Samantha hanya bisa menyaksikan bagaimana perkelahian berlangsung. Matanya tidak berkedip ketika melihat si orang tak dikenal mampu mengimbangi serangan dari para penjaga pulau."Orang itu luar biasa," lelaki pemikul tandan pisang hanya bicara pelan. Samantha mendengar perkataan orang di dekatnya, dia pun setuju dengan pernyataan itu. Gadis berambut pirang bergelombang tersebut mengangguk cepat. Ketika perkelahian semakin sengit, maka tidak ada orang yang bisa menyudahi. Pantai yang semula tenang, sekarang menjadi arena saling balas antara dua pihak yang berseteru. Golok, kelewang bahkan sebuah kapak menjadi senjata untuk melumpuhkan serangan. Mereka berkelahi dengan kaki terendam air laut. Gerakan para lelaki itu tampak tidak leluasa. Namun, hal demikian dijadikan kesempatan untuk mempermudah serangan balik apabila menggunakan perahu. Lelaki tak dikenal tersebut naik ke atas perahu miliknya, kemudian melayangkan sabetan ke arah lawan-lawannya. "Ada yang terluka," Samantha memalin
Felix cukup senang setelah bisa memperbaiki layar yang rusak. Memang perkara pelik ketika sebuah kapal layar mengalami kerusakan kain layar. Setelah dirusak oleh penyusup malam kemarin, kini kain layar tersebut bisa digunakan kembali. "Sekarang, kita berangkat menuju pulau itu," Felix menatap jauh ke depan. Tentu saja perintah itu disambut oleh anak buahnya. Mereka menurunkan kain layar, bersiap untuk melakukan sebuah pertempuran. Setelah menyantap jatah makanan secukupnya, para lelaki berseragam itu menyiapkan senapan. Sedangkan Felix menoleh kepada seorang lelaki berpakaian ala orang pribumi. Hanya ikat kepalanya saja yang membedakan dia dengan orang Melayu yang sering ditemui Felix di Pelabuhan Singapura. Felix tidak mau terkecoh dengan apa yang dia kenakan, bisa saja itu hanya siasat untuk menyembunyikan identitas dia yang sebenarnya. "Apakah kau yakin dengan berita yang telah kau sampaikan kepadaku?" Felix pun terus meyakinkan dirinya sendiri sekaligus setengah mengancam kepa
Felix merasa tertipu oleh kelakuan dari Si Gurita. Bagaimana tidak, nyaris semua anak buah kapal turun serta berkumpul di pulau. Hanya sedikit orang yang menjaga kapal sehingga memudahkan orang-orang tak dikenal untuk membakarnya. "Prajurit yang menjaga kapal, semuanya tewas," seorang prajurit melaporkan hasil pengamatannya melalui teropong. "Tidak ada pergerakan apa pun."Felix geram. Dalam beberapa detik, dia tidak bisa berkata-kata. Matanya melotot. Ketika panas matahari menyengat kulit sudah cukup membuat kulit memerah, maka amarah menambah merah kulitnya. "Sialan!" Felix berteriak sembari menoleh ke belakang. "Di mana Si Gurita?!"Sontak, ada prajurit yang berusaha mencari tawanan yang semula bersimpuh di tanah lapang. Namun, tak dinyana ternyata dia sudah tidak ada di sana. "Apa? Ke mana dia pergi?" Felix murka, "cari!"Bagi Felix, apa yang terjadi kepadanya merupakan hal yang memalukan. Semula, pemimpin sepasukan tentara bayaran tersebut begitu percaya diri untuk menyerbu Pu
Firasat buruk yang dirasakan oleh Edmund membuat dirinya semakin tampak gelisah. Dia terus memperhatikan tiga titik di kejauhan. Bukan hal yang aneh jika melihat objek yang semakin terlihat mendekat ketika seseorang tengah melaut. "Ayah yakin jika tiga titik itu adalah kapal musuh?" Pertanyaan Samantha mempertegas jika firasat buruk itu memang benar adanya. "Aku pun tidak yakin. Hanya saja, hatiku mengatakan demikian."Samantha pun tahu jika tiga objek di kejauhan bisa saja kapal dagang yang tengah berlayar menuju suatu tempat. Sekaligus, gadis itu pun tidak bisa menutup kemungkinan jika tiga objek tersebut merupakan kapal musuh yang bermaksud jahat. "Pengalamanku memberi pelajaran jika kehati-hatian lebih diutamakan daripada mengabaikan sebuah peringatan."Semua perahu yang semula menangkap ikan, kini berkumpul. Mereka saling mendekat untuk membicarakan berbagai kemungkinan. Samantha bisa mengerti situasi seperti apa yang dia hadapi. Ketika sang ayah berbicara tentang sebuah renca
