Tok ...
Tok ...Suara ketukan pintu terdengar saat aku sedang menyiapkan sarapan. Siapa yang datang pagi-pagi sekali? Sejak kedatangan Mona bulan lalu, setiap kali terdengar suara ketukan di pintu aku menjadi sedikit was-was.Namun, karena ketukan ini terdengar lembut tidak gerudak geruduk seperti kedatangan Mona, maka perasaan was-was itu sedikit meluntur."Biar Ima saja, Mak." ujar Delima sembari berlari ke arah pintu depan saat aku baru saja mencuci tangan hendak membukakan pintu."Ayah ...!" teriakan Ima membuat aku harus mengurut dada. Antara kaget dan juga sedikit syok, ada apa Bang Agam datang kemari?Cepat-cepat kuangkat telur dadar sayur kesukaan Delima dari penggorengan, mematikan kompor dan bergegas ke ruang tamu."Bang.""Eh, Dek, lagi apa?" Bang Agam bertanya sedang Delima sudah berada dalam gendongannya."Lagi siapin sarapan. Delima minta nasi goreng kampung seperti biasanya." jawabku memberitahu.Setelah mendengar jawabanku, aku melihat sepertinya Bang Agam menelan ludah. Ah, iya, ini kan juga menu sarapan kesukaannya.Sepertinya rencanaku beberapa waktu lalu bisa mulai dijalankan hari ini. Tak perlu diundang, target datang sendiri. Aku terkikik dalam hati."Abang sudah sarapan?" tanyaku hati-hati supaya jangan terkesan terlalu antusias menyambut kedatangannya."hmm ...""Belum ya, Bang?" aku memotong suara Bang Agam yang ragu-ragu."Sarapan di sini aja ya!" ucapku sambil berlalu ke dapur.Setelah semuanya siap, aku memanggil Delima dan Ayahnya yang sedang bermain di depan telivisi. Pagi-pagi begini Delima memang jatahnya nonton aneka kartun yang tayangnya pagi."Asik, disuapin Ayah lagi." seru Delima kegirangan.Hampir saja aku tersedak. Kebahagiaan yang dipertontonkan Delima saat ini sangat dalam mengiris hati. Kasihan sekali kamu Nak, menerima sebuah suapan dari Ayah kandungmu saja kamu sudah membuatmu sangat bahagia begini. Langka untukmu, padahal persoalan biasa saja bagi anak-anak beruntung di luar sana yang memiliki orangtua lengkap. Maafkan Mamak, yang tidak berjuang mempertahankan milik kita.Aku menyeka air yang mulai mengembun di sudut mata sebelum Bang Agam dan Delima melihatnya."Masakanmu tidak pernah berubah Dek, masih enak seperti dulu." komentar Bang Agam setelah ia menghabiskan nasi gorengnya.Aku hanya menanggapi dengan senyum tipis saja. Lalu bangkit membersihkan meja makan."Ayah kenapa sudah tidak tinggal bersama Ima dan Mamak lagi?"Pertanyaan Delima terdengar saat aku sedang mencuci piring-piring kotor. Kuhentikan kegiatanku, dan memasang telinga menunggu jawaban Bang Agam."Ayah sedang ada kerjaan besar, nanti kalau kerjaan Ayah selesai, Ayah tinggal lagi sama Ima, ya?!"Ah, berapa ribu kebohongan lagi yang harus diterima Delima, baik dari lisanku, lisan Ayahnya maupun lisan Mak Jannah yang teramat sangat menyayangi Delima acap kali Delima bertanya padanya.Selesai membersihkan dapur aku ikut bergabung bersama Delima dan Ayanya yang sedang bermain masak-masakan."Ada apa Abang datang kemari pagi-pagi begini?" tanyaku pelan, agar Delima tidak terlalu menangkap obrolan kami.Bang Agam merogoh saku celananya, mengeluarkan amplop putih dan menyerahkannya padaku."Ini biaya untuk Delima dan kamu Dek." ucapnya setelah amplop itu aku terima."Aku?" kuperjelas ucapannya."Iya." Bang Agam mengangguk."Kamu tidak perlu mencari kerja, tetap lah seperti ini, menjaga Delima dua puluh empat jam." lanjutnya."Tapi, menafkahiku bukan kewajibanmu lagi Bang. Aku tidak ingin Mona datang ke sini dan mengamuk lagi ...""Anggap saja Abang yang membayarmu untuk menjaga Delima." Bang Agam memotong kalimatku yang belum selesai terucap."Mulai hari ini, Abang akan datang