Felix menerapkan strategi menunggu ketika harus kembali berhadapan dengan orang yang tengah diburunya. Dia hanya merasa penasaran, apakah Samantha masih hidup atau sudah mati dimakan buaya. "Jangan sampai lepas," Felix mengingatkan kembali anak buahnya, "atau kalian mati!"Para serdadu itu tahu jika kata-kata dari si komandan bukan sekedar gertakan belaka. Lelaki itu benar-benar tidak menginginkan hal lain kala itu. Hanya dua hal yang dipikirkannya, membunuh Samantha dan memperoleh "harta curian" yang digadang-gadang berjumlah sangat banyak. "Mereka menyelam di bawah lambung kapal, Tuan!""Ah, aku tidak peduli di mana mereka! Andaikan dia terbang ke langit, kalian harus mengejarnya!"Felix tahu jika anak buahnya sudah terluka parah. Banyak diantara mereka tampak kesakitan karena menahan rasa sakit. Kepala, tangan atau kaki mereka dibalut perban. Untungnya, kapal Angkatan Laut dilengkapi dengan perbekalan untuk mengobati prajurit yang terluka. Andaikan tidak demikian, mungkin sekali
Sungai bukan hanya tentang air yang mengalir diantara dua tepi. Sungai juga menjadi tempat tempat hidupnya berbagai makhluk Tuhan karena mereka nyaman berada di tempat demikian. Atau, memang diciptakan demikian.Terkecuali, manusia.Manusia bukan makhluk yang diciptakan untuk hidup di sungai. Sebagaimana Samantha yang kesulitan bernafas di dalam air. Dia tidak tahan jika harus terus menyelam agar terbebas dari incaran komplotan Felix. Lama-kelamaan, Samantha mulai merasakan perih di mata. Dia bukan gadis yang terbiasa berenang terlebih di sungai yang dalam dan keruh. Andaikan James tidak memegang tangannya, mungkin dia akan terhanyut karena terlanjur menyerah dan kalah oleh arus bawah yang semakin kuat. "Kapan semua ini akan berakhir?" pertanyaan demikianlah yang timbul dalam benak Samantha. Mungkin James pun memikirkan hal yang sama.Hanya saja, jawaban dari pertanyaan itu bukan datang dari keadaan yang menguntungkan.Jawabannya datang dari situasi yang tak terduga. Dua orang serda
Badra, itulah nama laki-laki itu. Dia bukan orang yang tidak dikenal sama sekali oleh warga di sekitar pesisir pantai sepanjang kerajaan Pontianak hingga Banjarmasin. Sebuah nama yang bisa membuat anak kecil ketakutan jika mendengarnya. Sekaligus nama yang memperoleh perhatian lebih dari Angkatan Laut Kerajaan Inggris dan Angkatan Laut Kerajaan Belanda di Laut Jawa. Senja itu, dia hanya berdiri saja di geladak. "Bagaimana, Ki, apakah kita akan menghampiri mereka?"Badra menoleh kepada orang yang bertanya. Orang tersebut malah dikeplak kepalanya. "Aduh!" "Hei Cungkring, hentikan kebiasaanmu yang suka memberiku perintah.""Saya hanya bertanya, Ki.""Pertanyaanmu terkesan memberi perintah kepadaku, tolol!"Lelaki yang disebut sebagai si Cungkring itu tampaknya sulit mengerti kenapa Ki Badra marah. Namun, teman-temannya mengerti. Mereka menyuruh si Cungkring untuk diam. "Hei, itu hanya sampan yang kebetulan numpang lewat. Kau pikir, apa yang mereka bawa? Tidak ada barang berharga yan
