Ratna keluar dengan muka ditekuk. “Bisa-bisanya mereka bergibah di depanku,” gerutu Ratna sambil menuruni anak tangga yang berada di teras rumah mewah tersebut.
Wanita yang mengenakan sepatu berhak 5 centi itu berjalan sambil mengentakkan kakinya, tanpa ia sadar anak tangga yang ia lalui terdapat kulit pisang dan mengakibatkan ia terpeleset hingga terduduk. Ratna menggeram, melihat kiri dan kanan, malu jika sampai teman-temannya melihat, bergegas ia masuk ke mobil yang sejak tadi menunggunya. Tanpa disadari Ratna, beberapa temanya mengintip dari jendela dan tertawa melihat ia terjatuh. Bimo yang menunggu di mobil terkekeh melihat ibunya jatuh. Ia langsung pura-pura memainkan ponsel saat Ratna membuka pintu dan membantingnya dengan keras. Bimo tersentak. “Kenapa Mama terlihat kesal?” tanya Bimo. “Mama gak mau Laila berjualan di stasiun lagi. Mulai besok dia gak boleh lagi berada di sana. Mama malu!” oceh Ratna. “Ada apa, Ma?” “Istri kamu itu bikin Mama malu, semua teman Mama tahu kalau Laila jualan gorengan di stasiun. Kamu juga, istri bikin malu keluarga malah diam aja bukannya dilarang! Harusnya kamu suruh dia kerja yang lebih elit biar Mama gak malu,” gerutu Ratna. “Dan yang bikin Mama kesal, bisa-bisanya mereka bilang papa kamu terlibat kasus!” Bimo hanya diam, apa yang dikatakan ibu-ibu itu semua ada benarnya, tetapi mana mungkin dia mengatakan kalau Laila jualan karena tidak pernah diberi uang, bisa-bisa ibunya malah menginterogasi, bukankah selama ini ia mengatakan bahwa Laila diberi jatah 3 juta setiap bulannya. Bimo menghela napas, mendengarkan Ratna yang masih saja mengomel. Ditariknya tuas kopling dan menginjak gas,mobil silver itu meluncur meninggalkan pekarangan rumah. *** Baru saja Bimo melangkah masuk, Laila tiba-tiba melemparkan sebuah surat ke arahnya. Ia terkejut, lalu menatap istrinya dengan raut wajah bingung sekaligus marah. Bukannya disambut dengan senyuman, tetapi malah wajah masam dan lemparan yang ia terima. Bimo memungut kertas yang jatuh di hadapannya. Surat peringatan dari kantor kades dan juga tagihan hutang dari tempat Bimo berjudi. “Dari mana kamu seharian ini, Mas? Tadi Bu Tina dateng ke sini mau besuk kamu.” Belum sempat Bimo duduk, Laila sudah menodongnya dengan pertanyaan. “Bisa gak biarkan aku duduk dan sediakan aku minum dulu! Suami baru pulang sudah ditanya-tanya, malah dilempar lagi, durhaka kamu sama suami!” “Suami modelan kayak kamu gak apa dilempar-lempar, gak perlu disopani, gak akan durhaka, yang ada kamu durhaka sama istri dan anak. Kalau modelan Nabi Muhammad baru aku durhaka kalau kurang ajar.” “Songong kamu, ya, dibilangi!” Bimo meninggalkan Laila yang masih berdiri di hadapannya. Ia menuju kamar dan merebahkan tubuh. Laila mendengus kesal karena tidak dihiraukan oleh Bimo. Sambil menggerutu ia berjalan ke dapur, menyelesaikan kue yang akan dijual besok. Baru saja ia akan menungkan tepung ke dalam baskom, terdengar suara ketukan dari arah depan. Laila melihat jam di dinding, pukul 17.45 menit, siapa yang bertamu menjelang magrib pikirnya. Ia meletakkan sisa adonan, mencuci tangan, dan bergegas ke arah pintu karena ketukan itu berubah menjadi sebuah gedoran yang sangat kuat. Dua orang