Ketika Samantha tiba di Pelabuhan Pontianak, ada sesuatu yang membuatnya terheran-heran. Tatapan mata orang-orang di tempat itu, sungguh tajam tertuju kepadanya. Bukan karena rambut gadis itu yang pirang atau kulitnya nan terang, banyak wanita Eropa sepertinya di kota tersebut. Namun, keadaan Samantha yang tampak menyedihkan sungguh menyita perhatian. "Apakah mereka tidak pernah melihat gadis Eropa berantakan sepertiku?" "Sepertinya demikian, Nona." Iskandar pun mengerti akan tatapan tajam para warga. James sejak awal akan mengira demikian makanya dia mengajak Samantha langsung menuju pasar, "nih, topi. Mengganti topi yang hilang."James memakai topi jerami sebagaimana yang dikenakan oleh Samantha. Di pasar itulah mereka bertiga berbelanja banyak keperluan. Pasar di Pontianak tidak jauh dari tepi sungai tempat dimana sampan yang semula dinaiki bersandar. "Terima kasih," Samantha menatap James. "Kau berutang kepadaku,"James bicara ketus."Ya ya ya, aku akan mencatatnya dalam inga
Samantha menyukai kota tempat Tuan Martin ditugaskan sebagai perwakilan pemerintah Inggris di sana. Namun, tidak menyukai sikap pamannya yang cenderung menyalahkan gadis itu untuk mencari sendiri sang ayah hingga ke belantara hutan. "Kenapa Paman tidak menghargai upayaku untuk menemukan Ayah?""Bukan begitu, aku hanya tidak ingin kau mengalami nasib serupa dengan ayahmu.""Tetapi, kenyataannya aku baik-baik saja."Nyonya Martin kurang sependapat dengan pernyataan keponakannya, "Nak, kau tidak baik-baik saja. Nyawamu nyaris melayang."Perbincangan malam itu menjadi perbincangan yang tidak hangat selayaknya keluarga yang telah lama tidak berjumpa. Samantha bersitegang dengan Paman Martin. Dalam keadaan demikian, sang bibi tampak kebingungan harus memihak kepada siapa. Satu sisi dia harus mendukung suaminya untuk meyakinkan Samantha jika apa yang dilakukannya memang berbahaya. Namun, di sisi lain Nyonya Martin mencoba bersimpati kepada keponakannya yang kehilangan sang ayah. "Apakah Pam
Felix menoleh ke arah anjing yang menggonggong. Lelaki itu merasa ada yang janggal dengan tingkah si anjing. "Apa yang akan kau lakukan?" Martin bertanya ketika Felix memegang pistol yang terselip di pinggang. "Apakah kau berpikir untuk mendekati rumahku?""Ah, saya hanya merasa jika ada seseorang yang memperhatikan kita.""Hei, biarkan saja. Mungkin hanya orang yang numpang lewat.""Bagaimana kalau dia pencuri?""Biar saja itu menjadi urusan orang-orangku. Mereka tengah berjaga malam ini. Kau tidak usah ikut campur," Martin bicara dengan nada tegas namun pelan."Ah, anda khawatir gadis itu mengetahui ....""Hei, diam!" Martin mulai kesal. "Kedatanganmu ke mari sudah sebuah kesalahan."Felix menyeringai. Wajahnya tidak menampakkan rasa sungkan apalagi takut karena kemarahan Tuan Martin. Pria berseragam tentara itu malah menampakkan wajah tenang. "Hei, kau datang ke sini seakan tidak merasa bersalah?""Tuan. Saya sudah berusaha sebisa saya.""Jadi, hanya itu kemampuanmu?""Tuan. Saya
Andaikan Samantha tidak mempercayai pamannya begitu saja, mungkin sakit hati yang dirasakannya tidak akan sehebat ini. Dia tidak pernah menyangka jika anggota keluarganya sendiri menjadi orang di balik marabahaya yang pernah menghampirinya."Oh, betapa bodohnya aku!"Kalimat demikian yang terucap dari mulutnya tanpa berpikir jika suara umpatan yang terdengar bisa membangunkan orang yang tengah tidur. Dia terus berjalan cepat meskipun Tuan dan Nyonya Martin memintanya untuk berhenti. "Aku benci kalian!"Sesuatu yang berbeda apabila dibandingkan dengan kemarin siang ketika pertama kali Samantha menginjakan kaki di kota tersebut. Dia sangat berharap apabila kedatangannya ke kediaman sang paman dan sang bibi bisa membuatnya lebih tenang. Samantha berharap besar karena mereka berdua dianggap bisa memberi petunjuk ke manakah Tuan Edmund, sang ayah, pergi. "Sebaiknya, kalian berdua menjauh saja dariku!"Samantha pun berhenti melangkah tetapi bukan karena bersedia bicara dengan Tuan dan Nyo
