyuk mendengarkan celotehanwanita yang berdiri di hadapannya. Laila menuangkan air ke dalam gelas, lalu memberikannya kepada Ratna. “Minum dulu, Ma. Gak capek merepet terus dari tadi? Duduk, Ma, nanti makin tinggi, loh.” Ratna meraih gelas yang diberikan Laila, lalu meminumnya hingga tandas. Ia menarik kursi yang berada di sisi kanan, kemudian menghempaskan bokongnya. “Mama gak bosen marah-marah terus? Lihat muka Mama mulai berkerut, nanti botoxnya sia-sia. Minggu kemarin baru saja suntik botox, ‘kan? Mau Papa ngelirik daun muda?” Refleks wanita itu memegang pipinya dan mendengus kesal. “Untuk apa kamu hutang di pinjol?” tanya Ratna sedikit lunak. “Aku gak berhutang di pinjol, Ma ....” “Gak usah bohong! Tadi siang Mama dapet telepon dari DC-nya,” omel Ratna. Laila meletakkan jari di bibirnya, memberi kode pada sang mertua, “Jangan teriak-teriak, aku gak budek, Ma. Ingat botox,” ujar Laila. Ratna memajukan bibirnya. “Mama percaya?” “Kenapa gak? Kamu kan emang matre, nikah sama Bimo karena uang, ‘kan?” Ratna sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Laila. Laila yang sejak tadi bersabar, mulai merasa geram dengan ucapan mertuanya itu. Namun ia masih menahannya. Ia mau memberi pelajaran terlebih dahulu untuk anak laki-laki Ratna sebelum menceraikannya. “Mama gak curiga sama anak Mama? Apa Mama gak pernah berpikir dari mana dia dapat uang dengan mudah, sedangkan dia hanya seorang honorer yang kebetulan bekerja di balai desa karena kekuasaan ayahnya.” “Kurang ajar kamu!” Ratna mengangkat tangannya ....Sebelum Ratna berbuat kasar, Laila langsung berdiri dan berlari menuju kamar Naya sambil menjulurkan lidah ke arah mertuanya. Dari balik pintu, ia tertawa geli melihat ekspresi Ratna yang kesal karena diledeknya. “Ini baru awal, Ma. Aku bukan Laila yang dulu, yang hanya diam saja saat kau hina.” Laila bermonolog. “Bunda, kenapa?” tanya Naya melihat sang bunda tertawa sendiri. Laila hanya menggeleng lalu berjalan mendekati Naya, duduk di sebelah sang putri yang sedang mewarnai. Di luar, Ratna mengumpat perbuatan menantunya itu. Mendengar teriakan Ratna, Bimo yang tengah tertidur di kamarnya, keluar sambil berjalan malas. “Ada apa, sih, berisik sekali!” bentaknya. Wanita yang dari tadi berdiri di depan meja makan, menoleh ke sumber suara. Mendapati anak laki-lakinya keluar kamar. Ia berjalan mendekat dan menjewer telinga Bimo. Menumpahkan kekesalan atas tindakan Laila kepada Bimo. Laki-laki dengan celana pendek itu menjerit. Matanya terbelalak menyadari bahwa sang ibu y
Andara berlari menuju Bimo yang sedang menikmati makan malam. Ia menarik kera baju lalu mem*mukul wajah Bimo. Laki-laki yang merupakan kakak iparnya itu terkejut dan tersungkur dari kursi meja makan. “Apa-apaan kamu!” bentak Bimo sambil berdiri. Cairan merah kental keluar dari sudut bibirnya. Laila memeluk Naya yang duduk di kursi seberang Bimo. Ia membenamkan wajah anaknya dalam pelukan, tidak ingin sang putri melihat pamannya baku hantam dengan sang ayah. Bergegas Laila mengajak gadis kecil itu ke kamar dan memerintahkan agar Naya tidak keluar. Gadis itu mengangguk. “Laki-laki benalu!’ umpat Andara. “Ada apa ini?” tanya Laila bingung. “Suami tercinta Mbak ini sudah menggadaikan rumah, Mbak!” tutur Andara dengan lantang. Wanita yang berdiri di antara adik dan suaminya itu terkejut. Kedua telap tangannya menutup mulut lalu menatap ke arah sang suami. Ia menggelakkan kepala tidak percaya kalau Bimo tega berbuat seperti itu. “Sudah aku katakan jangan kembali pada benalu in