pria bertubuh besar dengan tato di tangannya, mengenakan kaos ketat hingga membentuk dadanya yang bidang. Salah satu pria dengan kepala plontos dan kalung rantai kapal di lehernya, sedangkan pria satunya berambut gondrong dengan jambang lebat di wajahnya. Laila sedikit ngeri melihat penampilan keduanya yang seperti tukang pukul. Namun, seramah mungkin ia menyambut tamunya agar tidak kentara bahwa ia sebenarnya takut. “Cari siapa?” tanya Laila. “Mana Bimo? Dia janji hari ini akan melunasi hutangnya,” ujar pria plontos itu. “Hutang?” Laila bingung, tadi siang baru saja ada orang yang mengantarkan tagihan hutang, lalu ini ada lagi yang menagih hutang. Sebenarnya apa yang dilakukan Bimo diuar rumah. “Cepat panggil Bimo atau aku hancurkan isi rumah ini!” bentaknya lagi sambil menendang kursi yang berada tepat di sebelah mereka. Laila terlonjak, sambil terbata-bata ia mengangguk dan masuk memanggil Bimo. Ia membuka kasar pintu, Bimo yang sedang merebahkan diri dengan celana pendek dan kaos oblongnya, terkejut karena benturan pintu di dinding. Laila melotot ke arah Bimo. “Siapa preman-preman di depan itu, Mas?” tanya Laila penuh selidik. Bimo bangkir dari tidurnya, ia mengernyitkan dahi dan mengangkat kedua bahu, seolah-olah tidak paham maksud sang istri. “Jangan pura-pura tidak tahu! Mereka datang menagih hutang,” ujar Laila. Sontak Bimo beranjak dari tempat tidur dan berjalan cepat menemui 2 orang preman yang menunggunya di teras.Laila mencegat lengan Bimo, sejenak ia terhenti dan menoleh. “Aku tidak mau terlibat dalam urusanmu!” Laila memberi peringatan. Bimo tidak menghiraukan perkataan istrinya. Ia hanya dia dan menepis tangan Laila. Terdengar sedikit cekcok dari luar, Laila sengaja menguping dan mengintip dari balik gorden jendela. Ia menutup mulut dengan kedua tangan saat melihat suaminya dipu*kul oleh pria plontos itu. Ada sedikit iba yang dirasakannya, meski Bimo sering berbuat kasar, tetapi ia tidak tega melihat sang suami dipu*kul orang. Dua orang itu menunjuk ke arah Bimo, lalu pergi. Cepat-cepat Laila berjalan ke dapur, takut ketahuan Bimo jika ia sedang mengintip. Laila berpura-pura sedang mengadon kue, ia melirik, sekilas Bimo sudah berdiri tidak jauh dibelakangnya. Laila tidak menghiraukan Bimo yang tampak gelisah, seolah-olah ada yang ingin disampaikan. Laila masih sibuk dengan tepung, mentega, dan telur, ia sengaja tidak mendengar saat suaminya memanggil. Tangannya dengan lihai dan cekatan membentuk kue jajanan pasar, mondar-mandir mengambil barang, tanpa menghiraukan Bimo yang sejak tadi berdiri di dekatnya. Kesal tidak dihiraukan, Bimo menarik Laila saat melintas di depannya. Laila menatap Bimo dengan pandangan menantang. “Sudah aku katakan, aku tidak mau terlibat dalam masalahmu!” Seolah-olah paham dengan maksud Bimo, Laila menepis cengkeraman suaminya, lalu berbalik dan menuju tempat mencuci piring. “Tolong bantu aku, aku butuh 10 juta hari ini, kalau tidak mereka akan membu*nuhku. Apa kamu mau Naya tumbuh tanpa ayah?” bujuk Bimo. “Ada atau tanpa ayah pun, tidak ada bedanya bagi Naya,” jawab Laila tanpa mengalihkan pandangannya, ia sibuk mencuci piring yang sudah menumpuk. “Aku mohon, cuma 10 juta, gak banyak, kok.” “Cuma 