“Apa? Kakak menemui Mas Bimo dan Bu Ratna? Kakak sudah gak waras?” ucap Andara saat Aminah menceritakan kejadian semalam.Saat Andara tiba di rumah semalam, Aminah dan Laila tidak memberitahu bahwa setelah mengantarkan makanan untuk Gio, Laila pergi ke rumah mertuanya untuk mempertimbangkan penawaran yang diberikan mereka. Andara sudah cukup larut tiba di rumah. Ibu dan kakaknya tidak mau membuat Andara yang sedang lelah menjadi marah jika malam itu langsung di beritahu. Pagi ini, saat sarapan Aminah menceritakan semuanya. Andara benar-benar terkejut dan tidak menyangka akan tindakan sang Kakak. Niat hati ia akan menceritakan kejadian di kosan Bimo, tetapi ia malah yang dikejutkan.Andara menyandarkan tubuh di sandaran kursi dan menghela napas panjang. “Lalu Kakak menerima tawaran mereka?” tanya Andara dengan tatapan intimidasi.Laila menunduk saat Andara mengajukan pertanyaan. Melihat gerak tubuh sang kakak, Andra mengacak rambutnya. “Ya Allah, Kak! Kenapa Kakak menerima tawaran mere
“Ngapain?” tanya Rossa. “Kita harus nanya ke Mas Gio.” “Kamu percaya sama dia? Hei, kita gak tau dia itu siapa?!” ujar Rossa. “Aku yakin dia yang nolongin aku.” “Kalau dia orang jahat gimana?” “Kakak setuju yang dibilang Rossa. Kita gak tau siapa dia sebenarnya.” Tiba-tiba Laila keluar menimpali ucapan Rossa. Gadis yang masih duduk di tempatnya itu mengangguk, sepakat dengan pernyataan Laila. “Ini udah jelas, Kak. Coba lihat video ini!” Andara menunjukkan video yang diberikan Rossa. Seorang pria dan seorang wanita tengah melakukan transaksi. Terlihat dari punggung pria tersebut mirip seperti Bimo, tetapi belum jelas apa benar dia orangnya dan mereka sedang melakukan apa. Dalam video itu menunjukkan keakraban, tidak segan mereka saling rangkul dan mesra. Dada Laila bergemuruh melihat adegan yang terpampang dalam video itu. Ia hanya diam tanpa bisa berkata-kata. “Kak, ini belum tentu dia,” ujar Rossa sambil mengusap punggung Laila. “Kalau pun benar gak apa, seb
“Siapa?” tanya Rossa.“Itu Anak-Anak main lempar-lemparan,” jawab Andara.“Maaf, ya, Om.” Salah satu anak meminta maaf kepada mereka lalu pergi.Mereka bertiga kembali masuk dan membersihkan bekas pecahan kaca. Saat hendak membuang benda itu ke tempat sampah, ponsel Rossa berbunyi, sebuah pesan singkat dari seseorang membuatnya berdecak kesal. “Kenapa gak ngomong sendiri aja, sih!” omel Rossa sendirian.“Kenapa?” Tiba-tiba Andara berdiri di belakang Rossa dan mengagetkannya.“Gak apa, kok.” Rossa cepat-cepat masuk.Di dalam sudah ada beberapa hidangan tersaji di atas meja. Satu kotak pizza, 3 cup minuman soda berukuran besar, burger, dan kentang goreng. Andara sengaja memesan makanan untuk mereka. “Sidang perceraian Kak Laila gimana?” tanya Rossa sambil mengambil satu potong pizza.“Kalau gak salah minggu depan sidang lanjutan.” Andara mencoba mengingat.“Bagaimana tawaran yang diajukan mereka kemarin?” Rossa kembali bertanya.Gio hanya memperhatikan mereka berdua sambil menikmati b