“Bimo!” Ratna berteriak memanggil anaknya yang langsung masuk ke rumah.Laki-laki Itu tidak menghiraukan ibunya, ia terus saja berjalan menuju kamar, tempat yang selalu disinggahi jika berada di rumah orang tuanya. Bimo menghempaskan tubuh di atas kasur king sizenya. Ia menatap kosong langit-langit kamar yang berwarna putih. Pandangannya beralih pada sebuah foto yang menempel tepat di depannya. Di sana tampak seorang wanita cantik mengenakan gaun putih seperti putri di negeri dongeng, dihiasi senyum manis dengan lesung pipi. Di sebelah wanita itu, seorang pria tinggi berhidung mancung dengan mengenakan jas hitam, menatap penuh cinta ke arah wanita tersebut.Itu adalah foto pernikahan Bimo dan Laila. Bimo menyambar vas bunga yang berada di meja samping tempat tidurnya, lalu melempar benda itu ke arah foto tersebut. Suara benturan dan pecahan kaca menggelegar di kamar itu. Ia menjerit, menangis frustrasi, merasakan kesal dan kecewa pada diri sendiri. Andai ia tidak salah langkah dan sel
Bimo menghadang Laili, saat tangannya menarik lengan wanita itu, Andara menepis dan mengajak Laila masuk.“Jangan pernah menyakiti kakakku lagi!” ancam Andara menunjuk Bimo.Mereka meninggalkan Bimo yang masih mematung di sana.Hampir satu jam Andara menjalani pemeriksaan, semua pertanyaan ia jabarkan dengan gamblang, alasan kenapa ia memukul Bimo sampai perlakuan kakak iparnya itu terhadap Laila. Andara sudah menyiapkan semua bukti, saat Laila melarikan diri malam-malam karena KDRT dari Bimo, diam-diam ia memfoto wajah sang kakak yang sedang tertidur. Juga merekam pembicaraannya dengan Pak Kades saat mengambil sertifikat rumah.Semua bukti bisa membebaskan Andara dari tuntutan keluarga Bimo, tetapi uang bisa saja mengubah segalanya. Laila dan Andara tidak tahu drama apa yang telah disiapkan oleh ibu Bimo.Mereka keluar kantor polisi dengan perasaan lega. Andara mengajak Laila untuk mampir ke warung bakso langganan mereka. Sesampainya di sana, Andara memilih tempat paling pojok dan me
“Lepasin!” Laila berusaha menarik tangannya, tetapi cengkeraman Bimo begitu keras.Laila terus diseret Bimo tanpa peduli teriakan sang istri yang kesakitan. Andara dan Aminah yang berada di kamar masing-masing sontak keluar. Aminah yang tengah bersama cucunya itu berteriak agar Bimo melepaskan Laila. Naya, menangis melihat Laila menyeret Bimo. Cepat sang nenek membawa Naya masuk ke kamar.“Naya, jangan keluar, ya, Sayang.” Aminah menenangkan cucunya dan diikuti anggukan oleh Naya. Setelah merasa cucunya telah tenang, Aminah berlari menghampiri Bimo yang masih memaksa Laila.“Mas, lepaskan! Sakit!” Laila mencoba memukul lengan Bimo yang mencengkeramnya.“Kamu harus nurut sama suami!” Bimo melotot ke aras sang istri.Wanita yang masih mengenakan mukena putih itu, terus meronta, berusaha melepaskan diri dari Bimo. Tiba-tiba sebuah tamparan melayang ke pipi mulusnya hingga ia tersungkur.“Laila ....” Sigap Aminah menyambut tubuhnya.Melihat kakaknya dita*mpar Bimo, Andara meradang dan la
