Di dapur, Laila menuangkan air ke dalam gelas yang berada di hadapannya. Ia meneguk air tersebut hingga tandas. Wanita dengan mata bulat itu menghela napas, menyenderkan tubuh pada kulkas. Ia menatap lurus dengan pandangan kosong. Hatinya bergemuruh, marah, sedih, kesal jadi satu.
Tuhan sedang bermain-main dengan kehidupanku. Aku tidak boleh lemah, aku harus bangkit dan menunjukkan kepada Mas Bimo dan keluarganya bahwa mereka tidak bisa semena-mena padaku. Aku bukan budak yang harus memenuhi hasrat dan kebutuhannya. Aku wanita biasa yang juga butuh kasih sayang dan perhatian. Batin Laila. Tanpa sadar air mata mengalir di pipi mulus Laila. Ia menghapus air mata dan kembali menghela napas. Laila beranjak dari tempatnya menuju kamar Naya. Jam telah menunjukkan pukul 22.00, perlahan Laila membuka pintu kamar. Di sana, sang putri sudah tertidur pulas sambil memeluk boneka beruang. Laila duduk perlahan di samping Naya, dibelainya rambut gadis kecil itu. Derai air mata semakin mengalir deras saat Laila mencium lembut pucuk kepala Naya. “Maafkan Bunda yang membawamu ke situasi sulit seperti ini, Sayang. Bunda janji, besok kita akan menjalani hidup yang lebih bahagia. Bunda akan membawamu keluar dari situasi ini.” Laila bermonolog sendiri. *** Bimo berdecak kesal, ia mengumpat sang istri karena telah mempermainkannya. Laki-laki dengan rahang tegas itu menyandarkan tubuh ke kepala ranjang. Ia menghela napas kasar dan memijat dahi. Kepalanya merasa sakit karena hasrat yang tidak dapat disalurkan. Bimo memejamkan mata, teringat saat pertama kali ia terpesona dengan kecantikan Laila. Ia tersenyum kala kembali teringat senyum manis Laila. Mereka bertemu di acara pernikahan salah satu sahabat. Lalu, mereka diperkenalkan satu sama lain, sejak saat itu Bimo dan Laila sering bertukar kabar melalui pesan singkat atau pun telepon. Beberapa bulan kemudian mereka menikah, pernikahan yang sederhana, tetapi sangat berkesan. Hari-hari yang dilalui penuh tawa dan cinta. “Aarrgghhh ....” Bimo berteriak dan melemparkan bantal ke segala arah. Frustrasi, itu yang dirasakan Bimo saat ini. Sebagai laki-laki dan juga kepala keluarga, Bimo merasa gagal. Ratna sebagai ibu terlalu mengatur dan ikut campur masalah keluarganya. Namun, hal itu tidak akan terjadi jika Bimo bisa tegas dan tidak terlalu manjah. Tertekan, kesal, bingung, dan merasa bersalah, hal itulah yang memicu Bimo terpengaruh minuman keras. Ia tidak bisa melampiaskannya kepada sang ibu. Jauh di lubuk hatinya, ia sangat mencintai Laila. Sakit hatinya saat Ratna membentak Laila, tetapi laki-laki yang telah memberikan cinta kepada Laila itu terlalu cemburu saat sang istri dekat atau berbicara dengan laki-laki lain. Sebagai seorang penjual kue dan sarapan di stasiun, Laila sering berinteraksi dengan lawan jenis, hal ini salah satu alasan perubahan sikap Bimo. Cemburu melihat istrinya melayani pembeli jika seorang laki-laki. Laila yang memiliki paras cantik, kulit sawo matang dengan senyum manis khas orang Jawa dan sikapnya yang ramah kepada semua orang, membuat kaum adam terpesona. Kini, ditambah lagi masalah yang sedang menimpa sang ayah, Bimo semakin yakin tidak mau melepaskan istrinya begitu saja. Siapa yang akan menunjang ekonomi mereka jika Laila meninggalkannya. Beberapa aset ayahnya sedang