Felix merasa tertipu oleh kelakuan dari Si Gurita. Bagaimana tidak, nyaris semua anak buah kapal turun serta berkumpul di pulau. Hanya sedikit orang yang menjaga kapal sehingga memudahkan orang-orang tak dikenal untuk membakarnya. "Prajurit yang menjaga kapal, semuanya tewas," seorang prajurit melaporkan hasil pengamatannya melalui teropong. "Tidak ada pergerakan apa pun."Felix geram. Dalam beberapa detik, dia tidak bisa berkata-kata. Matanya melotot. Ketika panas matahari menyengat kulit sudah cukup membuat kulit memerah, maka amarah menambah merah kulitnya. "Sialan!" Felix berteriak sembari menoleh ke belakang. "Di mana Si Gurita?!"Sontak, ada prajurit yang berusaha mencari tawanan yang semula bersimpuh di tanah lapang. Namun, tak dinyana ternyata dia sudah tidak ada di sana. "Apa? Ke mana dia pergi?" Felix murka, "cari!"Bagi Felix, apa yang terjadi kepadanya merupakan hal yang memalukan. Semula, pemimpin sepasukan tentara bayaran tersebut begitu percaya diri untuk menyerbu Pu
Firasat buruk yang dirasakan oleh Edmund membuat dirinya semakin tampak gelisah. Dia terus memperhatikan tiga titik di kejauhan. Bukan hal yang aneh jika melihat objek yang semakin terlihat mendekat ketika seseorang tengah melaut. "Ayah yakin jika tiga titik itu adalah kapal musuh?" Pertanyaan Samantha mempertegas jika firasat buruk itu memang benar adanya. "Aku pun tidak yakin. Hanya saja, hatiku mengatakan demikian."Samantha pun tahu jika tiga objek di kejauhan bisa saja kapal dagang yang tengah berlayar menuju suatu tempat. Sekaligus, gadis itu pun tidak bisa menutup kemungkinan jika tiga objek tersebut merupakan kapal musuh yang bermaksud jahat. "Pengalamanku memberi pelajaran jika kehati-hatian lebih diutamakan daripada mengabaikan sebuah peringatan."Semua perahu yang semula menangkap ikan, kini berkumpul. Mereka saling mendekat untuk membicarakan berbagai kemungkinan. Samantha bisa mengerti situasi seperti apa yang dia hadapi. Ketika sang ayah berbicara tentang sebuah renca
Bau asap tercium ketika kapal yang karam itu mulai terbakar. Keriuhan pun terdengar oleh Tuan Edmund yang menyaksikan bagaimana orang-orang di atas geladak lebih sibuk memadamkan api dibandingkan melakukan serangan balasan. Seketika dia menjadi jumawa. Kaki kirinya menginjak tepi perahu sedangkan kedua tangannya memegang senapan. Dia bersiap apabila pihak musuh melancarkan serangan. Pada mulanya, hanya satu kapal yang karam, namun formasi beriringan membuatnya bertabrakan secara beruntun. Dragg!Benturan dari kapal kedua tidak bisa dihindari. Keduanya sama-sama kesulitan untuk kembali bergerak. Nah, keadaan demikian dimanfaatkan oleh Edmund dan anak buahnya untuk melesatkan anak panah berapi hingga menyentuh benda yang mudah terbakar. "Tentu saja kalian panik, karena itu serangan telak!" Tuan Edmund berteriak demi mengungkapkan apa yang dia rasakan. Malam yang gelap berubah menjadi sangat terang. Hingga orang-orang di atas kapal yang terbakar tersebut menyadari jika mereka terjeba
