Sampai di depan bangunan sederhana itu, Laila masuk dan menuju kamar. Tidak memedulikan sang mertua yang masih berada di belakangnya. Tiba di kamar, ia melihat Bimo terbaring di tempat tidur dengan santai sambil bermain ponsel. Laila kaget melihat kepala laki-laki itu diperban, tetapi ia tidak peduli. Wanita yang mengenakan dress sebatas lutut itu membuka lemari pakaian dan menuju kamar mandi.
Bimo melirik sekilas ke arah Laila, lalu berkata, “Punya nyali juga kamu pulang ke rumah ini?!” Laila hanya diam tidak menanggapi ucapan suaminya. “Untung tidak aku bakar rumah ini,” ujar Bimo santai. Laila menghentikan langkahnya dan menatap Bimo dengan tajam. “Kamu tidak ada hak atas rumah ini, Mas!” jawab Laila sengit. “Kata siapa? Kau istriku, jadi aku berhak atas rumah ini juga!” Bimo bangun dari tempat tidur dan duduk di tepinya, “jangan macam-macam kepadaku. Ingat, kau masih istri sahku!” lanjut Bimo. “Sebentar lagi akan menjadi mantan!” ucap Laila sambil menekankan kata mantan. Bimo tersulut emosi mendengar ucapan Laila, ia membanting gelas yang berada di meja, tidak jauh dari tempat tidur. Laki-laki itu berdiri, lalu mendorong sang istri hingga membentur dinding, dicengkeramnya pipi mulus Laila, tidak dihiraukannya saat wanita itu meringis kesakitan. “Jangan berani-berani meminta cerai atau meninggalkanku, aku akan menghabisimu!” ancam Bimo. Laila menendang alat vital Bimo, laki-laki itu menjerit. Cepat Laila masuk ke kamar mandi untuk menghindari sang suami. Laila menangis, lagi-lagi ia melakukan kesalahan dengan kembali kepada monster yang berlabel suami. Wanita itu menyesal tidak mendengarkan ucapan sang adik. Di kamar mandi ia termenung memikirkan apa saja yang mungkin bisa dia lakukan demi melindungi diri dan putrinya dari lelaki sialan itu. Jantung berdegup kencang karena rasa takut mendominasi, tetapi dia harus bisa menguasai diri. Laila menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan seraya memikirkan alasan mengapa dia harus hidup. Bimo? Tidak, itu bukan alasan dan sebaiknya melupakan bahwa mereka pernah saling mencintai. Setiap orang, ada masanya datang dan pergi. Ketika cinta telah sirna, mengapa mencoba bertahan? Lagi pula, Laila tidak lagi melihat binar cinta di kedua mata suaminya melainkan kilatan amarah. Sekali lagi, tidak ada alasan bagi Laila untuk mempertahankan rumah tangganya. Pergi sulit, bertahan sakit adalah kalimat yang tidak pantas ditujukan pada Laila. Dia bisa hidup mandiri. Benar kata sang adik, lebih baik berpisah daripada harus menanggung luka. Selain dari diri sendiri, jangan mengharapkan kasih sayang yang tulus dari suami mokondo seperti Bimo. Bagaimanapun caranya ia harus keluar dari hubungan toxic ini. Menghela napas berat. "Aku bisa! Aku pasti bisa lepas dari Bajingan itu!" kata Laila penuh semangat. Mendengar Bimo berteriak, Ratna bergegas masuk ke kamar sang putra. Dilihatnya sang anak sedang meringis kesakitan sambil memegang selan*kangan. Ratna langsung menghampiri Bimo dan menuntunnya ke tempat tidur. “Pasti Laila yang melakukannya,” tuduh Ratna disertai anggukan Bimo. Wanita dengan pakaian menyala itu berjalan ke arah kamar mandi dan menggedornya. “Laila, keluar! Jangan