Ketika Samantha tiba di Pelabuhan Pontianak, ada sesuatu yang membuatnya terheran-heran. Tatapan mata orang-orang di tempat itu, sungguh tajam tertuju kepadanya. Bukan karena rambut gadis itu yang pirang atau kulitnya nan terang, banyak wanita Eropa sepertinya di kota tersebut. Namun, keadaan Samantha yang tampak menyedihkan sungguh menyita perhatian. "Apakah mereka tidak pernah melihat gadis Eropa berantakan sepertiku?" "Sepertinya demikian, Nona." Iskandar pun mengerti akan tatapan tajam para warga. James sejak awal akan mengira demikian makanya dia mengajak Samantha langsung menuju pasar, "nih, topi. Mengganti topi yang hilang."James memakai topi jerami sebagaimana yang dikenakan oleh Samantha. Di pasar itulah mereka bertiga berbelanja banyak keperluan. Pasar di Pontianak tidak jauh dari tepi sungai tempat dimana sampan yang semula dinaiki bersandar. "Terima kasih," Samantha menatap James. "Kau berutang kepadaku,"James bicara ketus."Ya ya ya, aku akan mencatatnya dalam inga
Samantha menyukai kota tempat Tuan Martin ditugaskan sebagai perwakilan pemerintah Inggris di sana. Namun, tidak menyukai sikap pamannya yang cenderung menyalahkan gadis itu untuk mencari sendiri sang ayah hingga ke belantara hutan. "Kenapa Paman tidak menghargai upayaku untuk menemukan Ayah?""Bukan begitu, aku hanya tidak ingin kau mengalami nasib serupa dengan ayahmu.""Tetapi, kenyataannya aku baik-baik saja."Nyonya Martin kurang sependapat dengan pernyataan keponakannya, "Nak, kau tidak baik-baik saja. Nyawamu nyaris melayang."Perbincangan malam itu menjadi perbincangan yang tidak hangat selayaknya keluarga yang telah lama tidak berjumpa. Samantha bersitegang dengan Paman Martin. Dalam keadaan demikian, sang bibi tampak kebingungan harus memihak kepada siapa. Satu sisi dia harus mendukung suaminya untuk meyakinkan Samantha jika apa yang dilakukannya memang berbahaya. Namun, di sisi lain Nyonya Martin mencoba bersimpati kepada keponakannya yang kehilangan sang ayah. "Apakah Pam
Felix menoleh ke arah anjing yang menggonggong. Lelaki itu merasa ada yang janggal dengan tingkah si anjing. "Apa yang akan kau lakukan?" Martin bertanya ketika Felix memegang pistol yang terselip di pinggang. "Apakah kau berpikir untuk mendekati rumahku?""Ah, saya hanya merasa jika ada seseorang yang memperhatikan kita.""Hei, biarkan saja. Mungkin hanya orang yang numpang lewat.""Bagaimana kalau dia pencuri?""Biar saja itu menjadi urusan orang-orangku. Mereka tengah berjaga malam ini. Kau tidak usah ikut campur," Martin bicara dengan nada tegas namun pelan."Ah, anda khawatir gadis itu mengetahui ....""Hei, diam!" Martin mulai kesal. "Kedatanganmu ke mari sudah sebuah kesalahan."Felix menyeringai. Wajahnya tidak menampakkan rasa sungkan apalagi takut karena kemarahan Tuan Martin. Pria berseragam tentara itu malah menampakkan wajah tenang. "Hei, kau datang ke sini seakan tidak merasa bersalah?""Tuan. Saya sudah berusaha sebisa saya.""Jadi, hanya itu kemampuanmu?""Tuan. Saya
Andaikan Samantha tidak mempercayai pamannya begitu saja, mungkin sakit hati yang dirasakannya tidak akan sehebat ini. Dia tidak pernah menyangka jika anggota keluarganya sendiri menjadi orang di balik marabahaya yang pernah menghampirinya."Oh, betapa bodohnya aku!"Kalimat demikian yang terucap dari mulutnya tanpa berpikir jika suara umpatan yang terdengar bisa membangunkan orang yang tengah tidur. Dia terus berjalan cepat meskipun Tuan dan Nyonya Martin memintanya untuk berhenti. "Aku benci kalian!"Sesuatu yang berbeda apabila dibandingkan dengan kemarin siang ketika pertama kali Samantha menginjakan kaki di kota tersebut. Dia sangat berharap apabila kedatangannya ke kediaman sang paman dan sang bibi bisa membuatnya lebih tenang. Samantha berharap besar karena mereka berdua dianggap bisa memberi petunjuk ke manakah Tuan Edmund, sang ayah, pergi. "Sebaiknya, kalian berdua menjauh saja dariku!"Samantha pun berhenti melangkah tetapi bukan karena bersedia bicara dengan Tuan dan Nyo