dalam pemeriksaan, tidak menutup kemungkinan hal terbutuk akan terjadi pada keluarganya. Bimo harus mengantisipasi dengan memanfaatkan Laila sebagai tulang punggung dan tempat mereka bertedu jika suatu saat hal yang tidak ia inginkan terjadi pada sang ayah. “Tidak, aku tidak akan membiarkan Laila pergi dari hidupku!” ucap Bimo sambil meremas bantal di tangannya. “Jika kau berani meninggalkanku, maka akan kubuat hidupmu menderita.” *** Dua pekan berlalu, Bimo sudah kembali beraktivitas setelah berpura-pura dianiaya Laila.Pria tinggi itu sudah siap dengan pakaian kerjanya, terdengar dering ponsel, ia merogoh kantung celana untuk mengambil ponsel tersebut. Di layar tertulis nama Ratna, Bimo menghela napas, sebelum menekan tombol hijau. “Iya, Ma,” jawab Bimo malas. Laila yang duduk di kursi meja makan, hanya melirik sekilas tanpa memedulikan suaminya yang hendak berangkat kerja. Ya, sejak kejadian itu, Laila mulai menjaga jarak kepada Bimo. Ia masih memikirkan cara untuk lepas dari suami mokondonya. Bimo menghampiri Laila yang sedang menyantap nasi goreng bersama Naya. Diusapnya kepala sang istri, tetapi ditepis Laila. Saat Bimo mengulurkan tangan untuk berpamitan, wanita dengan dress biru selutut itu berdiri dari duduk dan menuju dapur. Bimo, mengeretakan gigi, kesal dan malu karena penolakan Laila. “Aku pergi,” pamit Bimo meninggalkan ruangan itu. Laila tidak memedulikan ucapan sang suami, ia masih sibuk mencuci piring bekas mereka makan. Dengan mobil pemberian orang tuanya, Bimo meluncur membelah jalanan. Keluar gerbang perumahan, ia berbelok ke arah kiri, berlawanan dengan kantor kepala desa tempatnya bekerja. Mobil silver itu berhenti di sebuah bangunan mewah di salah satu kompleks perumahan elit. Bimo masuk ke rumah itu, di ruang tamu sudah ada Ratna dengan pakaian mewah serta dandanan menornya. Gelang emas serta cincin memenuhi tangan. “Mama kenapa gak minta antar sopir aja sih, aku kan mau kerja, nanti telat.” “Elah, kamu gak kerja juga gak akan dipecat. Berani kades itu pecat kamu, jangan harap dia bisa menjabat lagi. Ayo, antar Mama ke rumah Tante Widya. Nanti Mama kenali sama anaknya, ya.” Bimo tidak menjawab perkataan Ratna. Seperti sapi yang dicolok hidungnya, ia berdiri dari duduk dan mengekor di belakang sang ibu tanpa protes sedikit pun. *** “Kamu gak mau masuk dulu dan kenalan sama anaknya Tante Widya? Dia cantik, loh. Lulusan Jepang.” Bimo hanya menggeleng menanggapi ucapan wanita dengan bulu mata anti badai itu. “Oke, jam 3 jemput Mama, ya,” ujar Ratna lagi karena respons yang diharapkan tidak sesuai. Bimo melaju meninggalkan rumah bercat biru itu. Ratna masuk dengan langkah gemulai. Di dalam telah ramai teman-teman sejawatnya yang merupakan geng arisan kelas tinggi. Senyum merekah dari sudut bibirnya saat melihat sambutan ibu-ibu yang melambaikan tangan padanya. Ratna duduk di sebelah salah satu wanita yang tidak kala menor setelah merekacupika-cupiki. “Jeng, aku sebel deh sama anakku. Masa kemarin aku minta uang buat beli gelang emas gak dikasih. Katanya uang dia dipegang semua sama istrinya. Padahal ya, istrinya itu cuma di rumah doang, untuk apa coba pegang uang banyak-banyak. Aku malah disuruh izin dulu sama istrinya,” gerutu wanita dengan lipstik merah menyala yang duduk di sebelah Ratna. “Iiihh ..., kok, sama? Aku juga kemarin bilang sama Anton kalau aku mau liburan, katanya gak ada uang, istrinya baru aja bayar uang kuliah S2. Kan, aku ibunya, masa mentingin istri. Mana dikuliahin lagi, buat apa coba? Udah bagus suruh di dapur aja ini malah disuruh kuliah lagi,” timpal wanita yang duduk di sofa tunggal tepat di seberang meja. “Aduh, Jeng, kok, pada ngeluh, sih. Udah terima nasib aja kalau anak kalian itu suami-suami takut istri. Kayak Bimo, dong, meski pun udah punya istri, tapi dia gak pernah lalai sama aku. Uang bulanan masih tetap dapet, mau apa-apa tinggal bilang, besoknya udah ada. Ke mana-mana tinggal telepon, pasti dianterin. Istrinya mah dikasih seberapa aja nurut, gak pernah protes. Malah bagus nyari uang sendiri gak nyusahin Bimo,” jawab Ratna dengan angkuhnya. Ibu-ibu yang mendengarkan hanya tersenyum miring, ada yang saling senggol seolah-olah mencibir perkataan Ratna. Pasalnya mereka tahu bahwa Laila berjualan sarapan serta kue di stasiun setiap pagi. “Bagus, sih, Jeng, masih inget ibunya, tapi gak gitu juga sih, masa kita yang masih sehat dan tanggungan suami malah minta jatah bulanan dari anak? Lagi pula, suami Jeng Ratna, kan, pejabat. Gajinya gede, uangnya gak berseri. Harusnya Jeng Ratna yang ngasih Bimo, bukan sebaliknya. Dan parahnya masa mantu sampai harus jualan di stasiun,” ejek salah satu ibu yang memang saingan Ratna. Ratna yang mendengar ejekan dari wanita itu menjadi kesal. Wajahnya merah menahan amarah dan malu. “Laila itu bandel, udah dibilangin di rumah aja terima uang, masih aja mau jualan, katanya bosen kalau di rumah aja,” kilah Ratna. “Omongannya gak sesuai fakta, padahal si Bimo tertekan, Anton pernah cerita kalau melihat Bimo mabuk karena Jeng Ratna selalu morotin anak, sampai mantunya gak dikasih jatah belanja sama si Bimo,” bisik salah satu ibu-ibu. “Gosipnya, sih, suami Jeng Ratna lagi kena kasus,” timpal salah satunya. “Gak benar itu!”Ratna keluar dengan muka ditekuk. “Bisa-bisanya mereka bergibah di depanku,” gerutu Ratna sambil menuruni anak tangga yang berada di teras rumah mewah tersebut. Wanita yang mengenakan sepatu berhak 5 centi itu berjalan sambil mengentakkan kakinya, tanpa ia sadar anak tangga yang ia lalui terdapat kulit pisang dan mengakibatkan ia terpeleset hingga terduduk. Ratna menggeram, melihat kiri dan kanan, malu jika sampai teman-temannya melihat, bergegas ia masuk ke mobil yang sejak tadi menunggunya. Tanpa disadari Ratna, beberapa temanya mengintip dari jendela dan tertawa melihat ia terjatuh. Bimo yang menunggu di mobil terkekeh melihat ibunya jatuh. Ia langsung pura-pura memainkan ponsel saat Ratna membuka pintu dan membantingnya dengan keras. Bimo tersentak. “Kenapa Mama terlihat kesal?” tanya Bimo. “Mama gak mau Laila berjualan di stasiun lagi. Mulai besok dia gak boleh lagi berada di sana. Mama malu!” oceh Ratna. “Ada apa, Ma?” “Istri kamu itu bikin Mama malu, semua teman Mama tahu