sembunyi di sana! Baru sampai di rumah ini kau sudah menganiaya putraku, jadi selama ini kau siksa anakku, ya!” teriak Ratna. “Keluar kau! Jangan beraninya sama orang sakit, belum puas kau siksa Bimo kemarin, sekarang kau tendang pula bur*ngnya!” teriak Ratna. “Aku tidak akan berbuat kasar jika anak Mama tidak menyakitiku lebih dulu,” jawab Laila dari balik pintu kamar mandi. Ratna menatap tajam ke arah Bimo yang masih terduduk di tempatnya sambil meringis kesakitan. Wanita itu mendekat dan berjongkok di depan sang putra, “Jangan melakukan hal bo*doh jika kau tidak ingin kehilangan dia. Ingat tujuan kita agar dia kembali ke sini apa. Mama tidak mau kamu melakukan hal bo*doh lagi dan mengakibatkan dia kabur seperti kemarin. Sadar Bimo, kita butuh uang banyak sekarang, kita juga harus bisa mengambil rumah ini. Kamu tahu alasannya, bukan?” Bimo menatap Ratna nelangsa. Ia teringat kejadian beberapa minggu lalu sebelum pertengkarannya dengan Laila, beberapa mobil polisi terparkir di depan rumah kedua orang tuanya. Ratna langsung menangis dalam pelukannya saat Bimo memasuki ruang tamu yag ramai dengan petugas polisi. Bimo mengenggam tangan sang ibu dan memberikan keyakinan kepada wanita itu, “Mama jangan khawatir, Bimo tidak akan melakukan kesalahan lagi.” Ratna bangkit dan menuju kamar mandi, “Keluar! Jangan beraninya dari dalam sana, apa kau mau menambah tenaga dengan menghirup aroma ta*i dari sana? Cepat keluar!” Gedor Ratna. Hampir 15 menit Ratna menggedor pintu kamar mandi, tapi Laila tidak juga keluar, yang terdengar hanya kucuran air, menandakan bahwa sang menantu sedang mandi sambil bersenandung. Hal itu membuat wanita yang berusia hampir 50 tahun itu semakin murka. Ia membanting vas bunga yang berada di meja rias ke arah pintu. “Dasar menantu gi*la!” teriaknya lalu menghampiri Bimo. “Istrimu memang sudah gi*la, kamu itu tidak mau mendengar ucapan Mama, coba kalau dulu kamu mau menikah dengan pilihan Mama, kamu tidak akan seperti ini. Mama mau pulang.” Ratna meninggalkan Bimo yang masih duduk di tepi ranjang. Laila keluar kamar mandi dengan santai, mengenakan baju tidur dan rambut yang dibalut handuk. “Mama kamu sudah pulang?” tanya Laila santai. Wanita itu menelisik setiap sudut kamar yang berantakan, pecahan kaca berserakan di sana. Laila tidak memedulikan benda itu, ia sudah terlalu lelah berbuat baik pada keluarga Bimo. Kini, ia memilih abai dan duduk di depan meja hias. Bimo mendelik ke arah sang istri yang sengaja mengejeknya dengan menjulurkan lidah dari pantulan cermin. Wajah Bimo semakin merah karena menahan amarah. Laila mengoleskan beberapa krim ke wajahnya dan menyemprotkan minyak wangi, ritual yang biasa ia lakukan sebelum tidur. Dengan balutan piama tipis bermotif bunga-bunga, lekuk tubuhnya terlihat jelas dan menggoda, Bimo yang hendak marah karena ejakan sang istri, terpana dengan pemandangan di depannya. Wanita tinggi itu berjalan ke arah sang suami yang sudah menganga seperti singa kelaparan. Bimo memejamkan mata saat Laila berdiri di hadapannya, aroma bunga menyeruak dari tubuh sang istri, membangkitkan hasrat laki-lakinya. Laila mendekat, lalu berbisik di telinga Bimo, “Hati-hati, bisa saja besok