"Selamat datang di kapal kami, Tuan Martin," Felix menyambut Martin yang datang sendirian. Seekor kuda menjadi kendaraan yang digunakan diplomat Inggris itu untuk mengunjungi dermaga. Dia turun dari kuda setelah seorang prajurit memegang tali kekang serta mengajak si kuda untuk menjauh dari tepi dermaga. Kedatangan pria berjas dan bertopi hitam tersebut menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada di sana. "Saya pikir, anda tidak akan mengunjungi kapal kami," Felix sedikit berbasa-basi karena dia tidak ingin terlihat bersikap tidak sopan kepada seorang pejabat seperti Tuan Martin.Martin pun naik ke atas geladak dengan meniti tangga. Tangan kanannya membawa sebuah tas. "Ah, aku terpaksa melakukan ini.""Saya senang dengan kunjungan anda sepagi ini, Tuan Martin.""Asal kau tahu, Tuan Felix. Aku terpaksa melakukan ini ... karena Samantha kabur dari rumah. Hingga sekarang belum diketemukan." Tas di tangan Martin diserahkan kepada Felix. Felix pun menerimanya kemudian membuka tas terse
Berbulan-bulan kemudian ...***Samantha dan James kembali melakukan perjalanan ke pedalaman hutan Borneo. Bukan tanpa tujuan, justru mereka ke sana untuk dua tujuan. Kali ini, mereka mempersiapkan banyak hal. Menggunakan tiga perahu yang bisa memuat banyak barang, akhirnya rombongan berhasil mencapai danau sebagai habitat kelelawar raksasa. Tujuan utama dari James, menangkap si makhluk eksotis untuk dijadikan koleksi. Dimana misi sebelumnya mereka gagal membawa pulang hewan liar nan langka tersebut. "Ah, aku tidak menyangka jika akan kembali lagi ke tempat ini," Samantha menghela nafas panjang. Kedua tangannya memegang pinggang sambil meringis. "Sungguh tempat yang membuat aku rindu.""Ya, memang tempat yang mengundang kerinduan." James pun turun dari perahu kemudian menginjakkan kaki di atas tanah berumput. "Tapi, kali ini perjalanan terasa melelahkan dibandingkan pertama kali ke sini.""Karena sekarang kau tengah hamil." James masih tetap bicara ketus sambil menyiapkan senapan y
Sekitar satu tahun kemudian ...***Kala itu, akhir pekan nan ramai oleh orang yang melakukan hal sama. Kota Singapura, menjadi tempat persinggahan bagi Samantha dan James setelah melakukan perjalanan bersama mengelilingi pulau Sumatera. Kini, keduanya kembali menuju kota tersebut karena masih ada Nyonya Edmund sebagai orang tua yang biasa dikunjungi. Kedua sejoli menghabiskan waktu bersama di dalam kota sejak pagi. Selain mengunjungi taman kota, mereka pun sempat singgah di sebuah toko barang serba ada yang menyediakan banyak keperluan. "Nah, ini toko langgananku," James turun dari kereta kuda kemudian berdiri tepat di depan sebuah toko yang dijaga oleh seorang lelaki Cina. "Haia, selamat datang, Tuan." Si Pemilik Toko menyambut mereka dengan ramah. "Apa kabar, Tuan?""Lebih baik, dibandingkan terakhir kali aku datang ke sini."Pemilik toko itu tampaknya tidak terlalu ingat kepada James. Mungkin sudah begitu banyak orang yang datang ke sana serta ingatannya pun mulai buruk sehingg
