"Mo-na?" aku mengeja.
Satu wajah terlintas daalm memori. Namun, segera kucegah dengan cepat. Tidak mungkin."Mona anaknya Wak Djalil?" aku bertanya dengan gumaman lirih, berharap menemukan jawaban gelengan kepala dari Laila.Sayangnya, harapanku tidak menjadi kenyataan. Laila justru mengangguk meski dengan gerakan yang sangat pelan.Mona, sepupuku sendiri. Wak Djalil adalah kakak kandung Ibuku satu-satunya. Ibu dan Wak Djalil hanya dua bersaudara, dan Mona adalah anak pertama Wak Djalil. Umurnya setahun di bawahku.Aku ingat, sejak kecil Mona memang selalu menunjukkan sikap permusuhannya padaku. Apalagi jika tahu, Wak Djalil -ayahnya- memberikanku uang jajan. Bukan hanya Mona, Wak Leni -Ibunya- juga selalu memberikan tatapan sinis dan ucapan ketusnya tiap kali bertemu aku.Dulu, jika Wak Djalil ingin memberikanku sesuatu maka harus dilakukan sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan istrinya itu."Arumi itu bukan anak yatim, jadi tidak perlu diberi sedekah." suara nyaringnya pernah kudengar saat aku mendapat uang lebaran dari Wak Djalil."Tapi, dia keponakanku. Ibunya Adikku." jawab Wak Djalil tegas."Tetap saja, urusan anak harusnya menjadi tanggung jawab keluarga Ayahnya yang tidak tahu diri itu. Istri baru mati empat hari sudah menikah lagi dan meninggalkan bayi merah." teriak Wak Leni menanggapi kalimat suaminya.Begitulah, dan itu bukan sekali terjadi, berkali-kali. Oleh karenanya, saat beranjak remaja aku sudah jarang berkunjung ke rumah Uwakku itu. Kami hanya bertemu saat lebaran mereka berkunjung menjenguk Kakek.Sedangkan Mona semakin memusuhiku saat aku menikah dengan Bang Agam. Menurutnya, aku tidak cantik, tidak pantas bersanding dengan lelaki setampan Bang Agam. Itu yang kudengar ia gembar gemborkan kepada keluarga lainnya.Permusuhan di antara kami semakin menjadi-jadi saat Kakek membuatkan surat hibah kepemilikan rumah untukku sebelum Kakek berpulang.Setelah Kakek meninggal dunia, bukan hanya Mona dan Wak Leni yang membenciku, tetapi Wak Djalil pun menunjukkan sikapnya yang dingin. Ia tidak setuju Kakek menghibahkan rumah untukku karena menurutnya, Ibuku meninggal sebelum Kakek meninggal, jadi aku tidak punya hak menerima harta warisan Kakek. Secara adat kampung kami disebut 'patah titi'.Namun, setelah musyawarah dengan petua adat dan pemangku syariat kampung, aku dibenarkan menerima harta kakek berupa rumah atas nama hibah bukan harta waris. Karenanya, kakek segera mengurus surat hibah beserta balik nama rumah dan tanah menjadi namaku.Begitulah, keluarga yang masih kumiliki satu-satunya justru membenciku. Sekarang, malah sepupuku itu menikah dengan mantan suamiku.Dalam tahun ini aku sudah dua kali mendapati kejutan yang luar biasa. Entah setelah ini akan ada kejutan apa lagi."Kak Rumi, silakan diminum dulu!" Suara Laila menusuk indera pendengaran, memecah lamunan tentang masa lalu keluarga.Saat kesadaran kembali, ternyata Laila telah meletakkan secangkir teh hangat di atas meja di hadapanku. Entah kapan ia melakukannya.Aku mengangguk, "terima kasih, La." jawabku tersenyum."La, boleh aku bertanya satu hal lagi?" ucapku penuh harap sesaat setelah sedikit menyeruput teh buatannya.Meski mata Laila tidak terlepas dari binar keraguannya, namun ia mengangguk juga padaku."Kamu tahu alasan kenapa Bang Agam menikahi Mona?" tanyaku hati-hati.Sebenarnya aku takut hendak mendengarkan jawaban dari bibir Laila, Namun tujuanku datang kemari memang untuk itu. Tidak mungkin aku membatalkan niat.Tampak Laila menggeleng. Sejurus kemudian baru ia membuka suara, "Laila tidak tahu pasti Kak, tetapi Laila pernah tidak sengaja mendengar Ibu berulang kali membahas persoalan utang dengan Bang Agam." Utang? Utang apa? "Eh, tapi Laila tidak tahu apa itu ada hubungannya dengan pernikahan Bang Agam dan Mona atau tidak, Laila kurang tahu Kak." lanjut Laila lagi.Aku menarik napas dalam. Sepertinya sudah cukup. Kata pepatah, jika ingin bahagia jangan dengarkan terlalu banyak hal yang tidak menyenangkan."La, Kak Rumi pulang dulu ya. Tolong jangan kasih tahu Ibu dan Ria jika Kak Rumi datang kemari." aku berpamitan pada Laila.Sepanjang perjalanan pulang aku terus mencoba menarik benang merah keterkaitan utang dan pernikahan Bang Agam dengan Mona. Apa mungkin Ibu punya utang pada Wak Djalil, lalu bayarannya harus dengan menikahkan Bang Agam dengan Mona? Ah, sudah seperti sinetron saja.