"Selamat datang di kapal kami, Tuan Martin," Felix menyambut Martin yang datang sendirian. Seekor kuda menjadi kendaraan yang digunakan diplomat Inggris itu untuk mengunjungi dermaga. Dia turun dari kuda setelah seorang prajurit memegang tali kekang serta mengajak si kuda untuk menjauh dari tepi dermaga. Kedatangan pria berjas dan bertopi hitam tersebut menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada di sana. "Saya pikir, anda tidak akan mengunjungi kapal kami," Felix sedikit berbasa-basi karena dia tidak ingin terlihat bersikap tidak sopan kepada seorang pejabat seperti Tuan Martin.Martin pun naik ke atas geladak dengan meniti tangga. Tangan kanannya membawa sebuah tas. "Ah, aku terpaksa melakukan ini.""Saya senang dengan kunjungan anda sepagi ini, Tuan Martin.""Asal kau tahu, Tuan Felix. Aku terpaksa melakukan ini ... karena Samantha kabur dari rumah. Hingga sekarang belum diketemukan." Tas di tangan Martin diserahkan kepada Felix. Felix pun menerimanya kemudian membuka tas terse
Keadaan yang dialami oleh Samantha sungguh sulit dihindari. Jika dia keluar dari persembunyiannya maka Felix dan anak buahnya tidak mungkin membiarkannya pergi. Dia tahu akan hal itu setelah mendengar sendiri bagaimana Paman Martin dan Felix memang tidak menginginkan dia selamat. Namun, jika Samantha terus berdiam diri di tempat itu maka dia bisa saja dibawa menjauh dari kota Pontianak. Gadis itu curiga jika Felix akan membawanya ke tengah laut dan membuangnya di sana. Kecurigaannya tersebut berdasarkan pengalaman Samantha ketika tengah berada di pedalaman hutan tempo hari. Felix bisa saja membunuhnya andaikan dia menginginkan hal demikian. Apalagi, setelah semalam dia berbincang dengan Paman Martin, maka jelas sudah jika Felix hanya peduli kepada uang dan tidak peduli kepada nyawa orang. Samantha tahu jika dirinya bisa menjadi penghalang bagi rencana mereka berdua. Dan, kematian bisa saja menghampiri dia kapan pun. Begitupula pagi itu, kerongkongannya terasa kering setelah menya
Felix tersenyum sendiri. Dia tampak senang sehingga anak buahnya terheran-heran dengan sikap si komandan. "Tarik jangkar! kita berangkat sekarang!" Senyuman dari Felix berubah menjadi sebuah tawa. Mereka yang mendengar saling tatap, bertanya-tanya kenapa pemimpinnya tertawa. Apa yang ditertawakan oleh si komandan kapal Angkatan Laut. "Tuan, bagaimana dengan gadis itu?"Felix menoleh kepada lelaki yang bertanya. "Apakah kita tidak akan memberitahu keluarganya?""Menurutmu, itu ide bagus?""Saya hanya memberi saran. Semalam, Tuan Martin dan Nyonya Martin mencari dia ....""Ah, aku tidak peduli. Toh, tadi dia tidak menanyakan anak itu."Sebelumnya, Tuan Martin memang mengunjungi kapal Angkatan Laut untuk menyelesaikan sebuah urusan dengan Felix. Namun, Tuan Martin tidak tahu jika Samantha berada di dalam kapal tersebut. Situasi ini malah dimanfaatkan oleh Felix untuk menjalankan sebuah rencana. Felix memperoleh imbalan besar dari Tuan Martin untuk menjalankan misi menumpas perompak.
"Hei, andaikan engkau membantu melepaskan aku, maka akan kuberikan kau banyak hadiah."Lelaki yang diajak bicara hanya terdiam. Matanya menoleh ke arah lain. Ketika Samantha memberi dia tawaran, sepertinya dia tidak tertarik . "Ah, mungkin kau menganggap aku berbohong."Lagi-lagi, lelaki berseragam khaki itu tidak tertarik. Dia hanya diam saja, duduk di sudut ruangan. Kedua tangannya memegang senapan serta menunjukkan keangkuhan dengan senapannya tersebut. Tidak ada lagi perbincangan dalam beberapa saat. Samantha pun sedikit gusar. Namun, dia sadar jika keadaan demikian mengharuskannya berpikir jernih. Kegusaran serta amarah yang ada dalam hati dijaga agar tidak lebih besar. Emosi yang tidak terkendali bisa saja membawa dirinya pada keadaan yang lebih rumit. "Aku lapar," Samantha berharap memperoleh perhatian. "Bolehkah aku meminta makan.""Hei, aku pun belum memperoleh jatah makan. Jadi, diam dan tunggu saja. Lagipula, kami tidak menyediakan makanan untuk seorang tawanan."Samanth