10 juta katamu, Mas? Bagimu uang 10 juta gak banyak, tapi bagiku uang 10 juta bisa untuk aku dan Naya makan selama berbulan-bulan. Lagian, untuk apa, sih, kamu hutang sebanyak itu? Kasih nafkah juga gak. Minta aja sama Mama atau Papa kamu!” “Kamu itu istri aku, kalau suami dalam masalah, istri wajib membantunya.” “Suami yang gimana dulu? Suami mokondo kayak kamu? Kapok aku, udah cukup selama 6 tahun ini aku membiayai semua kebutuhan kamu. Sekarang gak, Mas!” ucap Laila penuh penankanan. Wajah Bimo menjadi merah, ia merasa terhina dengan ucapan Laila, tetapi lebih tepatnya adalah malu karena apa yang dikatakan istrinya adalah suatu kebenaran. Ia tidak pernah memberi nafkah, selama ini Laila lah yang memerinya makan dan mencukupi kebutuhannya, sedangkan uang gaji, sepenuhnya ia berikan kepada Ratna. Begitu pun jika ia mendapatkan bonus dari beberapa proyek, ia akan memberikan uang itu kepada sang ibu tanpa sepengetahuan Laila. Bukan hanya bentuk baktinya, tetapi Ratna akan marah jika Bimo tidak memberinya uang. Ibunya akan mengatakan bahwa ia anak yang durhaka dan lebih mementingkan istri dari pada ibu. Bimo menarik paksa kalung yang melingkar di leher Laila. Wanita yang sedang membereskan alat masaknya itu terkejut saat tangan kekar Bimo menarik benda berharga miliknya. Kalung satu-satunya milik Laila, pemberian dari ibunya. “Mas, kembalikan kalungku!” teriak Laila Bimo berlari keluar setelah menyambar kunci mobil yang tergeletak di atas meja. Namun sayang, saat hendak ia mengeluarkan mobil, sebuah sepeda motor menghadang jalan. Bimo memukul kemudi mobil dan mengacak rambut dengan kasar. “Sial!” teriaknya“Cepat keluar!” Seorang pria berbadan kekar memukul kaca mobil, “jangan kabur kamu! Cepat bayar hutangmu, enak aja abis ngutang gak mau bayar!”Bimo keluar dengan pasrah, hari ini sudah ada beberapa orang yang datang menagih hutang, tidak menutup kemungkinan kalau besok akan ada orang yang datang lagi. Bimo harus mencari cara agar terlepas dari kejaran para preman itu. Namun saat ini ia berada di posisi sulit, meminta kepada orang tuanya sama saja dengan bu*nuh diri. Kedua orang tua Bimo, terutama Ratna, tidak akan percaya jika sang anak terlilit banyak hutang, terlebih selama ini Bimo dikenal anak yang santun dan pekerja keras. Mustahil bagi mereka jika Bimo jatuh dalam lembah hitam.“Bang, kasih saya waktu satu minggu, pasti saya lunasi hutangnya,” pinta Bimo.“Halah, dari kemarin juga janjinya satu minggu , ini sudah satu bulan. Cepat bayar atau aku sita mobil ini!”“Jangan, Bang. Saya janji kali ini benar-benar akan saya lunasi.”Laila yang masih merutuki dan mengumpat perbuatan
Sebelum Ratna berbuat kasar, Laila langsung berdiri dan berlari menuju kamar Naya sambil menjulurkan lidah ke arah mertuanya. Dari balik pintu, ia tertawa geli melihat ekspresi Ratna yang kesal karena diledeknya. “Ini baru awal, Ma. Aku bukan Laila yang dulu, yang hanya diam saja saat kau hina.” Laila bermonolog. “Bunda, kenapa?” tanya Naya melihat sang bunda tertawa sendiri. Laila hanya menggeleng lalu berjalan mendekati Naya, duduk di sebelah sang putri yang sedang mewarnai. Di luar, Ratna mengumpat perbuatan menantunya itu. Mendengar teriakan Ratna, Bimo yang tengah tertidur di kamarnya, keluar sambil berjalan malas. “Ada apa, sih, berisik sekali!” bentaknya. Wanita yang dari tadi berdiri di depan meja makan, menoleh ke sumber suara. Mendapati anak laki-lakinya keluar kamar. Ia berjalan mendekat dan menjewer telinga Bimo. Menumpahkan kekesalan atas tindakan Laila kepada Bimo. Laki-laki dengan celana pendek itu menjerit. Matanya terbelalak menyadari bahwa sang ibu y