Dalam benak Samantha, "sudah sejauh ini aku melangkah, maka aku harus menyelesaikannya," ketika Martin menodongkan senapan tepat di belakang lehernya. Hanya memiliki waktu beberapa saat saja untuk menentukan apakah bertarung sampai mati atau menyerah sebagaimana yang diinginkan pihak lawan. Kedua tangan gadis itu diangkat ke atas sambil menatap ke dalam ruangan gelap di bawah kabin. Belum bisa melihat bagaimana keadaan sang ibu, tetapi mendengar suara saja sudah bisa dipastikan jika wanita itu tidak baik-baik saja. "Martin, hentikanlah," terdengar suara parau dari Nyonya Edmund. "Kau boleh mengambil apa yang kau inginkan, tapi lepaskan anakku. Jangan kau sakiti dia."Martin tidak menghiraukan perkataan dari kakak iparnya. "Dia tidak tahu apa-apa."Samantha menantikan bagaimana sang paman bereaksi. Tetapi, bisa diduga jika Nyonya Edmund pun tidak tahu jika sang putri sudah tahu kebusukan pamannya tersebut. "Jika kau menginginkan harta itu, ambillah. Aku tidak membutuhkannya." Nyony
Kapal Orion bergoyang-goyang setelah lubang menganga terbentuk di buritan bagian bawah. Dalam keadaan demikian, mistar layar bergoyang-goyang, membuat Samantha kesulitan menjaga keseimbangan. Ditambah, pinggang sebelah kanan gadis itu terluka. Darah membasahi bajunya sehingga berubah warna menjadi merah. Di buritan, ada seseorang yang siap menembak untuk kedua kalinya. Kali ini, dia bisa mengenali wajah orang itu. "Martin," batin Samantha berusaha memastikan jika orang yang akan membunuhnya adalah pamannya sendiri. Dor!Sekali lagi, suara senapan terdengar. Samantha berhasil mengelak dengan cara menggantungkan tubuhnya seperti seekor kelelawar. Kepala di bawah dengan kaki masih mengapit mistar layar. Tapi, tidak ada peluru yang mengenai tubuhnya. "Terima kasih, James." Bola mata Samantha tertuju kepada James yang merebut senapan dari tangan Martin. Mereka berdua pun terlihat bergumul.Bagi Samantha, dia tidak boleh terlihat kesakitan di mata James. Maka dari itu, rasa sakit pada
Setelah berbagai upaya dilakukan, pada akhirnya kapal Orion berhasil didekati oleh kapal Liberty. Posisi keduanya melaju dalam satu garis sehingga berlayar secara beriringan. Posisi yang tidak ideal untuk menembakkan meriam karena meriam-meriam dipasang di sisi lambung kapal. Dan, untuk menembakkan meriam, kedua kapal harus berada dalam posisi menyamping. Kecuali, meriam didorong hingga terpasang di posisi yang dikehendaki. Namun, itu pun bukan ide yang baik karena akan sangat merugikan. "Ah, mereka tahu kekuatan kapal ini," Samantha menyimpulkan keadaan. "Tentu saja, Nona. Kedua kapal berasal dari galangan yang sama."Kapal Orion tidak memulai untuk menembakkan meriam. Begitupula, kapal Liberty. Alasannya, "jaraknya belum cukup, Kapten." Samantha memberikan perkiraan. Apa yang akan dilakukan oleh Samantha dan para awak kapal Liberty bisa dibilang bentuk kenekatan semata. Cukup jelas terlihat awak kapal musuh sudah siap untuk menembak. Andaikan pihak kapal Liberty memulai seranga
Dalam usia yang masih belia, Samantha memiliki musuh besar. Bukan hanya musuh biasa, gadis itu harus berhadapan dengan seorang pejabat Britania Raya yang memiliki kekuasaan. Orang tersebut masih memiliki pertalian kekerabatan dengannya, Paman Martin. "Jadi, dia pamanmu, Nona?" Kapten Sayyid bertanya demi meyakinkan dirinya sendiri tentang siapa yang tengah dihadapi. "Saya pun pernah mendengar namanya. Dia pejabat di Pontianak.""Ya, betul. Dia menikah dengan adik ibu saya.""Oh, adik ipar yang culas."Samantha tersenyum ketika mendengar komentar dari sang kapten. Gadis itu menoleh kepada Sayyid yang bertindak sebagai jurumudi. Sebuah senyuman ironi tersungging dari bibirnya. Mendengar cerita dari Samantha, sepertinya pria keturunan Arab itu punya alasan untuk terus menatap ke depan demi mengejar kapal Orion yang melaju begitu kencang. "Nona," terdengar Iskandar berteriak dari geladak, "semua sudah siap!" Samantha mengacungkan ibu jari. Iskandar pun kembali masuk ke dalam lambung k
