Share

Bab 5

Ratna keluar dengan muka ditekuk. “Bisa-bisanya mereka bergibah di depanku,” gerutu Ratna sambil menuruni anak tangga yang berada di teras rumah mewah tersebut.

Wanita yang mengenakan sepatu berhak 5 centi itu berjalan sambil mengentakkan kakinya, tanpa ia sadar anak tangga yang ia lalui terdapat kulit pisang dan mengakibatkan ia terpeleset hingga terduduk. Ratna menggeram, melihat kiri dan kanan, malu jika sampai teman-temannya melihat, bergegas ia masuk ke mobil yang sejak tadi menunggunya. Tanpa disadari Ratna, beberapa temanya mengintip dari jendela dan tertawa melihat ia terjatuh.

Bimo yang menunggu di mobil terkekeh melihat ibunya jatuh. Ia langsung pura-pura memainkan ponsel saat Ratna membuka pintu dan membantingnya dengan keras. Bimo tersentak.

“Kenapa Mama terlihat kesal?” tanya Bimo.

“Mama gak mau Laila berjualan di stasiun lagi. Mulai besok dia gak boleh lagi berada di sana. Mama malu!” oceh Ratna.

“Ada apa, Ma?”

“Istri kamu itu bikin Mama malu, semua teman Mama tahu kalau Laila jualan gorengan di stasiun. Kamu juga, istri bikin malu keluarga malah diam aja bukannya dilarang! Harusnya kamu suruh dia kerja yang lebih elit biar Mama gak malu,” gerutu Ratna. “Dan yang bikin Mama kesal, bisa-bisanya mereka bilang papa kamu terlibat kasus!”

Bimo hanya diam, apa yang dikatakan ibu-ibu itu semua ada benarnya, tetapi mana mungkin dia mengatakan kalau Laila jualan karena tidak pernah diberi uang, bisa-bisa ibunya malah menginterogasi, bukankah selama ini ia mengatakan bahwa Laila diberi jatah 3 juta setiap bulannya. Bimo menghela napas, mendengarkan Ratna yang masih saja mengomel. Ditariknya tuas kopling dan menginjak gas,mobil silver itu meluncur meninggalkan pekarangan rumah.

***

Baru saja Bimo melangkah masuk, Laila tiba-tiba melemparkan sebuah surat ke arahnya. Ia terkejut, lalu menatap istrinya dengan raut wajah bingung sekaligus marah. Bukannya disambut dengan senyuman, tetapi malah wajah masam dan lemparan yang ia terima. Bimo memungut kertas yang jatuh di hadapannya. Surat peringatan dari kantor kades dan juga tagihan hutang dari tempat Bimo berjudi.

“Dari mana kamu seharian ini, Mas? Tadi Bu Tina dateng ke sini mau besuk kamu.” Belum sempat Bimo duduk, Laila sudah menodongnya dengan pertanyaan.

“Bisa gak biarkan aku duduk dan sediakan aku minum dulu! Suami baru pulang sudah ditanya-tanya, malah dilempar lagi, durhaka kamu sama suami!”

“Suami modelan kayak kamu gak apa dilempar-lempar, gak perlu disopani, gak akan durhaka, yang ada kamu durhaka sama istri dan anak. Kalau modelan Nabi Muhammad baru aku durhaka kalau kurang ajar.”

“Songong kamu, ya, dibilangi!” Bimo meninggalkan Laila yang masih berdiri di hadapannya. Ia menuju kamar dan merebahkan tubuh.

Laila mendengus kesal karena tidak dihiraukan oleh Bimo. Sambil menggerutu ia berjalan ke dapur, menyelesaikan kue yang akan dijual besok. Baru saja ia akan menungkan tepung ke dalam baskom, terdengar suara ketukan dari arah depan. Laila melihat jam di dinding, pukul 17.45 menit, siapa yang bertamu menjelang magrib pikirnya. Ia meletakkan sisa adonan, mencuci tangan, dan bergegas ke arah pintu karena ketukan itu berubah menjadi sebuah gedoran yang sangat kuat.

Dua orang pria bertubuh besar dengan tato di tangannya, mengenakan kaos ketat hingga membentuk dadanya yang bidang. Salah satu pria dengan kepala plontos dan kalung rantai kapal di lehernya, sedangkan pria satunya berambut gondrong dengan jambang lebat di wajahnya.

Laila sedikit ngeri melihat penampilan keduanya yang seperti tukang pukul. Namun, seramah mungkin ia menyambut tamunya agar tidak kentara bahwa ia sebenarnya takut.

“Cari siapa?” tanya Laila.

“Mana Bimo? Dia janji hari ini akan melunasi hutangnya,” ujar pria plontos itu.

“Hutang?” Laila bingung, tadi siang baru saja ada orang yang mengantarkan tagihan hutang, lalu ini ada lagi yang menagih hutang. Sebenarnya apa yang dilakukan Bimo diuar rumah.

“Cepat panggil Bimo atau aku hancurkan isi rumah ini!” bentaknya lagi sambil menendang kursi yang berada tepat di sebelah mereka.

