Share

Bab 6

“Cepat keluar!” Seorang pria berbadan kekar memukul kaca mobil, “jangan kabur kamu! Cepat bayar hutangmu, enak aja abis ngutang gak mau bayar!”

Bimo keluar dengan pasrah, hari ini sudah ada beberapa orang yang datang menagih hutang, tidak menutup kemungkinan kalau besok akan ada orang yang datang lagi. Bimo harus mencari cara agar terlepas dari kejaran para preman itu. Namun saat ini ia berada di posisi sulit, meminta kepada orang tuanya sama saja dengan bu*nuh diri.

Kedua orang tua Bimo, terutama Ratna, tidak akan percaya jika sang anak terlilit banyak hutang, terlebih selama ini Bimo dikenal anak yang santun dan pekerja keras. Mustahil bagi mereka jika Bimo jatuh dalam lembah hitam.

“Bang, kasih saya waktu satu minggu, pasti saya lunasi hutangnya,” pinta Bimo.

“Halah, dari kemarin juga janjinya satu minggu , ini sudah satu bulan. Cepat bayar atau aku sita mobil ini!”

“Jangan, Bang. Saya janji kali ini benar-benar akan saya lunasi.”

Laila yang masih merutuki dan mengumpat perbuatan Bimo, terlihat bingung karena mendengar keributan di luar. Diletakkannya baskom berisi singkong, lalu berjalan menuju teras. Laila terpaku di depan, melihat suaminya sedang dihajar oleh 2 orang preman. Cepat ia berlari ke arah Bimo dan melerainya.

“Hentikan! Apa-apaan ini?” teriak Laila.

Salah satu preman mendorong wanita itu hingga terjungkal ke belakang dan membentur dinding pagar. Salah satu dari preman itu masuk ke mobil dan menyalakannya. Sedangkan yang satunya pergi ke arah motor setelah menendang perut Bimo. Mereka pergi dengan membawa mobil Bimo sebagai jaminannya.

Bimo meringis kesakitan. Laila berdiri dan membantu suaminya berdiri dan membawanya ke dalam. Ia ke dapur mengambil air hangat untuk mengompres luka memar di wajah Bimo. Laila sengaja menekan pipi dan dahi Bimo yang memar saat mengompres. Ia mengambil obat merah di kotak obat yang berada di dinding dapur. Menumpahkannya ke kapas dan menempelkannya pada sudut bibir dan lengan Bimo yang berdarah.

“Auh ..., pelan-pelan, dong!” teriak Bimo kesakitan.

“Makanya jangan bertingkah.” Laila sengaja menekan lebih keras pada luka itu.Bimo hanya meringis.

“Kembalikan kalungku!” Laila menadahkan tangannya sambil berdiri di depan Bimo.

Laila menendang pelan ujung kaki Bimo, lalu mengerakkan alisnya ke atas dan ke bawah, memberi kode agar laki-laki yang sudah babak belur itu memberikan perhiasannya. Laila melotot saat Bimo mengalihkan pandangan dan tidak meresponsnya. Lagi,ia menyenggol kaki sang suami. Dengan geram Laila menarik lengan baju Bimo.

“Mas, kamu denger gak, sih?!”

Bimo bergeming, tidak menghiraukan Laila yang semakin melotot. Dengan malas ia mengatakan bahwa benda itu sudah berpindah tangan ke preman tadi.

Dengan kesal Laila memukul bahu Bimo. Ia mengumpat dan melempar suaminya dengan bantal sofa. Laila menangis, sambil mengentakkan kaki ia meninggalkan Bimo sendirian di ruang tamu.

Bimo berteriak dan melemparkan vas bunga yang berada di meja ke sembarang arah. Suara nyaring terdengar dari ponsel Bimo, ia merogoh saku celana dan mendapati nama sang ibu tertera di sana. Bimo menghela napas, malas mengangkat telepon dari Ratna, tetapi mau tidak mau dia harus menekan tombol hijau jika tidak mau mendapat teror dari ibunya.

Suara cempreng Ratna langsung terdengar begitu Bimo menerima panggilan. Ia sampai harus menjauhkan benda itu dari telinganya karena memekakkan.

“Ada apa, sih, Ma?” ujar Bimo kesal.

“Barusan Mama dapet telepon dari DC pinjol, mereka nagih hutang kamu. Kamu gak mungkin terlibat dengan pinjol, ‘kan?” cerocos Ratna dari seberang sana.