"Kapal Lion dan kapal Queen, karam!" seorang kelasi berteriak untuk memberitahu kru kapal lainnya. Kapten George menghampiri orang yang berteriak itu. Dia hanya ingin memastikan jika apa yang disebutkan oleh bawahannya memang benar. "Sialan, perompak itu sengaja menjebak kita. Mereka membawa kita mendekati gugusan karang.""Tapi, kami tidak melihat batu karang menyembul, Kapten.""Memang, sepertinya karang itu di bawah permukaan air.""Untungnya kapal Liberty tidak menabrak karang, Kapten.""Goblok. Tidak ada yang untung! Lihatlah, kita semakin menjauh dari kapal Queen dan Lion." Sang Kapten gusar. Lelaki berperawakan tinggi itu berpikir keras. Dia harus mengambil tindakan segera. "Gulung layar!""Siap, Kapten."Kapten George berlari mendekati ruang kemudi. Dia pun memberi perintah kepada nahkoda, "kita berputar balik. Bantu kapal lain untuk melawan musuh."Sang nahkoda mengerti maksud atasannya. "Mengerti, Kapten."Bukanlah hal mudah berbalik arah bagi sebuah kapal besar. Membutuhka
Sejak berpisah dengan Tuan Edmund, Samantha merasakan ketidak tenangan yang sulit untuk diredam. Tangannya tak bisa berhenti memegangi tepi perahu. Menggosoknya padahal tidak perlu digosok. Berkali-kali dia menengok ke belakang, memastikan jika sang ayah serta komplotan anak buahnya sudah lekang dari pandangan. Hanya lautan tenang yang tampak di pandangan. Langit malam pun gelap ketika hanya ada bulan sabit yang menggantung diantara titik cahaya gemintang. "Saya tahu Nona, merasa gelisah. Tetapi, Tuan Besar memberi perintah kepada saya untuk membawa Nona ke tempat yang aman."Samantha tidak nyaman hati karena isi pikirannya bisa ditebak oleh lelaki pemilik perahu. Cahaya lentera memperjelas raut muka gadis berambut pirang itu. "Kenapa kau tidak membiarkan aku pergi?" Samantha menoleh ke belakang dimana lelaki pemilik perahu tengah mengendalikan kemudi. Pertanyaan itu cukup memancing kebimbangan lelaki tersebut. "Jika kau membiarkan aku pergi, aku berjanji tidak akan melaporkannya
Kapten George tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk mengetahui apa yang telah terjadi. Dia ingin segera memperoleh laporan dari dua anak buahnya yang diberi perintah untuk memeriksa keadaan. "Ah, sepertinya kita semua harus ke sana." George meraih senapan. Dia memastikan jika senjata di tangannya itu telah siap untuk digunakan. "Pastikan senapan kalian ada pelurunya.""Kita akan turun, Kapten?""Ya, semuanya bersiap!" Kapten George memandang anak buahnya yang telah berbaris. "Kita turun per regu. Setiap regu terdiri dari lima orang. Satu orang sebagai pemimpin."Tidak membutuhkan waktu lebih lama lagi untuk menjelaskan bagaimana taktik yang akan dilaksanakan. Semua prajurit berseragam warna khaki itu langsung mendekat ke tepi geladak. Mereka siap melaksanakan perintah selanjutnya. Andaikan sang kapten memberi perintah untuk melompat ke laut maka mereka pun sudah siap untuk melakukan hal demikian. Namun, Kapten George memberi kemudahan dengan menyediakan bagi mereka seutas tali."
