Samantha menimbang-nimbang keadaan. Dia ingin sekali membantu ayahnya, walaupun hal yang sulit untuk dilakukan. Kali ini, gadis itu hanya mencoba mendekati medan pertempuran secara perlahan. Dia mendayung perahu dalam kegelapan sambil berpikir bagaimana caranya bisa memastikan jika Tuan Edmund pulang dalam keadaan selamat. Pertempuran yang semula berkecamuk, tiba-tiba saja berhenti. Hal demikian sungguh mengundang pertanyaan. Samantha ingin sekali semakin mendekat serta mencari tahu apa yang tengah terjadi di sana. "Nona, sedang apa di sini?" Samantha terkejut karena tiba-tiba saja ada orang yang bertanya dari belakang. "Eiss, siapa kau?" seraya menodongkan senapan. "Tenang, saya orang Tuan Besar, tidak usah takut." Hanya suaranya saja yang terdengar. Wujudnya ditelan kegelapan, Samantha pun tidak mengenalinya. "Bukankah Nona harus pergi menuju daratan?" orang itu kembali bertanya. "Bagaimana aku yakin jika kau ada di pihakku?""Tentu saja saya di pihak Nona karena saya tahu No
Bau amis darah, tercium oleh hidung Samantha. Namun, dia tidak menghiraukan hal tersebut. Pikirannya lebih tertuju kepada pemandangan di depan. Sebuah pemandangan nan langka namun bukan peristiwa yang mengundang bahagia. "Paman Martin," bibir Samantha mengatup rapat. "Aku tahu jika Paman membenci ayahku ...."Orang yang diajak bicara tidak langsung menanggapi. "Pergi Samantha, kenapa kau ada di sini? Sudah aku bilang, kau tidak boleh ada di sini." Justru Tuan Edmund menoleh kepada anaknya yang berdiri di tepi geladak. Suaranya tidak lagi jelas dan tegas sebagaimana sebelumnya. Luka di tubuh telah menguras tenaga. Samantha tidak mendengarkan perkataan ayahnya. Dia tahu jika Tuan Edmund tidak ingin anak gadisnya ada di sana."Paman Martin ... akan melakukan ini. Aku sudah memperkirakan sebelumnya." Martin tersenyum. Sebuah senyuman yang penuh arti. "Samantha, biarlah Ayah menyelesaikan urusan dengan orang tak tahu diri ini. Sebaiknya kau pergi." Sekali lagi Edmund meminta anaknya u
Berhari-hari kemudian, Samantha tiba di Pelabuhan Batavia.Tempat itu terasa asing bagi Samantha. Hanya suasana pelabuhannya saja yang terasa tidak asing. Dia teringat pada Pelabuhan Singapura tempat dimana ia lahir dan dibesarkan oleh kedua orang tuanya. "Selamat datang di Batavia, Kapten." Seorang lelaki menyambut rombongan dalam bahasa Melayu. Lelaki itu bertelanjang dada. Dia melempar senyuman seakan seseorang yang sudah mengenal Kapten George sejak lama. "Ini ...?""Dia tahanan dari Singapura."Lelaki itu menganggukkan kepala. Matanya menatap Samantha dengan nanar. "Kau tidak perlu menatapku demikian. Aku tidak suka jika kau menatapku seakan aku adalah manusia pendosa."Lelaki bertelanjang dada itu hanya tersenyum. Sesekali dia merapihkan rambutnya yang dikepang kemudian dililitkan ke kepala. "Ah, ternyata dia galak."Kapten George terkekeh. Lelaki bertubuh tinggi itu menepuk pundak lelaki Cina yang tengah mandi keringat. "Bagaimana, apakah kau kerasan bekerja di Batavia?""Ah,
James berdiri termangu. Tangan kanannya menenteng ransel di pundak. Tidak terasa berat karena pikirannya lebih tertuju pada kereta kuda yang membawa Samantha."Iskandar, sepertinya kita harus mengubah rencana," dia bicara pelan kepada Iskandar yang berdiri di belakangnya. "Saya juga berpikir begitu, Tuan."Topi yang dikenakan oleh James tidak bisa menyembunyikan wajah penuh tanya. Orang-orang di pelabuhan yang sama-sama memperhatikan "tahanan" yang baru turun dari kapal itu pun bertanya-tanya karena melihat James saling sapa dengan si tawanan. "Tuan, apakah anda mengenalnya?" seorang polisi pelabuhan bertanya menelisik. James tidak mungkin berbohong. Jelas terdengar karena Samantha menyebut namanya. "Hanya kenal ... selintas saja.""Oh, begitu. Anda memang mengunjungi banyak tempat. Pastinya, mengenal banyak orang juga." Si Polisi itu pun tampak berpikir. Dia memelintir ujung kumisnya yang runcing. Entah karena sebuah kebiasaan atau lelaki berseragam biru dongker itu bermaksud meny