sendiri mengantarkan uang itu setiap bulan, tidak Abang transfer lagi ya." Lanjut Bang Agam lagi.Aku mengangguk saja. Sebenarnya ini bagus untuk tujuanku membalas Mona, tetapi entah kenapa sudut hatiku yang lain seperti menolaknya."Ayah, kita udah lama nggak jalan-jalan, sekarang ke gamezone yuk!" ajak Delima tiba-tiba memutus pembicaraan kami."Ayah banyak kerja Nak, jangan sekarang ya?" aku menyela cepat."Iya, kita pergi sekarang ya?!" ucap Bang Agam pada Delima yang disambut lompatan girang Delima."Tapi Bang ..." aku mendelikkan mata."Siap-siap sana, kita pergi sekarang."Aku menarik napas dan menghembuskannya sebelum kemudian membawa Delima mandi dan berganti pakaian."Aku tidak ikut Bang, kalian berdua saja." ucapku mengantar Delima ke depan."Kalau Mamak nggak ikut, kita nggak jalan 'kan Ima?" Bang Agam justru berbicara pada Delima untuk memperdengarkan padaku."Iya Mak, ayo cepetan ganti baju." Delima mulai merengek dengan menarik-narik daster panjang yang kukenakan.Tanpa bicara hanya mengangguk saja aku kembali ke kamar untuk bersiap-siap.***"Kita makan bakso itu mau?" tawar Bang Agam pada Delima setelah ia menaiki hampir semua permainan di gamezone.Sudah pasti Delima mengangguk. Dulu, setiap kali kami kemari memang selalu makan di Mister Bakso itu, nama gerai bakso di Mall ini."Oh, begini kelakuan kamu ya, Bang?" Sebuah suara mengangetkan aku, Delima dan Bang Agam yang sedang menyantap bakso."Mona." aku terhenyak.Bang Agam langsung berdiri dari duduknya. Suara Mona barusan mengundang perhatian orang-orang yang juga sedang menikmati makanan di gerai ini."Katanya pergi pagi-pagi karena mau ke toko, ada barang yang baru masuk. Ini apa, hah?" teriak Mona lagi.Aku sedikit gemetar karena malu luar biasa. Bukan hanya pengunjung di gerai ini saja yang memperhatikan, tetapi pengunjung Mall lainnya yang lewat sini dan mendengarkan teriakan Mona ikut berhenti."Sengaja Abang bohongi aku biar bisa pergi berduaan sama perempuan ini kan?" Mona masih tidak mau diam meski sudah diminta berhenti oleh Bang Agam.Aku langsung mendekap Delima yang tampak juga ketakutan. Jika bukan sedang di tempat umum begini, sudah pasti kutampar perempuan kurang ajar itu."Dek, pulang sendiri bisa 'kan?" tanya Bang Agam sembari meletakkan tiga lembar uang seratusan di atas meja dan menarik paksa lengan Mona.Sepeninggal mereka, bisik-bisik orang yang menonton entah apa. Yang pasti aku malu sekali, seolah aku pelakor yang berselingkuh dengan suami orang. Tak terasa air mata mulai menetes."Mak, kenapa Tante Mona membentak Ayah? dan kenapa Ayah justru ikut pergi dengan Tante Mona?"Kembali aku merangkul Delima. "Habiskan baksonya Sayang, kita pulang sekarang!" kuciumi puncak kepala Delima.Kalau tadi mungkin aku masih ragu-ragu mengganggu rumah tangga Mona dan Bang Agam, sepertinya sekarang tekad itu semakin kuat. Kamu boleh membenciku Mona, tapi tindakanmu mempermalukanku meninggalkan kesumat."Arumi!"Aku mengangkat kepala yang sedari tadi menunduk menghadapi pandangan orang-orang."Rahma! kamu di sini juga?" tanyaku sembari menyeka buliran bening yang kucoba tahan namun menetes juga.Rahma duduk setelah celingukan melihat orang-orang di kiri dan kanan. Mendelikkan matanya pada mereka mengkode agar menjauh.Sebelumnya banyak yang telah pergi memang sesudah kepergian Mona dan Bang Agam. Namun, masih ada juga yang tetap di tempatnya, masih mencuri-curi pandang ke tempatku duduk."Ada apa, Rumi? tadi aku mendengar ocehan orang-orang jika ada pelakor yang dilabrak." ujar Rahma pelan."Apa yang terjadi?" Rahma kembali bertanya karena aku hanya diam.Mendengar pertanyaannya aku semakin terisak. Sudah kuduga, pasti orang yang menonton pertunjukan yang dibuat Mona tadi akan men-cap aku sebagai pelakor."Kamu yang sabar ya?!"Kemudian Rahma menarik kepalaku ke pelukannya. Tangisku semakin menderas di bahunya. Aku seperti mendapat tempat menumpahkan segalanya. Selama ini aku tak pun