“Gi*la, ya, loe! Bisa-bisanya loe numbalin gue?!” omel Rossa pada seseorang melalui sambungan telepon. “Kalau dia curiga sama gue gimana? Lagian kenapa gak langsung loe sendiri aja, sih? Gedeg gue lama-lam.” Rossa menutup teleponnya dan menghela napas. Kini ia berada di kamar sambil menatap langit dari jendela. Rintik-rintik air mulai turun perlahan ke tanah. Tercium aroma musky yang membuat tenang. Rossa menghirup napas dalam, menikmati sejuknya udara siang itu. Rossa mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja yang berada di sebelah ia berdiri, sambil berpikir langkah apa yang harus ia lakukan agar Andara tidak curiga. Seperti mendapatkan kekuatan dari hujan, otaknya langsung bekerja. Rossa mencari kontak seseorang di ponselnya dan menghubungi orang tersebut. Setelah memberi perintah pada orang tersebut, ia menyambar tas dan laptop di atas meja, buru-buru ia keluar rumah menggunakan mobilnya yang terparkir di halaman. “Gue tau loe nyuruh orang buat ngikutin Mas Bimo, tapi gak mungkin gu
Kata “sesuatu” dari Rossa membuat Laila gusar. Ia tahu Rossa akan memberitahu hal yang bisa saja membuatnya semakin terluka karena dari gerak tubuh dan mimik wajah yang ditunjukkan wanita di hadapannya itu, bukanlah hal biasa, tetapi tersirat makna di sana. Apa pun yang akan ia dengar atau lihat, Laila harus siap. Ia harus menguatkan diri dan hatinya. Berharap itu adalah kabar baik sangat tidak, sangat ini hal yang paling ingin ia dengar adalah Andara dapat keluar dari permasalahannya.Rossa memberikan ponselnya kepada Laila, lalu menunjukkan beberapa video. Sejujurnya ia tidak tega, tetapi inilah bukti yang ia punya untuk membantu Laila agar proses perceraian cepat selesai. “Maaf, Kak,” ucap Rossa segan.Laila tampak tenang melihat adegan tiap adegan yang ada di dalam video tersebut. Tidak ada raut marah, sedih, atau pun terkejut, hanya raut wajah datar yang tampak. Ia sudah menduga hal itu akan terjadi. Berbanding terbalik dengan sang ibu yang sangat terkejut saat melihat orang di v
Semua melihat ke arah Rossa dengan pandangan bertanya. Dari cara ia membentak Gio terlihat seperti ada hubungan, tidak mungkin kalau Rossa beru mengenal Gio, tetapi ia berani membentak Gio pria tinggi itu seperti tadi. Andara mendekati Rossa dan menatap penuh intimidasi, lalu bertanya apa sebenarnya yang terjadi.“Mas Gio ....” Rossa menggantung ucapannya.“Katakan!” pinta Andara.“Mas Gio sebenarnya ....” Rossa menarik napas dalam, “sepupuku.” lanjut Rossa sambil menundukkan kepala.Baik Andara, Aminah, dan juga Laila terperangah dengan pengakuan Rossa. Bagaimana bisa kebetulan atau kesengajaan ini terjadi pada mereka.“Shitt!” umpat Gio pelan.Andara dan Laila memandang Rossa dan Gio bergantian, mereka seperti orang bo*doh yang sedang berdiri di depan kelas karena tidak bisa menjawab soal. Keduanya menunggu penjelasan dari Gio dan Rossa.“Ini sedikit aneh, tapi memang faktanya adalah kami bersaudara. Bisa jadi ini juga kebetulan karena aku benar-benar tidak tau kalau Mas Gio ada di
“Naya ... Naya ...!” teriak Laila menerobos masuk ke rumah Ratna. “Naya, Bunda di sini, Nak. Ayo, pulang sama Bunda.”Bimo, Ratna, dan Hermawan yang berada di kamarnya masing-masing langsung keluar mendengar keributan yang dibuat Laila. Wanita itu terus berteriak memanggil nama anaknya.“Apa-apaan ini? Datang ke rumah orang teriak-teriak kayak gak ada etika!” bentak Ratna.“Mana Naya?” tanya Laila dengan sengitnya kepada Bimo. “Mana Naya?!” Laila menari Bimo.“Kamu kenapa, sih, Dek? Naya gak ada di sini!” ujar Bimo. “Naya, kan, sama kamu.”“Jangan bohong kamu, Mas! Aku tahu kamu yang culik Naya, kembalikan anakku, Mas!” teriak Laila.Sebuah tam*paran mendarat di pipi mulus Laila. Wanita itu terkejut dan memegang pipinya. Menoleh ke arah pelaku yang menamparnya.“Dasar wanita tidak tau sopan santun! Kalau kau tidak bisa menjaga anak, jangan menyalahkan orang lain atas kesalahamu!” ujar Ratna menatap tajam Laila.“Siapa lagi pelakunya kalau bukan kalian?!” Laila menatap sengit wanita ya
