Suara bariton Bimo menggelegar di ruangan itu. Semua menoleh dan terkejut melihat sosok laki-laki yang sudah memorak-porandakan hidup Laila, berdiri di ambang pintu dengan tatapan penuh amarah, melihat Laila memangku laki-laki yang tidak diketahui identitasnya.“Belum juga sidang cerai, kau sudah berani membawa laki-laki lain ke rumah ini, dasar murahan!” sungut Bimo.“Jaga ucapanmu, Mas!” bentak Laila.“Tidak usah meninggikan suaramu di hadapanku! Faktanya sudah ada di depan mata. Benar yang Mama bilang, kalau sampah tidak akan bisa jadi berlian meskipun dibawa ke singgasana.”“Berani sekali lagi kau menghina kakakku, jangan harap kau bisa keluar dari sini dengan kaki yang utuh!” Andara mencengkeram kerah baju Bimo.Bimo menepis tangan Bimo dari lehernya, sambil mengibas-ngibaskan baju, seolah-olah ia baru saja terkena najis, “Ingat, kau sedang dalam penyelidikan!” ancam Bimo sambil menunjuk wajah Andara.“Jika kau hanya ingin membuat keributan di sini, silakan keluar, Mas!” Laila be
“Naya, sini, Nak!” Panggil Laila yang baru pulang dari jualan.Gio terkejut tiba-tiba dipeluk seorang anak kecil yang lucu dan cantik. Gadis itu memiliki bola mata yang bulat dan iris mata cokelat seperti ibunya. Gio tersenyum dan mencoba menggendong Naya. Pria berkulit putih itu sedikit menahan sakit di area perutnya saat menggendong Naya. Raut wajahnya yang sedikit meringis bisa ditangkap oleh Laila. Cepat wanita yang mengenakan dress hijau dengan motif bunga-bunga itu mengambil Naya dari pangkuan Gio.“Maaf,” ujar Laila tidak enak hati, Gio hanya tersenyum menanggapinya.Andara yang dari tadi hendak pergi, lagi-lagi tertahan karena tingkah Naya. Ia mengambil alih Naya dari Laila, lalu mengajaknya ke teras.“Nak Gio istirahat saja dulu, Ibu sudah masakkan air untuk mandi, nanti kalau airnya sudah masak, Nak Gio, Ibu panggil,” ujar Aminah.Gio mengangguk dan berjalan ke kamar Andara.Tidak lama, Laila mengetuk pintu kamar Andara dan membuka pintu yang tidak terkunci, tampak Gio sedan
“Aku akan mencabut tuntutan jika kalian mau menerima syarat dariku,” ujar Ratna.Laila dan Aminah saling menatap. Ratna tersenyum licik melihat ekspresi menantu dan besannya. Ibu dari Bimo itu sangat percaya diri, ia yakin kalau musuh di depannya ini akan menerima tawarannya dan memohon untuk berdamai.“Aku akan mencabut tuntutan itu jika kau mencabut gugatan cerai,” ucap Ratna sambil menatap tajam ke arah Laila.“Kamu gak mau kan Naya tumbuh tanpa kasih sayang ayahnya? Apa kamu tidak kasihan melihat teman-temannya diantar dan dijemput oleh kedua orang tua, jalan-jalan. Apa kamu mau melihat mental Naya terluka, di-bully oleh teman-temannya.” Bimo mencoba mempengaruhi Laila.Laila menatap ibunya penuh harap. Ia mulai gundah dengan perkataan Bimo. Dalam hati kecilnya, ia tidak bisa lagi menerima Bimo, tetapi ia juga tidak bisa egois demi tumbuh kembang anaknya.Bimo meraih tangan Laila dan menggenggamnya dengan tatapan memohon. “Jangan egois, Dik, ini semua demi masa depan Naya juga An