Bang Agam benar-benar datang tidak sampai setengah jam setelah obrolan telepon tadi. Aku menyuruh Delima yang keluar mengambil makanan pada ayahnya. Sebelumnya, Delima sudah kuwanti-wanti agar tidak mengajak ayahnya untuk masuk ke dalam rumah.Ia mengangguk, namun anak berumur empat tahun mana bisa diharapkan sesuai harapan."Mamak mana?"Terdengar suara Bang Agam bertanya pada Delima. Aku sudah berniat tidak akan keluar menemuinya. Jangan sampai jadi omongan tetangga. Lebih parah lagi jika sampai ada yang melaporkan dan didatangi Tetua kampung. Belum lagi jika sampai ke polisi wilayatul hisbah, wah semakin parah.Untuk menghindari hal memalukan itu memang sebaiknya seperti ini. Biarkan Delima saja yang menjumpai Ayahnya. Sudah cukup kejadian memalukan siang tadi."Mamak ada di dalam." jawab Delima.Aku mengintip dengan sedikit menyibak tirai jendela. Tampak, Delima sudah duduk di bangku teras dengan ayahnya."Panggil Mamak, ini makanan Mamak." pinta Bang Agam pada Delima dengan menun
Karena suara di luar semakin berisik, aku keluar juga meski hati sebenarnya gentar. Sepertinya itu bukan Mona seperti sangkaan awal. Ketakutan menjadi kenyataan."Maaf, ada apa ya?" tanyaku menyapa pada tiga orang perangkat kampung yang sudah duduk bersama Bang Agam di ruang tamu. Sementara beberapa orang lainnya duduk di kursi teras."Arumi, ini tidak benar Nak, kalian tidak boleh lagi seperti ini." Pak Imam berkata lembut. Beliau dulu adalah temannya Kakek.Aku memandang ke arah Bang Agam dengan tatapan bertanya apakah ia tidak menjelaskan kenapa ia tidur di sini dan dengan siapa ia tidur?"Saya tidur bersama anak Pak di kamar satunya bukan bersama Arumi." Bang Agam berkomentar seperti mengerti tatapanku."Iya, kamu sudah dua kali bicara itu. Tetapi tetap saja ini tidak boleh." kali ini Bapak kepala lorong yang bicara. Nadanya ketus dan lumayan kasar."Jadi bagaimana Bapak-bapak? bukankah Anda semua sudah lihat sendiri? kami tidak melakukan apa-apa?" aku bersuara juga. Apa mereka ng
"Bukan rujuk Bang. Karena kita sudah bercerai lebih dari setengah tahun, maka jika ingin kembali, ya, harus menikah ulang." jawabku memperbaiki kalimat Bang Agam."Iya, itu lah Dek maksudnya." balas Bang Agam tersenyum.Cih, pede sekali dia ngajak balikan seenak udelnya, dipikirnya hatiku barang mainan apa. Aku ngedumel dalam hati dan mengarahkan pandangan ke ombak yang saling berkejaran."Pernikahan itu bukan perkara main-main." ucapku setelah menghembuskan napas meredakan emosi yang sebenarnya mulai akan naik karena sikap Bang Agam ini."Apa dengan mengajakku balik begini, itu artinya Abang akan menceraikan Mona?" tanyaku melanjutkan.Aku menunggu, Bang Agam bukan menjawab malah terdengar menghembuskan napas berat. Kenapa dia? Sebegitu cintanya kah ia pada Mona sehingga berat sekali menjawab iya atau tidak pada pertanyaanku barusan."Abang belum bisa meninggalkan Mona sekarang, Dek." Seiring kalimat itu terdengar helaan napas masygul dari Bang Agam."Kenapa? Abang cinta sangat ya sa