“Ada apa?” tanya Laila ingin tahu.“Sebentar lagi kami sampai.” Andara menutup panggilan tersebut dan bergegas melaju dengan kecepatan tinggi.“Dek, ada apa?” tanya Laila penuh harap bercampur khawatir.“Nanti di rumah aja, Kak,” jawab Andara fokus tanpa mengalihkan padangannya dari jalan.Andara menepikan mobil dan berlari ke dalam dengan napas terengah-engah. Di sana tampak Gio sedang berbicara dengan seseorang melalui ponselnya. Sedangkan Rossa sedang duduk merangkul Aminah yang sedang menangis.“Ada apa?” tanya Laila panik. Hatinya gusar, pikirannya tidak menentu, takut membayangkan hal buruk terjadi pada Naya.Tidak ada seorang pun yang menjawab pertanyaan Laila. Ia duduk di sebelah Aminah dan menggenggam tangan keriput itu sambil bertanya apa yang sedang terjadi. Aminah tidak mejawab, hanya tangis yang terderngar. Laila menatap Rossa berharap mendapat jawaban dari gadis berkacamata itu. Namun nihil, ia juga tidak mendapat jawaban apa pun. Laila frustrasi melihat orang-orang di s
Di pintu keberangkatan internasional, Aminah, Rossa, dan Andara mengantar kepergian Laila dan Gio yang akan terbang ke Turki."Jaga diri baik-baik di sana, ya!" seru Aminah dengan mata berkaca-kaca."Iya, Bu. Jangan khawatir, kami akan baik-baik saja," balas Laila, tersenyum lembut.Sementara itu, Naya yang berada dalam pelukan Gio tak kalah antusias melambaikan tangan. Wajah gadis kecil itu berseri-seri, matanya berbinar penuh kegembiraan."Bunda, kita liburan ke luar negeri lagi, ya?" tanya Naya penuh semangat.Laila mengangguk, mengusap lembut rambut putrinya. "Iya, Sayang. Ini perjalanan spesial buat kita.""Bro, jangan lupa pulang bawa jagoan buat temen gue gelut," bisik Andara sambil tertawa."Tenang, gue udah bawa jamu yang banyak," balas Gio santai. "Oh iya, nanti aku bawain sesuatu yang spesial buat pernikahan kalian," lanjutnya, melirik Rossa yang tersenyum malu.Setelah berbicara sebentar, mereka bertiga masuk ke dalam area pemeriksaan. Aminah, Rossa, dan Andara melambaikan
Jhon membungkukkan tubuh saat memasuki ruang makan, di mana Gio dan Laila sedang menikmati sarapan mereka."Semua dokumen sudah siap, Tuan. Hari ini isbat pernikahan Tuan dan Nyonya akan dilakukan di Pengadilan Agama," lapor Jhon dengan sopan.Gio meletakkan sendoknya, lalu menatap Laila sambil menyentuh tangannya. "Sayang, hari ini kita akan meresmikan pernikahan kita. Kamu siap?"Senyum dan binar bahagia terpancar dari wajah Laila. Ia mengangguk mantap."Kabari Ibu dan Andara, kita akan menjemput mereka," lanjut Gio."Baik, Mas."Di ruang sidang Pengadilan Agama, Gio dan Laila duduk berdampingan. Pengacara Gio sudah menyiapkan semua dokumen agar proses berjalan lancar.Setelah mendengar kesaksian mereka, hakim akhirnya mengetuk palu."Dengan ini, pernikahan saudara Gio dan Laila dinyatakan sah secara hukum negara. Buku nikah akan segera diterbitkan."Laila menghela napas lega. Tangannya digenggam erat oleh Gio, seolah meyakinkan bahwa semua ini nyata. Kini mereka telah sah, bukan ha