Laila terlonjak, sambil terbata-bata ia mengangguk dan masuk memanggil Bimo. Ia membuka kasar pintu, Bimo yang sedang merebahkan diri dengan celana pendek dan kaos oblongnya, terkejut karena benturan pintu di dinding.

Laila melotot ke arah Bimo. “Siapa preman-preman di depan itu, Mas?” tanya Laila penuh selidik.

Bimo bangkir dari tidurnya, ia mengernyitkan dahi dan mengangkat kedua bahu, seolah-olah tidak paham maksud sang istri.

“Jangan pura-pura tidak tahu! Mereka datang menagih hutang,” ujar Laila.

Sontak Bimo beranjak dari tempat tidur dan berjalan cepat menemui 2 orang preman yang menunggunya di teras.Laila mencegat lengan Bimo, sejenak ia terhenti dan menoleh.

“Aku tidak mau terlibat dalam urusanmu!” Laila memberi peringatan. Bimo tidak menghiraukan perkataan istrinya. Ia hanya dia dan menepis tangan Laila.

Terdengar sedikit cekcok dari luar, Laila sengaja menguping dan mengintip dari balik gorden jendela. Ia menutup mulut dengan kedua tangan saat melihat suaminya dipu*kul oleh pria plontos itu. Ada sedikit iba yang dirasakannya, meski Bimo sering berbuat kasar, tetapi ia tidak tega melihat sang suami dipu*kul orang. Dua orang itu menunjuk ke arah Bimo, lalu pergi. Cepat-cepat Laila berjalan ke dapur, takut ketahuan Bimo jika ia sedang mengintip.

Laila berpura-pura sedang mengadon kue, ia melirik, sekilas Bimo sudah berdiri tidak jauh dibelakangnya. Laila tidak menghiraukan Bimo yang tampak gelisah, seolah-olah ada yang ingin disampaikan. Laila masih sibuk dengan tepung, mentega, dan telur, ia sengaja tidak mendengar saat suaminya memanggil. Tangannya dengan lihai dan cekatan membentuk kue jajanan pasar, mondar-mandir mengambil barang, tanpa menghiraukan Bimo yang sejak tadi berdiri di dekatnya.

Kesal tidak dihiraukan, Bimo menarik Laila saat melintas di depannya. Laila menatap Bimo dengan pandangan menantang.

“Sudah aku katakan, aku tidak mau terlibat dalam masalahmu!” Seolah-olah paham dengan maksud Bimo, Laila menepis cengkeraman suaminya, lalu berbalik dan menuju tempat mencuci piring.

“Tolong bantu aku, aku butuh 10 juta hari ini, kalau tidak mereka akan membu*nuhku. Apa kamu mau Naya tumbuh tanpa ayah?” bujuk Bimo.

“Ada atau tanpa ayah pun, tidak ada bedanya bagi Naya,” jawab Laila tanpa mengalihkan pandangannya, ia sibuk mencuci piring yang sudah menumpuk.

“Aku mohon, cuma 10 juta, gak banyak, kok.”

“Cuma 10 juta katamu, Mas? Bagimu uang 10 juta gak banyak, tapi bagiku uang 10 juta bisa untuk aku dan Naya makan selama berbulan-bulan. Lagian, untuk apa, sih, kamu hutang sebanyak itu? Kasih nafkah juga gak. Minta aja sama Mama atau Papa kamu!”

“Kamu itu istri aku, kalau suami dalam masalah, istri wajib membantunya.”

“Suami yang gimana dulu? Suami mokondo kayak kamu? Kapok aku, udah cukup selama 6 tahun ini aku membiayai semua kebutuhan kamu. Sekarang gak, Mas!” ucap Laila penuh penankanan.

Wajah Bimo menjadi merah, ia merasa terhina dengan ucapan Laila, tetapi lebih tepatnya adalah malu karena apa yang dikatakan istrinya adalah suatu kebenaran. Ia tidak pernah memberi nafkah, selama ini Laila lah yang memerinya makan dan mencukupi kebutuhannya, sedangkan uang gaji, sepenuhnya ia berikan kepada Ratna. Begitu pun jika ia mendapatkan bonus dari beberapa proyek, ia akan memberikan uang itu kepada sang ibu tanpa sepengetahuan Laila. Bukan hanya bentuk baktinya, tetapi Ratna akan marah jika Bimo tidak memberinya uang. Ibunya akan mengatakan bahwa ia anak yang durhaka dan lebih mementingkan istri dari pada ibu.

Bimo menarik paksa kalung yang melingkar di leher Laila. Wanita yang sedang membereskan alat masaknya itu terkejut saat tangan kekar Bimo menarik benda berharga miliknya. Kalung satu-satunya milik Laila, pemberian dari ibunya.

“Mas, kembalikan kalungku!” teriak Laila

Bimo berlari keluar setelah menyambar kunci mobil yang tergeletak di atas meja. Namun sayang, saat hendak ia mengeluarkan mobil, sebuah sepeda motor menghadang jalan. Bimo memukul kemudi mobil dan mengacak rambut dengan kasar.

“Sial!” teriaknya

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status