Share

Bab 2

“Dasar wanita kurang aja!” Bimo menjambak rambut Laila dengan beringas. Tatapannya seperti pedang yang siap menghunus lawan.

“Sudah berani melawan kau sekarang, ya!” ujar Bimo.

Kepala Laila mendongak akibat jambakan suaminya. Anak yang tadi dalam pelukannya, menangis kencang melihat pertikaian keduanya. Gunting yang tadi ia lihat, sudah ia sembunyikan di balik bantal yang berada disampingnya. Laila merogoh bawah bantal, mengambil benda tajam itu. Saat laki-laki dihadapannya hendak memukul, Laila mengayunkan gunting itu ke arah tangannya.

Bimo menejerit, lengannya tergores. “Dasar jal*ang!” umpat Bimo.

Laila berlari keluar kamar menuju dapur. Di sana terdapat ruangan kosong yang digunakan untuk menyimpan barang tidak terpakai dan pakaian kering setelah di jemur. Laila masuk ke sana dan mengunci dari dalam. Ruangan itu gelap, hanya ada penerangan dari cela fentilasi. Ia bersembunyi di balik lemari plastik dekat jendela. Ia juga mendekap mulut sang putri agar suara tangis bocah itu tidak didengar Bimo.

“Laila! Keluar kau, jangan sembunyi!” Suara Bimo mengelegar di seluruh ruangan.

Laki-laki itu membanting semua barang yang ia lihat. Piring, cangkir, bahkan vas bunga yang berada di meja pun menjadi sasarannya.

“Laila! Kupastikan kau tidak akan melihat matahari pagi karena telah melukaiku, kau tahu, ‘kan, siapa aku? Cepat keluar sebelum kubakar rumah ini!” teriak Bimo.

Degup jantung Laila semakin memburu. Ia takut jika suaminya nekat membakar rumah itu. Rumah yang ia beli dari hasil kerjanya selama masih gadis. Laili dilanda dilema antara bertahan di persembunyian atau nekat keluar melawan Bimo.

“Naya, diam, ya, jangan berisik! Nanti kita ketahuan ayah,” bisik Laila kepada anaknya. Bocah 5 tahun itu hanya mengangguk sambil sedikit terisak.

Laila masih bisa mendengar upatan dan teriakan dari laki-laki itu. Lama-lama suara itu semakin terdengar mendekat. Takut ketahuan Bimo, Laila yang bersembunyi tidak jauh dari jendela, cepat-cepat membuka jemdela dengan hati-hati agar tidak menimbulkan bunyi. Saat jendela berhasil dibuka, ia segera keluar dari sana dan berlari sambil terus menggendong Naya. Tanpa alas kaki, Laila berlari ke arah rumah orang tuanya yang tidak begitu jauh. Hanya berselang 3 lorong dari rumahnya.

Malam itu sangat sepi, sepertinya orang-orang terbuai dalam mimpi mereka, bahkan pos ronda yang biasanya ramai oleh para pemuda, tampak sepi, tidak ada satu orang pun. Laila terus berlari memasuki gang sempit yang hanya bisa dilalui oleh pejalan kaki dan pengendara motor. Sampai di ujung gang, ia berbelok ke kiri dan selang lima rumah tibalah ia di depan bangunan yang ditempai sang ibu dan adiknya. Rumah itu tidak begitu besar, tetapi terlihat asri karena pohon mangga di depannya. Laila membuka pintu pagar dan mengedor rumah.

Andara yang hendak memejamkan mata tersentak mendengar gedoran didepan rumahya. Ia bergegas menuju pintu depan. Andara terkejut mendapati kakak perempuannya berdiri di depan pintu dengan penampilan yang menyedihkan, tanpa sandal, rambut acak-acakan, wajah lebam, dan sedit darah di sudut bibir.

“Kak, ada apa? Kenapa kau terlihat ketakutan?” ujar Andra, adil Laila.

Andra berteriak memanggil ibu mereka. Diambiln Naya dari gendongan sang kakak, kemudia mengajak mereka masuk. Andra merebahkan tubuh ponakannya itu di kursi ruang tamu. Ia kemudian menuju kamar sang ibu untuk memberi tahu keadaan kakaknya.

