Samantha memilih untuk merunduk ketika terdengar suara tembakan. Matanya tidak bisa memastikan dengan jelas, siapa penembak yang hampir saja melukai dirinya, Iskandar dan James."Di mana dia?""Entahlah," James pun tidak tahu siapa penembak misterius tadi dan dia mengajak Samantha untuk segera menjauh. Mereka berdua pun mendayung sampan dengan kecepatan maksimal. Arus yang kuat cukup membantu mereka untuk menghindari tembakan susulan. Sampan yang dinaiki oleh Samantha dan James ternyata mampu menyusul sampan yang dikendarai oleh Iskandar yang membawa tong berisi arak dan spesimen kelelawar. Tangan kiri James meraih sampan Iskandar. "Kau baik-baik saja?""Ya, Tuan.""Sepertinya mereka memang mengincar dirimu," James membuat perkiraan. "Mereka menembak tepat dekat kepalamu.""Saya pun berpikir demikian, Tuan.""Kita bertukar tempat. Jika kau di dekat Samantha, mungkin mereka tidak akan mengincar dirimu. Aku yakin mereka tidak ingin Samantha terluka."Samantha tidak ingin menyela atau
Felix menerapkan strategi menunggu ketika harus kembali berhadapan dengan orang yang tengah diburunya. Dia hanya merasa penasaran, apakah Samantha masih hidup atau sudah mati dimakan buaya. "Jangan sampai lepas," Felix mengingatkan kembali anak buahnya, "atau kalian mati!"Para serdadu itu tahu jika kata-kata dari si komandan bukan sekedar gertakan belaka. Lelaki itu benar-benar tidak menginginkan hal lain kala itu. Hanya dua hal yang dipikirkannya, membunuh Samantha dan memperoleh "harta curian" yang digadang-gadang berjumlah sangat banyak. "Mereka menyelam di bawah lambung kapal, Tuan!""Ah, aku tidak peduli di mana mereka! Andaikan dia terbang ke langit, kalian harus mengejarnya!"Felix tahu jika anak buahnya sudah terluka parah. Banyak diantara mereka tampak kesakitan karena menahan rasa sakit. Kepala, tangan atau kaki mereka dibalut perban. Untungnya, kapal Angkatan Laut dilengkapi dengan perbekalan untuk mengobati prajurit yang terluka. Andaikan tidak demikian, mungkin sekali
Sungai bukan hanya tentang air yang mengalir diantara dua tepi. Sungai juga menjadi tempat tempat hidupnya berbagai makhluk Tuhan karena mereka nyaman berada di tempat demikian. Atau, memang diciptakan demikian.Terkecuali, manusia.Manusia bukan makhluk yang diciptakan untuk hidup di sungai. Sebagaimana Samantha yang kesulitan bernafas di dalam air. Dia tidak tahan jika harus terus menyelam agar terbebas dari incaran komplotan Felix. Lama-kelamaan, Samantha mulai merasakan perih di mata. Dia bukan gadis yang terbiasa berenang terlebih di sungai yang dalam dan keruh. Andaikan James tidak memegang tangannya, mungkin dia akan terhanyut karena terlanjur menyerah dan kalah oleh arus bawah yang semakin kuat. "Kapan semua ini akan berakhir?" pertanyaan demikianlah yang timbul dalam benak Samantha. Mungkin James pun memikirkan hal yang sama.Hanya saja, jawaban dari pertanyaan itu bukan datang dari keadaan yang menguntungkan.Jawabannya datang dari situasi yang tak terduga. Dua orang serda
Badra, itulah nama laki-laki itu. Dia bukan orang yang tidak dikenal sama sekali oleh warga di sekitar pesisir pantai sepanjang kerajaan Pontianak hingga Banjarmasin. Sebuah nama yang bisa membuat anak kecil ketakutan jika mendengarnya. Sekaligus nama yang memperoleh perhatian lebih dari Angkatan Laut Kerajaan Inggris dan Angkatan Laut Kerajaan Belanda di Laut Jawa. Senja itu, dia hanya berdiri saja di geladak. "Bagaimana, Ki, apakah kita akan menghampiri mereka?"Badra menoleh kepada orang yang bertanya. Orang tersebut malah dikeplak kepalanya. "Aduh!" "Hei Cungkring, hentikan kebiasaanmu yang suka memberiku perintah.""Saya hanya bertanya, Ki.""Pertanyaanmu terkesan memberi perintah kepadaku, tolol!"Lelaki yang disebut sebagai si Cungkring itu tampaknya sulit mengerti kenapa Ki Badra marah. Namun, teman-temannya mengerti. Mereka menyuruh si Cungkring untuk diam. "Hei, itu hanya sampan yang kebetulan numpang lewat. Kau pikir, apa yang mereka bawa? Tidak ada barang berharga yan