“Cepat keluar!” Seorang pria berbadan kekar memukul kaca mobil, “jangan kabur kamu! Cepat bayar hutangmu, enak aja abis ngutang gak mau bayar!”Bimo keluar dengan pasrah, hari ini sudah ada beberapa orang yang datang menagih hutang, tidak menutup kemungkinan kalau besok akan ada orang yang datang lagi. Bimo harus mencari cara agar terlepas dari kejaran para preman itu. Namun saat ini ia berada di posisi sulit, meminta kepada orang tuanya sama saja dengan bu*nuh diri. Kedua orang tua Bimo, terutama Ratna, tidak akan percaya jika sang anak terlilit banyak hutang, terlebih selama ini Bimo dikenal anak yang santun dan pekerja keras. Mustahil bagi mereka jika Bimo jatuh dalam lembah hitam.“Bang, kasih saya waktu satu minggu, pasti saya lunasi hutangnya,” pinta Bimo.“Halah, dari kemarin juga janjinya satu minggu , ini sudah satu bulan. Cepat bayar atau aku sita mobil ini!”“Jangan, Bang. Saya janji kali ini benar-benar akan saya lunasi.”Laila yang masih merutuki dan mengumpat perbuatan
Sebelum Ratna berbuat kasar, Laila langsung berdiri dan berlari menuju kamar Naya sambil menjulurkan lidah ke arah mertuanya. Dari balik pintu, ia tertawa geli melihat ekspresi Ratna yang kesal karena diledeknya. “Ini baru awal, Ma. Aku bukan Laila yang dulu, yang hanya diam saja saat kau hina.” Laila bermonolog. “Bunda, kenapa?” tanya Naya melihat sang bunda tertawa sendiri. Laila hanya menggeleng lalu berjalan mendekati Naya, duduk di sebelah sang putri yang sedang mewarnai. Di luar, Ratna mengumpat perbuatan menantunya itu. Mendengar teriakan Ratna, Bimo yang tengah tertidur di kamarnya, keluar sambil berjalan malas. “Ada apa, sih, berisik sekali!” bentaknya. Wanita yang dari tadi berdiri di depan meja makan, menoleh ke sumber suara. Mendapati anak laki-lakinya keluar kamar. Ia berjalan mendekat dan menjewer telinga Bimo. Menumpahkan kekesalan atas tindakan Laila kepada Bimo. Laki-laki dengan celana pendek itu menjerit. Matanya terbelalak menyadari bahwa sang ibu y
Andara berlari menuju Bimo yang sedang menikmati makan malam. Ia menarik kera baju lalu mem*mukul wajah Bimo. Laki-laki yang merupakan kakak iparnya itu terkejut dan tersungkur dari kursi meja makan. “Apa-apaan kamu!” bentak Bimo sambil berdiri. Cairan merah kental keluar dari sudut bibirnya. Laila memeluk Naya yang duduk di kursi seberang Bimo. Ia membenamkan wajah anaknya dalam pelukan, tidak ingin sang putri melihat pamannya baku hantam dengan sang ayah. Bergegas Laila mengajak gadis kecil itu ke kamar dan memerintahkan agar Naya tidak keluar. Gadis itu mengangguk. “Laki-laki benalu!’ umpat Andara. “Ada apa ini?” tanya Laila bingung. “Suami tercinta Mbak ini sudah menggadaikan rumah, Mbak!” tutur Andara dengan lantang. Wanita yang berdiri di antara adik dan suaminya itu terkejut. Kedua telap tangannya menutup mulut lalu menatap ke arah sang suami. Ia menggelakkan kepala tidak percaya kalau Bimo tega berbuat seperti itu. “Sudah aku katakan jangan kembali pada benalu in
“Bimo!” Ratna berteriak memanggil anaknya yang langsung masuk ke rumah.Laki-laki Itu tidak menghiraukan ibunya, ia terus saja berjalan menuju kamar, tempat yang selalu disinggahi jika berada di rumah orang tuanya. Bimo menghempaskan tubuh di atas kasur king sizenya. Ia menatap kosong langit-langit kamar yang berwarna putih. Pandangannya beralih pada sebuah foto yang menempel tepat di depannya. Di sana tampak seorang wanita cantik mengenakan gaun putih seperti putri di negeri dongeng, dihiasi senyum manis dengan lesung pipi. Di sebelah wanita itu, seorang pria tinggi berhidung mancung dengan mengenakan jas hitam, menatap penuh cinta ke arah wanita tersebut.Itu adalah foto pernikahan Bimo dan Laila. Bimo menyambar vas bunga yang berada di meja samping tempat tidurnya, lalu melempar benda itu ke arah foto tersebut. Suara benturan dan pecahan kaca menggelegar di kamar itu. Ia menjerit, menangis frustrasi, merasakan kesal dan kecewa pada diri sendiri. Andai ia tidak salah langkah dan sel