pagi kau sudah berada di alam lain!” “Apa maksudmu, Laila? Kamu pikir aku tidak bisa berbuat sesuka hati, huh?!” Kedua mata Bimo melotot sempurna. Selain harus memendam hasrat, dia tidak bisa meledakkan amarah sekarang. “Aku bukan Laila yang kamu kenal selama ini. Sekali saja kamu bertindak tanpa berpikir matang, maka ....” Laila tersenyum miring begitu melihat sang suami menelan saliva. Tentu saja Laila tahu apa yang dirasakan suaminya. Mereka telah lama hidup dalam pernikahan dan tentu saling mengenal satu sama lain. Bimo paling tidak bisa melihat istrinya dalam keadaan demikian. Sial, wanita itu justru melangkah menjauh membuat Bimo harus mengusap wajah kasar. Bisakah dia memaksa sang istri melakukan kewajiban, sedangkan mereka sedang dalam masalah besar? Bagaimana jika Laila menolak dan semakin merendahkannya? Bukankah suami adalah pemimpin dalam rumah tangga, mengapa harus takut? Pertanyaan-pertanyaan itu sangat mengusik. Lihatlah Laila, wanita itu semakin sengaja mempermainkan perasaan suaminya. Dia sengaja merebahkan diri di peraduan sambil memainkan rambut. Sesekali tersenyum tipis. Bimo mengepalkan tangan, apa yang harus dia lakukan? “Kenapa, Mas?” “Kenapa-kenapa. Ya, kelakuan kamu itulah. Kamu sengaja, kan, kek gitu biar aku gini?” “Mas gini dan aku gitu gimana? Mas terpesona sama aku gitu?” Bimo mendengkus kesal. Baru saja dia ingin berdiri, sang istri sudah bangun dan menyambar gunting di laci nakas. Apa maksudnya? Lelaki itu mengacak rambut kesal. “Sudah, jangan ganggu aku lagi!” “Siapa yang ganggu kamu, Mas? Kamu pikir aku sengaja menggoda?” Laila tersenyum sinis. Dia melangkah santai keluar dari kamar menuju dapur karena perutnya keroncongan. Ah, bukan. Tepatnya wanita itu ingin segera menghabiskan isi kulkas agar suaminya semakin depresi. Siapa suruh bermain-main dengan Laila? “Sayang, jangan pergi!” panggil Bimo tanpa rasa malu. Dia mencekal tangan wanita itu. “Tolong, sekali ini saja. Kita, kan, suami istri!” “Sudah kubilang, sebentar lagi juga akan jadi mantan!” sentak Laila dengan tatapan tajam. "Dengar—" "Diam!" potong Laila cepat ketika suaminya kembali ingin memberontak. "Jangan pernah menganggap aku lemah, Mas!"Di dapur, Laila menuangkan air ke dalam gelas yang berada di hadapannya. Ia meneguk air tersebut hingga tandas. Wanita dengan mata bulat itu menghela napas, menyenderkan tubuh pada kulkas. Ia menatap lurus dengan pandangan kosong. Hatinya bergemuruh, marah, sedih, kesal jadi satu. Tuhan sedang bermain-main dengan kehidupanku. Aku tidak boleh lemah, aku harus bangkit dan menunjukkan kepada Mas Bimo dan keluarganya bahwa mereka tidak bisa semena-mena padaku. Aku bukan budak yang harus memenuhi hasrat dan kebutuhannya. Aku wanita biasa yang juga butuh kasih sayang dan perhatian. Batin Laila. Tanpa sadar air mata mengalir di pipi mulus Laila. Ia menghapus air mata dan kembali menghela napas. Laila beranjak dari tempatnya menuju kamar Naya. Jam telah menunjukkan pukul 22.00, perlahan Laila membuka pintu kamar. Di sana, sang putri sudah tertidur pulas sambil memeluk boneka beruang. Laila duduk perlahan di samping Naya, dibelainya rambut gadis kecil itu. Derai air mata semakin mengalir der