“Kamu di mana? Kakak di depan kosan Beben, tapi gak ada orang,” ujar Laila melalui sambungan telepon.“Andara masih di kafe sama Rossa, Kak. Mas Gio gak ada? Ya, udah bentar lagi aku ke sana.” Andara menutup sambungan teleponnya. “Yok, cabut. Kak Laila ada di kosan Beben. Kamu mau ikut aku?”“Aku gak bawa mobil.” Seolah-olah peka dan tahu maksud dari pernyataan Rossa, Andara langsung membawa tas ransel milik Rossa yang masih berada di atas meja, “Ayo!”Gadis tomboi itu tersenyum manis, menyadari Andara peka akan kode yang dia sampaikan. Ia berdiri dan berjalan mengekor di belakang Andara.Di tempat lain, Laila sudah berdiri hampir 30 menit di depan kosan Beben. Belum juga ada tanda-tanda bahwa tempat itu ada penghuninya. Entah sudah berapa kali ia mengetuk bahkan menggedor pintu dan jendela, tidak ada yang membuka atau menyahuti panggilannya. Kosan yang berjajar empat pintu itu memang sepi penghuni. Kebanyakan yang tinggal di sana adalah mahasiswa dan karyawan. Wajar kalau sore menje
“An, kok, kamu percaya banget sih sama Mas Gio, kalian kan baru kenal, gak tau juga dia itu siapa,” ujar Rossa memecah keheningan.Andara yang sedang mengendarai motornya, mengurangi kecepatan agar bisa mendengar suara Rossa yang terbawa angin. Di depan jalan, Andara melihat sebuah kedai nasi goreng yang masih buka, ia menepikan kendaraannya dan berhenti di sana. Mengajak Rossa untuk turun.“Kita mengobrol di sini aja, gak enak ngomong di jalan. Kamu juga belum makan.” Andara berjalan terlebih dahulu dan memesan 2 porsi nasi goreng seafood kesukaan Rossa.Rossa sudah duduk di salah satu bangku plastik yang ada di sana. Andara duduk tepat di depan Rossa yang di batasi oleh meja panjang.“Aku juga gak tau dia siapa, tapi dia kayaknya baik,” ujar Andara.“Kamu gak curiga sama dia? Masa tiba-tiba ada orang dateng ke kosan Beben buat kasih dokumen penting tanpa menghubungi kamu dulu, terus dikasih aja gitu sama orang yang gak dikenal. Kamu percaya sama omongannya?”“Aku juga bingung siapa
“Apa? Kakak menemui Mas Bimo dan Bu Ratna? Kakak sudah gak waras?” ucap Andara saat Aminah menceritakan kejadian semalam.Saat Andara tiba di rumah semalam, Aminah dan Laila tidak memberitahu bahwa setelah mengantarkan makanan untuk Gio, Laila pergi ke rumah mertuanya untuk mempertimbangkan penawaran yang diberikan mereka. Andara sudah cukup larut tiba di rumah. Ibu dan kakaknya tidak mau membuat Andara yang sedang lelah menjadi marah jika malam itu langsung di beritahu. Pagi ini, saat sarapan Aminah menceritakan semuanya. Andara benar-benar terkejut dan tidak menyangka akan tindakan sang Kakak. Niat hati ia akan menceritakan kejadian di kosan Bimo, tetapi ia malah yang dikejutkan.Andara menyandarkan tubuh di sandaran kursi dan menghela napas panjang. “Lalu Kakak menerima tawaran mereka?” tanya Andara dengan tatapan intimidasi.Laila menunduk saat Andara mengajukan pertanyaan. Melihat gerak tubuh sang kakak, Andra mengacak rambutnya. “Ya Allah, Kak! Kenapa Kakak menerima tawaran mere
“Ngapain?” tanya Rossa. “Kita harus nanya ke Mas Gio.” “Kamu percaya sama dia? Hei, kita gak tau dia itu siapa?!” ujar Rossa. “Aku yakin dia yang nolongin aku.” “Kalau dia orang jahat gimana?” “Kakak setuju yang dibilang Rossa. Kita gak tau siapa dia sebenarnya.” Tiba-tiba Laila keluar menimpali ucapan Rossa. Gadis yang masih duduk di tempatnya itu mengangguk, sepakat dengan pernyataan Laila. “Ini udah jelas, Kak. Coba lihat video ini!” Andara menunjukkan video yang diberikan Rossa. Seorang pria dan seorang wanita tengah melakukan transaksi. Terlihat dari punggung pria tersebut mirip seperti Bimo, tetapi belum jelas apa benar dia orangnya dan mereka sedang melakukan apa. Dalam video itu menunjukkan keakraban, tidak segan mereka saling rangkul dan mesra. Dada Laila bergemuruh melihat adegan yang terpampang dalam video itu. Ia hanya diam tanpa bisa berkata-kata. “Kak, ini belum tentu dia,” ujar Rossa sambil mengusap punggung Laila. “Kalau pun benar gak apa, seb