Ketika Samantha tiba di Pelabuhan Pontianak, ada sesuatu yang membuatnya terheran-heran. Tatapan mata orang-orang di tempat itu, sungguh tajam tertuju kepadanya. Bukan karena rambut gadis itu yang pirang atau kulitnya nan terang, banyak wanita Eropa sepertinya di kota tersebut. Namun, keadaan Samantha yang tampak menyedihkan sungguh menyita perhatian. "Apakah mereka tidak pernah melihat gadis Eropa berantakan sepertiku?" "Sepertinya demikian, Nona." Iskandar pun mengerti akan tatapan tajam para warga. James sejak awal akan mengira demikian makanya dia mengajak Samantha langsung menuju pasar, "nih, topi. Mengganti topi yang hilang."James memakai topi jerami sebagaimana yang dikenakan oleh Samantha. Di pasar itulah mereka bertiga berbelanja banyak keperluan. Pasar di Pontianak tidak jauh dari tepi sungai tempat dimana sampan yang semula dinaiki bersandar. "Terima kasih," Samantha menatap James. "Kau berutang kepadaku,"James bicara ketus."Ya ya ya, aku akan mencatatnya dalam inga
Samantha menyukai kota tempat Tuan Martin ditugaskan sebagai perwakilan pemerintah Inggris di sana. Namun, tidak menyukai sikap pamannya yang cenderung menyalahkan gadis itu untuk mencari sendiri sang ayah hingga ke belantara hutan. "Kenapa Paman tidak menghargai upayaku untuk menemukan Ayah?""Bukan begitu, aku hanya tidak ingin kau mengalami nasib serupa dengan ayahmu.""Tetapi, kenyataannya aku baik-baik saja."Nyonya Martin kurang sependapat dengan pernyataan keponakannya, "Nak, kau tidak baik-baik saja. Nyawamu nyaris melayang."Perbincangan malam itu menjadi perbincangan yang tidak hangat selayaknya keluarga yang telah lama tidak berjumpa. Samantha bersitegang dengan Paman Martin. Dalam keadaan demikian, sang bibi tampak kebingungan harus memihak kepada siapa. Satu sisi dia harus mendukung suaminya untuk meyakinkan Samantha jika apa yang dilakukannya memang berbahaya. Namun, di sisi lain Nyonya Martin mencoba bersimpati kepada keponakannya yang kehilangan sang ayah. "Apakah Pam
Felix menoleh ke arah anjing yang menggonggong. Lelaki itu merasa ada yang janggal dengan tingkah si anjing. "Apa yang akan kau lakukan?" Martin bertanya ketika Felix memegang pistol yang terselip di pinggang. "Apakah kau berpikir untuk mendekati rumahku?""Ah, saya hanya merasa jika ada seseorang yang memperhatikan kita.""Hei, biarkan saja. Mungkin hanya orang yang numpang lewat.""Bagaimana kalau dia pencuri?""Biar saja itu menjadi urusan orang-orangku. Mereka tengah berjaga malam ini. Kau tidak usah ikut campur," Martin bicara dengan nada tegas namun pelan."Ah, anda khawatir gadis itu mengetahui ....""Hei, diam!" Martin mulai kesal. "Kedatanganmu ke mari sudah sebuah kesalahan."Felix menyeringai. Wajahnya tidak menampakkan rasa sungkan apalagi takut karena kemarahan Tuan Martin. Pria berseragam tentara itu malah menampakkan wajah tenang. "Hei, kau datang ke sini seakan tidak merasa bersalah?""Tuan. Saya sudah berusaha sebisa saya.""Jadi, hanya itu kemampuanmu?""Tuan. Saya
Andaikan Samantha tidak mempercayai pamannya begitu saja, mungkin sakit hati yang dirasakannya tidak akan sehebat ini. Dia tidak pernah menyangka jika anggota keluarganya sendiri menjadi orang di balik marabahaya yang pernah menghampirinya."Oh, betapa bodohnya aku!"Kalimat demikian yang terucap dari mulutnya tanpa berpikir jika suara umpatan yang terdengar bisa membangunkan orang yang tengah tidur. Dia terus berjalan cepat meskipun Tuan dan Nyonya Martin memintanya untuk berhenti. "Aku benci kalian!"Sesuatu yang berbeda apabila dibandingkan dengan kemarin siang ketika pertama kali Samantha menginjakan kaki di kota tersebut. Dia sangat berharap apabila kedatangannya ke kediaman sang paman dan sang bibi bisa membuatnya lebih tenang. Samantha berharap besar karena mereka berdua dianggap bisa memberi petunjuk ke manakah Tuan Edmund, sang ayah, pergi. "Sebaiknya, kalian berdua menjauh saja dariku!"Samantha pun berhenti melangkah tetapi bukan karena bersedia bicara dengan Tuan dan Nyo