***"Mak, telepon Ayah boleh?" Delima datang menghampiri saat aku sedang membolak-balikkan koran harian lokal mencari lowongan kerja yang cocok untukku. Berharap mendapat yang sesuai dengan ijazah sarjana ekonomiku, namun jika tidak ada, pakai ijazah SMA juga tak apa lah, yang penting aku punya penghasilan. Mau sampai kapan bergantung pada jatah bulanan Delima yang selalu dikirim Bang Agam tiap bulan.Sebagai Ayah, kuakui ia masih bertanggung jawab terhadap biaya Delima. Setiap bulan selama lima bulan ini selalu saja ia masih mengirimkan uang sebesar satu juta rupiah ke rekeningku.Akan tetapi, uang satu juta untuk sebulan sungguh harus diirit seiritnya. Apalagi Delima masih harus minum susu dan pakai diapers saat tidur malam. "Mak, telepon Ayah dong?!" Delima menarik-narik lengan bajuku."Iya, sebentar ya!"Aku mencari kontak Bang Agam di aplikasi W******p dan melakukan 'dial'.Tersambung, namun tidak ada jawaban. Kucoba sekali lagi. Tetap sama, terhubung tetapi tidak dijawab."Mungkin Ayah sedang kerja, tidak bisa jawab telepon. Nanti malam saja kita telepon lagi ya?!" aku tersenyum lembut sembari mengelus kepala Delima.Meski mengangguk, namun aku menangkap binar kecewa di netra Delima. Kasihan kamu Nak, sekecil ini tidak bisa mendapatkan kasih sayang utuh dari kedua orangtuamu. Aku meringis perih dalam hati.***Setelah menidurkan Delima, aku mulai berselancar di dunia maya, saat tiba-tiba kontak atas nama 'Ayah Delima' terlihat memanggil di layar ponsel.Perlahan aku keluar dari kamar untuk menerima telepon agar tidak membangunkan Delima."Halo, Assalamualaikum, Bang." jawabku saat sudah menutup pintu kamar."Nggak usah sok lembut menjawab telepon dari suami orang." suara dari seberang begitu ketus terdengar."Mo-na?" aku membalas lirih sedikit kaget."Iya, siapa lagi? Aku istri Bang Agam sekarang." jawabnya jumawa."Ada apa kamu menelepon suamiku sampai dua kali siang tadi?" tanyanya melanjutkan masih dengan suara yang membentak."Maaf Mona, itu tadi Delima yang ingin berbicara dengan Ayahnya." Aku memberi tahu agar Mona tidak salah paham.Terdengar suara Mona tertawa kencang. "Kamu pikir aku percaya?" tanyanya begitu angkuh."Tapi, aku serius. Delima yang minta diteleponkan ayahnya." aku membela diri."Sudah ya, jangan ganggu suamiku lagi."Tut.Sambungan telepon diputuskan begitu saja oleh Mona. Kuhela napas kasar, dan masuk kembali ke kamar.[Rum, coba lihat foto ini, mirip sekali dengan kamu.]Sebuah pesan masuk ke inbox media sosial sejuta umat milikku beserta sebuah lampiran foto.Dari Rahma, teman kampus dulu. Meski tidak begitu dekat, tetapi kami masih lumayan sering berinteraksi lewat aplikasi-aplikasi media sosial, terutama lewat si biru bikinan Bang Mark.Setelah foto itu terbuka, sontak mataku membelalak. Benar, foto ini mirip sekali aku. Mirip sekali, tetapi tampilannya berbeda. Ia tidak berjilbab dan merias wajahnya begitu cantik. Siapa dia?[siapa itu, Ma?] balasku.[Selebgram say. Kamu sih nggak gaul, nggak kenal sama orang-orang terkenal.] tulis Rahma yang diakhiri dengan emotikon tertawa lebar.[Oh. Keren juga ya, aku bisa mirip selebgram.] aku pun mulai membalas candaan Rahma.[Namanya Karina. Aku pernah lihat salah satu postingan Instagramnya yang menuliskan jika Ayahnya orang Aceh, hanya saja dia belum pernah ke Aceh.] balas Rahma panjang.