Sebelum Ratna berbuat kasar, Laila langsung berdiri dan berlari menuju kamar Naya sambil menjulurkan lidah ke arah mertuanya. Dari balik pintu, ia tertawa geli melihat ekspresi Ratna yang kesal karena diledeknya.
“Ini baru awal, Ma. Aku bukan Laila yang dulu, yang hanya diam saja saat kau hina.” Laila bermonolog. “Bunda, kenapa?” tanya Naya melihat sang bunda tertawa sendiri. Laila hanya menggeleng lalu berjalan mendekati Naya, duduk di sebelah sang putri yang sedang mewarnai. Di luar, Ratna mengumpat perbuatan menantunya itu. Mendengar teriakan Ratna, Bimo yang tengah tertidur di kamarnya, keluar sambil berjalan malas. “Ada apa, sih, berisik sekali!” bentaknya. Wanita yang dari tadi berdiri di depan meja makan, menoleh ke sumber suara. Mendapati anak laki-lakinya keluar kamar. Ia berjalan mendekat dan menjewer telinga Bimo. Menumpahkan kekesalan atas tindakan Laila kepada Bimo. Laki-laki dengan celana pendek itu menjerit. Matanya terbelalak menyadari bahwa sang ibu yang membuat keributan hingga tidurnya terganggu. *** Bimo duduk di warteg langganannya, tidak jauh dari balai desa. Di antara jari tengah dan jari telunjuk Bimo terselip sebatang rokok di mana ujungnya telah dibakar. Dia mendekatkan benda itu pada mulut, menghisap, kemudian mengeluarkan asapnya dari mulut dan juga hidung. Kemudian menyesap kopi yang berada di hadapannya. Bimo memikirkan bagaimana cara mendapatkan uang untuk melunasi hutang-hutangnya. Semakin hari para preman itu semakin brutal. Ia tidak bisa bebas ke mana-mana karena selalu diintai oleh para penagih hutang itu. Bimo tidak mau sampai orang tuanya tahu kalau ia terlibat banyak hutang, belum lagi Ratna yang selalu banyak permintaan. Perawatan, shopping, arisan, dan lainnya. Padahal uang ayah Bimo lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan ibunya. Namun wanita yang telah melahirkannya itu lebih gemar meminta uang kepada sang anak dengan dalih balas budi karena sudah mengandung, melahirkan, serta membesarkannya. Dari kejauhan, Bimo melihat pria dengan seragam cokelat berjalan ke arahnya. Otaknya langsung menemukan ide. Bimo melambaikan tangan kepada pria itu, kemudian memberi dengan menepuk bangku kosong di sebelahnya, kode agar si pria duduk di sebelahnya. Pria dengan perut buncit itu pun duduk di sebelah Bimo dan mengisyaratkan kepada pemilik warung agar menyiapkan makan untuknya. “Makin ganteng aja Pak Kades ini, setiap hari kelihatannya makin muda,” puji Bimo seperti penjilat. Sedikit berdehem, pria yang merupakan kepala desa itu tersenyum bangga mendengar gombalan Bimo. Wajahnya tampak semakin sombong atas pujian yang dilontarkan. “Bisnis kemarin lancar, Pak?” basa-basi Bimo sebelum melakukan serangan. Pak Kades hanya mengangguk menanggapi pertanyaannya. Bimo menggeser kursinya agar lebih mendekat lagi ke kursi Pak Kades. “Ehm ..., begini, Pak, sebenarnya saya gak enak mau bilangnya, tapi gimana, ya, saya lagi butuh uang. Mertua saya lagi sakit, harus operasi secepatnya. Jadi, saya mau menggadaikan rumah saya ke Bapak. Itu, sih, kalau Bapak mau menolong saya,” ujar Bimo dengan wajah memelas dan sedih. “Kenapa gak minta sama Pak Hermawan aja? Papamu pasti dengan mudah mengeluarkan uang,” tutur Pak Kades sambil menerima sepiring nasi rames lengkap dengan lauknya yang baru saja diantarkan. “Bapak, kan, tau sendiri kalau Mama tidak menyukai Laila dan keluarganya. Bisa marah dia kalau tau aku meminjam uang untuk operasai ibu. Ayolah, Pak, bantu aku. Aku akan merasa bersalah jika tidak bisa menjadi menantu yang bermanfaat. Masa aku tega melihat orang tua istri dalam keadaan sakit dan harus dioperasi aku hanya diam saja.” Bimo memasang wajah menyedihkan untuk meyakin Pak Kades yang juga seorang rentenir. Sambil menyendokkan nasi ke mulutnya Pak Kades bertanya, “Kamu