Bau asap tercium ketika kapal yang karam itu mulai terbakar. Keriuhan pun terdengar oleh Tuan Edmund yang menyaksikan bagaimana orang-orang di atas geladak lebih sibuk memadamkan api dibandingkan melakukan serangan balasan. Seketika dia menjadi jumawa. Kaki kirinya menginjak tepi perahu sedangkan kedua tangannya memegang senapan. Dia bersiap apabila pihak musuh melancarkan serangan. Pada mulanya, hanya satu kapal yang karam, namun formasi beriringan membuatnya bertabrakan secara beruntun. Dragg!Benturan dari kapal kedua tidak bisa dihindari. Keduanya sama-sama kesulitan untuk kembali bergerak. Nah, keadaan demikian dimanfaatkan oleh Edmund dan anak buahnya untuk melesatkan anak panah berapi hingga menyentuh benda yang mudah terbakar. "Tentu saja kalian panik, karena itu serangan telak!" Tuan Edmund berteriak demi mengungkapkan apa yang dia rasakan. Malam yang gelap berubah menjadi sangat terang. Hingga orang-orang di atas kapal yang terbakar tersebut menyadari jika mereka terjeba
"Kapal Lion dan kapal Queen, karam!" seorang kelasi berteriak untuk memberitahu kru kapal lainnya. Kapten George menghampiri orang yang berteriak itu. Dia hanya ingin memastikan jika apa yang disebutkan oleh bawahannya memang benar. "Sialan, perompak itu sengaja menjebak kita. Mereka membawa kita mendekati gugusan karang.""Tapi, kami tidak melihat batu karang menyembul, Kapten.""Memang, sepertinya karang itu di bawah permukaan air.""Untungnya kapal Liberty tidak menabrak karang, Kapten.""Goblok. Tidak ada yang untung! Lihatlah, kita semakin menjauh dari kapal Queen dan Lion." Sang Kapten gusar. Lelaki berperawakan tinggi itu berpikir keras. Dia harus mengambil tindakan segera. "Gulung layar!""Siap, Kapten."Kapten George berlari mendekati ruang kemudi. Dia pun memberi perintah kepada nahkoda, "kita berputar balik. Bantu kapal lain untuk melawan musuh."Sang nahkoda mengerti maksud atasannya. "Mengerti, Kapten."Bukanlah hal mudah berbalik arah bagi sebuah kapal besar. Membutuhka
Sejak berpisah dengan Tuan Edmund, Samantha merasakan ketidak tenangan yang sulit untuk diredam. Tangannya tak bisa berhenti memegangi tepi perahu. Menggosoknya padahal tidak perlu digosok. Berkali-kali dia menengok ke belakang, memastikan jika sang ayah serta komplotan anak buahnya sudah lekang dari pandangan. Hanya lautan tenang yang tampak di pandangan. Langit malam pun gelap ketika hanya ada bulan sabit yang menggantung diantara titik cahaya gemintang. "Saya tahu Nona, merasa gelisah. Tetapi, Tuan Besar memberi perintah kepada saya untuk membawa Nona ke tempat yang aman."Samantha tidak nyaman hati karena isi pikirannya bisa ditebak oleh lelaki pemilik perahu. Cahaya lentera memperjelas raut muka gadis berambut pirang itu. "Kenapa kau tidak membiarkan aku pergi?" Samantha menoleh ke belakang dimana lelaki pemilik perahu tengah mengendalikan kemudi. Pertanyaan itu cukup memancing kebimbangan lelaki tersebut. "Jika kau membiarkan aku pergi, aku berjanji tidak akan melaporkannya
Kapten George tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk mengetahui apa yang telah terjadi. Dia ingin segera memperoleh laporan dari dua anak buahnya yang diberi perintah untuk memeriksa keadaan. "Ah, sepertinya kita semua harus ke sana." George meraih senapan. Dia memastikan jika senjata di tangannya itu telah siap untuk digunakan. "Pastikan senapan kalian ada pelurunya.""Kita akan turun, Kapten?""Ya, semuanya bersiap!" Kapten George memandang anak buahnya yang telah berbaris. "Kita turun per regu. Setiap regu terdiri dari lima orang. Satu orang sebagai pemimpin."Tidak membutuhkan waktu lebih lama lagi untuk menjelaskan bagaimana taktik yang akan dilaksanakan. Semua prajurit berseragam warna khaki itu langsung mendekat ke tepi geladak. Mereka siap melaksanakan perintah selanjutnya. Andaikan sang kapten memberi perintah untuk melompat ke laut maka mereka pun sudah siap untuk melakukan hal demikian. Namun, Kapten George memberi kemudahan dengan menyediakan bagi mereka seutas tali."