“Siapa?” tanya Rossa.“Itu Anak-Anak main lempar-lemparan,” jawab Andara.“Maaf, ya, Om.” Salah satu anak meminta maaf kepada mereka lalu pergi.Mereka bertiga kembali masuk dan membersihkan bekas pecahan kaca. Saat hendak membuang benda itu ke tempat sampah, ponsel Rossa berbunyi, sebuah pesan singkat dari seseorang membuatnya berdecak kesal. “Kenapa gak ngomong sendiri aja, sih!” omel Rossa sendirian.“Kenapa?” Tiba-tiba Andara berdiri di belakang Rossa dan mengagetkannya.“Gak apa, kok.” Rossa cepat-cepat masuk.Di dalam sudah ada beberapa hidangan tersaji di atas meja. Satu kotak pizza, 3 cup minuman soda berukuran besar, burger, dan kentang goreng. Andara sengaja memesan makanan untuk mereka. “Sidang perceraian Kak Laila gimana?” tanya Rossa sambil mengambil satu potong pizza.“Kalau gak salah minggu depan sidang lanjutan.” Andara mencoba mengingat.“Bagaimana tawaran yang diajukan mereka kemarin?” Rossa kembali bertanya.Gio hanya memperhatikan mereka berdua sambil menikmati b
Ada getaran saat gadis kecil itu memanggil Bimo. Rasa rindu pada sang ayah hanya bisa ia simpan. Meskipun Gio selalu ada dan berusaha menggantikan peran Bimo, perasaan rindu akan kehadiran ayah kandung tetap ada. Naya hanya bisa memandang punggung Bimo dari jauh saat pria itu pergi. Sedangkan wanita yang bersama Bimo, terlihat berlari mengejat sambil melontarkan umpatan kasar kepada Bimo."Sayang, ayo, kita pulang," ajak Laila. Naya hanya diam dan menurut.Sepanjang jalan gadis itu hanya diam, tidak seceriah sebelumnya. Gio menggandeng tangan kecil itu sambil bertanya apa lagi yang ia mau, tetapi Naya hanya menggeleng. Lalu Gio berinisiatif mengajaknya ke istana boneka. Di sana banyak berbagai jenis boneka yang lucu, mulai beruang berukuran kecil sampai yang paling besar. Melihat banyak benda yang disukainya, Naya langsung tersenyum dan berlari menghampiri beberapa boneka, untuk saat itu Gio mampu mengusir kesedihan Naya.Laila hanya mengekor dari belakang. Sama halnya dengan Naya, ia
"Ada apa, Mas?" tanya Laila."Gak apa-apa," jawab Gio gelagapan. "Apa yang kamu dengar?" tanya Gio tiba-tiba.Laila mengernyitkan dahi dengan pandangan bingung, "Seperti sesorang sedang menyebut namaku," jawab Laila tidak acuh, kemudian sibuk dengan makananya."Ternyata benar Kak Laila dan Mas Gio." Tiba-tiba Andara berdiri di dekat meja mereka. Keduanya kompak menoleh ke arah Andara."Kalian sedang apa?" tanya Gio melihat Andara bersama Rossa."Kami baru saja mau makan, lalu Rossa melihat Naya. Kami memanggil Kak Laila, tapi sepertinya kakakku ini sedang menikmati kebebasannya sampai tidak mendengar panggilan Rossa," jelas Andara diikuti anggukan Rossa.Gio menghela napas lega. Ia pikir Laila bisa mendengar isi hatinya, ternyata samar-samar wanita dengan balutan dress sage itu mendengar panggilan Rossa. Nyaris saja jantung Gio keluar dari tempatnya. Bagaiman jika Laila punya kekuatan bisa mendengar suara hati, ia akan sangat malu karena ketahuan jika selama ini menyimpan rasa pada wa
