"Kamu serius?" Mata Bang Agam tampak dipenuhi binar-binar harap."Ada syaratnya." Kuulangi sekali lagi."Apa syaratnya?""Pertama, Mona tidak boleh tahu aku yang memberikan modal. Kedua, setiap bulan keuntungan dari toko nantinya kirimkan ke rekeningku, Abang hanya boleh mengambil untuk Ibu dan sedikit untuk diri Abang sendiri. Ketiga, aku tidak mau keuntungan tersebut Abang gunakan untuk menafkahi Mona satu rupiah pun. Bagaimana?" Aku tersenyum tipis menatap Bang Agam dengan mengerutkan dahi. Mungkin lebih tepatnya aku menyeringai bukan tersenyum.Setelah sekian menit berlalu, akhirnya Bang Agam mengangguk juga. Tentu saja, aku bersorak dalam hati karena aku masih manusia biasa belum menjadi malaikat yang bisa serta merta melupakan semua kesakitan yang pernah menghampiri hidupku."Baiklah, mari ikut aku Bang, kita buat kontrak dan sekaligus kuitansinya sekarang!" Aku berdiri memanggil pelayan warung kopi. Setelah membayar tagihan minuman kami, aku melangkah terlebih dulu. Ada suatu r
"Rum, maaf, boleh aku bertanya seuatu yang sedikit sensitif?" Tiba-tiba Hilman menyela dengan wajah yang tampak sungkan di tengah pembicaraan kami tentang konsep kafe.Aku hanya menautkan alis dengan sedikit anggukan samar, belum mampu menerka Hilman akan menanyakan apa."Maaf sebelumnya," ucapnya ragu-ragu."Benarkah jika Mona menikah dengan suamimu?" pungkasnya cepat seakan takut keraguannya sesaat tadi membuatnya tidak jadi mengeluarkan pertanyaannya ini."Mantan suami," jawabku cepat dengan senyum yang kubuat semanis mungkin. Aku ingin membuat Hilman tidak merasa bersalah dengan pertanyaannya, menunjukkan jika aku baik-baik saja."Kamu nggak apa-apa?" tanyanya dengan wajah iba."Santai saja, Man, nggak perlu mukanya begitu!" balasku tertawa."Jujur, mungkin jika pembicaraan ini kita lakukan dia tahun lalu, aku akan meneteskan air mata. Tapi, tidak dengan sekarang, Man. Kini, aku sudah berdamai dengan masa laluku itu." Aku menarik napas dan menjeda kalimat sejenak.Dengan memfokusk
Aku menautkan alis ke arah Mona, bersikap seolah dia bukan siapa-siapa yang perlu dipedulikan."Ngapain kamu di sini?" Mona mendekat ke tempat aku dan ibu berdiri. Menatapku dengan pandangan permusuhan yang begitu nyata. Bukankah seharusnya aku yang membencinya? aneh.Kualihkan mata ke wajah ibu, beliau justru menatap ke arah lain. Sebelum sempat kujawab pertanyaan Mona, bang Agam muncul dari dapur."Kamu ngapain kemari?" tanya bang Agam pada istrinya itu.Mona berpaling, "Oh, jadi sekarang kalian mau main-main di belakang aku dan di rumah ibu pula. Luar biasa," ucapnya sinis sambil bertepuk tangan.Terdengar ibu menghela napas berat. "Arumi itu anak saya, dan ini rumah saya. Jadi siapa pun yang datang ke rumah ini bukan urusan kamu." Tiba-tiba ibu bersuara begitu keras. Seumur-umur baru kali ini aku mendengar ibu berbicara sekeras itu."Pulang!" bang Agam mendekat dan menarik tangan Mona. Bukan Mona namanya jika langsung menurut.Ia meronta dan melepaskan tangannya dari cekalan bang
"Iya, siang itu, Kak Mona datang saat beberapa karyawan sedang makan siang di belakang. Saat itu hanya ada saya dan dua orang lainnya. Setelah mengambil beberapa potong pakaian, ia mendatangi saya di meja kasir. Bukannya membayar, Kak Mona malah memaksa membuka laci. Alasannya, ingin melihat pemasukan hari itu." Sekali-sekali Mira mengusap air matanya."Saya menolak karena saya takut terjadi apa-apa. Saya tak ingin sesuatu yang buruk terjadi lagi pada toko.""Tapi 'kan Mona istrinya Bang Agam, Mir," aku menyela mengingatkan Mira."Iya, saya tahu Kak Rum, tapi hati kecil saya tidak mengizinkan saya untuk memberikan tahukan kode tersebut."Aku hanya mengangguk. Namun, masih penasaran kenapa Mira justru datang kemari untuk menceritakan ini semua padaku. Apakah Mira tahu kalau aku yang memberikan modal agar Toko Bang Agam bangkit lagi? Apa mungkin Bang Agam menceritakannya pada Mira? Entahlah."Bang Agam tidak pernah akur dengan Kak Mona. Bahkan, seringkali mereka bertengkar di toko ...."