Aminah terkejut melihat keadaan putinya. Hatinya remuk kala mendengar cerita dari Laila, bahwa ia baru sada mengalami KDRT. Ia memerintahkan Laila dan putrinya untuk beristirahat karen waktu sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari.

Di tempat lain, Bimo mengupat saat tahu Laila kabur melalui jendela.

***

Hampir satu minggu Laila tinggal di rumah ibunya. Selama itu pula Bimo tidak mencoba mencari anak-istrinya ke rumah Aminah.

“Pulanglah, Nak! Bicara baik-baik dengan suamimu, jika kau ingin berpisah, katakan kepadanya. Ibu tidak sudi, jika anak ibu mengalami kekerasan seperti ini,” ujar Aminah.

“Laila tidak mungkin menghabiskan sisa hidup Laila dengan laki-laki seperti dia, Bu,” jawab Laila.

“Itulah kalau tidak mau mendengar nasihat orang tua, Kak! Sudah dari awal ibu tidak setuju, tapi Kakak masih nekat juga,” sungut Andra tiba-tiba,

Laila hanya diam dan tertunduk medengar ucapan sang adik.

“Berani laki-laki itu datang ke mari, kupatahkan tangannya!” ujar Andara sambil menatap sang kakak. “Lebih baik berpisah jika dia masih tidak berubah. Dasar kau yang bo*doh, Kak, 6 tahun bertahan dengan laki-laki tak bertanggung jawab yang hobinya mabuk dan berjudi. Apa selama kalian kenal kau tidak tahu sifat suamimu yang tempramen itu?” ujar Andara sengit.

Tidak lama, terdengar ketukan dari arah depan. Aminah berjalan untuk melihat tamu yang datang. Ia terkejut melihat kedua orang tua Bimo di depan pintu. Ibu Bimo, Ratna, berdiri di depan pintu dengan wajah sombong dan arogan. Wanita yang mengenakan gaun selutut berwana biru sambil memegang kipas di tangan kanan, tas jinjing di tangan kiri, dan sepatu berhak lima centi itu tanpa salam langsung menyerobot masuk dan berteriak memanggil Laila.

“Laila Majenun! Keluar kau! Tidak usah bersembunyi di ketiak ibumu yang tua ini!” teriak Ratna.

Andara yang mendengar suara Ratna langsung keluar, “Apa Anda tidak ada sopan santun?! Masuk ke rumah orang teriak-teriak dan tanpa salam! Nama kakak saya bukan Laila Majenun!” sungut Andara.

“Anak bau kencur tidak usah ikut campur, keluarkan kakakmu yang membawa sial itu! jangan kau sembunyikan wanita tak tahu diri itu!” tutur Ratna.

“Jaga mulut Anda atau saya seret Anda keluar!” ancam Andara.

“Andara, hentikan!” Laila keluar dari kamar dan mendekati mertuanya.

“Maaf, Ma, tolong jangan bikin keributan,” ujar Laila lembut.

“Bod*oh!” desis Andara sambil meninginggalkan Laila.

“Silakan duduk Bu Ratna.” Aminah mempersilakan besannya duduk.

Ratna duduk di sofa tepat berhadapan dengan Laila dan Aminah, “Langsung saja, saya tidak suka basa-basi.” ujar Ratna. “Kau telah melukai anakku, aku mau kau bertanggung jawab atas perbuatanmu!” lamjutnya.

“Maksud, Mama, apa? Mama tidak lihat wajahku lebam karena perbuatan anak Mama!” ujar Laila.

“Tidak perlu drama, aku sudah tahu kau akan melakukan drama ini!” ujar Ratna.

“Maksud, Ibu, apa?” tanya Aminah polos.

“Anak Ibu ini sudah menyerang Bimo mengunakan pisau hingga ia terluka parah dan harus dilarikan ke rumah sakit, bukannya mengurus suami, dia malah lari dan bersembunyi di sini,” jelas Ratna.