Setelah berbalasan pesan dengan Bang Agam, aku menyimpan ponsel di atas meja samping kompor dan mulai memasak untuk makan siang. Katanya, Bang Agam akan makan siang di sini.Lucu juga, kami justru semakin akrab dan layaknya teman setelah bercerai. Bang Agam sekarang lebih perhatian dan setiap kali bertemu tatapannya penuh cinta. Kadang aku sampai harus menenangkan jantungku sendiri dan juga menata hati setelah bertemu dengannya akhir-akhir ini."Masak apa, Rum?"Aku menoleh, Adam sudah berdiri di pintu penghubung dapur dan ruang makan."Loh, sudah pulang?" tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya."Mak, Lihat ini." Delima memamerkan boneka Elsa di tangannya."Delima minta macam-macam ya sama Om Adam?" aku mendelik ke arahnya."Nggak Mak ...""Delima nggak minta kok, Rum. Nggak perlu melotot begitu." Adam menyela kalimat Delima yang belum selesai."Ya sudah, Om pulang dulu ya!" ucap Adam mengelus kepala Delima dan berlalu pulang ke rumahnya di sebelah.Sejak tadi pagi, Adam membawa Delima
"Begitu Mbak ceritanya." tutup Karina setelah kalimat-kalimat panjangnya mengurai bagaimana ia bertanya hati-hati pada Papanya tentang apa yang diceritakan Rahma."Aku tidak habis pikir, bagaimana bisa Papa dan Mama tidak pernah satu kali pun menyebutkan keberadaan Mbak Arumi selama ini." ujar Karina lagi sambil menatap prihatin ke arahku.Kubalas tatapannya dengan senyuman. "Tidak apa Dek, Aku baik-baik saja." balasku lembut."Eh, dari tadi melow banget ya, ayo dong kopinya diminum." Rahma mencairkan suasana pertemuan ini."Minum kopi Aceh langsung di Aceh, pasti beda ya 'kan rasanya dengan minum kopi Aceh tapi bukan di Aceh." lanjut Rahma lagi promosi yang di sambut gelak dari Karina dan Rendra."Benar Mbak, ini nikmat banget. Sumpah." ucap Rendra menanggapi.Puluhan tahun aku baru tahu jika punya adik perempuan. Benar-benar di luar dugaan, belum lagi aku sungguh nggak menyangka juga akan tahu kabar Ayah yang memang tidak pernah kulihat sama sekali selama hidupku. Bahkan fotonya pun
"Mak, Arumi yakin Mak pasti tahu alasan kenapa Ayah mengatakan malu untuk pulang kemari bukan?" tanyaku memancing, rasanya kesabaranku tidak cukup banyak untuk menunggu waktu berbicara berdua saja dengan Mak Jannah.Terlihat Mak Jannah menghela napas dalam dan memperhatikan kami semua yang berada di sini bergantian. Mulai dari aku, Karina, Rendra dan Rahma."Nak Karina, Nak Rendra dan Nak Rahma, silakan diminum dulu!" ucap Mak Jannah mempersilakan para tamuku mencicipi teh yang memang dibuatkan oleh Mak Jannah sesaat setelah kami tiba di rumah tadi. Sepertinya Mak Jannah sengaja mengulur waktu untuk menjawab pertanyaanku."Mak!" aku mengingatkan.Untuk kesekian kalinya, gerakan tubuh Mak Jannah menjadi tidak tenang, tampak gelisah seperti enggan bersuara.Aku ikut menatap Karina dan juga Rendra, sepertinya mereka juga sama menunggu jawaban Mak Jannah sepertiku. Wajah mereka menunjukkan raut penasaran."Maafkan Mak, Arumi. Tidak pantas rasanya membongkar masa lalu seseorang tanpa seizi
"Arumi kamu masak apa?"Sebuah suara dari belakang tubuhku yang sedang berdiri menghadap kompor cukup mengangetkan.Aku berpaling, "Eh Rendra, aku sedang membuatkan sarapan untuk kita." jawabku seperti tergeragap efek kaget."Kamu masak sambil melamun ya?" tanya Rendra.Dari mana ia tahu aku melamun? Memang benar, akhir-akhir ini aku memang sering kedapatan tidak fokus melakukan sesuatu, kata Mak Jannah."Aku tahu kamu melamun Arumi, karena hanya karena aku sudah bertanya dua kali sebenarnya pertanyaan tadi." kembali Rendra bersuara dengan mengulas senyum tipis."Apa yang bisa aku bantu?" tanya Rendra lagi.Aku menggeleng, "hanya nasi goreng dengan lauk simple saja kok." jawabku datar.Perasaan ketidaksukaanku pada Rendra kembali menyeruak. Rasanya aku tak ingin melihat lelaki ini. Saat melihat wajahnya, aku selalu teringat Ayah. Mungkin karena aku merasa ia mengambil 'hakku' sebagai anak kandung Ayah.Aku melanjutkan kegiatanku dengan benar-benar memusatkan pikiran pada setiap geraka