Samantha menimbang-nimbang keadaan. Dia ingin sekali membantu ayahnya, walaupun hal yang sulit untuk dilakukan. Kali ini, gadis itu hanya mencoba mendekati medan pertempuran secara perlahan. Dia mendayung perahu dalam kegelapan sambil berpikir bagaimana caranya bisa memastikan jika Tuan Edmund pulang dalam keadaan selamat. Pertempuran yang semula berkecamuk, tiba-tiba saja berhenti. Hal demikian sungguh mengundang pertanyaan. Samantha ingin sekali semakin mendekat serta mencari tahu apa yang tengah terjadi di sana. "Nona, sedang apa di sini?" Samantha terkejut karena tiba-tiba saja ada orang yang bertanya dari belakang. "Eiss, siapa kau?" seraya menodongkan senapan. "Tenang, saya orang Tuan Besar, tidak usah takut." Hanya suaranya saja yang terdengar. Wujudnya ditelan kegelapan, Samantha pun tidak mengenalinya. "Bukankah Nona harus pergi menuju daratan?" orang itu kembali bertanya. "Bagaimana aku yakin jika kau ada di pihakku?""Tentu saja saya di pihak Nona karena saya tahu No
Bau amis darah, tercium oleh hidung Samantha. Namun, dia tidak menghiraukan hal tersebut. Pikirannya lebih tertuju kepada pemandangan di depan. Sebuah pemandangan nan langka namun bukan peristiwa yang mengundang bahagia. "Paman Martin," bibir Samantha mengatup rapat. "Aku tahu jika Paman membenci ayahku ...."Orang yang diajak bicara tidak langsung menanggapi. "Pergi Samantha, kenapa kau ada di sini? Sudah aku bilang, kau tidak boleh ada di sini." Justru Tuan Edmund menoleh kepada anaknya yang berdiri di tepi geladak. Suaranya tidak lagi jelas dan tegas sebagaimana sebelumnya. Luka di tubuh telah menguras tenaga. Samantha tidak mendengarkan perkataan ayahnya. Dia tahu jika Tuan Edmund tidak ingin anak gadisnya ada di sana."Paman Martin ... akan melakukan ini. Aku sudah memperkirakan sebelumnya." Martin tersenyum. Sebuah senyuman yang penuh arti. "Samantha, biarlah Ayah menyelesaikan urusan dengan orang tak tahu diri ini. Sebaiknya kau pergi." Sekali lagi Edmund meminta anaknya u
Berbulan-bulan kemudian ...***Samantha dan James kembali melakukan perjalanan ke pedalaman hutan Borneo. Bukan tanpa tujuan, justru mereka ke sana untuk dua tujuan. Kali ini, mereka mempersiapkan banyak hal. Menggunakan tiga perahu yang bisa memuat banyak barang, akhirnya rombongan berhasil mencapai danau sebagai habitat kelelawar raksasa. Tujuan utama dari James, menangkap si makhluk eksotis untuk dijadikan koleksi. Dimana misi sebelumnya mereka gagal membawa pulang hewan liar nan langka tersebut. "Ah, aku tidak menyangka jika akan kembali lagi ke tempat ini," Samantha menghela nafas panjang. Kedua tangannya memegang pinggang sambil meringis. "Sungguh tempat yang membuat aku rindu.""Ya, memang tempat yang mengundang kerinduan." James pun turun dari perahu kemudian menginjakkan kaki di atas tanah berumput. "Tapi, kali ini perjalanan terasa melelahkan dibandingkan pertama kali ke sini.""Karena sekarang kau tengah hamil." James masih tetap bicara ketus sambil menyiapkan senapan y
Sekitar satu tahun kemudian ...***Kala itu, akhir pekan nan ramai oleh orang yang melakukan hal sama. Kota Singapura, menjadi tempat persinggahan bagi Samantha dan James setelah melakukan perjalanan bersama mengelilingi pulau Sumatera. Kini, keduanya kembali menuju kota tersebut karena masih ada Nyonya Edmund sebagai orang tua yang biasa dikunjungi. Kedua sejoli menghabiskan waktu bersama di dalam kota sejak pagi. Selain mengunjungi taman kota, mereka pun sempat singgah di sebuah toko barang serba ada yang menyediakan banyak keperluan. "Nah, ini toko langgananku," James turun dari kereta kuda kemudian berdiri tepat di depan sebuah toko yang dijaga oleh seorang lelaki Cina. "Haia, selamat datang, Tuan." Si Pemilik Toko menyambut mereka dengan ramah. "Apa kabar, Tuan?""Lebih baik, dibandingkan terakhir kali aku datang ke sini."Pemilik toko itu tampaknya tidak terlalu ingat kepada James. Mungkin sudah begitu banyak orang yang datang ke sana serta ingatannya pun mulai buruk sehingg