“Saya ingin mengajak Naya jalan-jalan,” ucap Gio. Di tangannya ada boneka beruang berukuran besar dan sebuah kotak cokelat. Laila mengajak Gio untuk masuk dan menyuruhnya untuk menunggu sebentar.Beberapa menit kemudian Laila keluar bersama Naya. Gadis itu langsung berlari ke pelukan Gio. Melihat boneka beruang dan cokelat yang dibawa pria itu, Naya langsung menghujani Gio dengan kecupan di pipi dan pelukan hangat.“Terima kasih, Om,” imbuh Naya yang direspon senyuman oleh Gio.Laila menatap kemesraan mereka berdua, ada rasa haru dan bahagia melihat puti kecilnya jauh lebih baik dari keadaan sebelumnya. Naya sudah jarang tantrum dan mulai mau bersosialisasi lagi. Kehadiran Gio sangat berpengaruh akan kesehatan mental Naya. Entah apa yang di rasakan oleh Laila saat ini, tiba-tiba timbul perasaan yang ia sendiri tidak mengerti. Setiap kali melihat Gio, jantungnya berdebar lebih cepat dan ia merasa gugup saat berhadapan dengan pria dengan kaki jenjang itu.“Tapi nanti sore Naya mau jalan
“Bikin malu! Bisa-bisanya kalian melakukan hal seperti itu!” bentak Hermawan. “Kamu tahu, ‘kan, Ma, kalau aku sedang dalam pengawasan? Kamu dan Bimo malah bikin ulah. Bukannya bantu aku supaya gak terlibat masalah apapun, kalian malah buat aku semakin sulit. Ibu sama anak, sama aja. Tukang bikin onar.”“Pa, jangan, sok, suci kamu! Kamu pikir, aku gak tau apa yang kamu lakuin? Kamu sama aja kayak Pak Kades. Apa yang aku lakuin sama Bimo ini juga demi keluarga kita. Aku berusaha agar Bimo dan Laila gak cerai. Siapa yang akan menopang kebutuhan kita kalau kamu ketahuan korupsi?” Ratna melotot ke arah Hermawan. “Dan sekarang semuanya kacau gara-gara Andara dan temannya itu. Kamu malah nyalahin aku!”“Gak usah nyalahin orang lain, Ma. Kalau kamu gak serakah dan egois, semua gak akan seperti ini. Apa yang aku lakukan juga karena demi memenuhi semua keinginan kamu. Berlian, arisan, botox, dan semua yang gak penting itu. Aku capek nurutin semua maunya kamu!”“Jadi kamu nyalahin aku, Pa? Gara-
“Ibu Cuma mau ada yang bisa jaga kalian,” jawab Aminah.“Laila punya Ibu dan Andara,” imbuh Laila.“Ibu gak selamanya hidup dan adikmu juga akan punya keluarga sendiri. Naya butuh kasih sayang seorang ayah, juga pelindung. Kamu gak bisa selamanya sendiri dan bergantung pada Ibu dan Andara,” terang Aminah.“Laila baru 1 minggu bercerai, Bu, tapi Ibu sudah mikir sejauh itu. Bahkan sakit yang Laila rasakan masih sangat jelas, Bu.” Suara Laila bergetar. Ia merasa ibunya egois dan tidak memikirkan perasaannya.Luka trauma yang masih membekas atas perlakuan Bimo dan orang tuanya sangat jelas terasa bagi Laila. Hampir setiap malam ia bermimpi buruk dan tidak bisa tidur, untuk keluar rumah pun Laila takut. Ia takut dengan pandangan orang-orang saat melihatnya lewat, seolah-olah mata mereka berkata “dia sudah janda, pasti karena mertuanya gak setuju, pasti terlalu merongrong suami makanya di cerai” dan banyak pikiran-pikiran buruk mengisi kepala Laila, padahal mereka tidak tahu apa yang terjad
Satu minggu pasca perceraian, Laila masih tinggal di rumah Aminah demi keamanan dia dan Naya. Siapa yang bisa menduga, jika sewaktu-waktu Bimo datang ke rumah Laila dan merebut Naya atau berbuat kasar padanya. Maka dari itu, Aminah dan Andara tidak setujuh saat Laila mengatakan ingin kembali ke rumahnya sendiri. Mereka tidak ingin terjadi hal buruk menimpa Laila dan Naya lagi. “Apa rencana Kakak selanjutnya?” tanya Andara sambil mengoles selai cokelat ke rotinya.“Kakak mau jualan lagi.”“Di stasiun?” tanya Aminah yang dijawab anggukan oleh Laila.“Kanapa gak buka lapak di depan rumah kita aja atau sewa kedai,” imbuh Andara.“Kakak gak ada modal. Uang Kakak cukup buat modal kue aja, untuk sewa tempat Kakak belum punya.”“Andara ada tabungan kalau Kakak mau pake,” tawar Andara sambil melahap roti.“Ibu takut Bimo bisa aja ke sana dan membuat keributan,” sela Aminah. “Anak lebih aman jika kamu jualan di rumah aja,” sambungnya.“Bener kata Ibu, Naya juga bisa terkontrol, Kak. Kakak jug