Ratna keluar dengan muka ditekuk. “Bisa-bisanya mereka bergibah di depanku,” gerutu Ratna sambil menuruni anak tangga yang berada di teras rumah mewah tersebut. Wanita yang mengenakan sepatu berhak 5 centi itu berjalan sambil mengentakkan kakinya, tanpa ia sadar anak tangga yang ia lalui terdapat kulit pisang dan mengakibatkan ia terpeleset hingga terduduk. Ratna menggeram, melihat kiri dan kanan, malu jika sampai teman-temannya melihat, bergegas ia masuk ke mobil yang sejak tadi menunggunya. Tanpa disadari Ratna, beberapa temanya mengintip dari jendela dan tertawa melihat ia terjatuh. Bimo yang menunggu di mobil terkekeh melihat ibunya jatuh. Ia langsung pura-pura memainkan ponsel saat Ratna membuka pintu dan membantingnya dengan keras. Bimo tersentak. “Kenapa Mama terlihat kesal?” tanya Bimo. “Mama gak mau Laila berjualan di stasiun lagi. Mulai besok dia gak boleh lagi berada di sana. Mama malu!” oceh Ratna. “Ada apa, Ma?” “Istri kamu itu bikin Mama malu, semua teman Mama tahu
“Cepat keluar!” Seorang pria berbadan kekar memukul kaca mobil, “jangan kabur kamu! Cepat bayar hutangmu, enak aja abis ngutang gak mau bayar!”Bimo keluar dengan pasrah, hari ini sudah ada beberapa orang yang datang menagih hutang, tidak menutup kemungkinan kalau besok akan ada orang yang datang lagi. Bimo harus mencari cara agar terlepas dari kejaran para preman itu. Namun saat ini ia berada di posisi sulit, meminta kepada orang tuanya sama saja dengan bu*nuh diri. Kedua orang tua Bimo, terutama Ratna, tidak akan percaya jika sang anak terlilit banyak hutang, terlebih selama ini Bimo dikenal anak yang santun dan pekerja keras. Mustahil bagi mereka jika Bimo jatuh dalam lembah hitam.“Bang, kasih saya waktu satu minggu, pasti saya lunasi hutangnya,” pinta Bimo.“Halah, dari kemarin juga janjinya satu minggu , ini sudah satu bulan. Cepat bayar atau aku sita mobil ini!”“Jangan, Bang. Saya janji kali ini benar-benar akan saya lunasi.”Laila yang masih merutuki dan mengumpat perbuatan
Sebelum Ratna berbuat kasar, Laila langsung berdiri dan berlari menuju kamar Naya sambil menjulurkan lidah ke arah mertuanya. Dari balik pintu, ia tertawa geli melihat ekspresi Ratna yang kesal karena diledeknya. “Ini baru awal, Ma. Aku bukan Laila yang dulu, yang hanya diam saja saat kau hina.” Laila bermonolog. “Bunda, kenapa?” tanya Naya melihat sang bunda tertawa sendiri. Laila hanya menggeleng lalu berjalan mendekati Naya, duduk di sebelah sang putri yang sedang mewarnai. Di luar, Ratna mengumpat perbuatan menantunya itu. Mendengar teriakan Ratna, Bimo yang tengah tertidur di kamarnya, keluar sambil berjalan malas. “Ada apa, sih, berisik sekali!” bentaknya. Wanita yang dari tadi berdiri di depan meja makan, menoleh ke sumber suara. Mendapati anak laki-lakinya keluar kamar. Ia berjalan mendekat dan menjewer telinga Bimo. Menumpahkan kekesalan atas tindakan Laila kepada Bimo. Laki-laki dengan celana pendek itu menjerit. Matanya terbelalak menyadari bahwa sang ibu y