“Mampus!” ujar Bimo sambil menepuk jidat.

“Beneran kamu hutang ke pinjol?!” Ratna memekik.

“Gak, Ma, mana mungkin Bimo hutang ke pinjol. Ini pasti ulah Laila. Dia selalu kurang, kemarin minta beliin kalung mutiara. Bimo bilang nanti, pasti karena Bimo gak kasih uang makanya dia berhutang.” Bimo beralasan.

Dari seberang telepon Ratna mengumpati menantunya itu. Tanpa tahu kebenarannya. Bagi Ratna, Laila adalah menantu tidak tahu diri dan selalu membuat malu, dia beranggapan bahwa Bimo harus bekerja keras demi memenuhi kebutuhan menantunya itu. Nyatanya, Laila lah yang memenuhi semua kebutuhan Bimo, tanpa ia tahu sebenarnya yang menjadi penyebab itu adalah dirinya sendiri.

“Menantu si*alan, kurang aja, dasar tidak tau malu. Mama ke sana sekarang!” Sambungan telepon putus sepihak.

Bimo mulai gusar, takut ketahuan jika ia sudah memfitnah Laila. Namun dia yakin, ibunya tidak akan percaya ucapan sang istri karena ia tahu betul kalau Ratna sangat membenci Laila. Situasi inilah yang selalu dimanfaatkan Bimo untuk mengkambinghitamkan istrinya.

***

Tanpa salam dan mengetuk pintu Ratna masuk dan berteriak mencari Laila. Wanita paruh baya dengan dress biru dangkar itu menghampiri Laila yang sedang makan bersama Naya di meja makan. Ratna menggebrak meja sambil melotot ke arah sang menantu.

“Naya, makan di kamar, ya,” ujar Laila memberikan piring nasi ke pada anaknya.Naya mengangguk dan berjalan ke kamarnya.

“Untuk apa kamu hutang di pinjol?” tudur Ratna.

Laila mengernyitkan dahi, tidak mengerti perkataan mertuanya.

Seolah-olah paham dengan ekspresi sang menantu, Ratna kembali mencecar Laila. “Gak usah pura-pura be*gok, kamu berhutang kan buat beli kalung mutiara? Anakku kerja capek-capek kamu enak banget ngabisin uangnya.”

Laila mulai paham arah pembicaraan ini. Ia masih tampak tenang menyikapi mertua bar-bar sepeti Ratna. Baginya, hinaan dan cacian yang selalu mertuanya lontarkan itu adalah makanan sehari-harinya. Laila masih diam dengan khusyuk mendengarkan celotehanwanita yang berdiri di hadapannya.

Laila menuangkan air ke dalam gelas, lalu memberikannya kepada Ratna. “Minum dulu, Ma. Gak capek merepet terus dari tadi? Duduk, Ma, nanti makin tinggi, loh.”

Ratna meraih gelas yang diberikan Laila, lalu meminumnya hingga tandas. Ia menarik kursi yang berada di sisi kanan, kemudian menghempaskan bokongnya.

“Mama gak bosen marah-marah terus? Lihat muka Mama mulai berkerut, nanti botoxnya sia-sia. Minggu kemarin baru saja suntik botox, ‘kan? Mau Papa ngelirik daun muda?”

Refleks wanita itu memegang pipinya dan mendengus kesal. “Untuk apa kamu hutang di pinjol?” tanya Ratna sedikit lunak.

“Aku gak berhutang di pinjol, Ma ....”

“Gak usah bohong! Tadi siang Mama dapet telepon dari DC-nya,” omel Ratna.

Laila meletakkan jari di bibirnya, memberi kode pada sang mertua, “Jangan teriak-teriak, aku gak budek, Ma. Ingat botox,” ujar Laila. Ratna memajukan bibirnya.

“Mama percaya?”

“Kenapa gak? Kamu kan emang matre, nikah sama Bimo karena uang, ‘kan?” Ratna sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Laila.

Laila yang sejak tadi bersabar, mulai merasa geram dengan ucapan mertuanya itu. Namun ia masih menahannya. Ia mau memberi pelajaran terlebih dahulu untuk anak laki-laki Ratna sebelum menceraikannya.

“Mama gak curiga sama anak Mama? Apa Mama gak pernah berpikir dari mana dia dapat uang dengan mudah, sedangkan dia hanya seorang honorer yang kebetulan bekerja di balai desa karena kekuasaan ayahnya.”

“Kurang ajar kamu!” Ratna mengangkat tangannya ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status