“Bu, gimana kalau Laila pulang ke rumah aja. Biar Naya juga lebih aman di sana. Laila takut kalau di sini Mas Bimo pasti terus dateng dan bikin ribut.”“Kalua kamu pulang, Ibu sama Anda gak bisa ngawasin kalian, lagian Bimo nanti makin seenaknya kalau tau kamu cuma berdua sama Naya. Pasti dia tau kalau kalian pulang.”“Terus Laila harus gimana, Bu? Laila gak mau Naya kenapa-kenapa, gak enak juga sama Mas Gio.”“Bu, Rossa sama Mas Gio pamit pulang.” Tiba-tiba Rossa dan Gio menghampiri Aminah dan Laila yang sedang berada di dapur.“Loh, Nak Gio mau pulang ke kosan Beben?” tanya Aminah.“Gak, Bu, Mas Gio mau Rossa ajak pulang ke rumah. Gak enak ngerepotin itu terus, gak enak juga sama tetangga.”“Makan malam dulu, ya, ini udah disiapin,” ajak Aminah.Mereka pun menikamati makan malam bersama sebelum Rossa dan Gio pulang. di kursi sebelah kanan ada Aminah, Rossa dan Andara, sedangkan di sebelah kiri, Naya tidak mau lepas dari Gio. Laila sudah berusaha membujuk anak itu, tetapi ia tetap ti
Andara melerai pertikaian antara Gio dan Bimo. Darah mengalir di sudut bibir Gio dan beberapa memar tampak di wajah Bimo. Gio menghantamnya dengan beberapa pu*kulan. Bimi tidak mampu menghalau serangan Gio.“Mas, hentikan!” Andara menarik Gio dari tubuh Bimo. “Mas Bimo kalau ke sini hanya bikin keributan mending pulang aja!” usir Andara.“Aku ke sini mau menemuui anakku, tapi dia melarang.” Bimo menunjuk Laila.“Kamu brutal, Mas! Naya sedang istirahat,” jawab Laila.“Aalah ... itu hanya alasan saja, kau tidak ingin ketahuan kalau selingkuhanmu tidur di kamar ini, ‘kan?” tuduh Bimo.“Lancang kamu, Mas!”Gio tersulut emosi dan hendak memu*kul Bimo, tetapi Andara menahan pria itu.“Pulanglah, Mas! Aku akan mengantar Naya jika kau ingin bertemu dengannya. Jangan membuat keributan lagi,” pinta Andara. Terdengar jelas nada lelah dalam ucapannya. Ia sudah begitu lelah menghadapi drama yang dibuat oleh Bimo.Bimo menatap sengit Gio. Terpancar dendam dan kemarahan pada laki-laki dengan jamban
“Ibu mau ke dapur dulu, kalian pasti lapar.” Aminah beranjak dari duduknya dan hendak keluar dari kamar, tetapi Rossa menahan.“Rossa udah pesen sarapan, kok, Bu ...,” sanggah Rossa cepat.“Kamu kenapa, sih?” tana Andara bingung.“Gak apa, kita temenin Naya aja dulu,” kilah Rossa. “Aku udah bikin janji konsul ke psikolog nanti siang, biar Naya lebih tenang.”“Harus?” tanya Andra seperti ingin menolak, tapi tidak bisa mengatakannya.“Naya perlu penanganan khusus dan didampingi oleh ahlinya agar mentalnya baik-baik aja dan gak trauma. Dia pasti ketakutan banget,” terang Rossa.Aminah dan Andara mengangguk. “Apa Laila setuju?” tanya Aminah.“Tadi Rossa udah bilang, pasti Kak Laila setuju.”“Setuju apa?” Tiba-tiba Laila berdiri di ambang pintu.“Nak Rossa mau aja Naya ke psikolog nanti siang,” jawab Aminah.Belum sempat Laila menjawab, tba-tiba Gio datang membawa beberapa kantong berisi makanan. “Pesanan siapa ini?” tanya Gio.“Gue ....” Cepat-cepat Rossa menyambar benda yang ada di tang