Andara berlari menuju Bimo yang sedang menikmati makan malam. Ia menarik kera baju lalu mem*mukul wajah Bimo. Laki-laki yang merupakan kakak iparnya itu terkejut dan tersungkur dari kursi meja makan. “Apa-apaan kamu!” bentak Bimo sambil berdiri. Cairan merah kental keluar dari sudut bibirnya. Laila memeluk Naya yang duduk di kursi seberang Bimo. Ia membenamkan wajah anaknya dalam pelukan, tidak ingin sang putri melihat pamannya baku hantam dengan sang ayah. Bergegas Laila mengajak gadis kecil itu ke kamar dan memerintahkan agar Naya tidak keluar. Gadis itu mengangguk. “Laki-laki benalu!’ umpat Andara. “Ada apa ini?” tanya Laila bingung. “Suami tercinta Mbak ini sudah menggadaikan rumah, Mbak!” tutur Andara dengan lantang. Wanita yang berdiri di antara adik dan suaminya itu terkejut. Kedua telap tangannya menutup mulut lalu menatap ke arah sang suami. Ia menggelakkan kepala tidak percaya kalau Bimo tega berbuat seperti itu. “Sudah aku katakan jangan kembali pada benalu in
“Bimo!” Ratna berteriak memanggil anaknya yang langsung masuk ke rumah.Laki-laki Itu tidak menghiraukan ibunya, ia terus saja berjalan menuju kamar, tempat yang selalu disinggahi jika berada di rumah orang tuanya. Bimo menghempaskan tubuh di atas kasur king sizenya. Ia menatap kosong langit-langit kamar yang berwarna putih. Pandangannya beralih pada sebuah foto yang menempel tepat di depannya. Di sana tampak seorang wanita cantik mengenakan gaun putih seperti putri di negeri dongeng, dihiasi senyum manis dengan lesung pipi. Di sebelah wanita itu, seorang pria tinggi berhidung mancung dengan mengenakan jas hitam, menatap penuh cinta ke arah wanita tersebut.Itu adalah foto pernikahan Bimo dan Laila. Bimo menyambar vas bunga yang berada di meja samping tempat tidurnya, lalu melempar benda itu ke arah foto tersebut. Suara benturan dan pecahan kaca menggelegar di kamar itu. Ia menjerit, menangis frustrasi, merasakan kesal dan kecewa pada diri sendiri. Andai ia tidak salah langkah dan sel
Bimo menghadang Laili, saat tangannya menarik lengan wanita itu, Andara menepis dan mengajak Laila masuk.“Jangan pernah menyakiti kakakku lagi!” ancam Andara menunjuk Bimo.Mereka meninggalkan Bimo yang masih mematung di sana.Hampir satu jam Andara menjalani pemeriksaan, semua pertanyaan ia jabarkan dengan gamblang, alasan kenapa ia memukul Bimo sampai perlakuan kakak iparnya itu terhadap Laila. Andara sudah menyiapkan semua bukti, saat Laila melarikan diri malam-malam karena KDRT dari Bimo, diam-diam ia memfoto wajah sang kakak yang sedang tertidur. Juga merekam pembicaraannya dengan Pak Kades saat mengambil sertifikat rumah.Semua bukti bisa membebaskan Andara dari tuntutan keluarga Bimo, tetapi uang bisa saja mengubah segalanya. Laila dan Andara tidak tahu drama apa yang telah disiapkan oleh ibu Bimo.Mereka keluar kantor polisi dengan perasaan lega. Andara mengajak Laila untuk mampir ke warung bakso langganan mereka. Sesampainya di sana, Andara memilih tempat paling pojok dan me