Samantha kesal sekaligus kaget karena dia harus dihadapkan pada situasi yang mengejutkan. Untuk sekian kalinya, gadis itu menghadapi keadaan yang selalu membutuhkan kekuatan mental lebih besar dari keadaan biasanya. Menghadapi seekor buaya, diterkam ikan hiu atau dikurung dalam sumur tua, ternyata belum seberapa jika dibandingkan dengan keadaan saat ini. "Hei, bajingan! Lepaskan ibuku!" Samantha berteriak lantang tatkala dua kapal saling mendekat. Suara orang tertawa terdengar dari kapal Orion. Ketika mendengar orang tertawa itu emosi Samantha semakin memuncak. Tangan kanannya memukul tiang layar untuk melampiaskan kekesalan. Lagi, terdengar suara orang tertawa terbahak-bahak dari atas geladak kapal Orion. "Kenapa kau melakukan ini kepada kami?! Apakah kematian ayahku tidak cukup untuk menyiksa kami?!" Tidak ada jawaban yang jelas atas pertanyaan dari Samantha. "Baiklah, apa maumu?"Orang yang diajak bicara itu ternyata menjawab dengan mantap, "kau pergi dari negeri ini bersama
Samantha berdiri di haluan. Di pinggangnya tergantung pedang panjang menjuntai nyaris menyentuh lantai. Tangan kanannya memegang teropong yang digunakan untuk melihat ke depan. Suatu benda yang terapung di permukaan air laut. "Kau yakin?""Sejujurnya aku belum begitu yakin dengan keputusan yang kita ambil." Samantha menjawab pertanyaan dari James dengan suara pelan. "Aku hanya merasa ....""Tenang saja, kau tidak perlu mengkhawatirkan aku. Bagaimanapun, aku harus bisa melakukan ini demi keselamatan kita semua."Pada akhirnya, Samantha dipercaya untuk menjadi juru runding. Meskipun dia seorang gadis muda yang tidak berpengalaman, namun semua awak kapal yakin jika seorang gadis keturunan Inggris memiliki posisi tawar lebih kuat dibandingkan orang-orang Melayu ataupun orang Arab. Mereka berharap jika kapten kapal Inggris yang akan berpapasan nanti memberi mereka izin untuk terus melaju. "Mereka mendekati kapal kita!" suara Iskandar lantang berteriak dari atas tiang layar. Pemuda itu ta
Samantha menatap lautan luas. Dari kejauhan, tampak beberapa pulau kecil. Bisa diperkirakan jika pulau tersebut tidak berpenghuni. Hanya dijadikan tempat berlabuh sementara bagi para pelaut tatkala ada kendala ketika melaut. "Aku berharap tidak ada lagi kendala atau halangan apa pun yang bisa menghambat perjalanan kita.""Ya, aku selalu berharap demikian," James bicara sembari mengangkat alis sedangkan bibirnya ditarik ke bawah. "Hei, aku serius. Kenapa kau berpikir jika tantangan selalu ada. Apakah menurutmu tantangan selalu menyenangkan?"James menganggukkan kepala. "Terkadang begitu. Aku merasa jika kendala dalam perjalanan menjadi hiburan tersendiri ....""Hiburan? Ah, kau ini terluka sedikit saja sudah banyak mengeluh." Samantha memegang bahu James yang terluka. "Seperti anak kecil.""Hei, sakit!" "Tuh, kan."Awak kapal Liberty seakan enggan turut campur pada mereka berdua. Semua orang mengerti bagaimana rasanya kasmaran. Ketika menyaksikan dua sejoli yang sedang jatuh cinta,