"Dek, bagaimana jika kita bercerai saja?" Duarrr ...Pertanyaan bak petir menggelegar di siang yang sedang terik-teriknya itu menyentakku, seolah sebuah tamparan tangan kasar berulang kali di daratkan pada pipi menyisakan perih, bukan di wajah namun di hati."A-apa maksud Abang?" tanyaku bergetar."Kita sudah menikah lima tahun, tapi ..."Bang Agam suamiku menjeda kalimatnya. Tatapan matanya beralih ke luar jendela, entah apa yang sedang ia terawang."Kamu tahu sendiri, kita menikah karena dijodohkan. Lima tahun ini aku terus mencoba mencintaimu Rumi, tetapi maaf, tetap saja tidak bisa." Setelah mengeluarkan kalimat itu ia menunduk dalam.Apa katanya tadi, ia tidak mencintaiku? Lalu, saat ia menyentuhku sampai menghadirkan Delima itu tidak karena cinta?Benar memang seperti yang Bang Agam -Suamiku- itu katakan. Pernikahan kami karena perjodohan orang tua, balas Budi karena dulu orangtua Bang Agam banyak dibantu oleh kakekku.Menjelang meninggalnya, Kakek meminta orangtua Bang Agam a
Dua hari sudah aku mencari cara untuk mengetahui kebenaran kabar burung yang kudengar dari mulut ibu-ibu tetangga itu. Namun, aku tak menemukan solusi lain selain harus berkunjung ke rumah mantan mertuaku itu.Mau bertanya ke tetangga-tetangganya yang kukenal, sepertinya juga bukan cara tepat. Aku harus memastikannya sendiri. Benarkah Bang Agam meninggalkanku karena permintaan Ibu mertua bersebab hanya karena aku ibu rumah tangga biasa tanpa penghasilan?Selama lima tahun, ibu tak pernah mempermasalahkan itu. Sikapnya sangat lembut dan terlihat sangat penyayang. Bahkan aku sudah menganggapnya seperti ibuku sendiri karena memang aku tidak punya Ibu sejak lahir.Masalah keuangan juga tidak menjadi kendala keluarga Bang Agam selama ini. Ibu dan Bang Agam mengurus beberapa toko pakaian yang ditinggalkan almarhum Bapak mertua. Sedangkan kedua adik perempuan Bang Agam telah menikah dan tinggal terpisah. Ibu hanya tinggal berdua saja dengan si bungsu Ria yang masih kuliah serta seorang asist
"Mo-na?" aku mengeja.Satu wajah terlintas daalm memori. Namun, segera kucegah dengan cepat. Tidak mungkin."Mona anaknya Wak Djalil?" aku bertanya dengan gumaman lirih, berharap menemukan jawaban gelengan kepala dari Laila.Sayangnya, harapanku tidak menjadi kenyataan. Laila justru mengangguk meski dengan gerakan yang sangat pelan.Mona, sepupuku sendiri. Wak Djalil adalah kakak kandung Ibuku satu-satunya. Ibu dan Wak Djalil hanya dua bersaudara, dan Mona adalah anak pertama Wak Djalil. Umurnya setahun di bawahku.Aku ingat, sejak kecil Mona memang selalu menunjukkan sikap permusuhannya padaku. Apalagi jika tahu, Wak Djalil -ayahnya- memberikanku uang jajan. Bukan hanya Mona, Wak Leni -Ibunya- juga selalu memberikan tatapan sinis dan ucapan ketusnya tiap kali bertemu aku.Dulu, jika Wak Djalil ingin memberikanku sesuatu maka harus dilakukan sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan istrinya itu."Arumi itu bukan anak yatim, jadi tidak perlu diberi sedekah." suara nyaringnya pernah kudeng
[siapa itu, Ma?] balasku.[Selebgram say. Kamu sih nggak gaul, nggak kenal sama orang-orang terkenal.] tulis Rahma yang diakhiri dengan emotikon tertawa lebar.[Oh. Keren juga ya, aku bisa mirip selebgram.] aku pun mulai membalas candaan Rahma.[Namanya Karina. Aku pernah lihat salah satu postingan Instagramnya yang menuliskan jika Ayahnya orang Aceh, hanya saja dia belum pernah ke Aceh.] balas Rahma panjang.[Maksud kamu?] tanyaku. Aku seperti sudah paham maksud Rahma mengirimkan foto itu ke aku.[Iya Rumi, kamu ngerti 'kan, siapa tahu dia adikmu seayah.] tutup Rahma.[Tidak mungkin. Kata orang-orang wajahku mirip Ibu.] aku membantah.[Lagi pula di dunia ini memang ada 'kan orang mirip bahkan hampir identik namun tak punya hubungan kekerabatan sama sekali.] aku melanjutkan.[Terserah kamu lah, tetapi sesekali cobalah buka dan lihat-lihat instagramnya dia ya?!] [oke.] kubalas cepat chat terakhirnya Rahma dan aku mulai berselancar lagi mencari lowongan kerja yang mungkin diposting di