Andara berlari menuju Bimo yang sedang menikmati makan malam. Ia menarik kera baju lalu mem*mukul wajah Bimo. Laki-laki yang merupakan kakak iparnya itu terkejut dan tersungkur dari kursi meja makan. “Apa-apaan kamu!” bentak Bimo sambil berdiri. Cairan merah kental keluar dari sudut bibirnya. Laila memeluk Naya yang duduk di kursi seberang Bimo. Ia membenamkan wajah anaknya dalam pelukan, tidak ingin sang putri melihat pamannya baku hantam dengan sang ayah. Bergegas Laila mengajak gadis kecil itu ke kamar dan memerintahkan agar Naya tidak keluar. Gadis itu mengangguk. “Laki-laki benalu!’ umpat Andara. “Ada apa ini?” tanya Laila bingung. “Suami tercinta Mbak ini sudah menggadaikan rumah, Mbak!” tutur Andara dengan lantang. Wanita yang berdiri di antara adik dan suaminya itu terkejut. Kedua telap tangannya menutup mulut lalu menatap ke arah sang suami. Ia menggelakkan kepala tidak percaya kalau Bimo tega berbuat seperti itu. “Sudah aku katakan jangan kembali pada benalu in
“Bimo!” Ratna berteriak memanggil anaknya yang langsung masuk ke rumah.Laki-laki Itu tidak menghiraukan ibunya, ia terus saja berjalan menuju kamar, tempat yang selalu disinggahi jika berada di rumah orang tuanya. Bimo menghempaskan tubuh di atas kasur king sizenya. Ia menatap kosong langit-langit kamar yang berwarna putih. Pandangannya beralih pada sebuah foto yang menempel tepat di depannya. Di sana tampak seorang wanita cantik mengenakan gaun putih seperti putri di negeri dongeng, dihiasi senyum manis dengan lesung pipi. Di sebelah wanita itu, seorang pria tinggi berhidung mancung dengan mengenakan jas hitam, menatap penuh cinta ke arah wanita tersebut.Itu adalah foto pernikahan Bimo dan Laila. Bimo menyambar vas bunga yang berada di meja samping tempat tidurnya, lalu melempar benda itu ke arah foto tersebut. Suara benturan dan pecahan kaca menggelegar di kamar itu. Ia menjerit, menangis frustrasi, merasakan kesal dan kecewa pada diri sendiri. Andai ia tidak salah langkah dan sel
Bimo menghadang Laili, saat tangannya menarik lengan wanita itu, Andara menepis dan mengajak Laila masuk.“Jangan pernah menyakiti kakakku lagi!” ancam Andara menunjuk Bimo.Mereka meninggalkan Bimo yang masih mematung di sana.Hampir satu jam Andara menjalani pemeriksaan, semua pertanyaan ia jabarkan dengan gamblang, alasan kenapa ia memukul Bimo sampai perlakuan kakak iparnya itu terhadap Laila. Andara sudah menyiapkan semua bukti, saat Laila melarikan diri malam-malam karena KDRT dari Bimo, diam-diam ia memfoto wajah sang kakak yang sedang tertidur. Juga merekam pembicaraannya dengan Pak Kades saat mengambil sertifikat rumah.Semua bukti bisa membebaskan Andara dari tuntutan keluarga Bimo, tetapi uang bisa saja mengubah segalanya. Laila dan Andara tidak tahu drama apa yang telah disiapkan oleh ibu Bimo.Mereka keluar kantor polisi dengan perasaan lega. Andara mengajak Laila untuk mampir ke warung bakso langganan mereka. Sesampainya di sana, Andara memilih tempat paling pojok dan me