[Maksud kamu?] tanyaku. Aku seperti sudah paham maksud Rahma mengirimkan foto itu ke aku.[Iya Rumi, kamu ngerti 'kan, siapa tahu dia adikmu seayah.] tutup Rahma.[Tidak mungkin. Kata orang-orang wajahku mirip Ibu.] aku membantah.[Lagi pula di dunia ini memang ada 'kan orang mirip bahkan hampir identik namun tak punya hubungan kekerabatan sama sekali.] aku melanjutkan.[Terserah kamu lah, tetapi sesekali cobalah buka dan lihat-lihat instagramnya dia ya?!] [oke.] kubalas cepat chat terakhirnya Rahma dan aku mulai berselancar lagi mencari lowongan kerja yang mungkin diposting di
Tok ...Tok ...Bergegas aku menuju ruang tamu hendak membukakan pintu yang diketuk berulang kali dengan begitu kasar. Sepertinya yang sedang mengetuk pintu itu sedang dalam kondisi marah. Aku jadi takut sendiri."Mona." aku terpana melihat siapa yang berdiri di depan pintu.Dengan gerakan kasar ia mendorong bahuku dan melenggang masuk ke dalam tanpa kupersilakan."Ada apa?" tanyaku ikut duduk di hadapannya."Kembalikan uang yang dikirimkan Bang Agam." ucapnya datar tanpa basa basi.Aku diam dan menaikkan sebelah alis serta memberikan tatapan merendahkan untuknya. Jangan mentang-mentang ia istri Bang Agam sekarang bisa seenaknya padaku."Kenapa kamu diam? sini, kembalikan uang yang dua hari lalu ditransfer Bang Agam." suaranya meninggi."Itu jatah Delima." jawabku santai."Itu uang suamiku, seharusnya kamu jangan jadi benalu." Mona semakin ngegas."hahaha ..." aku justru memperkeraskan tawa menangkapi kemarahan Mona."Dasar perempuan gila." desisnya masih bisa tertangkap telinga."Leb
Tok ...Tok ...Suara ketukan pintu terdengar saat aku sedang menyiapkan sarapan. Siapa yang datang pagi-pagi sekali? Sejak kedatangan Mona bulan lalu, setiap kali terdengar suara ketukan di pintu aku menjadi sedikit was-was.Namun, karena ketukan ini terdengar lembut tidak gerudak geruduk seperti kedatangan Mona, maka perasaan was-was itu sedikit meluntur."Biar Ima saja, Mak." ujar Delima sembari berlari ke arah pintu depan saat aku baru saja mencuci tangan hendak membukakan pintu."Ayah ...!" teriakan Ima membuat aku harus mengurut dada. Antara kaget dan juga sedikit syok, ada apa Bang Agam datang kemari?Cepat-cepat kuangkat telur dadar sayur kesukaan Delima dari penggorengan, mematikan kompor dan bergegas ke ruang tamu."Bang.""Eh, Dek, lagi apa?" Bang Agam bertanya sedang Delima sudah berada dalam gendongannya."Lagi siapin sarapan. Delima minta nasi goreng kampung seperti biasanya." jawabku memberitahu.Setelah mendengar jawabanku, aku melihat sepertinya Bang Agam menelan luda
"Arumi!"Aku mengangkat kepala yang sedari tadi menunduk menghadapi pandangan orang-orang."Rahma! kamu di sini juga?" tanyaku sembari menyeka buliran bening yang kucoba tahan namun menetes juga.Rahma duduk setelah celingukan melihat orang-orang di kiri dan kanan. Mendelikkan matanya pada mereka mengkode agar menjauh.Sebelumnya banyak yang telah pergi memang sesudah kepergian Mona dan Bang Agam. Namun, masih ada juga yang tetap di tempatnya, masih mencuri-curi pandang ke tempatku duduk."Ada apa, Rumi? tadi aku mendengar ocehan orang-orang jika ada pelakor yang dilabrak." ujar Rahma pelan."Apa yang terjadi?" Rahma kembali bertanya karena aku hanya diam.Mendengar pertanyaannya aku semakin terisak. Sudah kuduga, pasti orang yang menonton pertunjukan yang dibuat Mona tadi akan men-cap aku sebagai pelakor."Kamu yang sabar ya?!"Kemudian Rahma menarik kepalaku ke pelukannya. Tangisku semakin menderas di bahunya. Aku seperti mendapat tempat menumpahkan segalanya. Selama ini aku tak pun