Di tempat terpisah, Laila dan Aminah pulang dari pengadilan menggunakan taksi online karena Andara harus mencari bukti. Laila dan ibunya masih tidak percaya dengan kesaksian Pak Kades. Mereka berkutat dengan pikirannya masing-masing. Tidak mungkin Andara tega melalukan apa yang seperti diucapkan Pak Kades.“Bu, aku gak percaya sama omongan Pak Kades,” ujar Laila memecah kesunyian.“Ibu juga gak yakin, tapi kenapa Pak Kades berbohong?”“Ibu tahu sendiri, kan, kalau Pak Kades mata duitan? Pasti keluarga Mas Bimo sudah membayarnya.”“Tidak boleh menuduh orang seperti itu.”“Laila gak asal nuduh, Bu. Laila sudah hafal betul bagaimana keluarga itu.”“Semoga saja adikmu bisa mendapatkan bukti.” Harap Aminah.***Sebuah kafe bergaya modern dan instagramable dengan suasana alam yang terlihat asri, pepohonan rindang dikeliling lampu kerlap kelip dan live musik yang mengalun romantis. Seorang pemuda tinggi dengan balutan kemeja cokelat dipadukan celana jin, serta jaket yang tersandar di bahu ku
Suara bariton Bimo menggelegar di ruangan itu. Semua menoleh dan terkejut melihat sosok laki-laki yang sudah memorak-porandakan hidup Laila, berdiri di ambang pintu dengan tatapan penuh amarah, melihat Laila memangku laki-laki yang tidak diketahui identitasnya.“Belum juga sidang cerai, kau sudah berani membawa laki-laki lain ke rumah ini, dasar murahan!” sungut Bimo.“Jaga ucapanmu, Mas!” bentak Laila.“Tidak usah meninggikan suaramu di hadapanku! Faktanya sudah ada di depan mata. Benar yang Mama bilang, kalau sampah tidak akan bisa jadi berlian meskipun dibawa ke singgasana.”“Berani sekali lagi kau menghina kakakku, jangan harap kau bisa keluar dari sini dengan kaki yang utuh!” Andara mencengkeram kerah baju Bimo.Bimo menepis tangan Bimo dari lehernya, sambil mengibas-ngibaskan baju, seolah-olah ia baru saja terkena najis, “Ingat, kau sedang dalam penyelidikan!” ancam Bimo sambil menunjuk wajah Andara.“Jika kau hanya ingin membuat keributan di sini, silakan keluar, Mas!” Laila be
“Naya, sini, Nak!” Panggil Laila yang baru pulang dari jualan.Gio terkejut tiba-tiba dipeluk seorang anak kecil yang lucu dan cantik. Gadis itu memiliki bola mata yang bulat dan iris mata cokelat seperti ibunya. Gio tersenyum dan mencoba menggendong Naya. Pria berkulit putih itu sedikit menahan sakit di area perutnya saat menggendong Naya. Raut wajahnya yang sedikit meringis bisa ditangkap oleh Laila. Cepat wanita yang mengenakan dress hijau dengan motif bunga-bunga itu mengambil Naya dari pangkuan Gio.“Maaf,” ujar Laila tidak enak hati, Gio hanya tersenyum menanggapinya.Andara yang dari tadi hendak pergi, lagi-lagi tertahan karena tingkah Naya. Ia mengambil alih Naya dari Laila, lalu mengajaknya ke teras.“Nak Gio istirahat saja dulu, Ibu sudah masakkan air untuk mandi, nanti kalau airnya sudah masak, Nak Gio, Ibu panggil,” ujar Aminah.Gio mengangguk dan berjalan ke kamar Andara.Tidak lama, Laila mengetuk pintu kamar Andara dan membuka pintu yang tidak terkunci, tampak Gio sedan