Samantha menimbang-nimbang keadaan. Dia ingin sekali membantu ayahnya, walaupun hal yang sulit untuk dilakukan. Kali ini, gadis itu hanya mencoba mendekati medan pertempuran secara perlahan. Dia mendayung perahu dalam kegelapan sambil berpikir bagaimana caranya bisa memastikan jika Tuan Edmund pulang dalam keadaan selamat. Pertempuran yang semula berkecamuk, tiba-tiba saja berhenti. Hal demikian sungguh mengundang pertanyaan. Samantha ingin sekali semakin mendekat serta mencari tahu apa yang tengah terjadi di sana. "Nona, sedang apa di sini?" Samantha terkejut karena tiba-tiba saja ada orang yang bertanya dari belakang. "Eiss, siapa kau?" seraya menodongkan senapan. "Tenang, saya orang Tuan Besar, tidak usah takut." Hanya suaranya saja yang terdengar. Wujudnya ditelan kegelapan, Samantha pun tidak mengenalinya. "Bukankah Nona harus pergi menuju daratan?" orang itu kembali bertanya. "Bagaimana aku yakin jika kau ada di pihakku?""Tentu saja saya di pihak Nona karena saya tahu No
Bau amis darah, tercium oleh hidung Samantha. Namun, dia tidak menghiraukan hal tersebut. Pikirannya lebih tertuju kepada pemandangan di depan. Sebuah pemandangan nan langka namun bukan peristiwa yang mengundang bahagia. "Paman Martin," bibir Samantha mengatup rapat. "Aku tahu jika Paman membenci ayahku ...."Orang yang diajak bicara tidak langsung menanggapi. "Pergi Samantha, kenapa kau ada di sini? Sudah aku bilang, kau tidak boleh ada di sini." Justru Tuan Edmund menoleh kepada anaknya yang berdiri di tepi geladak. Suaranya tidak lagi jelas dan tegas sebagaimana sebelumnya. Luka di tubuh telah menguras tenaga. Samantha tidak mendengarkan perkataan ayahnya. Dia tahu jika Tuan Edmund tidak ingin anak gadisnya ada di sana."Paman Martin ... akan melakukan ini. Aku sudah memperkirakan sebelumnya." Martin tersenyum. Sebuah senyuman yang penuh arti. "Samantha, biarlah Ayah menyelesaikan urusan dengan orang tak tahu diri ini. Sebaiknya kau pergi." Sekali lagi Edmund meminta anaknya u
Berhari-hari kemudian, Samantha tiba di Pelabuhan Batavia.Tempat itu terasa asing bagi Samantha. Hanya suasana pelabuhannya saja yang terasa tidak asing. Dia teringat pada Pelabuhan Singapura tempat dimana ia lahir dan dibesarkan oleh kedua orang tuanya. "Selamat datang di Batavia, Kapten." Seorang lelaki menyambut rombongan dalam bahasa Melayu. Lelaki itu bertelanjang dada. Dia melempar senyuman seakan seseorang yang sudah mengenal Kapten George sejak lama. "Ini ...?""Dia tahanan dari Singapura."Lelaki itu menganggukkan kepala. Matanya menatap Samantha dengan nanar. "Kau tidak perlu menatapku demikian. Aku tidak suka jika kau menatapku seakan aku adalah manusia pendosa."Lelaki bertelanjang dada itu hanya tersenyum. Sesekali dia merapihkan rambutnya yang dikepang kemudian dililitkan ke kepala. "Ah, ternyata dia galak."Kapten George terkekeh. Lelaki bertubuh tinggi itu menepuk pundak lelaki Cina yang tengah mandi keringat. "Bagaimana, apakah kau kerasan bekerja di Batavia?""Ah,
James berdiri termangu. Tangan kanannya menenteng ransel di pundak. Tidak terasa berat karena pikirannya lebih tertuju pada kereta kuda yang membawa Samantha."Iskandar, sepertinya kita harus mengubah rencana," dia bicara pelan kepada Iskandar yang berdiri di belakangnya. "Saya juga berpikir begitu, Tuan."Topi yang dikenakan oleh James tidak bisa menyembunyikan wajah penuh tanya. Orang-orang di pelabuhan yang sama-sama memperhatikan "tahanan" yang baru turun dari kapal itu pun bertanya-tanya karena melihat James saling sapa dengan si tawanan. "Tuan, apakah anda mengenalnya?" seorang polisi pelabuhan bertanya menelisik. James tidak mungkin berbohong. Jelas terdengar karena Samantha menyebut namanya. "Hanya kenal ... selintas saja.""Oh, begitu. Anda memang mengunjungi banyak tempat. Pastinya, mengenal banyak orang juga." Si Polisi itu pun tampak berpikir. Dia memelintir ujung kumisnya yang runcing. Entah karena sebuah kebiasaan atau lelaki berseragam biru dongker itu bermaksud meny