Bang Agam benar-benar datang tidak sampai setengah jam setelah obrolan telepon tadi. Aku menyuruh Delima yang keluar mengambil makanan pada ayahnya. Sebelumnya, Delima sudah kuwanti-wanti agar tidak mengajak ayahnya untuk masuk ke dalam rumah.Ia mengangguk, namun anak berumur empat tahun mana bisa diharapkan sesuai harapan."Mamak mana?"Terdengar suara Bang Agam bertanya pada Delima. Aku sudah berniat tidak akan keluar menemuinya. Jangan sampai jadi omongan tetangga. Lebih parah lagi jika sampai ada yang melaporkan dan didatangi Tetua kampung. Belum lagi jika sampai ke polisi wilayatul hisbah, wah semakin parah.Untuk menghindari hal memalukan itu memang sebaiknya seperti ini. Biarkan Delima saja yang menjumpai Ayahnya. Sudah cukup kejadian memalukan siang tadi."Mamak ada di dalam." jawab Delima.Aku mengintip dengan sedikit menyibak tirai jendela. Tampak, Delima sudah duduk di bangku teras dengan ayahnya."Panggil Mamak, ini makanan Mamak." pinta Bang Agam pada Delima dengan menun
Karena suara di luar semakin berisik, aku keluar juga meski hati sebenarnya gentar. Sepertinya itu bukan Mona seperti sangkaan awal. Ketakutan menjadi kenyataan."Maaf, ada apa ya?" tanyaku menyapa pada tiga orang perangkat kampung yang sudah duduk bersama Bang Agam di ruang tamu. Sementara beberapa orang lainnya duduk di kursi teras."Arumi, ini tidak benar Nak, kalian tidak boleh lagi seperti ini." Pak Imam berkata lembut. Beliau dulu adalah temannya Kakek.Aku memandang ke arah Bang Agam dengan tatapan bertanya apakah ia tidak menjelaskan kenapa ia tidur di sini dan dengan siapa ia tidur?"Saya tidur bersama anak Pak di kamar satunya bukan bersama Arumi." Bang Agam berkomentar seperti mengerti tatapanku."Iya, kamu sudah dua kali bicara itu. Tetapi tetap saja ini tidak boleh." kali ini Bapak kepala lorong yang bicara. Nadanya ketus dan lumayan kasar."Jadi bagaimana Bapak-bapak? bukankah Anda semua sudah lihat sendiri? kami tidak melakukan apa-apa?" aku bersuara juga. Apa mereka ng
"Bukan rujuk Bang. Karena kita sudah bercerai lebih dari setengah tahun, maka jika ingin kembali, ya, harus menikah ulang." jawabku memperbaiki kalimat Bang Agam."Iya, itu lah Dek maksudnya." balas Bang Agam tersenyum.Cih, pede sekali dia ngajak balikan seenak udelnya, dipikirnya hatiku barang mainan apa. Aku ngedumel dalam hati dan mengarahkan pandangan ke ombak yang saling berkejaran."Pernikahan itu bukan perkara main-main." ucapku setelah menghembuskan napas meredakan emosi yang sebenarnya mulai akan naik karena sikap Bang Agam ini."Apa dengan mengajakku balik begini, itu artinya Abang akan menceraikan Mona?" tanyaku melanjutkan.Aku menunggu, Bang Agam bukan menjawab malah terdengar menghembuskan napas berat. Kenapa dia? Sebegitu cintanya kah ia pada Mona sehingga berat sekali menjawab iya atau tidak pada pertanyaanku barusan."Abang belum bisa meninggalkan Mona sekarang, Dek." Seiring kalimat itu terdengar helaan napas masygul dari Bang Agam."Kenapa? Abang cinta sangat ya sa
Setelah berbalasan pesan dengan Bang Agam, aku menyimpan ponsel di atas meja samping kompor dan mulai memasak untuk makan siang. Katanya, Bang Agam akan makan siang di sini.Lucu juga, kami justru semakin akrab dan layaknya teman setelah bercerai. Bang Agam sekarang lebih perhatian dan setiap kali bertemu tatapannya penuh cinta. Kadang aku sampai harus menenangkan jantungku sendiri dan juga menata hati setelah bertemu dengannya akhir-akhir ini."Masak apa, Rum?"Aku menoleh, Adam sudah berdiri di pintu penghubung dapur dan ruang makan."Loh, sudah pulang?" tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya."Mak, Lihat ini." Delima memamerkan boneka Elsa di tangannya."Delima minta macam-macam ya sama Om Adam?" aku mendelik ke arahnya."Nggak Mak ...""Delima nggak minta kok, Rum. Nggak perlu melotot begitu." Adam menyela kalimat Delima yang belum selesai."Ya sudah, Om pulang dulu ya!" ucap Adam mengelus kepala Delima dan berlalu pulang ke rumahnya di sebelah.Sejak tadi pagi, Adam membawa Delima