Bimo menghadang Laili, saat tangannya menarik lengan wanita itu, Andara menepis dan mengajak Laila masuk.“Jangan pernah menyakiti kakakku lagi!” ancam Andara menunjuk Bimo.Mereka meninggalkan Bimo yang masih mematung di sana.Hampir satu jam Andara menjalani pemeriksaan, semua pertanyaan ia jabarkan dengan gamblang, alasan kenapa ia memukul Bimo sampai perlakuan kakak iparnya itu terhadap Laila. Andara sudah menyiapkan semua bukti, saat Laila melarikan diri malam-malam karena KDRT dari Bimo, diam-diam ia memfoto wajah sang kakak yang sedang tertidur. Juga merekam pembicaraannya dengan Pak Kades saat mengambil sertifikat rumah.Semua bukti bisa membebaskan Andara dari tuntutan keluarga Bimo, tetapi uang bisa saja mengubah segalanya. Laila dan Andara tidak tahu drama apa yang telah disiapkan oleh ibu Bimo.Mereka keluar kantor polisi dengan perasaan lega. Andara mengajak Laila untuk mampir ke warung bakso langganan mereka. Sesampainya di sana, Andara memilih tempat paling pojok dan me
“Lepasin!” Laila berusaha menarik tangannya, tetapi cengkeraman Bimo begitu keras.Laila terus diseret Bimo tanpa peduli teriakan sang istri yang kesakitan. Andara dan Aminah yang berada di kamar masing-masing sontak keluar. Aminah yang tengah bersama cucunya itu berteriak agar Bimo melepaskan Laila. Naya, menangis melihat Laila menyeret Bimo. Cepat sang nenek membawa Naya masuk ke kamar.“Naya, jangan keluar, ya, Sayang.” Aminah menenangkan cucunya dan diikuti anggukan oleh Naya. Setelah merasa cucunya telah tenang, Aminah berlari menghampiri Bimo yang masih memaksa Laila.“Mas, lepaskan! Sakit!” Laila mencoba memukul lengan Bimo yang mencengkeramnya.“Kamu harus nurut sama suami!” Bimo melotot ke aras sang istri.Wanita yang masih mengenakan mukena putih itu, terus meronta, berusaha melepaskan diri dari Bimo. Tiba-tiba sebuah tamparan melayang ke pipi mulusnya hingga ia tersungkur.“Laila ....” Sigap Aminah menyambut tubuhnya.Melihat kakaknya dita*mpar Bimo, Andara meradang dan la
Di tempat terpisah, Laila dan Aminah pulang dari pengadilan menggunakan taksi online karena Andara harus mencari bukti. Laila dan ibunya masih tidak percaya dengan kesaksian Pak Kades. Mereka berkutat dengan pikirannya masing-masing. Tidak mungkin Andara tega melalukan apa yang seperti diucapkan Pak Kades.“Bu, aku gak percaya sama omongan Pak Kades,” ujar Laila memecah kesunyian.“Ibu juga gak yakin, tapi kenapa Pak Kades berbohong?”“Ibu tahu sendiri, kan, kalau Pak Kades mata duitan? Pasti keluarga Mas Bimo sudah membayarnya.”“Tidak boleh menuduh orang seperti itu.”“Laila gak asal nuduh, Bu. Laila sudah hafal betul bagaimana keluarga itu.”“Semoga saja adikmu bisa mendapatkan bukti.” Harap Aminah.***Sebuah kafe bergaya modern dan instagramable dengan suasana alam yang terlihat asri, pepohonan rindang dikeliling lampu kerlap kelip dan live musik yang mengalun romantis. Seorang pemuda tinggi dengan balutan kemeja cokelat dipadukan celana jin, serta jaket yang tersandar di bahu ku