“Bukan Laila yang melukai Bimo, tapi anak Ibu sudah melakukan kekerasan kepada Laila,” jawab Aminah.

“Wah, hebat sekali ya, setelah mecuri uang anakku dan memepermalukannya, sekarang kau melukainya dan memfitnahnya. Drama apa lagi yang kau lakukan Laila?” Ratna menatap sengit Laila, “selama ini aku pikir kau wanita lugu, ternyata kau ular berbisa. Ibu tahu kalau anak Ibu ini sudah mempermalukan nama keluarga kami. Dia berjualan kue di pinggir stasiun dengan uang modal yang dicuri dari Bimo!” ujar Ratna lantang.

“Itu gak benar! Aku mendapatkan modal dari pinjaman teman, Ma,” jawab Laila.

“Teman atau selingkuhanmu?” ujar Ratna menatap sinis Laila.

“Apa benar yang dikatakan mertuamu?” tanya Aminah?

“Gak bener, Bu! Laila dapat pinjaman dari teman karena dia kasihan Liala yang sering kekurangan. Mas Bimo gak pernah kasih uang untuk Laila,” jawab Laila diiringi tangis.

“3 juta satu bulan, kau bilang tidak memberi uang?” ujar Ratna sedikit berteriak. “Setiap bulan anakku memberimu uang 3 juta untuk jatah bulanan, kau bilang tidak pernah memberi uang? Drama apa lagi ini Laila?” sungut Ratna.

“Drama? Mama bilang drama? Mas Bimo sepeserpun tidak pernah memberiku nafkah, Ma. Selama ini aku mencari uang sendiri tanpa ada campur tangan anak Mama itu. Gaji Mas Bimi habis di meja judi dan mabuk-mabukan, Ma,” terang Laila.

“Jangan mengada-ada kamu Laila, mana mungkin Bimo mempermalukan orang tuanya dengan berjudi dan minum-minum. Kalau pun itu terjadi, pasti semua karena ulahmu, dia pasti tertekan karena kau yang selalu menuntut lebih darinya. Dasar anak bod*oh, dari awal sudah aku katakan jika wanita ini hanya mengincar uang, di kasih enak malah memilih wanita miskin ini.” Ratna menatap sinis Ratna dan Aminah.

“Cukup Ibu menghina kakak saya! Silakan Anda pulang dan tanyakan sendiri kepada anak Anda bagaiman kejadian sebenarnya,” jawab Andara yang dari tadi menahan diri untuk tidak keluar dari kamar.

“Laila, ayo, ikut Mama pulang! Kau masih sah istri Bimo, apa kau mau menjadi istri durhaka dengan melakukan kekerasan serta meninggalkan suamimu dalam keadaan terluka?” ujar Ratna sambil berdiri.

“Gak, Ma, aku mau di sini, aku gak mau pulang,” tolak Laila.

“Baiklah, kalau kau mau tinggal di sini silakan saja, tapi ingat rumah itu akan menjadi milik Bimo!” Ratna tersenyum sinis ke arah Laila.

“Rumah itu milikku, Ma, Mas Bimo tidak ada hak atas rumah itu. Aku membelinya sebelum mengenal dan menikah dengan Mas Bimo,” jawab Laila.

“Selangkah keluar, artinya kau menyerahkan rumah itu, jika kau masih ingin rumah itu mejadi milikmu, pulang bersama Mama dan urus suamimu,” ancam Ratna.

Laila dilema, tidak mungkin ia menyerahkan rumah yang ia beli dengan hasil kerja kerasnya. Andara dan Aminah menatap Laila, berharap wanita itu teguh pada pendiriannya agar tidak kembali ke sana.

“Baiklah, aku akan pulang bersama Mama,” jawab Laila pasrah.

Laila berjalan ke kamar untuk mengajak Naya pulang ke rumahnya. Dengan terpaksa, Laila mengikuti mertuanya dari belakang.

Andara geram melihat kakaknya yang mudah sekali digertak, sedangkan Aminah hanya bisa diam dan nematap Laila yang memasuki mobil mewah Ratna.

“Bod*h!” umpat Andara.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status