Laila menatap Gio dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ia kini mengerti betapa berat beban yang selama ini dipikul oleh suaminya. Dengan suara yang bergetar, ia berkata, "Pasti berat banget kamu bertahan selama ini, ya, Mas? Maaf ... aku sudah marah-marah sama kamu dan gak ngerti perasaan kamu."Gio tersenyum kecil, lalu mengangkat tangannya untuk membelai pipi Laila dengan lembut. "Kamu gak perlu minta maaf, Sayang. Aku paham, kamu hanya ingin kejujuran dan kepastian. Aku yang salah karena menutupi semuanya darimu," ucapnya lirih.Air mata Laila jatuh tanpa bisa ia tahan. Dengan perlahan, ia melingkarkan tangannya di leher Gio, memeluknya erat seakan ingin menyalurkan seluruh perasaannya. "Aku hanya ingin kamu percaya padaku, Mas. Aku ingin jadi bagian dari hidupmu, sepenuhnya," bisiknya.Gio membalas pelukan itu lebih erat, membenamkan wajahnya di bahu Laila, menghirup aroma tubuhnya yang selalu membawa ketenangan. "Selama ada kamu di sampingku, semuanya akan baik-baik saja," ucapny
Malam itu, Gio duduk di teras rumah sederhana, menatap langit yang bertabur bintang. Udara segar dari pepohonan di sekitar terasa menyejukkan, diiringi suara jangkrik yang bersahutan. Begitu berbeda dengan suasana rumahnya di kawasan elit. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, menghela napas berat. Pikirannya dipenuhi semua perkataan Laila. Baru menikah, tapi ia sudah menghadapi ujian besar.Rasa bersalah dan penyesalan menggelayut dalam hatinya. Rahasia yang selama ini ia simpan kini menjadi bumerang dalam rumah tangganya. Ia ingin jujur, tapi di saat yang sama, ia belum siap. Bagaimana jika setelah ia mengungkapkan segalanya, Laila justru semakin membencinya dan benar-benar pergi? Bayangan itu terus menghantuinya.Tiba-tiba, kursi di sebelahnya bergeser. Rossa menariknya dan duduk, menghela napas panjang sebelum berbicara."Capek, ya, Mas?" sapanya mencoba mencairkan suasana.Gio membuka matanya yang sempat terpejam, menoleh ke arah Rossa. "Sedikit," jawabnya singkat."Sampai kapan lu
Gio menangkap bayangan di balik pintu. Seketika matanya menyipit, lalu memberikan isyarat kepada Jhon untuk menghentikan pembicaraan.Ia berbalik, melangkah pelan menuju pintu.Di luar, Laila tersentak saat melihat suaminya bergerak ke arahnya. Panik, ia segera membalikkan badan, berusaha pergi sebelum ketahuan. Namun, ia kalah cepat. Sebelum sempat melangkah lebih jauh, tangan Gio mencengkeram pergelangannya dengan kuat."Laila," suara Gio terdengar dalam dan berat.Laila menelan ludah, jantungnya berdetak tak beraturan. Perlahan, ia berbalik, menatap suaminya yang berdiri tegak di depannya."Sejak kapan kamu di sana?" suara Gio terdengar tajam, mencurigai.Sekilas, rasa takut menyelimuti Laila, tetapi ia segera menguasai dirinya. Dengan cepat, ia menepis tangan suaminya, menatapnya penuh selidik."Apa yang sedang kamu rencanakan, Mas?" suaranya bergetar, tetapi nadanya penuh penuntutan.Mata Gio tetap mengunci pandangan istrinya. "Kamu mendengar semuanya?""Jawab aku, Mas!" Laila se
Sudah lebih dari seminggu Laila dan Naya berada di Italia bersama Gio. Selama di sana, mereka tidak hanya menikmati keindahan Verona, tetapi juga menjelajahi berbagai kota dengan pesona yang memukau—Venezia dengan kanal-kanalnya yang romantis, Florence yang penuh seni, hingga pesona pedesaan di Tuscany yang begitu tenang. Bagi Naya, perjalanan ini terasa seperti dongeng. Bocah itu selalu ceria, berlarian di antara bangunan bersejarah, menikmati gelato di bawah sinar matahari sore, dan tertawa lepas saat melihat burung merpati beterbangan di Piazza San Marco. Sementara itu, Laila menyimpan perasaan campur aduk. Ada kebahagiaan saat melihat Naya begitu senang, tetapi juga ada kepedihan di sudut hatinya. Hidup yang tenang seperti ini terasa asing baginya, berbeda jauh dari kenyataan yang selama ini ia jalani. Namun, ia tetap menjaga kebahagiaan di depan Naya. Sesekali ia membagikan momen-momen itu di media sosial, memperlihatkan senyum tulus Naya yang bercahaya dalam setiap foto. Namun