“Lepasin!” Laila berusaha menarik tangannya, tetapi cengkeraman Bimo begitu keras.Laila terus diseret Bimo tanpa peduli teriakan sang istri yang kesakitan. Andara dan Aminah yang berada di kamar masing-masing sontak keluar. Aminah yang tengah bersama cucunya itu berteriak agar Bimo melepaskan Laila. Naya, menangis melihat Laila menyeret Bimo. Cepat sang nenek membawa Naya masuk ke kamar.“Naya, jangan keluar, ya, Sayang.” Aminah menenangkan cucunya dan diikuti anggukan oleh Naya. Setelah merasa cucunya telah tenang, Aminah berlari menghampiri Bimo yang masih memaksa Laila.“Mas, lepaskan! Sakit!” Laila mencoba memukul lengan Bimo yang mencengkeramnya.“Kamu harus nurut sama suami!” Bimo melotot ke aras sang istri.Wanita yang masih mengenakan mukena putih itu, terus meronta, berusaha melepaskan diri dari Bimo. Tiba-tiba sebuah tamparan melayang ke pipi mulusnya hingga ia tersungkur.“Laila ....” Sigap Aminah menyambut tubuhnya.Melihat kakaknya dita*mpar Bimo, Andara meradang dan la
Ada getaran saat gadis kecil itu memanggil Bimo. Rasa rindu pada sang ayah hanya bisa ia simpan. Meskipun Gio selalu ada dan berusaha menggantikan peran Bimo, perasaan rindu akan kehadiran ayah kandung tetap ada. Naya hanya bisa memandang punggung Bimo dari jauh saat pria itu pergi. Sedangkan wanita yang bersama Bimo, terlihat berlari mengejat sambil melontarkan umpatan kasar kepada Bimo."Sayang, ayo, kita pulang," ajak Laila. Naya hanya diam dan menurut.Sepanjang jalan gadis itu hanya diam, tidak seceriah sebelumnya. Gio menggandeng tangan kecil itu sambil bertanya apa lagi yang ia mau, tetapi Naya hanya menggeleng. Lalu Gio berinisiatif mengajaknya ke istana boneka. Di sana banyak berbagai jenis boneka yang lucu, mulai beruang berukuran kecil sampai yang paling besar. Melihat banyak benda yang disukainya, Naya langsung tersenyum dan berlari menghampiri beberapa boneka, untuk saat itu Gio mampu mengusir kesedihan Naya.Laila hanya mengekor dari belakang. Sama halnya dengan Naya, ia
"Ada apa, Mas?" tanya Laila."Gak apa-apa," jawab Gio gelagapan. "Apa yang kamu dengar?" tanya Gio tiba-tiba.Laila mengernyitkan dahi dengan pandangan bingung, "Seperti sesorang sedang menyebut namaku," jawab Laila tidak acuh, kemudian sibuk dengan makananya."Ternyata benar Kak Laila dan Mas Gio." Tiba-tiba Andara berdiri di dekat meja mereka. Keduanya kompak menoleh ke arah Andara."Kalian sedang apa?" tanya Gio melihat Andara bersama Rossa."Kami baru saja mau makan, lalu Rossa melihat Naya. Kami memanggil Kak Laila, tapi sepertinya kakakku ini sedang menikmati kebebasannya sampai tidak mendengar panggilan Rossa," jelas Andara diikuti anggukan Rossa.Gio menghela napas lega. Ia pikir Laila bisa mendengar isi hatinya, ternyata samar-samar wanita dengan balutan dress sage itu mendengar panggilan Rossa. Nyaris saja jantung Gio keluar dari tempatnya. Bagaiman jika Laila punya kekuatan bisa mendengar suara hati, ia akan sangat malu karena ketahuan jika selama ini menyimpan rasa pada wa
“Saya ingin mengajak Naya jalan-jalan,” ucap Gio. Di tangannya ada boneka beruang berukuran besar dan sebuah kotak cokelat. Laila mengajak Gio untuk masuk dan menyuruhnya untuk menunggu sebentar.Beberapa menit kemudian Laila keluar bersama Naya. Gadis itu langsung berlari ke pelukan Gio. Melihat boneka beruang dan cokelat yang dibawa pria itu, Naya langsung menghujani Gio dengan kecupan di pipi dan pelukan hangat.“Terima kasih, Om,” imbuh Naya yang direspon senyuman oleh Gio.Laila menatap kemesraan mereka berdua, ada rasa haru dan bahagia melihat puti kecilnya jauh lebih baik dari keadaan sebelumnya. Naya sudah jarang tantrum dan mulai mau bersosialisasi lagi. Kehadiran Gio sangat berpengaruh akan kesehatan mental Naya. Entah apa yang di rasakan oleh Laila saat ini, tiba-tiba timbul perasaan yang ia sendiri tidak mengerti. Setiap kali melihat Gio, jantungnya berdebar lebih cepat dan ia merasa gugup saat berhadapan dengan pria dengan kaki jenjang itu.“Tapi nanti sore Naya mau jalan