Dalam benak Samantha, "sudah sejauh ini aku melangkah, maka aku harus menyelesaikannya," ketika Martin menodongkan senapan tepat di belakang lehernya. Hanya memiliki waktu beberapa saat saja untuk menentukan apakah bertarung sampai mati atau menyerah sebagaimana yang diinginkan pihak lawan. Kedua tangan gadis itu diangkat ke atas sambil menatap ke dalam ruangan gelap di bawah kabin. Belum bisa melihat bagaimana keadaan sang ibu, tetapi mendengar suara saja sudah bisa dipastikan jika wanita itu tidak baik-baik saja. "Martin, hentikanlah," terdengar suara parau dari Nyonya Edmund. "Kau boleh mengambil apa yang kau inginkan, tapi lepaskan anakku. Jangan kau sakiti dia."Martin tidak menghiraukan perkataan dari kakak iparnya. "Dia tidak tahu apa-apa."Samantha menantikan bagaimana sang paman bereaksi. Tetapi, bisa diduga jika Nyonya Edmund pun tidak tahu jika sang putri sudah tahu kebusukan pamannya tersebut. "Jika kau menginginkan harta itu, ambillah. Aku tidak membutuhkannya." Nyony
Kapal Orion bergoyang-goyang setelah lubang menganga terbentuk di buritan bagian bawah. Dalam keadaan demikian, mistar layar bergoyang-goyang, membuat Samantha kesulitan menjaga keseimbangan. Ditambah, pinggang sebelah kanan gadis itu terluka. Darah membasahi bajunya sehingga berubah warna menjadi merah. Di buritan, ada seseorang yang siap menembak untuk kedua kalinya. Kali ini, dia bisa mengenali wajah orang itu. "Martin," batin Samantha berusaha memastikan jika orang yang akan membunuhnya adalah pamannya sendiri. Dor!Sekali lagi, suara senapan terdengar. Samantha berhasil mengelak dengan cara menggantungkan tubuhnya seperti seekor kelelawar. Kepala di bawah dengan kaki masih mengapit mistar layar. Tapi, tidak ada peluru yang mengenai tubuhnya. "Terima kasih, James." Bola mata Samantha tertuju kepada James yang merebut senapan dari tangan Martin. Mereka berdua pun terlihat bergumul.Bagi Samantha, dia tidak boleh terlihat kesakitan di mata James. Maka dari itu, rasa sakit pada
Setelah berbagai upaya dilakukan, pada akhirnya kapal Orion berhasil didekati oleh kapal Liberty. Posisi keduanya melaju dalam satu garis sehingga berlayar secara beriringan. Posisi yang tidak ideal untuk menembakkan meriam karena meriam-meriam dipasang di sisi lambung kapal. Dan, untuk menembakkan meriam, kedua kapal harus berada dalam posisi menyamping. Kecuali, meriam didorong hingga terpasang di posisi yang dikehendaki. Namun, itu pun bukan ide yang baik karena akan sangat merugikan. "Ah, mereka tahu kekuatan kapal ini," Samantha menyimpulkan keadaan. "Tentu saja, Nona. Kedua kapal berasal dari galangan yang sama."Kapal Orion tidak memulai untuk menembakkan meriam. Begitupula, kapal Liberty. Alasannya, "jaraknya belum cukup, Kapten." Samantha memberikan perkiraan. Apa yang akan dilakukan oleh Samantha dan para awak kapal Liberty bisa dibilang bentuk kenekatan semata. Cukup jelas terlihat awak kapal musuh sudah siap untuk menembak. Andaikan pihak kapal Liberty memulai seranga