butuh berapa?” “250 juta, Pak,” jawab Bimo cepat. “Balik 300 juta dalam 2 bulan. Kalau mau antarkan sertifikatnya ke rumah siang ini.” Seperti mendapat durian runtuh, Bimo langsung menyanggupinya. Urusan bagaimana nanti ia melunasinya belakangan, yang terpenting saat ini ia dapat terbebas dari preman-preman itu. Namun tanpa ia sadari, dari jauh ada yang memperhatikannya. Bimo bergegas pamit dari sana dan meminta izin pulang untuk mengambil sertifikat rumah milik Laila. Pak Kades hanya mengangguk tanda setuju. Secepat kilat ia menunggangi kuda besi milik Laila untuk segera pulang ke rumah. Dalam benaknya sangat berbunga-bunga, kesempatan baik karena Laila masih berada di stasiun saat ini. Bimo merasa lebih leluasa untuk mengambil sertifikat rumah itu. Sesampainya di rumah, Bimo langsung menuju kamar dan membuka lemari pakaian. Ia tahu persis di mana istrinya menyimpan surat berharga itu. Laci bawah, tepat bagian tengah lemari. Diliriknya jam yang melingkar ditangan kiri, sudah pukul 12.55, sebentar lagi Laila pulang, cepat ia mengambi benda itu, kemudian penyambar kunci motor yang tergeletak di atas meja. Sebelum pergi, ia menghubungi Pak Kades, menanyakan di mana mereka akan bertemu. “Baik, Pak, saya ke sana sekarang.” Bimo menyalakan motor dan melesat cepat ke tempat yang telah disepakati. Hampir 40 menit membelah jalanan, laki-laki yang mengenakan jaket biru itu masuk ke dalam sebuah kafe tidak jauh dari balai desa. Di sana, sudah ada Pak Kades yang menunggu dengan segelas jus jeruk dan sepiring pisang goreng di hadapannya. Bimo duduk di kursi yang berada di depan pria itu. Tanpa basa basi, Bimo langsung menyodorkan map berwarna hijau dengan lambang garuda itu kepada pria di hadapannya. “Sesuai kesepakatan tadi, 250 juta kembali 300 juta dalam waktu 2 bulan,” terang Pak Kades. “Jika dalam waktu 2 bulan tidak ada tebusan, maka rumah itu jadi milikku.” “Baik, Pak.” Pak Kades mengambil ponsel yang tergeletak di meja, mengutak-atik benda itu, lalu kemudian menunjukkan bukti transfer kepada Bimo. “Sudah aku transfer ke rekeningmu.” “Terima kasih banyak, Pak.” Bimo meraih tangan Pak Kades dan menyalaminya. Bimo lega, masalah hutangnya untuk sementara bisa diatasi. Selanjutnya ia akan mencari alasan yang tepat agar Laila tidak murkah. Keluar dari kafe tersebut, Bimo langsung menghubungi para preman yang mengincarnya. Hari itu juga ia harus menyelesaikan semua agar Ratna tidak curiga lagi kepadanya. *** Malam itu, di meja makan, wajah Bimo tampak semringah. Ia seperti burung yang baru saja bebas dari sarang. Menikmati hidangan telur ceplok, sayur bening, dan oseng tempe tanpa protes. Biasanya, setiap kali Laila memasakkan masakan sederhana, ia akan protes dan marah lalu keluar sambil membanting pintu. Namun kali ini ia sangat menikmati lauk yang di sajikan istrinya. Laila hanya menatap suaminya heran, tidak biasanya laki-laki yang duduk di hadapannya itu makan dengan lahap dan terlihat sangan bahagia. Namun ia tidak begitu peduli, setidaknya hari ini tidak ada pertengkaran di antara mereka. Namun sepasang suami istri itu terkejut karena gedoran pintu yang sangat keras. Siapa yang tidak sopan bertamu ke rumah orang dengan menggedor begitu kencang. Cepat Laila berjalan menuju pintu. Laila terkejut saat membuka pintu dan orang di hadapannya langsung menyerobot masuk. “Andara!” Pekik Laila.Andara berlari menuju Bimo yang sedang menikmati makan malam. Ia menarik kera baju lalu mem*mukul wajah Bimo. Laki-laki yang merupakan kakak iparnya itu terkejut dan tersungkur dari kursi meja makan. “Apa-apaan kamu!” bentak Bimo sambil berdiri. Cairan merah kental keluar dari sudut bibirnya. Laila memeluk Naya yang duduk di kursi seberang Bimo. Ia membenamkan wajah anaknya dalam pelukan, tidak ingin sang putri melihat pamannya baku hantam dengan sang ayah. Bergegas Laila mengajak gadis kecil itu ke kamar dan memerintahkan agar Naya tidak keluar. Gadis itu mengangguk. “Laki-laki benalu!’ umpat Andara. “Ada apa ini?” tanya Laila bingung. “Suami tercinta Mbak ini sudah menggadaikan rumah, Mbak!” tutur Andara dengan lantang. Wanita yang berdiri di antara adik dan suaminya itu terkejut. Kedua telap tangannya menutup mulut lalu menatap ke arah sang suami. Ia menggelakkan kepala tidak percaya kalau Bimo tega berbuat seperti itu. “Sudah aku katakan jangan kembali pada benalu in
“Bimo!” Ratna berteriak memanggil anaknya yang langsung masuk ke rumah.Laki-laki Itu tidak menghiraukan ibunya, ia terus saja berjalan menuju kamar, tempat yang selalu disinggahi jika berada di rumah orang tuanya. Bimo menghempaskan tubuh di atas kasur king sizenya. Ia menatap kosong langit-langit kamar yang berwarna putih. Pandangannya beralih pada sebuah foto yang menempel tepat di depannya. Di sana tampak seorang wanita cantik mengenakan gaun putih seperti putri di negeri dongeng, dihiasi senyum manis dengan lesung pipi. Di sebelah wanita itu, seorang pria tinggi berhidung mancung dengan mengenakan jas hitam, menatap penuh cinta ke arah wanita tersebut.Itu adalah foto pernikahan Bimo dan Laila. Bimo menyambar vas bunga yang berada di meja samping tempat tidurnya, lalu melempar benda itu ke arah foto tersebut. Suara benturan dan pecahan kaca menggelegar di kamar itu. Ia menjerit, menangis frustrasi, merasakan kesal dan kecewa pada diri sendiri. Andai ia tidak salah langkah dan sel
Bimo menghadang Laili, saat tangannya menarik lengan wanita itu, Andara menepis dan mengajak Laila masuk.“Jangan pernah menyakiti kakakku lagi!” ancam Andara menunjuk Bimo.Mereka meninggalkan Bimo yang masih mematung di sana.Hampir satu jam Andara menjalani pemeriksaan, semua pertanyaan ia jabarkan dengan gamblang, alasan kenapa ia memukul Bimo sampai perlakuan kakak iparnya itu terhadap Laila. Andara sudah menyiapkan semua bukti, saat Laila melarikan diri malam-malam karena KDRT dari Bimo, diam-diam ia memfoto wajah sang kakak yang sedang tertidur. Juga merekam pembicaraannya dengan Pak Kades saat mengambil sertifikat rumah.Semua bukti bisa membebaskan Andara dari tuntutan keluarga Bimo, tetapi uang bisa saja mengubah segalanya. Laila dan Andara tidak tahu drama apa yang telah disiapkan oleh ibu Bimo.Mereka keluar kantor polisi dengan perasaan lega. Andara mengajak Laila untuk mampir ke warung bakso langganan mereka. Sesampainya di sana, Andara memilih tempat paling pojok dan me
“Lepasin!” Laila berusaha menarik tangannya, tetapi cengkeraman Bimo begitu keras.Laila terus diseret Bimo tanpa peduli teriakan sang istri yang kesakitan. Andara dan Aminah yang berada di kamar masing-masing sontak keluar. Aminah yang tengah bersama cucunya itu berteriak agar Bimo melepaskan Laila. Naya, menangis melihat Laila menyeret Bimo. Cepat sang nenek membawa Naya masuk ke kamar.“Naya, jangan keluar, ya, Sayang.” Aminah menenangkan cucunya dan diikuti anggukan oleh Naya. Setelah merasa cucunya telah tenang, Aminah berlari menghampiri Bimo yang masih memaksa Laila.“Mas, lepaskan! Sakit!” Laila mencoba memukul lengan Bimo yang mencengkeramnya.“Kamu harus nurut sama suami!” Bimo melotot ke aras sang istri.Wanita yang masih mengenakan mukena putih itu, terus meronta, berusaha melepaskan diri dari Bimo. Tiba-tiba sebuah tamparan melayang ke pipi mulusnya hingga ia tersungkur.“Laila ....” Sigap Aminah menyambut tubuhnya.Melihat kakaknya dita*mpar Bimo, Andara meradang dan la