“Bikin malu! Bisa-bisanya kalian melakukan hal seperti itu!” bentak Hermawan. “Kamu tahu, ‘kan, Ma, kalau aku sedang dalam pengawasan? Kamu dan Bimo malah bikin ulah. Bukannya bantu aku supaya gak terlibat masalah apapun, kalian malah buat aku semakin sulit. Ibu sama anak, sama aja. Tukang bikin onar.”“Pa, jangan, sok, suci kamu! Kamu pikir, aku gak tau apa yang kamu lakuin? Kamu sama aja kayak Pak Kades. Apa yang aku lakuin sama Bimo ini juga demi keluarga kita. Aku berusaha agar Bimo dan Laila gak cerai. Siapa yang akan menopang kebutuhan kita kalau kamu ketahuan korupsi?” Ratna melotot ke arah Hermawan. “Dan sekarang semuanya kacau gara-gara Andara dan temannya itu. Kamu malah nyalahin aku!”“Gak usah nyalahin orang lain, Ma. Kalau kamu gak serakah dan egois, semua gak akan seperti ini. Apa yang aku lakukan juga karena demi memenuhi semua keinginan kamu. Berlian, arisan, botox, dan semua yang gak penting itu. Aku capek nurutin semua maunya kamu!”“Jadi kamu nyalahin aku, Pa? Gara-
“Ibu Cuma mau ada yang bisa jaga kalian,” jawab Aminah.“Laila punya Ibu dan Andara,” imbuh Laila.“Ibu gak selamanya hidup dan adikmu juga akan punya keluarga sendiri. Naya butuh kasih sayang seorang ayah, juga pelindung. Kamu gak bisa selamanya sendiri dan bergantung pada Ibu dan Andara,” terang Aminah.“Laila baru 1 minggu bercerai, Bu, tapi Ibu sudah mikir sejauh itu. Bahkan sakit yang Laila rasakan masih sangat jelas, Bu.” Suara Laila bergetar. Ia merasa ibunya egois dan tidak memikirkan perasaannya.Luka trauma yang masih membekas atas perlakuan Bimo dan orang tuanya sangat jelas terasa bagi Laila. Hampir setiap malam ia bermimpi buruk dan tidak bisa tidur, untuk keluar rumah pun Laila takut. Ia takut dengan pandangan orang-orang saat melihatnya lewat, seolah-olah mata mereka berkata “dia sudah janda, pasti karena mertuanya gak setuju, pasti terlalu merongrong suami makanya di cerai” dan banyak pikiran-pikiran buruk mengisi kepala Laila, padahal mereka tidak tahu apa yang terjad
Satu minggu pasca perceraian, Laila masih tinggal di rumah Aminah demi keamanan dia dan Naya. Siapa yang bisa menduga, jika sewaktu-waktu Bimo datang ke rumah Laila dan merebut Naya atau berbuat kasar padanya. Maka dari itu, Aminah dan Andara tidak setujuh saat Laila mengatakan ingin kembali ke rumahnya sendiri. Mereka tidak ingin terjadi hal buruk menimpa Laila dan Naya lagi. “Apa rencana Kakak selanjutnya?” tanya Andara sambil mengoles selai cokelat ke rotinya.“Kakak mau jualan lagi.”“Di stasiun?” tanya Aminah yang dijawab anggukan oleh Laila.“Kanapa gak buka lapak di depan rumah kita aja atau sewa kedai,” imbuh Andara.“Kakak gak ada modal. Uang Kakak cukup buat modal kue aja, untuk sewa tempat Kakak belum punya.”“Andara ada tabungan kalau Kakak mau pake,” tawar Andara sambil melahap roti.“Ibu takut Bimo bisa aja ke sana dan membuat keributan,” sela Aminah. “Anak lebih aman jika kamu jualan di rumah aja,” sambungnya.“Bener kata Ibu, Naya juga bisa terkontrol, Kak. Kakak jug