Dalam usia yang masih belia, Samantha memiliki musuh besar. Bukan hanya musuh biasa, gadis itu harus berhadapan dengan seorang pejabat Britania Raya yang memiliki kekuasaan. Orang tersebut masih memiliki pertalian kekerabatan dengannya, Paman Martin. "Jadi, dia pamanmu, Nona?" Kapten Sayyid bertanya demi meyakinkan dirinya sendiri tentang siapa yang tengah dihadapi. "Saya pun pernah mendengar namanya. Dia pejabat di Pontianak.""Ya, betul. Dia menikah dengan adik ibu saya.""Oh, adik ipar yang culas."Samantha tersenyum ketika mendengar komentar dari sang kapten. Gadis itu menoleh kepada Sayyid yang bertindak sebagai jurumudi. Sebuah senyuman ironi tersungging dari bibirnya. Mendengar cerita dari Samantha, sepertinya pria keturunan Arab itu punya alasan untuk terus menatap ke depan demi mengejar kapal Orion yang melaju begitu kencang. "Nona," terdengar Iskandar berteriak dari geladak, "semua sudah siap!" Samantha mengacungkan ibu jari. Iskandar pun kembali masuk ke dalam lambung k
Samantha kesal sekaligus kaget karena dia harus dihadapkan pada situasi yang mengejutkan. Untuk sekian kalinya, gadis itu menghadapi keadaan yang selalu membutuhkan kekuatan mental lebih besar dari keadaan biasanya. Menghadapi seekor buaya, diterkam ikan hiu atau dikurung dalam sumur tua, ternyata belum seberapa jika dibandingkan dengan keadaan saat ini. "Hei, bajingan! Lepaskan ibuku!" Samantha berteriak lantang tatkala dua kapal saling mendekat. Suara orang tertawa terdengar dari kapal Orion. Ketika mendengar orang tertawa itu emosi Samantha semakin memuncak. Tangan kanannya memukul tiang layar untuk melampiaskan kekesalan. Lagi, terdengar suara orang tertawa terbahak-bahak dari atas geladak kapal Orion. "Kenapa kau melakukan ini kepada kami?! Apakah kematian ayahku tidak cukup untuk menyiksa kami?!" Tidak ada jawaban yang jelas atas pertanyaan dari Samantha. "Baiklah, apa maumu?"Orang yang diajak bicara itu ternyata menjawab dengan mantap, "kau pergi dari negeri ini bersama
Samantha berdiri di haluan. Di pinggangnya tergantung pedang panjang menjuntai nyaris menyentuh lantai. Tangan kanannya memegang teropong yang digunakan untuk melihat ke depan. Suatu benda yang terapung di permukaan air laut. "Kau yakin?""Sejujurnya aku belum begitu yakin dengan keputusan yang kita ambil." Samantha menjawab pertanyaan dari James dengan suara pelan. "Aku hanya merasa ....""Tenang saja, kau tidak perlu mengkhawatirkan aku. Bagaimanapun, aku harus bisa melakukan ini demi keselamatan kita semua."Pada akhirnya, Samantha dipercaya untuk menjadi juru runding. Meskipun dia seorang gadis muda yang tidak berpengalaman, namun semua awak kapal yakin jika seorang gadis keturunan Inggris memiliki posisi tawar lebih kuat dibandingkan orang-orang Melayu ataupun orang Arab. Mereka berharap jika kapten kapal Inggris yang akan berpapasan nanti memberi mereka izin untuk terus melaju. "Mereka mendekati kapal kita!" suara Iskandar lantang berteriak dari atas tiang layar. Pemuda itu ta
Samantha menatap lautan luas. Dari kejauhan, tampak beberapa pulau kecil. Bisa diperkirakan jika pulau tersebut tidak berpenghuni. Hanya dijadikan tempat berlabuh sementara bagi para pelaut tatkala ada kendala ketika melaut. "Aku berharap tidak ada lagi kendala atau halangan apa pun yang bisa menghambat perjalanan kita.""Ya, aku selalu berharap demikian," James bicara sembari mengangkat alis sedangkan bibirnya ditarik ke bawah. "Hei, aku serius. Kenapa kau berpikir jika tantangan selalu ada. Apakah menurutmu tantangan selalu menyenangkan?"James menganggukkan kepala. "Terkadang begitu. Aku merasa jika kendala dalam perjalanan menjadi hiburan tersendiri ....""Hiburan? Ah, kau ini terluka sedikit saja sudah banyak mengeluh." Samantha memegang bahu James yang terluka. "Seperti anak kecil.""Hei, sakit!" "Tuh, kan."Awak kapal Liberty seakan enggan turut campur pada mereka berdua. Semua orang mengerti bagaimana rasanya kasmaran. Ketika menyaksikan dua sejoli yang sedang jatuh cinta,