“Lepasin!” Laila berusaha menarik tangannya, tetapi cengkeraman Bimo begitu keras.Laila terus diseret Bimo tanpa peduli teriakan sang istri yang kesakitan. Andara dan Aminah yang berada di kamar masing-masing sontak keluar. Aminah yang tengah bersama cucunya itu berteriak agar Bimo melepaskan Laila. Naya, menangis melihat Laila menyeret Bimo. Cepat sang nenek membawa Naya masuk ke kamar.“Naya, jangan keluar, ya, Sayang.” Aminah menenangkan cucunya dan diikuti anggukan oleh Naya. Setelah merasa cucunya telah tenang, Aminah berlari menghampiri Bimo yang masih memaksa Laila.“Mas, lepaskan! Sakit!” Laila mencoba memukul lengan Bimo yang mencengkeramnya.“Kamu harus nurut sama suami!” Bimo melotot ke aras sang istri.Wanita yang masih mengenakan mukena putih itu, terus meronta, berusaha melepaskan diri dari Bimo. Tiba-tiba sebuah tamparan melayang ke pipi mulusnya hingga ia tersungkur.“Laila ....” Sigap Aminah menyambut tubuhnya.Melihat kakaknya dita*mpar Bimo, Andara meradang dan la
Di tempat terpisah, Laila dan Aminah pulang dari pengadilan menggunakan taksi online karena Andara harus mencari bukti. Laila dan ibunya masih tidak percaya dengan kesaksian Pak Kades. Mereka berkutat dengan pikirannya masing-masing. Tidak mungkin Andara tega melalukan apa yang seperti diucapkan Pak Kades.“Bu, aku gak percaya sama omongan Pak Kades,” ujar Laila memecah kesunyian.“Ibu juga gak yakin, tapi kenapa Pak Kades berbohong?”“Ibu tahu sendiri, kan, kalau Pak Kades mata duitan? Pasti keluarga Mas Bimo sudah membayarnya.”“Tidak boleh menuduh orang seperti itu.”“Laila gak asal nuduh, Bu. Laila sudah hafal betul bagaimana keluarga itu.”“Semoga saja adikmu bisa mendapatkan bukti.” Harap Aminah.***Sebuah kafe bergaya modern dan instagramable dengan suasana alam yang terlihat asri, pepohonan rindang dikeliling lampu kerlap kelip dan live musik yang mengalun romantis. Seorang pemuda tinggi dengan balutan kemeja cokelat dipadukan celana jin, serta jaket yang tersandar di bahu ku
Suara bariton Bimo menggelegar di ruangan itu. Semua menoleh dan terkejut melihat sosok laki-laki yang sudah memorak-porandakan hidup Laila, berdiri di ambang pintu dengan tatapan penuh amarah, melihat Laila memangku laki-laki yang tidak diketahui identitasnya.“Belum juga sidang cerai, kau sudah berani membawa laki-laki lain ke rumah ini, dasar murahan!” sungut Bimo.“Jaga ucapanmu, Mas!” bentak Laila.“Tidak usah meninggikan suaramu di hadapanku! Faktanya sudah ada di depan mata. Benar yang Mama bilang, kalau sampah tidak akan bisa jadi berlian meskipun dibawa ke singgasana.”“Berani sekali lagi kau menghina kakakku, jangan harap kau bisa keluar dari sini dengan kaki yang utuh!” Andara mencengkeram kerah baju Bimo.Bimo menepis tangan Bimo dari lehernya, sambil mengibas-ngibaskan baju, seolah-olah ia baru saja terkena najis, “Ingat, kau sedang dalam penyelidikan!” ancam Bimo sambil menunjuk wajah Andara.“Jika kau hanya ingin membuat keributan di sini, silakan keluar, Mas!” Laila be