“Bu, gimana kalau Laila pulang ke rumah aja. Biar Naya juga lebih aman di sana. Laila takut kalau di sini Mas Bimo pasti terus dateng dan bikin ribut.”“Kalua kamu pulang, Ibu sama Anda gak bisa ngawasin kalian, lagian Bimo nanti makin seenaknya kalau tau kamu cuma berdua sama Naya. Pasti dia tau kalau kalian pulang.”“Terus Laila harus gimana, Bu? Laila gak mau Naya kenapa-kenapa, gak enak juga sama Mas Gio.”“Bu, Rossa sama Mas Gio pamit pulang.” Tiba-tiba Rossa dan Gio menghampiri Aminah dan Laila yang sedang berada di dapur.“Loh, Nak Gio mau pulang ke kosan Beben?” tanya Aminah.“Gak, Bu, Mas Gio mau Rossa ajak pulang ke rumah. Gak enak ngerepotin itu terus, gak enak juga sama tetangga.”“Makan malam dulu, ya, ini udah disiapin,” ajak Aminah.Mereka pun menikamati makan malam bersama sebelum Rossa dan Gio pulang. di kursi sebelah kanan ada Aminah, Rossa dan Andara, sedangkan di sebelah kiri, Naya tidak mau lepas dari Gio. Laila sudah berusaha membujuk anak itu, tetapi ia tetap ti
Andara melerai pertikaian antara Gio dan Bimo. Darah mengalir di sudut bibir Gio dan beberapa memar tampak di wajah Bimo. Gio menghantamnya dengan beberapa pu*kulan. Bimi tidak mampu menghalau serangan Gio.“Mas, hentikan!” Andara menarik Gio dari tubuh Bimo. “Mas Bimo kalau ke sini hanya bikin keributan mending pulang aja!” usir Andara.“Aku ke sini mau menemuui anakku, tapi dia melarang.” Bimo menunjuk Laila.“Kamu brutal, Mas! Naya sedang istirahat,” jawab Laila.“Aalah ... itu hanya alasan saja, kau tidak ingin ketahuan kalau selingkuhanmu tidur di kamar ini, ‘kan?” tuduh Bimo.“Lancang kamu, Mas!”Gio tersulut emosi dan hendak memu*kul Bimo, tetapi Andara menahan pria itu.“Pulanglah, Mas! Aku akan mengantar Naya jika kau ingin bertemu dengannya. Jangan membuat keributan lagi,” pinta Andara. Terdengar jelas nada lelah dalam ucapannya. Ia sudah begitu lelah menghadapi drama yang dibuat oleh Bimo.Bimo menatap sengit Gio. Terpancar dendam dan kemarahan pada laki-laki dengan jamban
“Ibu mau ke dapur dulu, kalian pasti lapar.” Aminah beranjak dari duduknya dan hendak keluar dari kamar, tetapi Rossa menahan.“Rossa udah pesen sarapan, kok, Bu ...,” sanggah Rossa cepat.“Kamu kenapa, sih?” tana Andara bingung.“Gak apa, kita temenin Naya aja dulu,” kilah Rossa. “Aku udah bikin janji konsul ke psikolog nanti siang, biar Naya lebih tenang.”“Harus?” tanya Andra seperti ingin menolak, tapi tidak bisa mengatakannya.“Naya perlu penanganan khusus dan didampingi oleh ahlinya agar mentalnya baik-baik aja dan gak trauma. Dia pasti ketakutan banget,” terang Rossa.Aminah dan Andara mengangguk. “Apa Laila setuju?” tanya Aminah.“Tadi Rossa udah bilang, pasti Kak Laila setuju.”“Setuju apa?” Tiba-tiba Laila berdiri di ambang pintu.“Nak Rossa mau aja Naya ke psikolog nanti siang,” jawab Aminah.Belum sempat Laila menjawab, tba-tiba Gio datang membawa beberapa kantong berisi makanan. “Pesanan siapa ini?” tanya Gio.“Gue ....” Cepat-cepat Rossa menyambar benda yang ada di tang