Gio duduk di kursinya, menatap Jhon yang berdiri di hadapannya dengan ekspresi serius.“Bagaimana dengan Sintya?” tanyanya datar.Jhon menunduk sedikit sebelum menjawab, “Sesuai perintah, kami memperlakukannya dengan baik. Anda ingin bertemu dengannya, Tuan?”Gio mengangguk tanpa ragu. Jhon pun memberi isyarat agar ia mengikutinya.Saat mereka keluar dari ruang kerja, tanpa sengaja Laila melihat keduanya berjalan melewati ruang tengah, tetapi bukannya masuk, mereka berbelok ke arah lain. Laila mengernyit, memperhatikan langkah mereka yang berhenti di depan sebuah dinding kayu. Namun, bukan sekadar dinding biasa—ada sesuatu yang tersembunyi di sana.Jantungnya berdegup lebih cepat saat melihat Jhon menarik sebuah pajangan di rak, dan tiba-tiba, sebuah pintu tersembunyi terbuka.Laila menahan napas. Tangannya refleks menutup mulutnya agar tidak bersuara. Ketika Gio dan Jhon menghilang di balik pintu itu, ia mendekat perlahan. Tangannya meraba pajangan yang tadi disentuh Jhon, dan dengan
"Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan dariku, Mas?" tanya Laila penuh curiga. Gio terdiam. Otaknya berputar cepat, mencari alasan yang tepat agar Laila tidak semakin curiga. "Aku melihat semuanya, Mas." Laila menatap tajam. "Aku melihat Mas dan Jhon keluar rumah bersama beberapa pengawal. Apa yang sebenarnya Mas lakukan? Kenapa baju Mas penuh darah? Siapa Mas sebenarnya?" Gio menarik napas dalam, mencoba tetap tenang. "Sayang, dengarkan Mas dulu." Ia mencoba merangkul Laila, tetapi wanita itu menghindar. "Jelaskan, Mas!" "Semalam Mas ada panggilan mendadak. Salah satu karyawan mengalami kecelakaan, jadi Mas harus segera ke Turin." Laila menatapnya tajam, mencoba menangkap kebohongan jika ada. "Kamu gak bohong, 'kan, Mas?" "Tentu, Sayang." "Lalu, darah ini dari mana?" "Mas menolong mereka yang kecelakaan dan harus membawa mereka ke rumah sakit. Maaf Mas gak bilang, Mas takut ganggu tidur kamu." Gio akhirnya berhasil meraih Laila dalam pelukannya. Perempuan itu tidak
"Kalian istirahat aja duluan, Mas masih ada pekerjaan," ujar Gio.Laila, yang sedang menemani Naya di tempat tidur, hanya terdiam. Tadinya ia berpikir malam ini akan menjadi malam pertama yang istimewa bagi mereka, tetapi lagi-lagi Gio tampak tidak peduli. Bukannya bersama istrinya, pria itu justru memilih keluar tanpa banyak bicara.Laila hendak bertanya, tapi mengurungkan niatnya. Ia takut hal itu hanya akan membuat Gio semakin menjauh. Akhirnya, ia memilih diam dan membiarkan suaminya pergi.Laila menghela napas saat pintu tertutup. Ia menatap wajah putrinya yang mulai terpejam, lalu membelai kepalanya dengan lembut. "Selamat tidur, Sayang," bisiknya pelan.***Di bagian lain vila, yang tersembunyi di balik perpustakaan, Gio dan Jhon berkumpul di ruang taktis yang telah lama ia siapkan. Ruangan itu minim cahaya, hanya diterangi lampu meja dan layar monitor besar yang menampilkan peta elektronik. Beberapa senjata tersusun rapi di rak besi di sudut ruangan, bersama peralatan komunika