Bau asap tercium ketika kapal yang karam itu mulai terbakar. Keriuhan pun terdengar oleh Tuan Edmund yang menyaksikan bagaimana orang-orang di atas geladak lebih sibuk memadamkan api dibandingkan melakukan serangan balasan. Seketika dia menjadi jumawa. Kaki kirinya menginjak tepi perahu sedangkan kedua tangannya memegang senapan. Dia bersiap apabila pihak musuh melancarkan serangan. Pada mulanya, hanya satu kapal yang karam, namun formasi beriringan membuatnya bertabrakan secara beruntun. Dragg!Benturan dari kapal kedua tidak bisa dihindari. Keduanya sama-sama kesulitan untuk kembali bergerak. Nah, keadaan demikian dimanfaatkan oleh Edmund dan anak buahnya untuk melesatkan anak panah berapi hingga menyentuh benda yang mudah terbakar. "Tentu saja kalian panik, karena itu serangan telak!" Tuan Edmund berteriak demi mengungkapkan apa yang dia rasakan. Malam yang gelap berubah menjadi sangat terang. Hingga orang-orang di atas kapal yang terbakar tersebut menyadari jika mereka terjeba
"Kapal Lion dan kapal Queen, karam!" seorang kelasi berteriak untuk memberitahu kru kapal lainnya. Kapten George menghampiri orang yang berteriak itu. Dia hanya ingin memastikan jika apa yang disebutkan oleh bawahannya memang benar. "Sialan, perompak itu sengaja menjebak kita. Mereka membawa kita mendekati gugusan karang.""Tapi, kami tidak melihat batu karang menyembul, Kapten.""Memang, sepertinya karang itu di bawah permukaan air.""Untungnya kapal Liberty tidak menabrak karang, Kapten.""Goblok. Tidak ada yang untung! Lihatlah, kita semakin menjauh dari kapal Queen dan Lion." Sang Kapten gusar. Lelaki berperawakan tinggi itu berpikir keras. Dia harus mengambil tindakan segera. "Gulung layar!""Siap, Kapten."Kapten George berlari mendekati ruang kemudi. Dia pun memberi perintah kepada nahkoda, "kita berputar balik. Bantu kapal lain untuk melawan musuh."Sang nahkoda mengerti maksud atasannya. "Mengerti, Kapten."Bukanlah hal mudah berbalik arah bagi sebuah kapal besar. Membutuhka
Sejak berpisah dengan Tuan Edmund, Samantha merasakan ketidak tenangan yang sulit untuk diredam. Tangannya tak bisa berhenti memegangi tepi perahu. Menggosoknya padahal tidak perlu digosok. Berkali-kali dia menengok ke belakang, memastikan jika sang ayah serta komplotan anak buahnya sudah lekang dari pandangan. Hanya lautan tenang yang tampak di pandangan. Langit malam pun gelap ketika hanya ada bulan sabit yang menggantung diantara titik cahaya gemintang. "Saya tahu Nona, merasa gelisah. Tetapi, Tuan Besar memberi perintah kepada saya untuk membawa Nona ke tempat yang aman."Samantha tidak nyaman hati karena isi pikirannya bisa ditebak oleh lelaki pemilik perahu. Cahaya lentera memperjelas raut muka gadis berambut pirang itu. "Kenapa kau tidak membiarkan aku pergi?" Samantha menoleh ke belakang dimana lelaki pemilik perahu tengah mengendalikan kemudi. Pertanyaan itu cukup memancing kebimbangan lelaki tersebut. "Jika kau membiarkan aku pergi, aku berjanji tidak akan melaporkannya
Kapten George tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk mengetahui apa yang telah terjadi. Dia ingin segera memperoleh laporan dari dua anak buahnya yang diberi perintah untuk memeriksa keadaan. "Ah, sepertinya kita semua harus ke sana." George meraih senapan. Dia memastikan jika senjata di tangannya itu telah siap untuk digunakan. "Pastikan senapan kalian ada pelurunya.""Kita akan turun, Kapten?""Ya, semuanya bersiap!" Kapten George memandang anak buahnya yang telah berbaris. "Kita turun per regu. Setiap regu terdiri dari lima orang. Satu orang sebagai pemimpin."Tidak membutuhkan waktu lebih lama lagi untuk menjelaskan bagaimana taktik yang akan dilaksanakan. Semua prajurit berseragam warna khaki itu langsung mendekat ke tepi geladak. Mereka siap melaksanakan perintah selanjutnya. Andaikan sang kapten memberi perintah untuk melompat ke laut maka mereka pun sudah siap untuk melakukan hal demikian. Namun, Kapten George memberi kemudahan dengan menyediakan bagi mereka seutas tali."