Di tempat terpisah, Laila dan Aminah pulang dari pengadilan menggunakan taksi online karena Andara harus mencari bukti. Laila dan ibunya masih tidak percaya dengan kesaksian Pak Kades. Mereka berkutat dengan pikirannya masing-masing. Tidak mungkin Andara tega melalukan apa yang seperti diucapkan Pak Kades.“Bu, aku gak percaya sama omongan Pak Kades,” ujar Laila memecah kesunyian.“Ibu juga gak yakin, tapi kenapa Pak Kades berbohong?”“Ibu tahu sendiri, kan, kalau Pak Kades mata duitan? Pasti keluarga Mas Bimo sudah membayarnya.”“Tidak boleh menuduh orang seperti itu.”“Laila gak asal nuduh, Bu. Laila sudah hafal betul bagaimana keluarga itu.”“Semoga saja adikmu bisa mendapatkan bukti.” Harap Aminah.***Sebuah kafe bergaya modern dan instagramable dengan suasana alam yang terlihat asri, pepohonan rindang dikeliling lampu kerlap kelip dan live musik yang mengalun romantis. Seorang pemuda tinggi dengan balutan kemeja cokelat dipadukan celana jin, serta jaket yang tersandar di bahu ku
Suara bariton Bimo menggelegar di ruangan itu. Semua menoleh dan terkejut melihat sosok laki-laki yang sudah memorak-porandakan hidup Laila, berdiri di ambang pintu dengan tatapan penuh amarah, melihat Laila memangku laki-laki yang tidak diketahui identitasnya.“Belum juga sidang cerai, kau sudah berani membawa laki-laki lain ke rumah ini, dasar murahan!” sungut Bimo.“Jaga ucapanmu, Mas!” bentak Laila.“Tidak usah meninggikan suaramu di hadapanku! Faktanya sudah ada di depan mata. Benar yang Mama bilang, kalau sampah tidak akan bisa jadi berlian meskipun dibawa ke singgasana.”“Berani sekali lagi kau menghina kakakku, jangan harap kau bisa keluar dari sini dengan kaki yang utuh!” Andara mencengkeram kerah baju Bimo.Bimo menepis tangan Bimo dari lehernya, sambil mengibas-ngibaskan baju, seolah-olah ia baru saja terkena najis, “Ingat, kau sedang dalam penyelidikan!” ancam Bimo sambil menunjuk wajah Andara.“Jika kau hanya ingin membuat keributan di sini, silakan keluar, Mas!” Laila be
“Naya, sini, Nak!” Panggil Laila yang baru pulang dari jualan.Gio terkejut tiba-tiba dipeluk seorang anak kecil yang lucu dan cantik. Gadis itu memiliki bola mata yang bulat dan iris mata cokelat seperti ibunya. Gio tersenyum dan mencoba menggendong Naya. Pria berkulit putih itu sedikit menahan sakit di area perutnya saat menggendong Naya. Raut wajahnya yang sedikit meringis bisa ditangkap oleh Laila. Cepat wanita yang mengenakan dress hijau dengan motif bunga-bunga itu mengambil Naya dari pangkuan Gio.“Maaf,” ujar Laila tidak enak hati, Gio hanya tersenyum menanggapinya.Andara yang dari tadi hendak pergi, lagi-lagi tertahan karena tingkah Naya. Ia mengambil alih Naya dari Laila, lalu mengajaknya ke teras.“Nak Gio istirahat saja dulu, Ibu sudah masakkan air untuk mandi, nanti kalau airnya sudah masak, Nak Gio, Ibu panggil,” ujar Aminah.Gio mengangguk dan berjalan ke kamar Andara.Tidak lama, Laila mengetuk pintu kamar Andara dan membuka pintu yang tidak terkunci, tampak Gio sedan
“Aku akan mencabut tuntutan jika kalian mau menerima syarat dariku,” ujar Ratna.Laila dan Aminah saling menatap. Ratna tersenyum licik melihat ekspresi menantu dan besannya. Ibu dari Bimo itu sangat percaya diri, ia yakin kalau musuh di depannya ini akan menerima tawarannya dan memohon untuk berdamai.“Aku akan mencabut tuntutan itu jika kau mencabut gugatan cerai,” ucap Ratna sambil menatap tajam ke arah Laila.“Kamu gak mau kan Naya tumbuh tanpa kasih sayang ayahnya? Apa kamu tidak kasihan melihat teman-temannya diantar dan dijemput oleh kedua orang tua, jalan-jalan. Apa kamu mau melihat mental Naya terluka, di-bully oleh teman-temannya.” Bimo mencoba mempengaruhi Laila.Laila menatap ibunya penuh harap. Ia mulai gundah dengan perkataan Bimo. Dalam hati kecilnya, ia tidak bisa lagi menerima Bimo, tetapi ia juga tidak bisa egois demi tumbuh kembang anaknya.Bimo meraih tangan Laila dan menggenggamnya dengan tatapan memohon. “Jangan egois, Dik, ini semua demi masa depan Naya juga An