Di dalam kereta kuda, Samantha memperhatikan banyak hal yang tampak asing baginya. Suasana kota Batavia berbeda dengan Singapura. Hal yang pasti berbeda adalah bendera yang berkibar di menara gedung-gedung seantero kota. Ada hal yang sama, pekarangan luas di depan rumah-rumah ditanami oleh pohon-pohon besar di tepi hamparan rumput nan hijau. Gaya rumah seperti di Eropa, bisa ditebak jika penghuninya adalah orang-orang Eropa."Apakah kau pernah ke kota ini sebelumnya?" Samantha tidak tertarik untuk menjawab pertanyaan dari Kapten George yang duduk di depannya. Walaupun sebenarnya banyak hal yang menjadi keheranan si tahanan. "Kau akan merasa betah tinggal di sini." Samantha tersenyum kecut. "Kami tidak akan menjebloskanmu ke penjara yang sempit dan bau." Kapten George kembali menegaskan hal tersebut meskipun dia pernah mengatakannya. "Kau akan kami ajak ke sebuah rumah yang dikelilingi pekarangan yang luas."Samantha benar-benar tidak tertarik dengan obrolan George. Baginya, diam
"Ah, ternyata mereka sudah memantau kita." James menghela nafas. "Mau?""Tidak, Tuan." Iskandar menolak untuk meneguk wine yang ditawarkan oleh James. "Sekarang bagaimana,Tuan? Di sini, kita tidak aman.""Itu pula yang tengah aku pikirkan." Botol yang tengah dipegang itu diletakkan di tanah berpasir. Sedangkan James duduk di atas sebuah batang pohon kelapa yang tergeletak di tepi pantai. "Namun, aku khawatir akan nasib Samantha.""Itulah, saya pun iba ketika melihat Nona Samantha keadaannya begitu menyedihkan." Iskandar duduk di tanah pasir sambil menanak nasi. "Ada baiknya, jika kita mengetahui tempat tinggal Nona Samantha."James menoleh kepada Iskandar. "Setidaknya, kita tidak penasaran, apa yang dilakukan oleh para serdadu itu."James mengangguk. Telunjuk tangan kirinya menunjuk kepada Iskandar. Dia setuju pada pernyataan pemuda yang tengah menyiapkan hidangan makan malam. Tangan kanannya kembali meraih botol. Pandangan James pun tertuju ke laut lepas. Entah kebetulan atau tidak
Pagi itu menjadi pagi yang pertama kali dijalani oleh Samantha di pinggiran Batavia. Dia membuka jendela, cahaya matahari menyambutnya dengan penuh kegairahan. Namun, dirinya tidak bergairah sebagaimana sang surya. Gadis itu tidak tahu apa yang akan dijalani hari itu.Hingga, seseorang mengingatkan dia akan sesuatu. Suara pintu diketuk terdengar dari arah belakang. "Ya, silakan masuk!"Pintu pun terbuka. Tampak seorang wanita membawa segelas minuman di atas nampan. Usianya tidak terpaut jauh dari Samantha. Atau, memang wajahnya tampak lebih muda dari usianya. "Kau membawa apa?""Sarapan sudah saya siapkan, Nona." Tangannya tampak gemetar ketika membawa nampan. "Saya letakkan saja di sini." Samantha mengangguk. "Ya, simpan saja di meja. Aku akan menyantap sekarang juga.""Kalau begitu, saya kembali ke belakang. Apabila ada yang Nona perlukan, silakan panggil kami di belakang." Samantha yang tengah berdiri di dekat jendela berjalan menghampiri wanita tersebut. "Tunggu, ada hal yang
Mendengar keterangan dari Asih tentang sebuah makam, membuat Samantha bertambah penasaran. Dia menengok ke arah kandang kuda. "Ingin sekali aku melihat makam itu, tapi ....""Sebaiknya, jangan. Nona tidak akan diizinkan oleh para centeng yang ada di sana." Asih menunjuk dengan bola matanya ke arah kandang kuda. "Ah, masa? Aku hanya ingin melihatnya sebentar."Samantha heran kenapa pula dia harus dilarang-larang. "Ki Lurah mengamanatkan demikian," Asih mempertegas alasan kenapa gadis berambut pirang itu tidak diperkenankan untuk mendekati makam. "Lagipula, tidak ada sesuatu yang menarik. Sama saja sebagaimana makam lainnya. Hanya ditandai dengan batu nisan.""Ada namanya?""Tidak ada." Asih menggelengkan kepala. "Sampai sekarang, saya tidak tahu siapa nama orang itu.""Ki Lurah tidak pernah membicarakannya?"Asih menggelengkan kepala. Kedua bibirnya melengkung ke bawah. Samantha memandang Asih yang tengah mencuci beras. Tangan kecilnya terampil melakukan hal demikian. Dalam hal ini,